fromranxx


Gue duduk di bangku panjang halaman belakang. Gue menatap dua kelinci yang sekarang sedang tidur berdempetan di kandang. Memang gak kelihatan jelas, sih, tapi gue bisa tau karena warna bulu putih mereka kelihatan bertumpuk di pojok. Melihat mereka gue jadi tersenyum miris. Benar kata Jio, yang hidup bareng cuma mereka, bukan gue dan Shannon.

Omong-omong tentang Jio, gue ingin cerita sedikit. Gue dan dia kenal sejak kelas 10 SMA. Waktu itu Jio baru pindah dari Bandung. Menetap disana selama 15 tahun membuat dia jadi agak norak. Serius. Dulunya dia bahkan gak ngerti cara stop-in bus sekolah. Dia sampai gedor-gedor kaca, padahal ada tombol yang disediakan. Gue yang kebetulan naik bus hari itu jadi geleng-geleng kepala.

Kebesokan harinya, gue lagi-lagi lihat dia. Waktu itu dia kelihatan jadi pemeran utama karena nolongin Alice yang nangis karena dibentak-bentak OSIS. Itu awal mula gue berurusan sama dia. Jadi gue dan Alice kebetulan satu kelompok MOS waktu itu, (iya, ada kelompoknya). Gue jadi ketua kelompok dan dia wakilnya. Dia dibentak karena ada anggota yang sakit bahkan sampai pingsan pas PBB di sebelah dia, tapi dia gak inisiatif bantu karena dia pikir kalau PBB harus tetap sikap sempurna dalam keadaan apapun. Memang, harusnya waktu itu gue yang nolongin Alice waktu dibentak. Tapi gue udah sibuk bolak-balik UKS karena ngurus anggota yang pingsan itu.

Alhasil, dengan sifat banyak bacot dan sok jago gue waktu itu, gue menghampiri Jio. Niatnya mau ngajak ribut karena dia sok tau dan ikut campur masalah kelompok gue, tapi ternyata dia anaknya gak mudah kesulut. Jadilah waktu itu gue justru ngajak dia duduk di warkop, pesan kopi panas dan juga mie kari ayam jam 12 siang.

Setelah kejadian itu, dia yang kebetulan belum ada teman akhirnya jadi ngikutin gue kemanapun gue pergi. Mungkin ada kali dua bulan dia begitu. Tapi setelah dia terbiasa dengan hidup di Jakarta yang jauh beda dengan Bandung yang dia tinggali, akhirnya dia berhenti ngikutin gue dan mulai mengurus urusannya sendiri. Termasuk urusan cintanya dan Alice yang bisa dibilang lancar kayak jalan tol. Semua tahap cinta-cintaan udah dijalani sama mereka berdua, tanpa halangan apapun.

Gue dan Ajun—yang baru kenal karena satu tim futsal waktu itu—secara gak langsung jadi saksi hidup perjalanan Jio dan Alice. Kalau kalian ke sekolah gue untuk cari Jio waktu itu, otomatis warga sekolah akan bilang, “Oh, yang pacarnya Alice itu, ya?” atau sebaliknya. Karena mereka memang serasi dan dielu-elukan seluruh sekolah. Alice yang cantik dan terkenal hits disandingkan sama Jio yang berhasil menjabat jadi ketos dan anak Olimpiade Sejarah. Gimana gak gempar dunia persilatan?

Tapi, ya.... sadly, akhirnya mereka putus, tepat setelah pesta kelulusan. Dan disitulah kebodohan Jio dimulai. Setelah gue hitung, dia tiga bulan berturut-turut hidup kayak mayat. Hidupnya bengong, ngampus, nugas, terus pulang ke rumah. Jio yang biasanya iseng, tiba-tiba jadi pendiem. Gue dan Ajun yang paling ngerasain dampaknya. Emosi dia jadi gak stabil dan sensitif. Hal-hal yang menyangkut Alice tiba-tiba jadi trigger buat dia seorang.

Sampai di bulan ke-empat, Jio mulai hidup lagi. Dia mulai ngobrol dan nongkrong sama kita berdua, tapi sifat pendiemnya ternyata gak hilang, sampai sekarang. Gue pikir dia udah bisa nerima kepergian Alice, tapi dugaan gue salah. Dia jadi sering duduk di tempat favorit mereka berdua di caffe yang seribu kali udah mereka kunjungi sewaktu SMA. Dia juga bikin playlist dengan lagu-lagu galau maksimal yang isinya tentang perasaan dia yang kehilangan Alice. Fenomena itu terus berlanjut selama masa kami kuliah. Dan kabarnya, dia mulai berhenti ngelakuin itu karena dia suka sama adik gue. Kebetulan, orangnya sekarang muncul dari balik pintu kaca dan duduk di tempat kosong dekat kaki gue.

“Kenapa, sih, Kak?” ucapnya. Kelihatan bete maksimal.

“Lo suka sama Jio, Dek?” Gue langsung to the point. Biasanya disaat gue udah nyebut Kai dengan 'Dek' di dalam percakapan, tandanya gue lagi serius. Dan Kai tau hal itu.

Dia kelihatan diam. Matanya berusaha menghindar dari tatapan gue. “Jujur aja sama gue, gapapa.” Gue mencoba memancing.

Melihat dia diam saja, gue jadi yakin kalau dia juga suka, tapi mungkin belum notis perasaannya sendiri. Akhirnya gue menghela napas, lalu memperbaiki postur duduk gue jadi tegak. “Jio itu orang bego yang kejebak di masa lalu, Kai. Gue gak jamin lo akan baik-baik aja kalo sama Jio.” Lagi-lagi gue to the point. Gue gak peduli gue kelihatan buruk karena membeberkan pendapat gue tentang Jio seperti itu. Yang gue lakukan sekarang adalah hal yang gue rasa perlu. Agar gak ada penyesalan.

“Jio emang baik, Kai, gue akui. Saking baiknya gue selalu mau dia bahagia terus. Tapi bukan sama lo yang gue maksud.”

Kali ini Kai kelihatan ingin merespon kalimat gue. Terbukti dia menatap gue tepat di mata. “Kenapa?”

“Karena gue gak pernah percaya sama orang-orang yang kejebak masa lalunya. Segala sesuatu yang dimulai disaat masalah sebelumnya itu belum selesai, gak akan ada yang berjalan baik, Kai.”

Gue menatap Kai yang termangu. “Gue takut Jio egois, Kai. Nanti lo yang disakitin sama dia.”

“Kak,” panggilnya. Jujur gue diam-diam jadi deg-degan. “Gak selamanya orang yang kejebak masa lalu itu buruk dan bego. Ada beberapa orang yang sebenernya bisa lupain semua itu, tapi milih buat terus kejebak karena masa lalu itu indah buat dia. Gue ngerti maksud Kak Ji, karena gue ngalamin hal itu juga.”

“Maksud lo?”

“Nanti deh gue ceritain. Tapi intinya, setelah dua hari gue pikir, kayaknya gue bakal coba sama dia.”

“COBA APA?!” Tanpa sadar gue berteriak sampai Kai menutup kedua telinganya karena suara gue.

“ISH! BERISIK!” Dia balik berteriak. “Gue minta dia dua hari buat mikir dul— DIA BELUM NEMBAK!” Tiba-tiba suara Kai meninggi karena dia lihat gue makin melotot.

“Ya intinya, gue dan Kak Ji bakal coba untuk lepas dari masa lalu kita masing-masing.”

“Jadi maksudnya lo berdua mau coba PDKT?!” Kai mengangguk yakin.

Gue menyisir rambut gue dengan frustasi. Ini nih, susahnya bicara sama kepala batu. “Terus, kalau andai dia cuma jadiin lo pelampiasan?”

Herannya dia juga kelihatan gak kalah frustasi saat natap gue dan membuang napasnya dengan kasar. “Kak, perasaan gue ke dia belum se-deep itu, kali. Malah bisa aja gue yang jadiin dia pelampiasan.”

Bener juga. Walaupun gue gak tau dengan siapa dia menaruh hati sampai terjebak di masa lalu persis kayak Jio, gue jadi merasa perkataannya masuk akal.

Dan pada akhirnya gue justru menghela napas pasrah. Gue tepuk kepala kecil Kai dengan sayang. “Yaudah, okay, gue gak larang. Keputusan ada di tangan lo, Kai. Percuma juga ternyata gue larang lo sama Jio karena lo berdua sama-sama keras kepala. Tapi pesan gue cuma satu. Kalau emang rasanya terlalu berat dan sakit, kalau perasaan yang tadinya indah berubah jadi nyiksa, lo tau, kan, kalau lo harus stop sampai disitu? Lo stop, terus lo bilang ke gue. Gue bakal selalu ada buat lo dan dengerin semua cerita lo.”

“Tenang aja, Kak. Gue gak sebodoh itu buat gak hati-hati kali ini. Cukup sekali aja gue ditinggalin dan merasa kalah dari cowok. Sumpah.”

Gue mendengus. Kaget juga melihat adik gue udah tumbuh jadi perempuan yang punya pendirian. “Gue akan bela lo terus, Kai. Tapi lo harus inget juga, Jio sahabat gue, sahabat paling deket gue selain Ajun. Jadi perlakukan dia dengan baik, dan dia bakal gue suruh hal yang sama.”

Di ujung halaman akhirnya gue kalah lagi. Kalah sama Shannon dan kalah sama adik sendiri. Gue jadi sadar kalau ada dua orang yang gak bisa dipatahkan argumennya. Yaitu orang yang lagi jatuh cinta, dan satu lagi orang yang udah gak lagi cinta.


Malam itu tidak begitu dingin. Hanya sejuk. Jalanan Ibu Kota juga sedang tidak sesak, masih lengang sampai Jio dan Kaia hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai di tempat makan seafood dekat terminal.

Keduanya berjalan beriringan, Kaia dengan lehernya yang mendongak karena tinggi badan Jio, tidak berhenti bicara mana saja tempat yang enak dari berbagai pilihan disana. Dia bilang, di tempat A itu tumis kangkungnya enak. Lalu di tempat B, pecel ayamnya juara. Tapi di tempat C, seluruh sambalnya tak terkalahkan. Hal itu membuat Jio tak henti menggelengkan kepala tapi tetap tersenyum mendengarkan.

“Jadi, mau pilih yang mana? Tumis kangkung, pecel ayam, atau sambel, Kak?” tanyanya setelah mengoceh. Jio jadi bingung sendiri. “Kok nanya gue?”

“Kan lo yang mau makan, Kak?” Kaia membalas dengan muka yang jauh lebih bingung.

“Lo aja yang pilih, kan lo lebih tau. Gue mah dimana aja gampang, tetep bakal gue makan.” Kaia memicingkan matanya ke arah Jio. Sedikit kagum karena sifatnya yang tidak pilih-pilih makanan. Lain hal dengan mantannya itu tuh.

Akhirnya Kaia memilih yang menjual pecel ayam paling juara. Dia pikir malam-malam seperti ini enaknya makan pecel ayam. Setelah memesan dua porsi ditambah tumis kangkung dan cumi asam manis, dia duduk manis menatap Jio yang juga menatapnya.

Keduanya bertukar pandang, lalu diputus oleh Kaia yang menoleh pada pengamen yang menghampiri mejanya. Keduanya sama-sama mencari uang di saku, lalu memberinya bergantian. Mata Jio hampir copot saat tak sengaja melihat uang merah yang dimasukkan Kaia ke bungkus bekas permen yang dijadikan wadah uang oleh si pengamen.

