halaman
Jio menggerakkan bola matanya ke atas dan ke bawah, seperti meng-scan penampilan Daffa yang hari ini terlihat 'silau' dengan setelah hijau neon yang tampaknya satu set. Penampilan Daffa berbanding terbalik dengannya dan Damian yang hanya mengenakan kaos putih polos dan celana training hitam. Kaia yang berdiri di sebelah Daffa juga menatapnya dengan tatapan paling menghina.
“Kenapa pada ngeliatin gue? Kaget ya liat ada orang seganteng gue?” tanyanya lalu berpose dengan penuh percaya diri. Tangan Kaia langsung melayang untuk menoyor kepalanya, persis seperti yang ingin dilakukan Jio tapi terlalu segan karena mereka tidak sedekat itu.
“Lo gak bisa membedakan mana tatapan kagum, mana tatapan menghina? Ketauan banget lo 3 tahun jadi anak teater bagian banyak bacotnya doang.” Damian menyemburkan tawanya, ikut puas saat Kaia menghina Daffa langsung di depan wajahnya. Wajahnya lalu berubah julid. “Ih lo gak tau aja, Kai, dia kan tadinya mau di-kick dari tim inti teater. Tapi akhirnya tetep di-keep karena Daffa orangnya pinter ngejilat guru biar dana ekskul turun.” Mendengar itu Daffa langsung mendorong Damian tidak terima.
“MANA ADA MONYEEETTT, LO JANGAN NGADA-NGADA YA!”
“NGADA-NGADA APAAN ORANG GUE DENGER SENDIRI DARI MANDA,” balas Damian tak kalah kencang. Manda yang Damian maksud adalah wakil ketua ekskul teater di sekolah mereka dahulu.
“YA TAPI TANPA GUE, GAK BAKAL TUH TEATER SUKSES DAPET SPONSOR BUAT KEGIATAN TAHUNAN!” Wajah Daffa makin maju, makin protes pada Damian.
“YAUDAH IYA, ANJIRRR, GAK USAH MAJU-MAJU GUE CUMA BERCANDA!”
Daffa melotot ke arahnya. “Belom pernah gue gedig ya, lo?” Damian menjulurkan lidahnya ke arah Daffa.
Jio membuang napas kasar. Sudah dia duga akan ada adegan seperti ini tiap bertemu dengan Kai dan teman-temannya. “Udah berantemnya?” tanyanya pelan, menatap ketiganya bergantian. Damian dan Daffa masih saling sikut menyalahkan karena lupa kalau terdapat Jio di antara mereka.
“Lo kalo mau nyambit pantat mereka bilang aja ya, Kak, gue bersedia mewakili.” Jio tersenyum kecil menanggapi perkataan Kaia.
Dia akhirnya memimpin untuk pemanasan sebelum mulai jogging. Untungnya, sesi jogging tidak memerlukan perdebatan tak berujung dari Damian dan Daffa. Di luar dugaan, keduanya fokus jogging dan mengatur napas dengan teratur. Jio menghela napas lega saat melihat mereka justru sharing botol minum usai jogging selesai.
Tatapannya lalu jatuh pada Kaia yang sedang merapihkan kuncirannya yang lepas. Akibat rambut yang susah rapih, dia menggerutu sendiri karena banyak anak rambut yang tak ikut terikat. Melihat itu Daffa berinisiatif untuk membantu, tapi dia langsung mengurungkan niatnya begitu Jio berdiri di belakang Kaia. “Kalo kesusahan tuh ngomong.” Nada dingin dan sikap tanpa aba-abanya sukses membuat Kaia makin keringat dingin.
Jio mengikat rambut panjang Kaia dengan rapih, tak meninggalkan satu anak rambut pun jatuh ke lehernya. Ikatan yang dia buat juga pas, tidak terlalu kencang atau terlalu kendur. “Thanks, Kak.” Jio balas mengangguk.
