fromranxx


Ini gue harus bersyukur tadi pagi habis jomplang dari kursi gak sih? Soalnya andai kursinya masih baik-baik aja dan gue gak beli kursi baru ke IKEA, mungkin sekarang gue gak ketemu sama mantan cantik gue.

Siapa lagi kalau bukan Kaia Elaina.

Ih sumpah ya, sampai sekarang gue masih berpendapat kalau nama Kaia itu somehow cantik. Gak pasaran (at least untuk gue) dan kesannya anggun. Jadi kalau lo merapalkan nama itu di dalam hati secara terus-menerus, alih-alih bosan, lo malah kecanduan.

Kaki gue tentunya melangkah begitu saja ke arahnya yang sedang melihat-lihat sebuah cangkir berwarna pastel. Gue berhenti tepat di sebelahnya, membawa keterkejutan di wajahnya.

“Hai,” sapa gue begitu saja. Gue ikut mengambil satu cangkir dan melihat-lihat.

“Lo ngapain disini?” tanyanya. Gue terkekeh. “Ya ini, kan, tempat umum. Masa gak boleh?”

“Lo ngikutin gue ya?!” tuduhnya. Ya gue gak terima dong!!

“ENAK AJAA!! Gue mau beli kursi!”

“Tapi kenapa harus disini? IKEA, kan, banyak!”

“Lah? Kok lo malah ngatur, sih?!”

“Mbak, Mas, suaranya kecilin dikit, ganggu pengunjung lain.” Kami sama-sama bungkan saat seorang ibu-ibu menegur kami.

Dia mendelik kesal, lalu melengos meninggalkan gue. Ya walaupun jujur gue agak kesal karena dituduh ngikutin dia, tapi gak mau munafik juga kalau sekarang gue memang ingin mengikuti langkahnya.

“Rambut lo hari ini cantik.” Gue memberi komentar pada rambutnya yang dikepang kecil dan disanggul sedemikian rupa.

Thanks.” Dia hanya jawab begitu dan kembali pergi melihat barang lain. Kali ini dia mencium beberapa pewangi ruangan dan mengambil 10 biji.

“Banyak amat belinya. Lo lagi jastip, kah?”

“Bawel! Sana cari kursi aja!” Dia merengut kesal. Gue tetap gak peduli dan malah ikut mengambil scented candle untuk di kamar.

“Kok lo gak sama pacar lo, Kai?” tanya gue penasaran. Tangan gue masih sibuk mengambil pewangi ruangan yang sebenarnya belum gue ketahui wanginya.

Me time.

Me time atau me time?” ledek gue. Dia berbalik untuk melotot dan mendengus lalu kembali berjalan meninggalkan gue. Ini orang ada dendam banget kayaknya sama gue. Tapi... ya gapapa sih. Emang gue salah.

“Karena kita sama-sama sendiri, mau bareng aja gak? Temenin gue yuk, Kai? Please?”

“Gak mau, nanti lo geer lagi.”

“Dih? Geer apaan? Gue kan udah bilang gue mau temenan aja sama lo!” ucap gue agak sewot.

Lagian, Kai tuh beneran gak ngerti poin yang gue sampaikan apa ya? Gue udah paham posisi gue sekarang. Gue paham kalau Kaia dan Habilal udah gak bisa bersatu lagi. Jadi gue cuma berusaha deketin Kai untuk memperbaiki hubungan PERTEMANAN bukan buat deketin dia lagi. Jadi yang geer disini sebenarnya siapa sih?!

“Gue udah gak mau deketin lo lagi, Kai, sumpah! Lo gak percayaan banget, sih, jadi orang!” Gue menahan tangannya pelan. Dia tuh ngomong tanpa lihat muka gue dari tadi! Gue kan jadi bingung ngejarnya.

“Kenapa?” Dia tiba-tiba berbalik. Dia berhenti, gue pun ikut mematung. “Kenapa apanya?”