“Kai, lo ngasih 100 ribu ke pengamen?” tanya Jio akhirnya. Kaia mengangguk polos. Dia menyedot es teh manis di hadapannya dengan wajah tanpa dosa.

“Gue tau maksud lo baik, Kai, tapi jangan dibiasain ngasih uang segede itu ke pengamen.” Sedotan es teh Kaia jadi berhenti, dia lantas menatap Jio heran.

“Kenapa? Kan mereka membutuhkan?”

Jio mengangguk. “Paham, mereka emang membutuhkan. Tapi, kita gak boleh biarin mereka jadi pemalas. Kadang, ada beberapa orang yang sengaja jadi pengemis atau pengamen dengan segala trik dan kebohongan, padahal mereka masih mampu untuk cari kerja yang lebih bener. Kalau orang-orang selalu memanjakan mereka dengan uang bernominal besar, ya mereka makin seneng aja cari duit dengan cara itu.”

“Tapi ada juga, 'kan, Kak, yang bener-bener gak bisa cari kerja? Kita gak tau mereka malas atau enggak. Jadi karena kita gak tau, gue pikir lebih baik bantu sebanyak yang gue bisa.”

Jio menahan argumen saat pesanan mereka datang. Dia memperhatikan Kaia yang memindahkan timun ke tisu bersih. “Lo gak makan timun?”

Kai menggelengkan kepalanya. “Gak suka. Lo mau?” Jio mengiyakan dengan menyodorkan piringnya agar Kaia memindahkan timun tadi ke piringnya. “Doyan kol, gak?”

“Doyan banget! Lo gak suka, Kak?”

“Iya, gak suka.” Kini Jio yang memindahkan kol ke piring Kaia. Mereka sempat tertawa kecil melihat aksi barter itu.

Jio langsung teringat topik. “Nih ya, Kai, kalau lo emang mau bantu, diliat-liat juga siapa orangnya. Bukan maksudnya pamrih dan pilih-pilih. Tapi coba lo pikirin, ada pengemis tua dan ada pengamen anak muda dengan tato, lebih baik bantu yang mana?”

“Dua-duanya,” jawab Kaia. “Oke, dua-duanya. Tapi pernah mikir gak, sih, si anak muda ini bakal make uang itu buat apa selain buat makan dan kebutuhan lain?”

Kaia berpikir sambil mengunyah. Matanya menerawang ke atas. “Gak tau.”

“Biasanya, gue lihat mereka pakai uang itu buat beli rokok, bayar tindik dan nambah tato. Orang-orang kayak gitu maksud gue, Kai, yang gak selalu perlu dibantu. Masih banyak yang bisa lo bantu, yang lebih butuh uang lo.”

Kai mengangkat paha ayam itu sejajar dengan wajahnya dan Jio. “Lo kalau makan ayam pilih-pilih sesuai histori hidupnya gak, Kak?”

“Maksudnya?”

Diturunkannya ayam tadi, lalu kembali dia poteli dagingnya untuk dimakan. “Ya lo kalau makan ayam, cuma makan apa yang udah disediain, 'kan? Bukan liat dia makannya dedak atau nasi atau jagung, 'kan?”

“Iya. Terus kenapa?”

“Itu yang gue terapin, Kak. Gue gak peduli latar belakang dan alasan seseorang itu menjadi pengemis atau pengamen. Tugas gue cuma bantu mereka sebisa gue, semakin besar nominalnya, semakin gue puas untuk bantu. Gue gak peduli setelah dapat uang itu mereka mau pakai buat apa. Buat makan, buat beli susu anaknya, buat rokok, atau buat judi sekalipun, gue gak peduli. Tugas gue berhenti sampai ngasih uang itu ke tangan mereka. Jadi, lebih baik gue kasih ke semuanya, daripada repot mikirin mereka nanti pakai uang gue itu buat apa.”

Kaia menjelaskan dengan nada santai, tidak sombong, dan menenangkan. Senyuman kecilnya tidak lepas dari bibir. Jio menatap Kaia dengan saksama, memperhatikan tiap pergerakan. Sampai tanpa sadar, Jio mulai jatuh.

Entah sejak kapan dia mulai jatuh ke dalam lubang bernama Kaia itu. Entah saat dia menyelamatkannya di kantin fakultas tempo lalu. Atau saat hari dimana Kaia mengiris tangannya sampai luka. Atau bahkan saat dia melihat wajah damainya yang tertidur beberapa hari lalu.

Entah kenapa, awalnya dia merasa Kaia adalah baju baru yang terasa tidak akan pernah pas dan cocok dengannya. Tapi lama-lama dia berpikir kalau sesekali tak apa mencoba baju baru, dengan warna dan gaya yang berbeda. Baginya Kaia seperti pakaian baru yang terasa seperti pakaian lama. Terasa asing, tapi memberi kehangatan yang sama.


Kaia turun dari motor Jio. Diberikannya helm coklat yang sedari tadi melindungi kepalanya. Dia juga mencopot jaket bomber hitam milik Jio yang menutupi tubuhnya saat di motor, tetapi kedua tangannya ditahan. “Dibawa dulu aja. Dibalikinnya bisa kapan-kapan.”

“Jangan, Kak! Lo nanti kedinginan, tau!” tolaknya lalu tetap mencopot jaket itu. Dia menyampirkan jaketnya ke bahu Jio. “Dipakai, Kak, nanti masuk angin gue gak bisa ngerokin.”

Jio tertawa, membawa perasaan hangat dalam diri Kaia. Lega rasanya, melihat wajah Jio yang tertekuk seharian, sekarang sudah bisa tertawa lepas.

“Jadi, udah nih? Udah gak sedih, 'kan?” tanyanya.

Jio mendengus kecil saat menutup resleting jaketnya. “Udah enggak. Kan ditraktir sama anak orang kaya.”

Kaia menepuk pundak Jio pelan. “Lo mah sama aja, Kak, kayak Daffa sama Damian! Dibilang jangan keseringan bergaul sama mereka,” ucapnya jengkel.

“Ya kalau gak bergaul sama mereka gue gak bisa bergaul sama lo nanti.”

“Lah? Hubungannya apa?”

“Kata Daffa kalau gue mau minta lo sebagai sumbangan fakir miskin bisa hubungin dia.”

Kaia terdiam. Seluruh badannya mematung. Setiap detik jam terasa membeku. Kebekuan langsung pecah saat Jio berkata, “Lo mau gak, Kai, kalau disumbangin ke gue? Karena kayaknya.. gue butuh lo.”


Gue sampai di depan pintu besar rumah Elias. Setelah menelfon Tante Wanda untuk meminta izin, beliau memberitahu bahwa ada kunci darurat yang disimpan di bawah guci mahal yang ditaruh di depan pintu masuk. Gue lantas langsung mengangkat guci yang beratnya sebanding dengan berat Elias, lalu mengambil kunci di bawahnya. Tante Wanda juga berpesan kalau beliau akan pulang telat karena teman-temannya rempong.

Setelah itu gue masuk ke dalam rumah. Gue memindahkan bubur ayam dari tempat styrofoam ke mangkuk. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal, gue mengetuk pintu kamar Kai. Kira-kira butuh 5 ketukan dan 7 panggilan namanya untuk dia menyahut dari dalam. “Kai, ini gue, Jio. Kalau pintunya gak dikunci gue boleh masuk gak?” ucap gue, menghindari Kai harus repot turun kasur untuk membukakan gue pintu.

“Kak Ji? Lo ngapain?” balasnya agak samar karena terhalang pintu.

“Gue boleh masuk dulu gak?” tanya gue sekali lagi. Sepertinya berbicara tanpa terhalang pintu akan lebih mudah dan tidak menghabiskan energi.

“Buka aja, Kak, gak dikunci.” Gue membuka pintu perlahan. Mendapati Kai yang duduk menyender dengan lengan memeluk perutnya sendiri. Wajahnya pucat, rambut panjangnya sedikit berantakan, serta peluh kelihatan menghiasi dahinya. Melihat itu gue langsung paham kalau dia sedang menahan sakit yang amat.

Gue menaruh nampan di meja belajarnya, lalu berjalan ke arah tempat tidur. “Sakit banget?” Kai hanya mengangguk. Gue mengigit bibir bawah gue, bingung harus membereskan apa dulu.

“Udah sarapan?” Kai kali ini menggeleng. “Tadi udah disiapin Bi Asih, tapi gue gak bisa turun karena tiba-tiba sakit banget.”

Gue melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Cukup membuat orang yang baru makan tadi malam merasa lapar. “Gue bawa dua makanan. Satu bubur ayam, satunya lagi Roti O. Lo makan bubur dulu, nanti kalau masih laper baru makan roti. Kalau rotinya udah gak hangat nanti gue panasin di oven. Gimana?” Kai kelihatan setuju.

“Maag lo kambuh gak?”

“Enggak, Kak.” Gue mengangguk paham, lalu memberinya segelas air. Dia meminum itu sedikit lalu meraih mangkuk bubur di tangan gue. Segera gue tolak tangannya. “Gue suapin aja.”

“Hah? Gak usah, Kak, gue bisa sendiri kok.” Dia terdiam setelah gue menatapnya dengan menolak tegas.

Gue menyuapi Kai satu mangkuk bubur yang untungnya hanya tersisa sedikit. Tampaknya Kai memang lapar. Menahan sakit pun butuh tenaga, kan?

“Minum dulu.” Kai menerima gelas air putih tadi dan meminumnya sampai tandas. Wajahnya sudah kelihatan agak segar dari sebelumnya meskipun masih pucat. Gue menyerahkan satu botol kiranti yang gue beli di Indomaret tadi.

Usai memastikan dia meminumnya sampai habis, gue memerintahkan dia untuk duduk dulu dan jangan langsung berbaring karena baru selesai makan. Gue memposisikan diri di kursi meja belajarnya yang tak jauh dari kasur. “Masih sakit banget?” Kai hanya mengangguk pelan.

“Kok lo bisa disini, Kak?”

“Bisa lah. Naik motor.”

Kai kelihatan tertawa kecil lalu berdecak. Dia melihat gue seakan gue orang paling konyol. “Kak..”

Gue hanya tersenyum, lalu menjawab, “tadi Damian ngechat katanya mereka gak bisa ke rumah lo buat bantu. Berhubung keluarga lo juga lagi pada di luar, gue nyanggupin buat kesini. Kenapa? Lo gak nyaman ya kalau gue yang disini?”

Kai terlihat langsung menggeleng. “Bukan! Gue nyaman aja kok. Cuma agak bingung aja.”

“Tadi gue udah telfon Tante Wanda, katanya gapapa gue disini. Gue malah disuruh sampai malem disini nungguin Tante pulang.”

Dahi Kai terlihat mengerut. “Lo gak ada kelas emangnya, Kak?”

“Enggak. Dibatalin semua.”

Guel mulai memperhatikan seluruh isi kamar Kai yang terlihat tertata rapih. Satu-satunya spot yang berantakan hanya buku-buku bekas dia belajar di meja. “Ini boleh gue rapihin?” tanya gue tiba-tiba. Maklum, kebiasaan gue bersih-bersih membawa pengaruh untuk membereskan apapun yang berantakan di mata gue. Yang gak bisa gue benahi cuma satu. Hati gue sendiri.

