senja yang sama, luka yang sama


Kak Elias waktu itu pernah bilang sama gue, senja itu paling indah dinikmati dengan orang-orang terkasih. Katanya, lebih kelihatan indah dan hangat. Padahal sama aja. Apa karena gue sekarang menikmati senja dengan orang yang salah, ya?

Saat ini gue sedang duduk di bangku santai yang Mami beli dua tahun lalu. Di atasnya ada payung untuk menghindari sinar matahari menusuk langsung ke kulit manusia yang duduk di bawahnya. Dan Kak Jio, suprisingly benar-benar terlihat seperti sedang ternak lele melihat tubuhnya yang berjongkok di pinggir kolam ikan koi milik Mami.

Halaman belakang rumah gue ini konsepnya kayak mini zoo, serius. Di pojok kanan ada kolam ikan koi milik Mami yang sebenarnya gak benar-benar diurus oleh Mami sendiri karena Mami cuma senang menonton ikan berenang aja. Selain itu Mami cuma mau lihat ikan-ikan itu tumbuh dari kecil sampai besar, supaya Mami punya rasa bangga bisa besarin sesuatu selain gue dan Kak Elias.

Di sebelah kolam ikan Mami, ada kandang kelinci yang diberi pagar setinggi betis yang isinya ada dua ekor kelinci anggora. Milik siapa? Milik Kak Elias dan mantan. Namanya Shannon. Iya, mantan Kak Elias paling cantik yang paling susah dilupain sama Kak Elias. Kabar dari Kak Arjuna, walaupun Kak Shannon udah punya cowok, Kak Elias masih sering ngechat untuk nanya kabar. Kenapa kelinci Kak Shannon ada di rumah gue? Karena awalnya mereka berdua melihara kelinci itu di rumah Kak Shannon, mereka bergantian beli makanan dan juga keperluan lain buat kelinci itu. Tapi setelah putus, kelinci itu akhirnya pindah tangan ke Kak Elias. Awalnya mereka mau dipisah masing-masing rawat satu, tapi karena kasihan, jadinya mereka disatuin lagi di rumah gue. Kak Shannon masih sering video call buat nengokin kelinci-kelincinya.

Setelah itu di tengah-tengah ada kandang burung milik Papi yang berjumlah 4 ekor. Gue jujur gak pernah paham apa aja jenis burung itu, yang jelas suaranya terkadang berisik sampai ke kamar. Dan tepat di sebelahnya, ada kolam kosong yang diberi air mancur kecil yang mengalir tanpa henti kecuali kami sekeluarga sedang ke luar kota jadi listrik halaman belakang dimatikan. Kata Papi, dia pernah denger suara jendela belakang diketuk-ketuk, jadinya daripada sepi, dibelilah burung berisik itu dan dibangunlah kolam air mancur kecil itu. Untuk mengusir sunyi, katanya.

Gue menoleh ke arah Kak Jio yang sedang berjalan ke arah gue santai. Lalu dia duduk di bangku sebelah gue dan memainkan ponselnya. “Kak, gue mau pesen makanan, lo mau gak?” Gue buka suara dengan tangan yang masih sibuk men-scroll aplikasi pesan makanan online.

“Pesen apa?”

“Sushi,” jawab gue. “Emangnya Bi Asih gak masak? Sampai lo harus beli gitu,” tanyanya.

Gue menggeleng. “Enggak, Bi Asih repot bikin masakan buat Mami arisan. Lo gak liat emangnya dapur gak ada orang? Bi Asih ikut Mami arisan, buat bantu-bantu disana.”

Kak Jio menggeleng. “Enggak ngeh.”

“Yaudah, mau gak?”

“Boleh deh, nanti bilang aja totalnya berapa biar gue yang bayar.” Gue otomatis langsung menggeleng. “Gak usah, Kak, gue lagi banyak OVO.”

“Kalo gitu kapan-kapan gue ganti.” Gue hanya mengangguk karena kalau gue tolak dia malah makin berisik.

Setelah selesai memesan, gue menaruh ponsel di meja kecil samping gue. Kak Jio sedang melipat tangannya di depan dada, kakinya diluruskan dengan punggung yang menyender santai. Gue jadi tertarik untuk buka percakapan.

“Lo percaya cinta pandangan pertama gak, Kak?”

Seperti dugaan, Kak Jio langsung mengerut ke arah gue. “Random banget??”

“Mau tau aja,” jawab gue.

Setelahnya Kak Jio nampak berpikir. Seperti menerawang, menyelam kembali ke masa lalu. “Gak percaya.”

“Kenapa?”

Kak Jio membenarkan posisi duduknya. “Kalau kita lihat seseorang pertama kali dan kita langsung suka, menurut gue itu cuma rasa tertarik. Lo gak bisa langsung mencintai orang yang baru lo temui. Karena cinta itu artiannya luas banget. Tapi gue percaya kalau cinta yang asli bisa dateng setelah rasa tertarik kita ke orang itu.” Gue manggut-manggut paham.

“Have you ever felt it?”

“Once,” katanya lalu menjeda. “How about you?” lanjutnya.

Well.. me too. Pernah sekali. Tapi waktu itu gue masih lugu jadinya percaya kalau cinta pandangan pertama itu real dan bisa berjalan lama. Tapi ternyata enggak.”

“Itu karena lo gantungin harapan lo ke orang lain. Padahal dia gak pernah ngasih lo harapan itu, gak pernah berniat buat bersama lo selama itu, tapi lo-nya terlalu naif.”

Gue agak sedikit tersinggung tapi juga gak bisa menyangkal perkataannya. Karena nyatanya benar, gue terlalu muda dan naif untuk cinta waktu itu. Terlalu berharap dia ingin bersama padahal nyatanya itu hanya angan-angan gue.

“Kata-kata gue barusan gak sepenuhnya buat lo. Gue sekalian ngomong sama diri gue sendiri yang terlalu bodoh karena menggantungkan kebahagiaan gue ke orang lain.”

Gue lagi-lagi mengangguk. Suasana tiba-tiba jadi sendu. Gue dengan bayang-bayang dia yang masih terpampang, dan mungkin Kak Jio dengan bayang-bayang masa lalunya.

Sore ini gue dikejutkan dengan fakta bahwa dibalik banyaknya ketidakcocokan antara gue dan Kak Jio, we share the same wound. Kami sama-sama terluka dengan angan, tapi tak tau cara menyembuhkan.