kantin fakultas dan adagio


Gue duduk di bangku panjang kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tempat Kak Jio dan Kak Elias biasanya nongkrong. Kak Elias itu anak bisnis dan Kak Jio anak manajemen. Mereka memang sering kelihatan berdua terus, terkadang bertiga sama Kak Arjuna yang sebenarnya anak teknik sipil tapi sering main ke FEB.

Gue mengetuk jari ke meja kayu, mengusir bosan. Melirik ke kanan dan kiri lalu mendapati orang-orang melihat gue sesekali. Mungkin bingung kenapa gue bengong sendirian padahal yang lain sedang berkerumun sambil menyantap makanan menunggu kelas selanjutnya. Alhasil gue memesan satu es teh manis untuk mengusir haus.

Tiba-tiba cowok yang modelan rambutnya kayak jamet duduk di samping gue. Benar-benar dekat sampai gue harus geser ke kiri. Dia berdua dengan temannya. Gue benar-benar mati kutu saat laki-laki itu mulai tersenyum dan membuka mulutnya. “Hai, cantik!”

Gue meringis, berusaha tidak berinteraksi. “Pasti bukan fakultas sini, ya? Ketauan ih, cantiknya beda.”

Shit, gue mulai shaking. Sebenarnya gue sudah menghadapi ini selama bertahun-tahun. Hidup sendiri di Bandung membuat gue lebih berani menanggapi hal-hal sialan macam ini, tapi tentu saja itu gak bikin gue jadi tahan banting.

“Kok diem aja sih, cantik? Kenalan, dong.. Nanti kita nongkrong deh di Kemang. Mau apa? Holywings? atau Mcd?”

Kali ini gue benar-benar berani mengerutkan kening dalam-dalam. Dia pikir harga diri gue hanya sebatas diajak ke Holywings? Atau McD????? Demi apapun manusia jaman sekarang otaknya karatan.

“Eh, jawab dong! Ditanya juga,” katanya mulai nyolot. Gue sebenarnya ingin meminta pertolongan pada Ibu penjual ayam penyet yang dikatakan Kak Jio, tapi gue lihat Ibunya sibuk membuat pesanan orang.

Gue hanya bisa diam. Sampai tangan gue digenggam oleh cowok sialan ini, tanpa aba-aba dan tanpa persetujuan gue sama sekali. Dengan cepat gue menarik tangan gue sembari berdiri menjauh. “Apa-apaan, sih?!”

Gue yakin sekali teriakan gue barusan berhasil mengundang atensi seluruh mahasiswa di kantin. Gue gak peduli, gue justru berharap itu. Agar orang-orang tau kalau cowok jamet ini baru saja berbuat lancang.

Cowok itu ikut berdiri, begitu juga dengan teman di sebelahnya. Rautnya protes, tak terima seluruh kantin menatapnya aneh. “Lo lebay banget sih, anjing?? Gue cuma mau kenalan ya, gak usah alay! Anak mana sih lo? Bukan anak FEB, kan?! Tolol!”

“Mundur atau lo yang gue tonjok.” Kak Jio datang sebagai penyelamat sore ini. Tangan kanannya mendorong keras dada cowok tadi sampai agak menjauh dari hadapan gue. Tubuhnya berdiri kokoh di depan gue, menempatkan diri sebagai sebuah tameng.

“Udah gangguin ketenangan orang, megang tangan tanpa izin, ngatain stranger, kurang berengsek apalagi lo gue tanya?”

Dua cowok itu menatap Kak Jio kesal. “Gue cuma ngajak kenalan! Salah?”

“Ya salah, lah, kalau yang lo ajak kenalan itu cewek gue.”

Sebentar, APA KATANYA?!

“Oh, dia cewek lo?” Cowok itu menatap gue dan mendecih. “Gak seberapa ya, selera lo? Udah sok cantik, lebay lagi.”

“Diem, anjing, banyak bacot lo.” Kak Jio menatap tajam dua cowok tadi. Intonasinya memang tidak meninggi, tapi dingin, tajam, ibarat langsung menusuk siapa yang menjadi lawan bicaranya.

“Udah lah, Mir, cabut aja lah kita. Ngapain ngeladenin pasangan tolol macem gini.” Cowok —yang gue gak akan bosan menyebutnya jamet— itu langsung menarik cowok yang dipanggilnya 'Mir' tadi sambil menatap kami sinis.

“Lah, elo yang tolol kok lo yang galak!” balas Kak Jio membuat gue harus menahan sikunya agar tidak membalas perkataan cowok tadi.

Tubuhnya lalu berbalik ke arah gue, mungkin menatap gue yang menunduk sambil mengigit bibir bawah. “Are you okay?

Gue mengangguk kecil. “Okay, kok, Kak. Udah biasa.” Lalu gue tersenyum kecil ke arahnya.

Kak Jio menghela napas kasar. “Emang berengsek anak bisnis angkatan bawah gue tuh. Mereka berdua terkenal di angkatan gue, Kai. Yang satu namanya Amir sama satu lagi yang banyak bacot namanya Reno. Kabarnya mereka sering main dari fakultas satu ke fakultas lain cuma buat nyobain cewek.”

Gue manggut-manggut, bingung harus bilang apa. “Maaf ya gue bikin lo jadi ngalamin kejadian tadi. Aturan gue suruh lo nunggu di fakultas lo aja.”

“Gapapa, Kak Ji, lagian kantin masih ramai, kalau gue diapa-apain gue bisa teriak.”

“Sebelum lo diapa-apain, gue bakal dateng dan nonjok orang-orang itu duluan. Jadi setiap lo dalam masalah, bilang gue aja. Kan gue bilang, udah tanggung jawab gue buat jagain lo.”