“Boleh, sih, Kak. Tapi ngerepotin ah. Gak usah.”

“Enggak. Gue gemes banget liatnya.” Gue dengar Kai tertawa. Setelah dia menyetujui, gue mulai menyusun satu-satu buku dan menaruhnya di pojok meja belajar.

Perhatian gue lalu teralih pada hiasan snowball glass yang dipajang rapih di rak di atas meja belajar. Gue mengambilnya untuk mengocok airnya. Lantas butiran putih di dalamnya langsung berenang tak beraturan. Di dalamnya ada laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan. Lucu, sekaligus indah.

“Lo beli ini dimana?” Gue bertanya sambil menunjukkan barang itu.

“Dikasih mantan, Kak.” Dia menjawab dengan senyuman yang terlihat pahit. Gue jadi tidak enak hati. Lagipula kenapa tiba-tiba gue penasaran dengan banyak hal dan jadi ingin ikut campur urusan orang, ya?

“Mau gue ceritain gak? Tentang mantan gue.” Dia menawari. Melihat dia yang sukarela begitu gue jadi berpikir kalau gue tidak boleh cuma menyemplungkan kaki, harus basah satu badan. Karena itulah gue mengangguk.

“Jadi gue pacaran sama dia sejak kelas 10. Selama pacaran baik-baik aja. Meskipun banyak cewek yang ngejar dia, dia selalu ngelihat ke satu arah. Ke arah gue doang. Karena itu gue pikir kita bakal bareng terus bahkan sampai kuliah gitu. Tapi ternyata di penghujung tahun kelas 12, tepatnya kelas 12 semester 1, dia tiba-tiba mutusin gue.”

Gue diam menyimak. Tak sedikitpun gue mengalihkan pandangan dari wajah Kai yang sejak tadi bercerita sambil melihat ke arah jari tangannya. Lalu dia melanjutkan, “gue langsung bingung dong, Kak? Karena kita beneran gak ada masalah apa-apa waktu itu. Akhirnya gue tanya dia kenapa. Setiap hari gue tanya, gue desek dia karena dia gak ngomongin alasan. Ternyata dia jujur kalau dia udah bosen sama gue.”

Gue membuang napas pelan. Dari sekian alasan untuk mengakhiri sebuah hubungan, menurut gue alasan bosan adalah alasan paling basi. Karena harusnya, orang yang benar-benar cinta tak akan pernah berpikir untuk mengakhiri hanya karena bosan. Tapi gue memaklumi, mereka masih SMA waktu itu, alasan sepele ini sudah menjadi hal yang wajar. Well, meskipun gue tetap kurang setuju apabila alasan ini dipakai oleh orang dewasa.

“Gue nangis banget waktu itu, Kak. Bayangin aja hampir 3 tahun gue sama dia. Satu sekolah pun tau gue pacarnya. Yang susah hilang bukan perasaannya, tapi kenangannya. Semua kebiasaan yang biasa gue lakuin sama dia tiba-tiba hilang gitu aja. Gimana gue gak nangis, kan? Tapi gue jadi gak sesedih itu pas tau dia jalan sama cewek lain di minggu berikutnya.”

Dahi gue mengerut. “Jalan sama cewek?”

Kai mengangguk. “Iya, cewek barunya.”

Mulut gue jatuh sampai akan terbuka lebar jika tidak gue kendalikan. “Jadi dia mutusin lo karena udah ada cewek lain, dong?”

“Betul. Makanya gue merasa dikhianati banget. Tapi marah pun, udah gak berhak, kan? Karena dia pasti berdalih kalau dia bukan nyelingkuhin gue. Kita udah putus duluan sebelum dia jadian sama cewek itu. Jadi yang bisa gue lakuin cuma pamer kalau gue selalu okay tanpa dia. Padahal mah, ya agak susah, sih, hehe.” Gue mengangguk paham.

Kerap kali ada beberapa situasi dimana kita akan menutupi perasaan sebenarnya dengan memasang topeng bahwa kita baik-baik saja tanpa mereka. Selain ingin membuktikan bahwa kita tidak butuh orang itu, sebenarnya itu bagian dari membohongi diri sendiri bahwa kita tegar. Padahal aslinya tidak setegar itu.

“Terus dia sekarang gimana?”

Kai mengangkat kedua bahunya. “Katanya sih dia gap year. Tapi bukan karena gak keterima, dia pinter banget soalnya. Dia mau istirahat dulu, jadi ikut SBM tahun depan.” Satu helaan napas keluar dari mulutnya.

“Gue juga sebenernya udah mulai gak peduli sama dia sih, Kak. Tapi gak bisa gue pungkiri kalau misal dia muncul di depan gue lagi, luka itu bakal muncul dan gue bakal keinget sama semua kenangan gue sama dia. Makanya sebisa mungkin gue gak ke Bandung terlalu sering. Gue meminimalisir kemungkinan buat ketemu dia lagi.”

“Yaudah, lo di Jakarta aja. Ada keluarga lo, Elias, Damian Daffa juga,” gue menjeda. “Dan ada gue di Jakarta.”


Jio menggerakkan bola matanya ke atas dan ke bawah, seperti meng-scan penampilan Daffa yang hari ini terlihat 'silau' dengan setelah hijau neon yang tampaknya satu set. Penampilan Daffa berbanding terbalik dengannya dan Damian yang hanya mengenakan kaos putih polos dan celana training hitam. Kaia yang berdiri di sebelah Daffa juga menatapnya dengan tatapan paling menghina.

“Kenapa pada ngeliatin gue? Kaget ya liat ada orang seganteng gue?” tanyanya lalu berpose dengan penuh percaya diri. Tangan Kaia langsung melayang untuk menoyor kepalanya, persis seperti yang ingin dilakukan Jio tapi terlalu segan karena mereka tidak sedekat itu.

“Lo gak bisa membedakan mana tatapan kagum, mana tatapan menghina? Ketauan banget lo 3 tahun jadi anak teater bagian banyak bacotnya doang.” Damian menyemburkan tawanya, ikut puas saat Kaia menghina Daffa langsung di depan wajahnya. Wajahnya lalu berubah julid. “Ih lo gak tau aja, Kai, dia kan tadinya mau di-kick dari tim inti teater. Tapi akhirnya tetep di-keep karena Daffa orangnya pinter ngejilat guru biar dana ekskul turun.” Mendengar itu Daffa langsung mendorong Damian tidak terima.

“MANA ADA MONYEEETTT, LO JANGAN NGADA-NGADA YA!”

“NGADA-NGADA APAAN ORANG GUE DENGER SENDIRI DARI MANDA,” balas Damian tak kalah kencang. Manda yang Damian maksud adalah wakil ketua ekskul teater di sekolah mereka dahulu.

“YA TAPI TANPA GUE, GAK BAKAL TUH TEATER SUKSES DAPET SPONSOR BUAT KEGIATAN TAHUNAN!” Wajah Daffa makin maju, makin protes pada Damian.

“YAUDAH IYA, ANJIRRR, GAK USAH MAJU-MAJU GUE CUMA BERCANDA!”

Daffa melotot ke arahnya. “Belom pernah gue gedig ya, lo?” Damian menjulurkan lidahnya ke arah Daffa.

Jio membuang napas kasar. Sudah dia duga akan ada adegan seperti ini tiap bertemu dengan Kai dan teman-temannya. “Udah berantemnya?” tanyanya pelan, menatap ketiganya bergantian. Damian dan Daffa masih saling sikut menyalahkan karena lupa kalau terdapat Jio di antara mereka.

“Lo kalo mau nyambit pantat mereka bilang aja ya, Kak, gue bersedia mewakili.” Jio tersenyum kecil menanggapi perkataan Kaia.

Dia akhirnya memimpin untuk pemanasan sebelum mulai jogging. Untungnya, sesi jogging tidak memerlukan perdebatan tak berujung dari Damian dan Daffa. Di luar dugaan, keduanya fokus jogging dan mengatur napas dengan teratur. Jio menghela napas lega saat melihat mereka justru sharing botol minum usai jogging selesai.

Tatapannya lalu jatuh pada Kaia yang sedang merapihkan kuncirannya yang lepas. Akibat rambut yang susah rapih, dia menggerutu sendiri karena banyak anak rambut yang tak ikut terikat. Melihat itu Daffa berinisiatif untuk membantu, tapi dia langsung mengurungkan niatnya begitu Jio berdiri di belakang Kaia. “Kalo kesusahan tuh ngomong.” Nada dingin dan sikap tanpa aba-abanya sukses membuat Kaia makin keringat dingin.

Jio mengikat rambut panjang Kaia dengan rapih, tak meninggalkan satu anak rambut pun jatuh ke lehernya. Ikatan yang dia buat juga pas, tidak terlalu kencang atau terlalu kendur. “Thanks, Kak.” Jio balas mengangguk.

Daffa dan Damian saling tatap, mata keduanya melebar, terkejut melihat sikap Jio barusan. Mereka pikir Jio tidak akan sepeduli itu dengan Kaia, apalagi dalam hal kecil seperti ini. Keduanya berjalan di belakang Jio dan Kaia yang mengajak pulang karena matahari sudah mulai silau.

“Kan, gue bilang apa..” bisik Damian di telinga Daffa. Kini keduanya menatap kedua punggung yang dianggap mencurigakan itu. “Mereka gak mungkin gak ada apa-apa, anjir.. Ini mah otw PDKT gak, sih?” lanjut Damian, masih dengan berbisik.

“Tapi masa iya secepet itu, sih? Mereka kan baru kenal sebulanan.” Damian berdecak, melotot pada Daffa. “Namanya cinta mah datangnya tiba-tiba, kagak pake tenggat harus kenal minimal berapa bulan!”

“Yaelah, Dam, cinta-cinta tai kucing. Lupa lo minggu kemaren Kai masih misuhin si halal bihalal gara-gara tambah ganteng pas masuk ITB?”

Mulut Damian langsung terbuka lebar. Dia baru ingat kalau Kaia masih di tahap belum bisa move on dari mantannya. “Iya jugaa, baru inget gue.”

“Ya, kan? Mana mungkin dia secepet itu suka sama orang lain. Buat suka sama halal bihalal aja dia butuh waktu dua bulan. Kan yang ngejar tu cowok, kan?” Damian mengangguk setuju. Kecurigaannya memudar, tergantikan dengan alasan masuk akal Daffa.

Mereka memutuskan untuk mampir ke rumah Kaia. Mereka menumpang mandi di kamar Elias dan kamar tamu. Jio bilang dia tidak bawa baju dan Kaia menyuruhnya untuk memakai baju Elias. Usai mandi mereka ke halaman belakang rumah Kaia. Jio seperti biasa, berjongkok di depan kolam ikan koi, sedangkan Daffa sibuk menyalakan kompor gas portable yang dia bawa. Dia tidak ingin barang yang dia bawa sia-sia, jadi dia akan memasakkan mi instan untuk semuanya.

“Lo bisa kagak sih, masang ginian?” tanya Damian sangsi. Dia khawatir kaleng gasnya tiba-tiba meledak karena Daffa menggebuk-gebuknya dengan bar-bar.

“Enggak,” ucapnya santai. Mendengar itu Damian langsung menarik paksa kaleng gas di tangannya dengan panik. “KOK DIAMBIL?!” protes Daffa, berdiri dari posisi jongkoknya.

