saksi hidup
Gue duduk di bangku panjang halaman belakang. Gue menatap dua kelinci yang sekarang sedang tidur berdempetan di kandang. Memang gak kelihatan jelas, sih, tapi gue bisa tau karena warna bulu putih mereka kelihatan bertumpuk di pojok. Melihat mereka gue jadi tersenyum miris. Benar kata Jio, yang hidup bareng cuma mereka, bukan gue dan Shannon.
Omong-omong tentang Jio, gue ingin cerita sedikit. Gue dan dia kenal sejak kelas 10 SMA. Waktu itu Jio baru pindah dari Bandung. Menetap disana selama 15 tahun membuat dia jadi agak norak. Serius. Dulunya dia bahkan gak ngerti cara stop-in bus sekolah. Dia sampai gedor-gedor kaca, padahal ada tombol yang disediakan. Gue yang kebetulan naik bus hari itu jadi geleng-geleng kepala.
Kebesokan harinya, gue lagi-lagi lihat dia. Waktu itu dia kelihatan jadi pemeran utama karena nolongin Alice yang nangis karena dibentak-bentak OSIS. Itu awal mula gue berurusan sama dia. Jadi gue dan Alice kebetulan satu kelompok MOS waktu itu, (iya, ada kelompoknya). Gue jadi ketua kelompok dan dia wakilnya. Dia dibentak karena ada anggota yang sakit bahkan sampai pingsan pas PBB di sebelah dia, tapi dia gak inisiatif bantu karena dia pikir kalau PBB harus tetap sikap sempurna dalam keadaan apapun. Memang, harusnya waktu itu gue yang nolongin Alice waktu dibentak. Tapi gue udah sibuk bolak-balik UKS karena ngurus anggota yang pingsan itu.
Alhasil, dengan sifat banyak bacot dan sok jago gue waktu itu, gue menghampiri Jio. Niatnya mau ngajak ribut karena dia sok tau dan ikut campur masalah kelompok gue, tapi ternyata dia anaknya gak mudah kesulut. Jadilah waktu itu gue justru ngajak dia duduk di warkop, pesan kopi panas dan juga mie kari ayam jam 12 siang.
Setelah kejadian itu, dia yang kebetulan belum ada teman akhirnya jadi ngikutin gue kemanapun gue pergi. Mungkin ada kali dua bulan dia begitu. Tapi setelah dia terbiasa dengan hidup di Jakarta yang jauh beda dengan Bandung yang dia tinggali, akhirnya dia berhenti ngikutin gue dan mulai mengurus urusannya sendiri. Termasuk urusan cintanya dan Alice yang bisa dibilang lancar kayak jalan tol. Semua tahap cinta-cintaan udah dijalani sama mereka berdua, tanpa halangan apapun.
Gue dan Ajun—yang baru kenal karena satu tim futsal waktu itu—secara gak langsung jadi saksi hidup perjalanan Jio dan Alice. Kalau kalian ke sekolah gue untuk cari Jio waktu itu, otomatis warga sekolah akan bilang, “Oh, yang pacarnya Alice itu, ya?” atau sebaliknya. Karena mereka memang serasi dan dielu-elukan seluruh sekolah. Alice yang cantik dan terkenal hits disandingkan sama Jio yang berhasil menjabat jadi ketos dan anak Olimpiade Sejarah. Gimana gak gempar dunia persilatan?
Tapi, ya.... sadly, akhirnya mereka putus, tepat setelah pesta kelulusan. Dan disitulah kebodohan Jio dimulai. Setelah gue hitung, dia tiga bulan berturut-turut hidup kayak mayat. Hidupnya bengong, ngampus, nugas, terus pulang ke rumah. Jio yang biasanya iseng, tiba-tiba jadi pendiem. Gue dan Ajun yang paling ngerasain dampaknya. Emosi dia jadi gak stabil dan sensitif. Hal-hal yang menyangkut Alice tiba-tiba jadi trigger buat dia seorang.
Sampai di bulan ke-empat, Jio mulai hidup lagi. Dia mulai ngobrol dan nongkrong sama kita berdua, tapi sifat pendiemnya ternyata gak hilang, sampai sekarang. Gue pikir dia udah bisa nerima kepergian Alice, tapi dugaan gue salah. Dia jadi sering duduk di tempat favorit mereka berdua di caffe yang seribu kali udah mereka kunjungi sewaktu SMA. Dia juga bikin playlist dengan lagu-lagu galau maksimal yang isinya tentang perasaan dia yang kehilangan Alice. Fenomena itu terus berlanjut selama masa kami kuliah. Dan kabarnya, dia mulai berhenti ngelakuin itu karena dia suka sama adik gue. Kebetulan, orangnya sekarang muncul dari balik pintu kaca dan duduk di tempat kosong dekat kaki gue.
“Kenapa, sih, Kak?” ucapnya. Kelihatan bete maksimal.