“Kenapa masih mau temenan sama gue?”

“Ya karena gue mau liat lo bahagia. Gue mau liat perkembang lo buat meraih kebahagiaan lain setelah sakit karena gue. Gue mau memperbaiki semua yang gue hancurin dengan cara jadi temen lo, Kai, gue beneran gak akan ngelewatin batas. Serius, gue gak sebrengsek itu buat ngerebut cewek orang.”

Kai kelihatan terdiam. Entah apa yang ada di benaknya. Mungkin mikir, “Alasan apalagi si bangsat ini?” gitu kali, ya.

Gak lama dia mengangguk. “Yaudah.” Terus jalan ninggalin gue lagi.

Gue melongo. Kai hari ini lagi super duper gak jelas, dah. Dia salah makan atau lagi PMS?

“Eh! Yaudah apaan?” tanya gue saat berhasil menyusul langkah kecilnya.

“Yaudah kita temenan. Gak mau?”

“Mau! MAU MAU!”

“Tapi trial dulu.” Gue melongo lagi. Ini lama-lama gue tidur aja apa, ya, di kasur IKEA. Agak capek menghadapi Kai yang anehnya puol.

Trial gimana sih? Lo kata gue aplikasi?”

“Ya gue harus liat dulu, lah, lo beneran atau enggak mau temenan sama gue. Lo pikir gampang kasih kepercayaan sama orang yang bikin gue nangis-nangis?” ucapnya menohok.

“Jangan dibahas mulu, dong, Kai... Gue tertohok dengernya.”

“Ya lo harus biasa lah! Katanya mau jadi temen? Kalau temen, tuh, harus udah biasa bahas luka dan masalah masa lalu tanpa tersinggung atau sakit hati lagi. Karena kalau kita udah temenan, artinya kita udah sama-sama damai sama masalah kita dulu.” Jelasnya panjang.

Gue akhirnya mengangguk. Gapapa, gapapa kalau gue harus dengar sindiran Kai tentang kesalahan gue 2 tahun lalu. Gue siap dan harus selalu siap. Karena kalau gak begini, mungkin gue akan kehilangan Kai lagi kali ini. Tapi bedanya sebagai teman.

“Yaudah, deal. Terserah lo mau trial berapa bulan. Tapi jangan perlakuin gue kayak orang asing lagi ya, Kai?”

Kai berhenti lalu menatap gue. “Gue gak mau bohong kalau lo selalu terasa familiar, Bil. Walaupun kita berubah status jadi apapun, kalau ketemu lo selalu ada rasa yang sama kayak bertahun-tahun lalu. Lo bayangin aja kita udah bareng-bareng berapa lama. Satu-satunya saat lo asing di mata gue itu waktu gue liat lo jalan sama cewek yang itu tuh.”

“Cewek yang mana?”

“Yang lo pacarin habis putus sama gue.”

Gue mengangguk mengerti. Jelas aja, macarin cewek itu bukan kehendak gue dari awal. Gue cuma pura-pura bahagia di depan Kai, sok baik-baik aja nyakitin dia. Padahal di dalemnya juga gue sama hancurnya. Terbukti hubungan gue dengan cewek itu gak bertahan lama. Sekolah gue tamat, hubungan gue juga. Dan yang bisa gue kenang sama tuh cewek sampai saat ini gak ada sama sekali. Semua panggilan sayang yang terlontar dari mulut gue cuma formalitas semata. Hati gue pun masih milik Kai sampai sekarang. Tapi untungnya, Tuhan masih kasih gue otak dan logika yang berjalan baik. Jadi walaupun gue masih mengagumi sosok Kaia ini, gue gak ada niat sama sekali untuk menghancurkan hubungannya dengan pacarnya yang entah siapa karena gue belum lihat. Karena menghancurkan hubungannya sama dengan menghancurkan hidupnya. Cukup gue hancurin satu kali, gak perlu ada kali kedua.


