dia yang membutuhkan
Malam itu tidak begitu dingin. Hanya sejuk. Jalanan Ibu Kota juga sedang tidak sesak, masih lengang sampai Jio dan Kaia hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai di tempat makan seafood dekat terminal.
Keduanya berjalan beriringan, Kaia dengan lehernya yang mendongak karena tinggi badan Jio, tidak berhenti bicara mana saja tempat yang enak dari berbagai pilihan disana. Dia bilang, di tempat A itu tumis kangkungnya enak. Lalu di tempat B, pecel ayamnya juara. Tapi di tempat C, seluruh sambalnya tak terkalahkan. Hal itu membuat Jio tak henti menggelengkan kepala tapi tetap tersenyum mendengarkan.
“Jadi, mau pilih yang mana? Tumis kangkung, pecel ayam, atau sambel, Kak?” tanyanya setelah mengoceh. Jio jadi bingung sendiri. “Kok nanya gue?”
“Kan lo yang mau makan, Kak?” Kaia membalas dengan muka yang jauh lebih bingung.
“Lo aja yang pilih, kan lo lebih tau. Gue mah dimana aja gampang, tetep bakal gue makan.” Kaia memicingkan matanya ke arah Jio. Sedikit kagum karena sifatnya yang tidak pilih-pilih makanan. Lain hal dengan mantannya itu tuh.
Akhirnya Kaia memilih yang menjual pecel ayam paling juara. Dia pikir malam-malam seperti ini enaknya makan pecel ayam. Setelah memesan dua porsi ditambah tumis kangkung dan cumi asam manis, dia duduk manis menatap Jio yang juga menatapnya.
Keduanya bertukar pandang, lalu diputus oleh Kaia yang menoleh pada pengamen yang menghampiri mejanya. Keduanya sama-sama mencari uang di saku, lalu memberinya bergantian. Mata Jio hampir copot saat tak sengaja melihat uang merah yang dimasukkan Kaia ke bungkus bekas permen yang dijadikan wadah uang oleh si pengamen.
“Kai, lo ngasih 100 ribu ke pengamen?” tanya Jio akhirnya. Kaia mengangguk polos. Dia menyedot es teh manis di hadapannya dengan wajah tanpa dosa.
“Gue tau maksud lo baik, Kai, tapi jangan dibiasain ngasih uang segede itu ke pengamen.” Sedotan es teh Kaia jadi berhenti, dia lantas menatap Jio heran.
“Kenapa? Kan mereka membutuhkan?”
Jio mengangguk. “Paham, mereka emang membutuhkan. Tapi, kita gak boleh biarin mereka jadi pemalas. Kadang, ada beberapa orang yang sengaja jadi pengemis atau pengamen dengan segala trik dan kebohongan, padahal mereka masih mampu untuk cari kerja yang lebih bener. Kalau orang-orang selalu memanjakan mereka dengan uang bernominal besar, ya mereka makin seneng aja cari duit dengan cara itu.”
“Tapi ada juga, 'kan, Kak, yang bener-bener gak bisa cari kerja? Kita gak tau mereka malas atau enggak. Jadi karena kita gak tau, gue pikir lebih baik bantu sebanyak yang gue bisa.”
Jio menahan argumen saat pesanan mereka datang. Dia memperhatikan Kaia yang memindahkan timun ke tisu bersih. “Lo gak makan timun?”
Kai menggelengkan kepalanya. “Gak suka. Lo mau?” Jio mengiyakan dengan menyodorkan piringnya agar Kaia memindahkan timun tadi ke piringnya. “Doyan kol, gak?”
“Doyan banget! Lo gak suka, Kak?”
“Iya, gak suka.” Kini Jio yang memindahkan kol ke piring Kaia. Mereka sempat tertawa kecil melihat aksi barter itu.
Jio langsung teringat topik. “Nih ya, Kai, kalau lo emang mau bantu, diliat-liat juga siapa orangnya. Bukan maksudnya pamrih dan pilih-pilih. Tapi coba lo pikirin, ada pengemis tua dan ada pengamen anak muda dengan tato, lebih baik bantu yang mana?”
“Dua-duanya,” jawab Kaia. “Oke, dua-duanya. Tapi pernah mikir gak, sih, si anak muda ini bakal make uang itu buat apa selain buat makan dan kebutuhan lain?”