“LO MAU KOMPORNYA MELEDAK?! LO ASAL MASANG KALO MELEDAK GIMANA? INI RUMAH ORANG KAYA, ANJIRRR, BANYAK BARANG MAHAL DI DALEM!!!”

Keributan itu membuat Jio menengok ke belakang, didapatinya Damian yang berusaha menjauhkan kaleng gas dari Daffa. Kepalanya tiba-tiba pening melihat fakta dia harus melerai keduanya 'lagi'.

“Kenapa?” Keduanya diam menatap Jio yang datang dengan muka dingin. “Ini, Bang, si Daffa sok banget mau masang kaleng gas ini padahal gak tau caranya. Kalo meledak kan berabe.” adu Damian. Daffa mencibir di sebelahnya.

“Sini gue pasangin.” Jio meminta kaleng gas di tangan Damian. “Lo bisa, Bang? Yakin?” tanya Damian memastikan.

“Kalo gue gak bisa, terus emangnya lo bisa?”

Damian menggeleng. “Enggak, sih..” Jio memajukan tangannya yang meminta kaleng gas itu. Damian memberikannya pada Jio, lalu langsung dipasangkan dengan cepat dan tepat. Api langsung bisa menyala dengan baik.

“Anjaaayyy, keren juga lo, Bang!” puji Daffa heboh.

“Ini basic skill yang harus dikuasai laki-laki. Ya perempuan juga lebih baik ngerti, sih, tapi biasanya kan laki-laki yang jadi sandaran di hal-hal kayak gini, jadi harus bisa,” jelas Jio. Keduanya mengangguk mengerti. “Mana mi-nya? Biar gue yang masak.”

Mereka bertiga berjongkok mengelilingi kompor gas portable itu. Jio bagian mengaduk mi di dalam panci, Damian bagian memotong bungkus bumbu, dan Daffa bagian bacot.

“Bang, kok lo keren gini gak punya pacar?” tanya Daffa iseng.

“Kata siapa gue gak punya?” Daffa melotot. “OH LO PUNYA?!”

“Enggak, sih.” Air muka Daffa langsung kecut, merasa ditipu.

Damian kini bertanya. “Kenapa gak punya, Bang?”

“Gak minat.” Keduanya mengerutkan dahi. “Lo gak minat sama perempuan, Bang?” Jio lantas melotot mendengarnya. Jujur, dirinya lelah menghadapi tingkah mereka sejak tadi.

“Enggak. Bukan gitu maksud gue..”

“Terus kenapa tuh, Bang?” Damian bertanya sambil bengong menatap panci yang berbusa karena tugas membuka bumbunya sudah selesai.

“Karena gue pernah ada di halaman yang indah banget. Saking indahnya gue jadi mikir kalau halaman lain di baliknya itu biasa aja dan gak seindah halaman itu. Jadi yang gue lakuin cuma baca ulang halaman itu tanpa niat buat baca halaman di baliknya.”

Baik Damian maupun Daffa sama-sama terkesima dengan cara penyampaian Jio. “Bilang aja gak bisa move on, gitu loh, Bang,” sewot Daffa.

Jio tersenyum kecil. “Iya, gak bisa move on.”

Daffa menghela napas lelah, membuat Jio berpikir Daffa adalah adik Arjuna yang selalu lelah menghadapi manusia sepertinya. “Kenapa ya orang-orang di sekeliling gue itu orang-orang menyedihkan yang gak bisa move on? Apalagi kalo udah tau orang itu brengsek, YA MOVE ON LAH, ANJIR! Aneh dah manusia zaman sekarang.” Daffa menggerutu.

“Berarti lo gak pernah ngerasain jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sampai lo gak tau gimana caranya bangun. Karena kalau lo udah di tahap itu, lo bakal tetep nganggep halaman itu indah walaupun aslinya enggak.” Jio menyanggah sambil menuangkan mi yang sudah matang ke dalam mangkuk.

“Kalau gitu berarti mereka gak realistis. Terlalu tenggelam sama hal-hal yang menurut mereka indah, padahal nyatanya enggak. Berarti semua itu cuma ilusi yang mereka buat, dong? Karena kan kenyataannya, halaman yang mereka baca itu penuh robekan dan kotoran. Ngapain di baca ulang?” Damian turut memberi suara, membuat Jio terdiam.

Daffa mengangguk setuju. “Iya. Lagian emang mereka tau halaman yang 'biasa aja' menurut mereka itu ending kalimatnya kayak gimana? Mereka kan gak mau baca endingnya karena udah keburu mikir itu jelek. Padahal bisa aja, halaman yang keliatannya biasa aja itu punya ending yang lebih baik dari halaman sebelumnya. Yang mereka perluin cuma lepas dari ilusi kalau itu halaman 'paling indah'. Ya, kan?”

Mendengar penjelasan mereka berdua membuat Jio sedikit berpikir bahwa itu semua masuk akal. Dia jadi setuju kalau semua yang dia lihat hanya ilusi ciptaannya yang berpikir bahwa halaman tersebut indah. Padahal nyatanya, halaman itu tidak lain hanya sebuah kertas hancur yang setiap kalimatnya menyakitkan.


Niatnya malam ini gue ingin menyelesaikan buku Laut Bercerita yang sudah seminggu gak gue sentuh karena gue harus menyelesaikan tugas dan mengantar Kai. Tapi Si Malas Arjuna itu gak mau rugi dan malah ingin numpang tidur disini. Gagal lah semua rencana santai gue malam ini.

Jadi, singkat cerita, satu bulan belakangan hidup gue hanya berkutat pada cewek yang notabene adik dari sahabat SMA gue yang kelakuannya kurang ajar. Awalnya gue memang gak berharap lebih pada anak baru lulus SMA yang memiliki kebiasaan teriak kalau semangat dan ngegas kalau pendapatnya disanggah kedua temannya itu. Tapi lambat laun gue mulai bisa menerima kehadirannya dan justru terbiasa dengan tingkah-tingkahnya.

Dalam kurun waktu satu bulan gue sudah bisa menilai kalau Kai itu 60% mirip Alice. Iya, Alice itu memang mantan pacar gue yang kebetulan baru putus 2 tahun lalu tapi rasanya hati gue masih sama sampai sekarang. Gue akan menceritakan lebih tentang Alice, tapi gak sekarang. Hati gue masih terlalu sakit dan dada gue masih terlalu sesak untuk mengingat-ingat luka lama yang gue paksa kering.

Kesamaan yang ada di diri Kai entah kenapa membuat gue jadi lebih perhatian. Gue tau ini salah, gak seharusnya gue memandang Kai sebagai kembaran Alice atau pengganti Alice hanya karena beberapa kemiripan di diri mereka. Maka dari itu gue bilang sama Arjuna, kalau gue harus benahi hati gue dulu, baru bisa buka hati untuk yang lain. Karena sejujurnya semua masih hancur dan belum bisa gue tata sendiri. Butuh waktu untuk mencari serpihan yang sekarang entah terselip dimana.

Omong-omong tentang Arjuna, sekarang manusianya sedang melangkah dua langkah ke belakang setelah gue yang teriak sewot karena sepatunya gak ditaruh di rak sepatu. Tapi bukan Arjuna namanya kalau gak dibalas ocehan khasnya. “Yaelah lu, udah kayak nyokap gue aja, perihal sepatu doang sewotnya minta ampun.” Arjuna menggerutu dengan bibir manyun dan dan dahi mengkerut.

“Jelas aja gue sewot, orang manusianya aja KAGAK JELAS.” Gue berteriak di depan wajahnya membuat air mukanya makin kecut.

Dia mengangkat tinggi-tinggi dua kantong kresek bening yang isinya dua bungkus nasi goreng dan dua gelas es teh yang gue tebak isinya teh poci depan SPBU dekat sini.

“Nih, sogokan.” Arjuna berjalan melewati gue yang masih berdiri di depan pintu. Dia merebahkan dirinya dengan santai, seperti di rumahnya sendiri.

“Lo makan duluan aja, gue ambil HP dulu ke atas,” ucap gue pada Arjuna yang tampaknya langsung mengantuk begitu bertemu sofa empuk.

Gue berlari ke atas, masuk ke kamar monoton itu dan mengambil ponsel yang gue letakkan di atas kasur. Setelahnya gue berjalan ke bawah sambil membalas pesan Kai yang bilang ingin ditemani chat karena dia habis menonton film horor pendek dengan Damian dan Daffa di kampus tadi sore.

Tanpa sadar senyuman lolos dari bibir gue, membuat Arjuna tertawa dari bawah sana. “Cie elah.. Beda ye, emang, kalau orang lagi kasmaran tuh.”

Gue mendelik. “Siapa juga yang kasmaran.” Jawaban gue tampaknya malah mengundang tawa Arjuna yang semakin kencang.

“Bukan kasmaran, tapi ini namanya pertanda bakal move on ya kan, ya kan?” Kedua alisnya naik turun membuat gue jengkel.

Tanpa bicara banyak, gue hanya duduk di sofa kosong sebelahnya sambil membuka bungkus nasi goreng pedas langganan kami bertiga. Satu tangan gue mengetik, dan satunya lagi memegang sendok. Piring nasi goreng gue letakkan di atas bantal sofa yang ada di pangkuan gue.

Tiba-tiba Arjuna bergerak mendekat, membuat gue memasang sirine bahaya untuk diri gue sendiri. “Jujur dah, Ji, cinta lo ke Alice udah tinggal berapa persen?” Ekspresinya mirip ibu-ibu julid di tukang sayur, membuat gue ingin menjitak bebas kepalanya andai punya tangan ketiga.

“Persen-persen, udah kayak game online jaman SMP,” sahut gue asal.

Dia berdecak. Tangannya menoyor bahu gue sebal. “Serius, anjir! Ini gue lagi mengira-ngira kapan lu bisa move on.”

Meskipun absurd, gue memutuskan tetap menjawab agar Arjuna gak banyak omong. “80 persen.”

“YAELAAHHHH, ITU MAH PERSENAN 6 BUKAN KEMAREN, JI!”

Gue mengangkat bahu. “Ya kenyataannya begitu.”

Arjuna tampak frustasi. Terbukti dengan effortnya menaruh piring hanya untuk mengacak rambutnya gemas. “Ji, move on dong, Ji, move on! Gue kasian dah sama lu seriusan.”

Dalam hati gue berkata, gue juga kasihan sama diri gue sendiri. Mungkin Alice disana sudah bahagia dengan keluarga kecilnya, tapi gue disini justru stuck dengan bayang masa lalunya.

Entah kenapa nasi goreng malam ini jadi berkali-kali lebih pedas karena topik yang dibuka Arjuna. Sialan.

Arjuna membuang napas kasar. Udah kayak dia yang paling frustasi dengan keadaan gue sekarang. Padahal harusnya gue yang repot, bukan dia. “Jangan bilang lo rela berurusan sama Si Cantik karena dia mirip sama Alice?”

Tepat sasaran.

Maksud gue, bukan membenarkan ucapannya 100 persen, tapi gue rasa itu salah satu alasan kenapa otak gue masih mengizinkan gue untuk terus berurusan dengan Kai satu bulan ini.

“Bener, Ji?” tanya Arjuna lagi karena gue belum menjawab. Gue bahkan berhenti mengunyah karena rasanya sukar untuk menelan, ini lagi dia malah meminta jawaban. “Kan, lo gak bisa jawab, kan?” lanjutnya.