Iya, gue gak gila waktu nerima Habilal sebagai teman gue lagi. Karena sebenarnya gue juga gak bisa kehilangan dia sebagai temen. Gue mau belajar untuk berdamai. Gue mau belajar untuk menerima kalau gue dan Habilal memang udah selesai dan lebih baik seperti itu. Dan selain itu, gue ingin jadi orang yang lapang.

Suatu sore gue pernah duduk sama Daffa di caffe. Sambil nunggu Damian yang entah lama karena apa. Gue cerita kalau gue dan Habilal terkadang chat-an (dia duluan, of course). Daffa awalnya ngamuk. Beneran mau ngamuk dan hampir ngeblokir nomor Habilal di ponsel gue. Tapi tentunya gue tahan. Gue bilang, gue mau jadi orang yang dewasa dalam menerima rasa sakit. Gue gak mau lari dan benci sama rasa sakit itu terus, gue mau coba hadapi.

Dengan segala pertimbangan dari Daffa (yang sebenarnya gak terlalu berpengaruh terhadap keputusan gue), akhirnya dia menyetujui. Katanya, orang yang lapang adalah orang yang berteman dengan rasa sakitnya sendiri. Karena itu gue bilang kalau gue ingin jadi orang yang lapang. Gue ingin berdamai sama rasa sakit yang ditimbulkan Habilal dulu.

Dan ternyata, setelah kurang lebih 1 jam gue menghabiskan waktu bersamanya di IKEA untuk mencari kursi yang dia butuhkan, ternyata berbincang dengannya udah gak sesakit itu. Di mata gue sekarang Habilal kayak teman lama yang baru bertemu, bukan si mantan brengsek lagi. Bener ternyata, waktu itu menyembuhkan. Dan Habilal juga bener, perihal gue harus lihat dia dari sudut yang lain. Selama ini gue lihat dia sebagai si brengsek, tapi hari ini gue memutuskan untuk melihat dia sebagai si teman lama.

Aneh, memang. Gue akui ini aneh dan gue belum terlalu terbiasa. Ya jelas, gue menghabiskan 1 tahun tanpa lihat wajahnya. Tapi lama-kelamaan candaannya mulai lucu, gak lagi annoying. Senyumannya juga udah gak membawa debar, udah kayak senyum biasa dari Daffa dan Damian. Perbincangan tentang masa lalu juga cuma membawa kenangan, bukan lagi luka.

Walaupun mungkin gue masih butuh waktu untuk menghilangkan pikiran 'takut ditinggalkan', gue yakin waktu akan selalu punya jawabannya. Tapi perlahan gue pun harus bebenah diri, kan? Karena kalau gue gak mulai, seterusnya gue akan terus terjebak di lubang hitam yang entah dasarnya ada dimana. And i guess, this is the first step.


“Wanna take a walk?” Suara Jio menyeruak sedetik Kai membuka pintu kamarnya. Jio berdiri merentangkan tangannya, tanpa pikir panjang Kai langsung masuk ke dalam dekapannya. Suara bising teman-teman mereka di lantai bawah tidak mereka hiraukan. Pikiran mereka melayang di tempatnya masing-masing, membawa kebisuan di raga. Memang beberapa minggu ini mereka tidak bertemu secara intens seperti awal. Maklum, makin tua semester makin banyak tugas yang harus diselesaikan.

“Kamu mau jalan-jalan gak?” ulang Jio. Kai mengendurkan pelukannya. Jio sibuk menatap sambil merapikan rambut yang menutupi wajah Kai. “Mau. Jalan kaki tapi.”

“Iya, ayo.” Mereka turun dengan tangan saling berkaitan, membuat yang lain saling bersahutan meledek. Karena sebenarnya memang yang membawa atmosfer canggung adalah Kai dan Jio. Kalau Shannon, dia canggung karena pertama kali bertemu dengan teman-teman Kai saja.