Kaia berpikir sambil mengunyah. Matanya menerawang ke atas. “Gak tau.”
“Biasanya, gue lihat mereka pakai uang itu buat beli rokok, bayar tindik dan nambah tato. Orang-orang kayak gitu maksud gue, Kai, yang gak selalu perlu dibantu. Masih banyak yang bisa lo bantu, yang lebih butuh uang lo.”
Kai mengangkat paha ayam itu sejajar dengan wajahnya dan Jio. “Lo kalau makan ayam pilih-pilih sesuai histori hidupnya gak, Kak?”
“Maksudnya?”
Diturunkannya ayam tadi, lalu kembali dia poteli dagingnya untuk dimakan. “Ya lo kalau makan ayam, cuma makan apa yang udah disediain, 'kan? Bukan liat dia makannya dedak atau nasi atau jagung, 'kan?”
“Iya. Terus kenapa?”
“Itu yang gue terapin, Kak. Gue gak peduli latar belakang dan alasan seseorang itu menjadi pengemis atau pengamen. Tugas gue cuma bantu mereka sebisa gue, semakin besar nominalnya, semakin gue puas untuk bantu. Gue gak peduli setelah dapat uang itu mereka mau pakai buat apa. Buat makan, buat beli susu anaknya, buat rokok, atau buat judi sekalipun, gue gak peduli. Tugas gue berhenti sampai ngasih uang itu ke tangan mereka. Jadi, lebih baik gue kasih ke semuanya, daripada repot mikirin mereka nanti pakai uang gue itu buat apa.”
Kaia menjelaskan dengan nada santai, tidak sombong, dan menenangkan. Senyuman kecilnya tidak lepas dari bibir. Jio menatap Kaia dengan saksama, memperhatikan tiap pergerakan. Sampai tanpa sadar, Jio mulai jatuh.
Entah sejak kapan dia mulai jatuh ke dalam lubang bernama Kaia itu. Entah saat dia menyelamatkannya di kantin fakultas tempo lalu. Atau saat hari dimana Kaia mengiris tangannya sampai luka. Atau bahkan saat dia melihat wajah damainya yang tertidur beberapa hari lalu.
Entah kenapa, awalnya dia merasa Kaia adalah baju baru yang terasa tidak akan pernah pas dan cocok dengannya. Tapi lama-lama dia berpikir kalau sesekali tak apa mencoba baju baru, dengan warna dan gaya yang berbeda. Baginya Kaia seperti pakaian baru yang terasa seperti pakaian lama. Terasa asing, tapi memberi kehangatan yang sama.
Kaia turun dari motor Jio. Diberikannya helm coklat yang sedari tadi melindungi kepalanya. Dia juga mencopot jaket bomber hitam milik Jio yang menutupi tubuhnya saat di motor, tetapi kedua tangannya ditahan. “Dibawa dulu aja. Dibalikinnya bisa kapan-kapan.”
“Jangan, Kak! Lo nanti kedinginan, tau!” tolaknya lalu tetap mencopot jaket itu. Dia menyampirkan jaketnya ke bahu Jio. “Dipakai, Kak, nanti masuk angin gue gak bisa ngerokin.”
Jio tertawa, membawa perasaan hangat dalam diri Kaia. Lega rasanya, melihat wajah Jio yang tertekuk seharian, sekarang sudah bisa tertawa lepas.
“Jadi, udah nih? Udah gak sedih, 'kan?” tanyanya.
Jio mendengus kecil saat menutup resleting jaketnya. “Udah enggak. Kan ditraktir sama anak orang kaya.”
Kaia menepuk pundak Jio pelan. “Lo mah sama aja, Kak, kayak Daffa sama Damian! Dibilang jangan keseringan bergaul sama mereka,” ucapnya jengkel.
“Ya kalau gak bergaul sama mereka gue gak bisa bergaul sama lo nanti.”
“Lah? Hubungannya apa?”
“Kata Daffa kalau gue mau minta lo sebagai sumbangan fakir miskin bisa hubungin dia.”
Kaia terdiam. Seluruh badannya mematung. Setiap detik jam terasa membeku. Kebekuan langsung pecah saat Jio berkata, “Lo mau gak, Kai, kalau disumbangin ke gue? Karena kayaknya.. gue butuh lo.”