Arjuna membuang napasnya kasar. Lagi. Entah sudah keberapa ratus gue dengar helaan kasarnya setiap berurusan sama gue. “Denger ya, sat. Gue udah kenal lo bertahun-tahun. Gue tau gak bakalan segampang itu lo ngelupain Alice. Gue tau cinta lo buat Alice tuh gak main-main, tapi jangan sampai lo nganggep orang lain itu sebagai Alice, Ji. Lo sama aja muterin labirin tapi yang ketemu jalan itu lagi, itu lagi.”

Gue masih diam, kunyahan gue makin lama, sama kayak omelan Arjuna yang juga makin lama. “Selama 2 tahun ini lo gak pernah mau berinteraksi sama perempuan kecuali dua hal, Ji. Satu karena tugas, dua karena kepepet. Awalnya gue pikir lo berurusan sama Si Cantik cuma demi Elias. Tapi pas gue liat lo di Fat Bubble ketawa dengan enjoynya sama dia, disitu gue yakin ada yang aneh.”

What's wrong, Ji?” tanyanya final dengan nada hopeless.

Gue mendengus geli. “Kalau lo nanya what's wrong dan gue tau jawabannya juga gue bakal jawab dari 2 tahun lalu, Jun. Ini masalahnya gue juga gak tau kenapa rasanya gak berkurang drastis padahal gue kecewa sama dia.”

“Lo anggep dia sebagai korban atau pelaku, Ji, atas kesalahan ini?”

Di kalimat itu gue langsung natap Arjuna gak terima. “Gak mungkin gue anggep dia pelaku, Jun. Sampai kapanpun gue gak mau bikin dia jadi antagonis di hidup gue. Lebih baik gue yang jadi antagonis dengan gak nyari dia setelah tau semuanya.”

Arjuna langsung tertawa sekeras-kerasnya. Tampak puas menertawakan kebodohan yang barusan gue katakan. “Gila ya, gue gak sangka kalau lo beneran setolol ini, anjing.” Dia lalu langsung tertawa lagi.

“Ji, dimana-mana gak ada korban yang mancing pelaku duluan. Lo pikir Yogi yang suka duluan sama Alice? Terus dia yang ngehasut Alice atas semua ini? Kagak, anjing. Semua berawal dari Alice, bukan Yogi.”


Dengan rambut yang masih basah usai mandi pagi, Kaia membuat nasi goreng sosis seperti rencananya. Karena Jio yang datang ke rumahnya jam 9 malam hanya untuk mengantarkan martabak telur yang terkenal ramai itu, Kaia jadi merasa tidak enak. Dia merasa keluarganya keterlaluan karena sudah membuat anak orang repot mengurus dirinya yang sebenarnya sudah dewasa ini. Dia paham karena titel anak bungsunya ini yang membuat dia dicap paling kecil dan harus dijaga adalah alasan utama keluarganya selebay ini. Tapi harusnya tidak sampai membuat Jio, yang notabene baru ditemui sebulan oleh Kaia, harus mengantri satu setengah jam untuk membelikannya martabak telur.

Jio datang hanya untuk mengantar itu dan menanyakan keadaannya. Hampir 10 kali Kaia dengar kata, 'lo seriusan gak apa-apa?' dari mulutnya semalam. Jadi hitung-hitung balas budi, Kaia membuatkan nasi goreng sosis yang sudah di-approved enak oleh Damian dan Daffa.

Saat sedang ingin memotong sosis, Kaia mendengar suara bel yang pertanda Jio sudah datang. Dia mempersilakan Jio duduk lalu kembali melanjutkan kegiatannya memotong sosis. Sialnya, dari sekian waktu dia harus mengiris jarinya sekarang, di hadapan Jio. Darah langsung mengalir dari ujung jari telunjuknya, membuat dia meringis.

Jio yang kebetulan sedang berdiri untuk mengambil minum langsung berjalan khawatir. “Kenapa? Kena pisau?”

Kaia hanya mengangguk. Selain karena sakit, dia sebenarnya takut melihat darah. Kakinya mulai lemas. “Sini.” Jio menarik pelan tangan Kaia dan melihat lukanya dengan saksama. Dicucinya luka di jari Kaia.

“Kok darahnya gak berhenti, Kak?!” tanya Kaia panik.

“Tenang, jangan panik. Sedikit lagi berhenti. Lo jangan goyang-goyang gitu.” Jio memegang pundak kiri Kaia untuk menuntunnya diam.

Tak lama darahnya mulai berhenti, napas Kaia yang tadinya tertahan jadi mulai sedikit rileks. Berkat pembawaan Jio yang juga tenang, Kaia sukses tidak panik. Seperti di rumah sendiri, Jio menyuruh Kaia duduk sembari dirinya mengambil kotak P3K yang disimpan di laci. Dia mengobati luka Kaia dengan hati-hati. Sesekali berhenti jika Kaia meringis sakit.

“Udah,” ucapnya saat plester luka sudah tertempel rapi di jari Kaia. “Lain kali hati-hati. Kalau megang pisau tuh jarinya jangan memanjang, tapi nekuk sejajar supaya gak kena jari.”

Jio berdiri, meninggalkan Kaia ke dapur. “Biar gue yang lanjutin, lo diem aja disitu. Hari ini batal dulu makan nasi goreng buatan lo.”

Kaia cemberut. “Padahal gue mau bikinin lo atas ucapan makasih buat martabak telur semalam.” Jio tersenyum kecil di balik punggung lebarnya yang dipandang Kaia.

“Yaudah, kalau gitu lo punya dua utang sama gue.” Kaia mengerut. Matanya menatap Jio yang membalikkan badannya sekilas.

“Yang pertama buatin gue nasi goreng. Yang kedua,” Jio menjeda karena fokus pada potongan sosis di hadapannya. “Utang buat gak luka lagi kayak tadi. Utangnya bisa lunas kalau lo jaga diri lo dengan baik.”


Gue duduk di bangku panjang kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tempat Kak Jio dan Kak Elias biasanya nongkrong. Kak Elias itu anak bisnis dan Kak Jio anak manajemen. Mereka memang sering kelihatan berdua terus, terkadang bertiga sama Kak Arjuna yang sebenarnya anak teknik sipil tapi sering main ke FEB.

Gue mengetuk jari ke meja kayu, mengusir bosan. Melirik ke kanan dan kiri lalu mendapati orang-orang melihat gue sesekali. Mungkin bingung kenapa gue bengong sendirian padahal yang lain sedang berkerumun sambil menyantap makanan menunggu kelas selanjutnya. Alhasil gue memesan satu es teh manis untuk mengusir haus.

Tiba-tiba cowok yang modelan rambutnya kayak jamet duduk di samping gue. Benar-benar dekat sampai gue harus geser ke kiri. Dia berdua dengan temannya. Gue benar-benar mati kutu saat laki-laki itu mulai tersenyum dan membuka mulutnya. “Hai, cantik!”

Gue meringis, berusaha tidak berinteraksi. “Pasti bukan fakultas sini, ya? Ketauan ih, cantiknya beda.”

Shit, gue mulai shaking. Sebenarnya gue sudah menghadapi ini selama bertahun-tahun. Hidup sendiri di Bandung membuat gue lebih berani menanggapi hal-hal sialan macam ini, tapi tentu saja itu gak bikin gue jadi tahan banting.

“Kok diem aja sih, cantik? Kenalan, dong.. Nanti kita nongkrong deh di Kemang. Mau apa? Holywings? atau Mcd?”

Kali ini gue benar-benar berani mengerutkan kening dalam-dalam. Dia pikir harga diri gue hanya sebatas diajak ke Holywings? Atau McD????? Demi apapun manusia jaman sekarang otaknya karatan.

“Eh, jawab dong! Ditanya juga,” katanya mulai nyolot. Gue sebenarnya ingin meminta pertolongan pada Ibu penjual ayam penyet yang dikatakan Kak Jio, tapi gue lihat Ibunya sibuk membuat pesanan orang.

Gue hanya bisa diam. Sampai tangan gue digenggam oleh cowok sialan ini, tanpa aba-aba dan tanpa persetujuan gue sama sekali. Dengan cepat gue menarik tangan gue sembari berdiri menjauh. “Apa-apaan, sih?!”

Gue yakin sekali teriakan gue barusan berhasil mengundang atensi seluruh mahasiswa di kantin. Gue gak peduli, gue justru berharap itu. Agar orang-orang tau kalau cowok jamet ini baru saja berbuat lancang.

Cowok itu ikut berdiri, begitu juga dengan teman di sebelahnya. Rautnya protes, tak terima seluruh kantin menatapnya aneh. “Lo lebay banget sih, anjing?? Gue cuma mau kenalan ya, gak usah alay! Anak mana sih lo? Bukan anak FEB, kan?! Tolol!”

“Mundur atau lo yang gue tonjok.” Kak Jio datang sebagai penyelamat sore ini. Tangan kanannya mendorong keras dada cowok tadi sampai agak menjauh dari hadapan gue. Tubuhnya berdiri kokoh di depan gue, menempatkan diri sebagai sebuah tameng.

“Udah gangguin ketenangan orang, megang tangan tanpa izin, ngatain stranger, kurang berengsek apalagi lo gue tanya?”

Dua cowok itu menatap Kak Jio kesal. “Gue cuma ngajak kenalan! Salah?”

“Ya salah, lah, kalau yang lo ajak kenalan itu cewek gue.”

Sebentar, APA KATANYA?!

“Oh, dia cewek lo?” Cowok itu menatap gue dan mendecih. “Gak seberapa ya, selera lo? Udah sok cantik, lebay lagi.”

“Diem, anjing, banyak bacot lo.” Kak Jio menatap tajam dua cowok tadi. Intonasinya memang tidak meninggi, tapi dingin, tajam, ibarat langsung menusuk siapa yang menjadi lawan bicaranya.

“Udah lah, Mir, cabut aja lah kita. Ngapain ngeladenin pasangan tolol macem gini.” Cowok —yang gue gak akan bosan menyebutnya jamet— itu langsung menarik cowok yang dipanggilnya 'Mir' tadi sambil menatap kami sinis.

“Lah, elo yang tolol kok lo yang galak!” balas Kak Jio membuat gue harus menahan sikunya agar tidak membalas perkataan cowok tadi.

Tubuhnya lalu berbalik ke arah gue, mungkin menatap gue yang menunduk sambil mengigit bibir bawah. “Are you okay?

Gue mengangguk kecil. “Okay, kok, Kak. Udah biasa.” Lalu gue tersenyum kecil ke arahnya.

Kak Jio menghela napas kasar. “Emang berengsek anak bisnis angkatan bawah gue tuh. Mereka berdua terkenal di angkatan gue, Kai. Yang satu namanya Amir sama satu lagi yang banyak bacot namanya Reno. Kabarnya mereka sering main dari fakultas satu ke fakultas lain cuma buat nyobain cewek.”

Gue manggut-manggut, bingung harus bilang apa. “Maaf ya gue bikin lo jadi ngalamin kejadian tadi. Aturan gue suruh lo nunggu di fakultas lo aja.”

“Gapapa, Kak Ji, lagian kantin masih ramai, kalau gue diapa-apain gue bisa teriak.”