“Gue sama Kai keluar dulu ya,” pamit Jio.

“Kemana?” tanya Elias.

“Udah malem, Bang, etdah ini kita mau sesi jurit malem.” Sahut Daffa melirik jam yang sudah menunjukkan hampir tengah malam.

“Mau beli martabak di indomaret depan komplek. Mau kan? Tadi katanya Kak Shan mau martabak?” ucap Kai memberi alasan. Mendengar itu Elias langsung mengeluarkan dompetnya dan memberi beberapa lembar uang ratusan. “Nih, beli yang banyak, pada laper pasti.”

Kini keduanya berjalan beriringan di tengah udara malam yang dingin. Tangan kanan Kai dimasukkan ke kantong hoodie Jio. “Kamu gak lagi ada masalah, kan?” tanya Kai.

Jio terdiam sebentar. “Nggak. Kalo kamu?”

“Sama.” Setelahnya mereka kembali menikmati sunyinya malam dan dinginnya udara Jakarta. Saat sampai di depan indomaret, Kai bilang biar dia saja yang beli minuman dan Jio yang memesan martabak.

Saat sedang memilih minuman, dia tidak sengaja menabrak seseorang sampai barang bawaan di keranjangnya jatuh. “Ya ampun! Maaf, Kak! Aku kurang hati-hati.” Kai diam-diam merutuki kebiasaannya yang tidak memperhatikan jalan.

“Gapapa, kok, akunya juga gak liat kamu tadi..” Kai melihat wajah perempuan itu. Cantik. Rambutnya panjang dan kaki jenjang. Membuat Kai bengong sesaat.

“Eh, ada yang rusak gak, Kak? Kalo ada yang rusak aku ganti aja.” tawar Kai. Perempuan tadi menggeleng.

“Gak usah, gapapa. Gak ada yang rusak juga, kok. Aku duluan ya..” Kai mengangguk dan membiarkan dia pergi menghampiri temannya di rak lain.

“Lis, milih apaan, sih? Lama amat. Udah jam segini anjir.” Sayup-sayup Kai mendengar percakapan perempuan tadi.

“Ini pasta bentuknya kan beda-beda, gue pilih dulu yang sama yang mana. Masa nanti pas dimasak beda-beda?”

“Yaelah, Alice.. Gak ada yang peduli juga, yang makan cuma kita berempat anjirrr.” Kai menelan ludah, tangannya tiba-tiba berhenti saat ingin mengambil botol minuman. Karena pikirannya yang kalut, dia jadi sensitif mendengar nama Alice. Padahal dia tau di dunia ini yang bernama Alice pasti banyak.

“Dulu, gue kalo masak sama Jio—”

“Gak usah makan pasta.” Potong perempuan tadi. Dia mendengar suara bungkus makanan ditaruh secara kasar ke dalam rak. Kai diam-diam mengerutkan dahinya Siapa tadi? Jio katanya?

“Dih, Kei?! Katanya mau masak pasta?!”

“Gue udah bilang, jangan bawa-bawa mantan lo lagi, Lis. Please, lah.” Entah hanya perasaannya atau bagaimana, dia merasa perempuan yang tadi ditabraknya sengaja menekan kata mantan. Omongannya juga terdengar sengaja dibuat lebih keras, seakan-akan ingin Kai mendengarnya juga.

Kai tau yang ada di indomaret itu hanya dia dan mereka berdua. Nadanya jelas seperti sindiran, tapi jujur Kai tidak mengerti maksudnya karena dia bahkan tidak mengenali wajahnya. Dia mencoba fokus untuk membayar minuman di kasir.

“Eh! Ada Hotwheels! Dulu Jio suka banget ginian. Gue beli satu kali ya?”