“Lo suka sama Jio, Dek?” Gue langsung to the point. Biasanya disaat gue udah nyebut Kai dengan 'Dek' di dalam percakapan, tandanya gue lagi serius. Dan Kai tau hal itu.
Dia kelihatan diam. Matanya berusaha menghindar dari tatapan gue. “Jujur aja sama gue, gapapa.” Gue mencoba memancing.
Melihat dia diam saja, gue jadi yakin kalau dia juga suka, tapi mungkin belum notis perasaannya sendiri. Akhirnya gue menghela napas, lalu memperbaiki postur duduk gue jadi tegak. “Jio itu orang bego yang kejebak di masa lalu, Kai. Gue gak jamin lo akan baik-baik aja kalo sama Jio.” Lagi-lagi gue to the point. Gue gak peduli gue kelihatan buruk karena membeberkan pendapat gue tentang Jio seperti itu. Yang gue lakukan sekarang adalah hal yang gue rasa perlu. Agar gak ada penyesalan.
“Jio emang baik, Kai, gue akui. Saking baiknya gue selalu mau dia bahagia terus. Tapi bukan sama lo yang gue maksud.”
Kali ini Kai kelihatan ingin merespon kalimat gue. Terbukti dia menatap gue tepat di mata. “Kenapa?”
“Karena gue gak pernah percaya sama orang-orang yang kejebak masa lalunya. Segala sesuatu yang dimulai disaat masalah sebelumnya itu belum selesai, gak akan ada yang berjalan baik, Kai.”
Gue menatap Kai yang termangu. “Gue takut Jio egois, Kai. Nanti lo yang disakitin sama dia.”
“Kak,” panggilnya. Jujur gue diam-diam jadi deg-degan. “Gak selamanya orang yang kejebak masa lalu itu buruk dan bego. Ada beberapa orang yang sebenernya bisa lupain semua itu, tapi milih buat terus kejebak karena masa lalu itu indah buat dia. Gue ngerti maksud Kak Ji, karena gue ngalamin hal itu juga.”
“Maksud lo?”
“Nanti deh gue ceritain. Tapi intinya, setelah dua hari gue pikir, kayaknya gue bakal coba sama dia.”
“COBA APA?!” Tanpa sadar gue berteriak sampai Kai menutup kedua telinganya karena suara gue.
“ISH! BERISIK!” Dia balik berteriak. “Gue minta dia dua hari buat mikir dul— DIA BELUM NEMBAK!” Tiba-tiba suara Kai meninggi karena dia lihat gue makin melotot.
“Ya intinya, gue dan Kak Ji bakal coba untuk lepas dari masa lalu kita masing-masing.”
“Jadi maksudnya lo berdua mau coba PDKT?!” Kai mengangguk yakin.
Gue menyisir rambut gue dengan frustasi. Ini nih, susahnya bicara sama kepala batu. “Terus, kalau andai dia cuma jadiin lo pelampiasan?”
Herannya dia juga kelihatan gak kalah frustasi saat natap gue dan membuang napasnya dengan kasar. “Kak, perasaan gue ke dia belum se-deep itu, kali. Malah bisa aja gue yang jadiin dia pelampiasan.”
Bener juga. Walaupun gue gak tau dengan siapa dia menaruh hati sampai terjebak di masa lalu persis kayak Jio, gue jadi merasa perkataannya masuk akal.
Dan pada akhirnya gue justru menghela napas pasrah. Gue tepuk kepala kecil Kai dengan sayang. “Yaudah, okay, gue gak larang. Keputusan ada di tangan lo, Kai. Percuma juga ternyata gue larang lo sama Jio karena lo berdua sama-sama keras kepala. Tapi pesan gue cuma satu. Kalau emang rasanya terlalu berat dan sakit, kalau perasaan yang tadinya indah berubah jadi nyiksa, lo tau, kan, kalau lo harus stop sampai disitu? Lo stop, terus lo bilang ke gue. Gue bakal selalu ada buat lo dan dengerin semua cerita lo.”
“Tenang aja, Kak. Gue gak sebodoh itu buat gak hati-hati kali ini. Cukup sekali aja gue ditinggalin dan merasa kalah dari cowok. Sumpah.”
Gue mendengus. Kaget juga melihat adik gue udah tumbuh jadi perempuan yang punya pendirian. “Gue akan bela lo terus, Kai. Tapi lo harus inget juga, Jio sahabat gue, sahabat paling deket gue selain Ajun. Jadi perlakukan dia dengan baik, dan dia bakal gue suruh hal yang sama.”
Di ujung halaman akhirnya gue kalah lagi. Kalah sama Shannon dan kalah sama adik sendiri. Gue jadi sadar kalau ada dua orang yang gak bisa dipatahkan argumennya. Yaitu orang yang lagi jatuh cinta, dan satu lagi orang yang udah gak lagi cinta.