“Sebelum lo diapa-apain, gue bakal dateng dan nonjok orang-orang itu duluan. Jadi setiap lo dalam masalah, bilang gue aja. Kan gue bilang, udah tanggung jawab gue buat jagain lo.”


Kak Elias waktu itu pernah bilang sama gue, senja itu paling indah dinikmati dengan orang-orang terkasih. Katanya, lebih kelihatan indah dan hangat. Padahal sama aja. Apa karena gue sekarang menikmati senja dengan orang yang salah, ya?

Saat ini gue sedang duduk di bangku santai yang Mami beli dua tahun lalu. Di atasnya ada payung untuk menghindari sinar matahari menusuk langsung ke kulit manusia yang duduk di bawahnya. Dan Kak Jio, suprisingly benar-benar terlihat seperti sedang ternak lele melihat tubuhnya yang berjongkok di pinggir kolam ikan koi milik Mami.

Halaman belakang rumah gue ini konsepnya kayak mini zoo, serius. Di pojok kanan ada kolam ikan koi milik Mami yang sebenarnya gak benar-benar diurus oleh Mami sendiri karena Mami cuma senang menonton ikan berenang aja. Selain itu Mami cuma mau lihat ikan-ikan itu tumbuh dari kecil sampai besar, supaya Mami punya rasa bangga bisa besarin sesuatu selain gue dan Kak Elias.

Di sebelah kolam ikan Mami, ada kandang kelinci yang diberi pagar setinggi betis yang isinya ada dua ekor kelinci anggora. Milik siapa? Milik Kak Elias dan mantan. Namanya Shannon. Iya, mantan Kak Elias paling cantik yang paling susah dilupain sama Kak Elias. Kabar dari Kak Arjuna, walaupun Kak Shannon udah punya cowok, Kak Elias masih sering ngechat untuk nanya kabar. Kenapa kelinci Kak Shannon ada di rumah gue? Karena awalnya mereka berdua melihara kelinci itu di rumah Kak Shannon, mereka bergantian beli makanan dan juga keperluan lain buat kelinci itu. Tapi setelah putus, kelinci itu akhirnya pindah tangan ke Kak Elias. Awalnya mereka mau dipisah masing-masing rawat satu, tapi karena kasihan, jadinya mereka disatuin lagi di rumah gue. Kak Shannon masih sering video call buat nengokin kelinci-kelincinya.

Setelah itu di tengah-tengah ada kandang burung milik Papi yang berjumlah 4 ekor. Gue jujur gak pernah paham apa aja jenis burung itu, yang jelas suaranya terkadang berisik sampai ke kamar. Dan tepat di sebelahnya, ada kolam kosong yang diberi air mancur kecil yang mengalir tanpa henti kecuali kami sekeluarga sedang ke luar kota jadi listrik halaman belakang dimatikan. Kata Papi, dia pernah denger suara jendela belakang diketuk-ketuk, jadinya daripada sepi, dibelilah burung berisik itu dan dibangunlah kolam air mancur kecil itu. Untuk mengusir sunyi, katanya.

Gue menoleh ke arah Kak Jio yang sedang berjalan ke arah gue santai. Lalu dia duduk di bangku sebelah gue dan memainkan ponselnya. “Kak, gue mau pesen makanan, lo mau gak?” Gue buka suara dengan tangan yang masih sibuk men-scroll aplikasi pesan makanan online.

“Pesen apa?”

“Sushi,” jawab gue. “Emangnya Bi Asih gak masak? Sampai lo harus beli gitu,” tanyanya.

Gue menggeleng. “Enggak, Bi Asih repot bikin masakan buat Mami arisan. Lo gak liat emangnya dapur gak ada orang? Bi Asih ikut Mami arisan, buat bantu-bantu disana.”

Kak Jio menggeleng. “Enggak ngeh.”

“Yaudah, mau gak?”

“Boleh deh, nanti bilang aja totalnya berapa biar gue yang bayar.” Gue otomatis langsung menggeleng. “Gak usah, Kak, gue lagi banyak OVO.”

“Kalo gitu kapan-kapan gue ganti.” Gue hanya mengangguk karena kalau gue tolak dia malah makin berisik.

Setelah selesai memesan, gue menaruh ponsel di meja kecil samping gue. Kak Jio sedang melipat tangannya di depan dada, kakinya diluruskan dengan punggung yang menyender santai. Gue jadi tertarik untuk buka percakapan.

“Lo percaya cinta pandangan pertama gak, Kak?”

Seperti dugaan, Kak Jio langsung mengerut ke arah gue. “Random banget??”

“Mau tau aja,” jawab gue.

Setelahnya Kak Jio nampak berpikir. Seperti menerawang, menyelam kembali ke masa lalu. “Gak percaya.”

“Kenapa?”

Kak Jio membenarkan posisi duduknya. “Kalau kita lihat seseorang pertama kali dan kita langsung suka, menurut gue itu cuma rasa tertarik. Lo gak bisa langsung mencintai orang yang baru lo temui. Karena cinta itu artiannya luas banget. Tapi gue percaya kalau cinta yang asli bisa dateng setelah rasa tertarik kita ke orang itu.” Gue manggut-manggut paham.

“Have you ever felt it?”

“Once,” katanya lalu menjeda. “How about you?” lanjutnya.

Well.. me too. Pernah sekali. Tapi waktu itu gue masih lugu jadinya percaya kalau cinta pandangan pertama itu real dan bisa berjalan lama. Tapi ternyata enggak.”

“Itu karena lo gantungin harapan lo ke orang lain. Padahal dia gak pernah ngasih lo harapan itu, gak pernah berniat buat bersama lo selama itu, tapi lo-nya terlalu naif.”

Gue agak sedikit tersinggung tapi juga gak bisa menyangkal perkataannya. Karena nyatanya benar, gue terlalu muda dan naif untuk cinta waktu itu. Terlalu berharap dia ingin bersama padahal nyatanya itu hanya angan-angan gue.

“Kata-kata gue barusan gak sepenuhnya buat lo. Gue sekalian ngomong sama diri gue sendiri yang terlalu bodoh karena menggantungkan kebahagiaan gue ke orang lain.”

Gue lagi-lagi mengangguk. Suasana tiba-tiba jadi sendu. Gue dengan bayang-bayang dia yang masih terpampang, dan mungkin Kak Jio dengan bayang-bayang masa lalunya.

Sore ini gue dikejutkan dengan fakta bahwa dibalik banyaknya ketidakcocokan antara gue dan Kak Jio, we share the same wound. Kami sama-sama terluka dengan angan, tapi tak tau cara menyembuhkan.


time skip ; 5 years later

Lunar berhenti sebentar untuk membenarkan tali sepatunya yang lepas akibat terburu-buru. Dirinya baru selesai menemui seorang customer di salah satu mall Jakarta. Kakinya kembali berlari ke arah mobil yang sudah terparkir di depannya. Dibukanya pintu, lalu duduk di kursi samping kemudi.

“Kan aku udah bilang jangan lari-lari...” ucap seseorang di kursi kemudi. Lunar menyengir seraya mengatur napasnya yang tak teratur.

“Aku gak sabar mau ketemu yang lain.” Lelaki tadi menyodorkan air minum untuk Lunar. Sembari Lunar minum, dia memasangkan seatbelt di badannya.

Interview kamu gimana? Lancar?”

Mobil mulai berjalan meninggalkan parkiran mall. Membelah jalanan Ibu Kota menuju tempat yang mereka tuju. “Lancar, alhamdulillah. Katanya minggu depan aku udah bisa masuk kerja. Uji coba dulu, sih, 3 bulan awal, kalau bagus nanti bisa nerima gaji full.”

Lunar mengangguk bangga. Tangannya terulur menyisir surai hitam legam milik laki-laki yang 5 tahun belakangan mengisi hari-harinya. “Tuh, kan, kamu tuh pinter, mana mungkin ditolak? Orang kinerja sama pengalaman kamu udah bagus, kok.”

“Iya, Sayang.. Aku kemaren cuma khawatir aja takut gak diterima. Gold Company, kan, bukan perusahaan kecil.”

“Lagian kamu ditawarin ke perusahaan Ayahku gak mau, sih.. Padahal kata Ayah ada kursi kosong.”

Raja menggeleng. “Bukan aku gak mau ya, Sayang, tapi aku gak enak aja. Ayah kamu udah bantu aku masalah bisnis dan lain-lain, udah sering jadi mentor gratis aku kalau lagi bingung mecahin masalah kantor. Aku gak mau ngerepotin lebih lagi. Dan lagian, kalau aku masuk ke kantor Ayah kamu, nanti kesannya aku dapet privilege karena aku tunangan kamu, aku mau mulai dari nol di perusahaan baru.”

Lunar mencibir sebentar tapi setelahnya tersenyum. Sedikit salting karena kata-kata terakhir. 'tunangan' katanya. Kata itu membuat dia menjadi memutar balik ke kenangan 5 bulan yang lalu. Raja dan Lunar sudah resmi bertunangan. Acaranya digelar private, hanya mengundang beberapa teman dekat dan keluarga inti saja.

Waktu berjalan cepat, terlalu cepat, malah. Dua sejoli yang dulu masih saling berkata konyol satu sama lain kita menjadi pasangan dewasa yang sudah memikirkan masa depan yang lebih serius.

Tak lama mereka sampai di salah satu restoran yang memiliki private room. Mereka langsung ditunjukkan ke arah ruangan berpintu yang di dalamnya sudah tertata rapih alat makan untuk mereka gunakan nanti. Ternyata, mereka yang pertama kali datang.

“Kok Karin belum dateng, deh? Padahal dia yang mesen tempat.” Raja mengangkat bahu sambil melirik ke sekitar. Ada beberapa hiasan cantik yang tergantung di dinding. Ruangan tersebut bisa dibilang mewah hanya dilihat dari interiornya saja.

Pintu terbuka, memunculkan laki-laki yang berlesung pipit saat tersenyum. Lunar dan Raja berdiri, lalu Lunar berlari memeluk Ares erat. Usai kuliah 4 tahun di Jakarta, Ares memutuskan untuk bekerja di Bandung. Karena kemauan dari Amanda yang ingin pindah ke Bandung, mau tidak mau Ares mengikuti dengan mencari pekerjaan disana. Jadwal yang padat tidak memungkinkan Ares untuk pulang setiap minggu ke Jakarta hanya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Itulah alasan Lunar memeluknya karena mereka terakhir bertemu sekitar 3 bulan lalu.

“Mas Ares!! KANGEN BANGET GUE SAMA LO!” pekik Lunar di ceruk leher Ares. Raja menepuk pundak Ares sambil menaikkan alisnya, pertanda dia juga senang bertemu dengan Ares lagi.

Lunar melepas pelukannya, memandang wajah Ares yang terlihat sedikit berubah sejak 3 bulan lalu. “Lo kok tirusan, sih?! Gak makan lo, ya?!!!”

“Dih! Makan gue! Cuma agak telat aja.” Lunar langsung menggeplak dada Ares. “Makan yang bener, Res!”

“Iya iya.. Kalian gimana kabarnya? Aman gak nih calon suami istri?” ledeknya membuat Raja menoyor kepalanya pelan.

“Aman, lah! Gile aja lu,” omel Raja.

Di sela tawa mereka, pintu kembali terbuka. Kali ini memunculkan perempuan yang kini sudah memanjangkan rambutnya sampai punggung. Karina, tentu saja. Karin langsung memekik saat melihat ketiga temannya di balik pintu.