Daffa dan Damian saling tatap, mata keduanya melebar, terkejut melihat sikap Jio barusan. Mereka pikir Jio tidak akan sepeduli itu dengan Kaia, apalagi dalam hal kecil seperti ini. Keduanya berjalan di belakang Jio dan Kaia yang mengajak pulang karena matahari sudah mulai silau.
“Kan, gue bilang apa..” bisik Damian di telinga Daffa. Kini keduanya menatap kedua punggung yang dianggap mencurigakan itu. “Mereka gak mungkin gak ada apa-apa, anjir.. Ini mah otw PDKT gak, sih?” lanjut Damian, masih dengan berbisik.
“Tapi masa iya secepet itu, sih? Mereka kan baru kenal sebulanan.” Damian berdecak, melotot pada Daffa. “Namanya cinta mah datangnya tiba-tiba, kagak pake tenggat harus kenal minimal berapa bulan!”
“Yaelah, Dam, cinta-cinta tai kucing. Lupa lo minggu kemaren Kai masih misuhin si halal bihalal gara-gara tambah ganteng pas masuk ITB?”
Mulut Damian langsung terbuka lebar. Dia baru ingat kalau Kaia masih di tahap belum bisa move on dari mantannya. “Iya jugaa, baru inget gue.”
“Ya, kan? Mana mungkin dia secepet itu suka sama orang lain. Buat suka sama halal bihalal aja dia butuh waktu dua bulan. Kan yang ngejar tu cowok, kan?” Damian mengangguk setuju. Kecurigaannya memudar, tergantikan dengan alasan masuk akal Daffa.
Mereka memutuskan untuk mampir ke rumah Kaia. Mereka menumpang mandi di kamar Elias dan kamar tamu. Jio bilang dia tidak bawa baju dan Kaia menyuruhnya untuk memakai baju Elias. Usai mandi mereka ke halaman belakang rumah Kaia. Jio seperti biasa, berjongkok di depan kolam ikan koi, sedangkan Daffa sibuk menyalakan kompor gas portable yang dia bawa. Dia tidak ingin barang yang dia bawa sia-sia, jadi dia akan memasakkan mi instan untuk semuanya.
“Lo bisa kagak sih, masang ginian?” tanya Damian sangsi. Dia khawatir kaleng gasnya tiba-tiba meledak karena Daffa menggebuk-gebuknya dengan bar-bar.
“Enggak,” ucapnya santai. Mendengar itu Damian langsung menarik paksa kaleng gas di tangannya dengan panik. “KOK DIAMBIL?!” protes Daffa, berdiri dari posisi jongkoknya.
“LO MAU KOMPORNYA MELEDAK?! LO ASAL MASANG KALO MELEDAK GIMANA? INI RUMAH ORANG KAYA, ANJIRRR, BANYAK BARANG MAHAL DI DALEM!!!”
Keributan itu membuat Jio menengok ke belakang, didapatinya Damian yang berusaha menjauhkan kaleng gas dari Daffa. Kepalanya tiba-tiba pening melihat fakta dia harus melerai keduanya 'lagi'.
“Kenapa?” Keduanya diam menatap Jio yang datang dengan muka dingin. “Ini, Bang, si Daffa sok banget mau masang kaleng gas ini padahal gak tau caranya. Kalo meledak kan berabe.” adu Damian. Daffa mencibir di sebelahnya.
“Sini gue pasangin.” Jio meminta kaleng gas di tangan Damian. “Lo bisa, Bang? Yakin?” tanya Damian memastikan.
“Kalo gue gak bisa, terus emangnya lo bisa?”
Damian menggeleng. “Enggak, sih..” Jio memajukan tangannya yang meminta kaleng gas itu. Damian memberikannya pada Jio, lalu langsung dipasangkan dengan cepat dan tepat. Api langsung bisa menyala dengan baik.
“Anjaaayyy, keren juga lo, Bang!” puji Daffa heboh.