“ARESSS!!!!” Dan sama seperti yang dilakukan Lunar, Karin memeluk erat Ares.

“Aaaaaa, gila gue udah lama banget gak ngeliat muka lo, Res, sumpah...” rengeknya sembari menghapus air mata yang sudah mengalir di pipinya.

“Ares doang nih, yang dipeluk? Gue enggak?” ledek Lunar. Karin langsung meringis dan memeluk tubuh tinggi Lunar.

Sama seperti Ares yang pindah ke Bandung, Karin juga pindah mengikuti orang tuanya ke daerah Tangerang. Frekuensi bertemu mereka jadi lebih sedikit karena waktu temu yang selalu tidak pas. Kalau dulu, mereka bisa langsung melipir ke caffe dekat kampus jika ingin bertemu, lain dengan sekarang.

Mereka memutuskan untuk duduk sembari menunggu 2 yang lainnya datang. Pintu lalu diketuk dengan kencang. Ares yang sedang bercerita sampai berhenti karena kaget. Kemudian pintu dibuka pelan, memunculkan tangan yang melambai dari sela pintu. Setelah tangan, disusul oleh kaki kanan, lalu perlahan muncullah tubuh utuh seorang Jonathan yang kini terbalut kemeja putih dan jas hitam.

Cara masuk Nathan yang aneh sukses mengundang ringisan yang lain. “Lo bisa masuk dengan normal dan sopan gak sih, Nat? Lo kata ini rumah nenek lo apa?” protes Ares dengan wajah gondoknya.

“Loh, kan biar kerasa surprisenya!” balas Nathan tak terima diprotes.

Raja langsung mendekap Nathan agar dia tidak banyak bicara lagi. Selain itu, tidak bisa dia pungkiri bahwa dia rindu dengan laki-laki yang selalu jadi support systemnya itu. Disusul oleh Karin dan Lunar yang memeluk Nathan bersamaan. Nathan tidak pindah kemana-mana, tetap di Jakarta bersama Lunar dan Raja. Rumahnya pun masih sama, hanya saja lebih besar dan nyaman. Kegiatannya sehari-hari hanya mengurus adik satu-satunya yang sedang dalam masa puber. Dia yang paling senggang di antara yang lain karena dia memutuskan untuk jadi content creator. Meskipun begitu, kesibukan yang lain membuat mereka tetap sulit bertemu.

5 orang sudah berkumpul, sisa satu. Yang paling jauh, paling ditunggu. Gata tidak sering pulang selama kuliah disana, dia menghabiskan waktu liburnya untuk belajar agar bisa cepat pulang. Tapi nyatanya setelah 4 tahun, dia tidak langsung pulang karena mendapat rekomendasi kerja di salah satu perusahaan disana. Pemilik perusahaannya merupakan partner bisnis perusahaan Prasetyo sejak bertahun-tahun lalu. Hingga akhirnya Gata memutuskan untuk pulang ke Indonesia untuk meneruskan bisnis keluarga Prasetyo dibandingkan di perusahaan orang. Terlalu jauh dan jenuh, katanya.

Semua pergerakan terhenti saat gagang pintu diputar pertanda ada orang yang akan masuk. Detak jantung seperti dipacu, menunggu kemunculan orang di balik pintu. Lalu tampak laki-laki berhidung mancung. Di dagunya ada masker hitam yang tidak menutupi mulutnya. Pakaian serba hitam dengan satu kalung yang melingkar di leher membuatnya makin terlihat tampan dan mengagumkan.

Karin berjalan cepat ke arah Gata dan menubrukkan tubuhnya. Gata tersenyum di ceruk leher Karin, wajahnya tampak amat bahagia sampai matanya terpejam. Gata mencium pipi Karin sebelum melepas pelukannya. “Kangen aku, ya?”

Karin yang sudah berkaca-kaca memukul dada Gata pelan. “Banget, lah!” Jawabannya membuat Gata tertawa kecil.

Pandangannya beralih menatap teman-temannya satu per satu. Takjub akan waktu yang membuat orang begitu beda setiap detiknya. Aura teman-temannya sudah bukan seperti anak bandel senang ribut seperti beberapa tahun lalu. Kedewasaan mereka terpancar 100%.

Lalu netranya menatap Lunar yang sudah basah pipinya. Tangannya direntangkan, siap menerima tubuh ringkih Lunar ke dalam pelukannya. Semua menatap ke arah pasangan kembar itu dengan haru. Lunar tidak bicara apa-apa, hanya menangis di pelukan Gata. Gata pun sama, mulutnya rapat, tapi tangannya sibuk mengelus kepala Lunar agar dia sedikit tenang.

Usai pelukan hangat itu, mereka duduk di tempatnya masing-masing. Memperhatikan perbedaan fisik yang begitu signifikan dalam jangka waktu beberapa tahun. Rambut Gata yang dulu pendek sekarang sudah menutupi wajahnya. Nathan mengecat rambutnya menjadi sedikit coklat, menghilangkan warna hitam asli rambutnya. Rahang Raja semakin tegas, bahunya pun semakin lapang. Lunar yang dulu lebih sering memakai baju casual kini mengekspos kulit putihnya dengan baju yang elegan. Karin yang lebih senang berambut pendek sebahu pun memutuskan untuk memanjangkan rambutnya. Ares yang dulu terlihat begitu lemah sekarang terlihat tegap dan gagah.

“Gue... bangga banget, sumpah.” Karin tiba-tiba bersuara.

“Sama, gue juga. Kayak ngeliat kumpulan orang sukses.” Nathan ikut menimpali.

“Gue seneng banget kita bisa kayak gini lagi, serius. Dulu kita hampir ketemu setiap hari, tapi sekarang buat ketemu full team aja harus ada yang dikorbanin. Beda banget gak sih?” Karin bertanya lagi. Semuanya mengangguk.

“Makin dewasa makin sibuk, bener. Semua sibuk sama hidupnya masing-masing karena tanggung jawabnya makin gede. Kadang gue aja suka nerawang kapan kita bisa kayak dulu lagi,” sambung Raja.

“Sumpah ya, karena terlalu kebiasaan sama kalian, rasanya kalau jauh dari kalian tuh sepi banget. Gue gak pernah ngerasa se-kesepian ini. Udah mana hidup di negeri orang, makin hah hoh hah hoh aja gue.” Yang lain tertawa mendengar perkataan Gata.

“Gak enak ya, Ta, gak ada warkop?”

“Ho'oh, gak ada pepes ikan pula, sedih dah.”

Lunar menghapus air mata yang menggenang di kelopak matanya, membuat Ares melirik. “Nangis mulu lo kayak ditinggal kawin,” ledeknya.

“ENAK AJA! AMIT-AMIT, RES, YA AMPUN..”

Helaan napas terdengar dari mulut Gata. Semua jadi menoleh. “Tuh, gak berasa, kan? Tiba-tiba udah ada yang tunangan aja.”

“Kalau diliat ke belakang kita udah ngelewatin banyak banget lika-liku, deh. Kita dulu tuh sering banget berantem karena masalah kecil.” Nathan buka suara. Semua mengangguk setuju.

“Tapi itu yang bikin kita jadi kuat, sih. Gak semua orang bisa bertahan kayak kita. Beberapa pasti udah pisah sama sahabatnya bahkan lost contact, kita beruntung loh masih bisa kumpul kayak gini,” ucap Karin.

“Karena dari awal konsep pertemanan kita kayak puzzle, bukan kayak air sama cairan pewarna.” Gata menimpali.

“Maksudnya, Ta?”

“Kalau air dan pewarna aja, mereka cuma nyatu tanpa ada hal yang spesial. Prosesnya terlalu cepat dan terlalu riskan. Kalau pewarnanya ada yang terlalu banyak pasti udah ngerusak seluruh komposisi warna dalam wadahnya. Tapi kalau konsep puzzle, kita bisa saling ngisi kekosongan yang lain dengan kelebihan yang kita punya. Masing-masing kepingan punya bagian spesialnya sendiri, gak bisa diilangin.”

“Tapi kalau satu kepingan puzzlenya hilang? Seluruh tatanannya kan bisa rusak, Ta?” tanya Lunar.

“Makanya si pemilik harus memperlakukan dengan hati-hati. Kalau hilang bisa dicari, kalau gak ada pun, seenggaknya kita masih ada kepingan lain yang utuh. Satu atau dua kolom yang hilang gak akan ngerusak seratus persen gambarnya, kan? Masih bisa dipandang walaupun kurang indah. Seenggaknya kekurangan itu bikin yang liat jadi sadar, kalau semua yang di dunia ini gak bisa ada yang sempurna.”

Dan seperti itu lah definisi persahabatan yang sesungguhnya—setidaknya bagi mereka. Bertahun-tahun diterpa badai dan angin kencang tidak membuat mereka jatuh dan tenggelam begitu saja. Mereka masih bisa saling berpegangan agar sama-sama bisa tetap melangkah. Mereka masih sama, masih orang yang sama, dan akan selalu sama. Yang beda adalah pribadi yang semakin kokoh, pikiran yang semakin matang, dan persahabatan yang semakin erat.

Dengan ini, mereka mengucap selamat tinggal pada kalian yang setia menyaksikan kisah mereka. Terima kasih untuk selalu ada. Mereka harap, kalian bisa mengambil sedikit pembelajaran dari kisah yang tak sempurna ini.

— at the end of 2021, we also end our story.

Starred : Gata Batara Prasetyo, Lunar Zebara Prasetyo, Karina Natania, Raja Manggala, Jonathan Alkawaris, dan Areska Mahadana.


Laki-laki bersurai hitam itu kembali menghela napasnya kesekian kali. Langkahnya berat, kakinya seolah enggan meninggalkan kamar yang sudah ditempatinya sejak umur 6 tahun. Kamar yang berada tepat di sebelah kamar kembarannya. Kamar yang jadi saksi bisu jatuh bangun seorang Gata Batara yang selalu gigih mengejar kemauan sang ayah.

Kini, dia harus pergi menempuh pendidikan tingkat tinggi di negeri orang. Semua rencana untuk tetap tinggal di sisi teman-temannya sirna begitu saja. Helaan napas terakhir lolos dari mulutnya, kini tangannya meraih gagang pintu tanpa ragu. Dia mendapati Lunar yang sudah menunggu di depan kamarnya.

“Udah siap?”

Dia mengangguk. “Udah. Ayah Bunda mana?”

“Ayah udah di mobil, Bunda masih di dapur.” Lunar mengaitkan tangannya pada lengan Gata. Mereka berjalan beriringan menuruni tangga.

Setelah berkali-kali mengecek barang agar tidak ada yang tertinggal, mereka berjalan ke arah mobil. Gata melihat ke arah wanita yang sudah mengurusnya bertahun-tahun itu, lalu memeluknya. Badannya sedikit membungkuk saat memeluk perempuan paruh baya yang biasa dipanggilnya “Mbok” itu.

“Mas Gata.. Baik-baik yo disana.. Kalo kangen sama Mbok nanti telfon lewat Mbak Lunar aja..” dielusnya kepala Gata dengan sayang. Rasanya tak percaya melihat Gata yang dulu masih berlarian keliling rumah sekarang sudah tumbuh menjadi laki-laki tampan yang meninggalkan rumah demi pendidikan.