“Ini basic skill yang harus dikuasai laki-laki. Ya perempuan juga lebih baik ngerti, sih, tapi biasanya kan laki-laki yang jadi sandaran di hal-hal kayak gini, jadi harus bisa,” jelas Jio. Keduanya mengangguk mengerti. “Mana mi-nya? Biar gue yang masak.”
Mereka bertiga berjongkok mengelilingi kompor gas portable itu. Jio bagian mengaduk mi di dalam panci, Damian bagian memotong bungkus bumbu, dan Daffa bagian bacot.
“Bang, kok lo keren gini gak punya pacar?” tanya Daffa iseng.
“Kata siapa gue gak punya?” Daffa melotot. “OH LO PUNYA?!”
“Enggak, sih.” Air muka Daffa langsung kecut, merasa ditipu.
Damian kini bertanya. “Kenapa gak punya, Bang?”
“Gak minat.” Keduanya mengerutkan dahi. “Lo gak minat sama perempuan, Bang?” Jio lantas melotot mendengarnya. Jujur, dirinya lelah menghadapi tingkah mereka sejak tadi.
“Enggak. Bukan gitu maksud gue..”
“Terus kenapa tuh, Bang?” Damian bertanya sambil bengong menatap panci yang berbusa karena tugas membuka bumbunya sudah selesai.
“Karena gue pernah ada di halaman yang indah banget. Saking indahnya gue jadi mikir kalau halaman lain di baliknya itu biasa aja dan gak seindah halaman itu. Jadi yang gue lakuin cuma baca ulang halaman itu tanpa niat buat baca halaman di baliknya.”
Baik Damian maupun Daffa sama-sama terkesima dengan cara penyampaian Jio. “Bilang aja gak bisa move on, gitu loh, Bang,” sewot Daffa.
Jio tersenyum kecil. “Iya, gak bisa move on.”
Daffa menghela napas lelah, membuat Jio berpikir Daffa adalah adik Arjuna yang selalu lelah menghadapi manusia sepertinya. “Kenapa ya orang-orang di sekeliling gue itu orang-orang menyedihkan yang gak bisa move on? Apalagi kalo udah tau orang itu brengsek, YA MOVE ON LAH, ANJIR! Aneh dah manusia zaman sekarang.” Daffa menggerutu.
“Berarti lo gak pernah ngerasain jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sampai lo gak tau gimana caranya bangun. Karena kalau lo udah di tahap itu, lo bakal tetep nganggep halaman itu indah walaupun aslinya enggak.” Jio menyanggah sambil menuangkan mi yang sudah matang ke dalam mangkuk.
“Kalau gitu berarti mereka gak realistis. Terlalu tenggelam sama hal-hal yang menurut mereka indah, padahal nyatanya enggak. Berarti semua itu cuma ilusi yang mereka buat, dong? Karena kan kenyataannya, halaman yang mereka baca itu penuh robekan dan kotoran. Ngapain di baca ulang?” Damian turut memberi suara, membuat Jio terdiam.
Daffa mengangguk setuju. “Iya. Lagian emang mereka tau halaman yang 'biasa aja' menurut mereka itu ending kalimatnya kayak gimana? Mereka kan gak mau baca endingnya karena udah keburu mikir itu jelek. Padahal bisa aja, halaman yang keliatannya biasa aja itu punya ending yang lebih baik dari halaman sebelumnya. Yang mereka perluin cuma lepas dari ilusi kalau itu halaman 'paling indah'. Ya, kan?”
Mendengar penjelasan mereka berdua membuat Jio sedikit berpikir bahwa itu semua masuk akal. Dia jadi setuju kalau semua yang dia lihat hanya ilusi ciptaannya yang berpikir bahwa halaman tersebut indah. Padahal nyatanya, halaman itu tidak lain hanya sebuah kertas hancur yang setiap kalimatnya menyakitkan.