“Iya, Mbok.. Gata pasti telfon. Bakal kangen banget pepes ikan, sambel terasi, sama sayur asemnya Mbok. Di Amerika gak ada pepes ikan, Mbok, adanya burger.” ucap Gata mengundang tawa keduanya.

Mata Gata berkaca-kaca, sedangkan mata Si Mbok sudah mengeluarkan air mata sejak tadi. “Jaga diri disana loh, Mas Gata.. Mbok tunggu Mas Gata pulang ke rumah..”

Gata lalu beralih ke arah supir dan satpam yang sudah mendedikasikan dirinya untuk keluarga Prasetyo selama bertahun-tahun. Terkadang dia suka ngopi sore dengan keduanya di pos satpam rumahnya. Dari membicarakan pengalaman masa lalu sampai membicarakan anjing tetangga yang senang menggonggong jam 2 pagi.

“Pak Aryo, Pak Sugeng, Gata pamit yaa?” Gata memeluk kedua pria itu bergantian. Ditepuknya pundak Gata oleh Pak Aryo, supir pribadi keluarga Prasetyo.

“Mas Gata keren loh, bisa kuliah ke luar negeri.” Pak Aryo mengacungkan jempolnya bangga. Gata tersenyum malu. “Bukan apa-apa, Pak, lagi beruntung aja ini mah.”

“Lah, Mas, kalo beruntung doang mah saya juga bisa atuh? Saya kan orang paling beruntung ini,” sambar Pak Sugeng disusul dengan logat khasnya.

“Nanti tolong jagain rumah ya, Pak Sugeng, jaman sekarang banyak maling. Terus nanti tolong anterin Lunar kalo Pak Aryo lagi senggang, ya? Pacarnya Lunar suka nyebelin gitu soalnya, Gata agak gak percaya, nih.” Gata bisik-bisik di kalimat akhir membuat mereka makin tertawa geli.

“Jangan gitu atuh, Mas, nanti Mbak Lunarnya ngamuk loh..” balas Pak Aryo.

“Pokoknya Mas Gata tenang aja, rumah aman, Mbak Lunar aman, semua aman kalo dipegang sama Suryo!” seru Pak Sugeng semangat.

Gata melongo sebentar. “Suryo siapa tuh, Pak?”

“Persatuan dari Sugeng Aryo, Mas, masa gak tau sih?”

Tawa Gata menyembur. “Ah, Pak Sugeng mah ada-ada aja!”

Menit berikutnya Gata sudah duduk di mobil. Melambaikan tangan sampai mobil berjalan keluar dari pagar kediaman Prasetyo. Walaupun rumahnya tidak selalu hangat, tapi ketiga orang yang bekerja di rumahnya itu membuat rumah jadi ramai dan ramah. Saking seringnya ditinggal oleh Ayah dan Bunda, Gata Lunar jadi lebih akrab dengan orang-orang itu. Mereka memberlakukan ketiganya seperti keluarga, sama seperti mereka diberlakukan seperti anak sendiri oleh ketiganya.

Mereka lalu sampai di Bandara, memutuskan untuk singgah ke salah satu caffe untuk membeli minum dan beberapa kue. Lunar diajak oleh Bunda untuk beli makanan lain. Tinggallah mereka berdua. Ayah dan anak yang dekat tapi terasa jauh.

Bagi Gata, Ayahnya seorang pria yang hebat. Pria yang akan selalu menjadi motivasinya untuk sukses karena kegigihannya. Terlepas semua tekanan yang diberikan kepadanya dan juga Lunar, dia yakin tetap ada hati seorang Ayah untuk kedua anaknya.

“Mau bicara apa? Bilang. Harus berani. Laki-laki harus berani berucap dan memegang ucapannya. Lebih baik dikatakan sekarang daripada menyesal kalau kamu udah di atas pesawat nanti.” Gata tiba-tiba keringat dingin saat Prasetyo mengatakan hal itu.

Sampai detik ini, selalu banyak yang ingin Gata utarakan, tapi dia tidak cukup berani. “Gata jadi apa, Yah, setelah kuliah nanti?”

Kening Prasetyo mengerut. “Kenapa nanya Ayah? Memangnya Ayah itu Tuhan? Ya Ayah gak tau, lah.”

“Enggak, maksud Gata, Ayah mau Gata jadi apa?”

Prasetyo membuang napasnya kasar. Sedikit kecewa anaknya menanyakan hal itu. “Ayah gak mau ikut campur sama pilihan masa depan kamu. Tugas Ayah sebagai orang tua cuma sampai kamu kuliah, setelahnya kamu berhak memilih kamu mau apa dan mau bagaimana.”

Prasetyo menghela napasnya berat. “Asal kamu tau, Gata.. Ayah gak pernah benar-benar kecewa dengan kegagalan diantara pencapaian kalian yang luar biasa. Semua kritikan dan tekanan yang Ayah kasih itu sedikit dari bentuk ujian yang akan kamu hadapi kalau kamu menginjak ke dunia yang asli kelak. Kalau kamu dan Lunar tumbuh menjadi orang yang anti kritik dan tidak tahan dikritik, bahaya. Maka dari itu Ayah selalu mencari celah dari kesempurnaan kalian.”

Gata termangu, sejak tumbuh remaja ini adalah nada terlembut yang pernah dia dengar dari ayahnya. Biasanya Prasetyo lebih sering bicara tegas dan menusuk. Dia kira kasih sayangnya memudar bahkan hilang, tapi ternyata tidak.

“Mungkin kamu bingung kenapa Ayah gak pernah angkat bicara dan turun tangan setiap kalian dihina oleh orang-orang di sekolah. Tapi semua Ayah lakukan agar kalian terbiasa menyelesaikan masalah sendiri. Ayah gak mau kekuasaan Ayah disalahgunakan untuk menghukum orang-orang rendah seperti mereka. Ayah mau lihat sampai mana kalian bisa bertahan menghadapi pahitnya dunia. Ayah mungkin kelihatan acuh, tapi Ayah mengurus semuanya tanpa sepengetahuan kalian. Dunia itu jahat, Gata, dan kamu harus tau itu. Ayah gak mau kamu dan Lunar cuma berlindung di balik cangkang disaat sudah waktunya kalian menetas.”

Mata Gata memanas, kini tangan Prasetyo sudah melingkar di bahunya dan menepuk-nepuknya pelan. “Mungkin Ayah kelihatan gak peduli, tapi Ayah selalu tau, Ta. Ayah selalu jaga anak-anak Ayah dari jauh. Ayah sengaja menciptakan jarak supaya kalian terbiasa gak ada Ayah. Hidup Ayah gak pasti panjang, Ta, Ayah gak mau kalian ketergantungan sama Ayah.”

Kini air mata Gata sudah tak bisa dibendung. Kepalanya menunduk dalam. Badannya bergetar meredam tangis. Semua kenangan yang dia kira buruk dan menyakitkan kini perlahan sirna. Semua sikap yang diberikan oleh Prasetyo padanya kini seakan mempunyai arti.

“Maafin tangan Ayah yang selalu buat luka di diri kamu ya, Ta? Kekurangan Ayah sedari dulu selalu gak bisa kontrol emosi. Ayah selalu nyesel kalau tangan Ayah nyakitin kamu. Ayah bahkan terlalu malu buat meluk kamu setelah kamu dapat medali. Ayah bukan Ayah yang baik, Ta, Ayah terlalu banyak kurangnya. Jangan jadi kayak Ayah kalau kamu berkeluarga nanti.”

Gata menoleh dan langsung memeluk Prasetyo. Pelukan hangat yang sayangnya baru dia dapatkan setelah bertahun-tahun. Tangisnya meledak di dada Prasetyo. Semua emosi yang ditahannya keluar, membuat rasa bersalah di dada Prasetyo semakin besar.

Saat tangisnya agak mereda, Gata merenggangkan pelukannya. “Gata dari dulu selalu sedih, Yah. Gata kebingungan, Lunar pun sama. Kami kayak dua anak ayam yang ditinggalin induknya di tengah jalan. Maju bisa dilindas, mundur pun percuma karena kami harus tetap maju menemui induk kami di seberang jalan. Kami bertahan hidup cuma mengandalkan satu sama lain, berpikir kami bisa nyebrang jalanan itu sendiri. Tapi ternyata sampai kapanpun Gata dan Lunar masih butuh Ayah untuk jadi pelindung saat menyeberang jalan, Yah, kami gak sejago itu untuk nyebrang sendiri.”

“Tapi semua udah kejadian kan, Yah? Yang penting Gata udah dapat jawaban dari tanda tanya besar yang selama ini menuhin kepala Gata. Akhirnya Gata bisa berangkat dengan tenang tanpa beban. Semua tekanan yang Ayah kasih tanpa sadar bisa bantu Gata untuk berdiri kokoh di tengah ramainya jalan raya. Emang nyakitin, Yah, tapi Gata berterimakasih. Karena Ayah udah percaya sama Gata dan Lunar untuk menyeberang jalan tanpa pelindung. Mungkin kami sedikit lecet, tapi lukanya bisa sembuh dan hilang.”

“Gata mohon satu hal ke Ayah, tolong bilang hal ini ke Lunar juga, ya? Dia yang paling terpukul dengan semua perlakuan Ayah selama ini. Karena semenjak masuk SMP, kami kira kami udah kehilangan figur Ayah yang penyayang itu. Tiba-tiba kami kayak hidup di dunia yang beda dari waktu kami kecil. Bisa ya, Yah?”

Prasetyo menatap anaknya haru. Sedikit menyesali perilakunya yang terlalu keras itu. Berat juga dia rasa setiap pura-pura marah dan kecewa saat anaknya gagal. Rasanya dia ingin memeluk kedua anaknya dan membelikan mereka makanan enak setiap hari. Tapi dia tidak bisa, dia tidak ingin anaknya menjadi manja karena harta. Walaupun sadar caranya salah, tapi Prasetyo percaya kalau anaknya akan mengerti dan mengambil pelajaran dari situ.

Semua benang kusut antara Ayah dan Anak itu perlahan berubah lurus. Sang ayah yang meminta maaf, dan sang anak yang berlapang dada memaafkan. Sang ayah yang bangga, dan sang anak yang lega.

Sebenarnya, akar dari sebuah benang kusut adalah si pemilik yang tidak menaruh benangnya dengan benar. Jika saja si pemilik menyimpan benangnya dengan rapih, mungkin benang itu akan tetap lurus. Tapi benang kusut tidak selamanya buruk, semua bisa dibenahi perlahan. Sama seperti sebuah kesalahpahaman, seluruhnya bisa diselesaikan dengan hati yang lapang.

Kalau seperti ini, Gata bisa melangkah tanpa ragu lagi. Kini beban di ranselnya lebih ringan, masih bisa dia bawa dengan satu tangan. Kini dia pun bisa meninggalkan Lunar yang sudah berhasil dibawanya ke seberang jalan. Dia tidak perlu khawatir kalau Lunar menyeberang jalan yang lainnya sendiri, karena sudah banyak pelindung yang akan melindunginya di tengah jalan.

Dengan itu, hari ini, adalah hari terakhir Gata di Jakarta. Gata Batara Prasetyo, izin pamit untuk meraih mimpi. Harapannya, Gata bisa kembali ke rumah dengan bahu yang lebih kokoh, kaki yang lebih kuat, serta dengan dada yang selalu lapang.