“Buat apaan, sih, Lis? Gue beneran gak ngerti cara pikir lo sumpah. Lepas gak tuh mainan!” Pikiran Kai makin kalut. Dia ingat betapa banyaknya pajangan Hotwheels di rumah Jio. Dia menolak kebetulan itu. Tidak mungkin kalau yang sekarang dia dengar adalah percakapan dari Alice yang dia pikirkan.

“Lis, udah lah. Si Adagio Valo itu, tuh, udah gak peduli sama lo, anjir. Udah lah, nyet!”

Deg. Kali ini dia yakin. Ternyata benar, yang dia temui adalah Alice yang 'itu' dan Jio yang mereka maksud adalah Adagio miliknya. Kini dia mengerti maksud dari sindiran penuh penekanan kata oleh perempuan tidak dikenalnya tadi.

Kakinya langsung melangkah keluar. Dilihatnya Jio juga sudah selesai dengan martabaknya. Tangannya langsung menarik Jio pergi dari tempat itu. Langkahnya terburu-buru, membuat Jio bingung karena kesannya mereka sedang lari dari sesuatu.

“Kai? Hey? Kenapa buru-buru? Ada yang ganggu? Kai? KAI STOP!” Keduanya berhenti, genggaman Kai terlepas. Jio memejam, menyesal karena kelepasan membentak Kai. Sedangkan Kai sendiri sudah meneteskan air matanya.

Dia benar-benar ketakutan. Takut kalau Jio tadi bertemu dengan Alice dan berujung mereka kembali berhubungan. Dia takut kalau cara dia 'dibuang' dulu terulang lagi. Sekarang dia mengerti, perasaan takut yang datang bukan hanya karena cemburu, tapi juga trauma patah hati. Jio menarik Kai ke dalam dekapannya, pelukannya erat, menunjukkan penyesalan.

“Maaf.. Maaf aku teriak ke kamu. Aku cuma bingung kamu kenapa tadi. Maaf..” Berulang kali terucap kata maaf dari mulutnya. Dia merasakan baju bagian pinggangnya diremas kencang oleh Kai yang tangisnya semakin deras tak bersuara.

“Kai.. Maaf..” Pelukannya mengendur, dia mengusap kedua pipi Kai yang basah oleh air mata. “Kamu kenapa, Sayang? Hm? Bilang sama aku.”

Kai menggeleng. Tidak mungkin dia berkata jujur kalau tadi dia bertemu Alice. Di benaknya Jio akan tiba-tiba berlari kembali ke tempat tadi. Dia tidak ingin itu jadi kenyataan. “Kak,” panggilnya dengan suara parau.

“Hm? Kenapa, Sayang?” balas Jio lembut.

“Kamu bakal ninggalin aku gak?” Jio keheranan.

“Ninggalin kenapa? Aku gak punya alasan kuat buat ninggalin kamu.”

“Aku takut kamu tiba-tiba pergi. Aku emang gak sempurna, Kak, aku juga gak bisa selalu ngertiin kamu, tapi aku minta satu hal. Tolong, nanti kalau rasa suka kamu udah berkurang, bilang, ya, sama aku? Biar aku lebih siap sama perpisahan. Biar aku bisa lepas kamu dengan lapang.” Hati Jio ikut merasakan sakit melihat Kai memohon dengan suara parau dan mata yang penuh air mata.

Dia mengangguk, lalu kembali memeluknya. Di dalam hati dia ikut memohon hal yang sama. Karena Kai tidak tau seberapa takutnya Jio yang berpikir akan diduakan. Jio pun tidak tau seberapa takutnya Kai perihal kepergian. Sejatinya mereka sama-sama takut, tapi tidak saling mengungkap. Sama-sama menahan, dan perlahan sama-sama tersiksa.


So, what happened?” Omongan Kai membawa kesadaran Elias yang tadinya mengawang.

“Apa?” tanyanya balik.

Kai membenarkan posisi duduknya. Dia bersender pada kepala ranjang, di tangannya ada boneka Elias yang dipeluknya nyaman. Elias menyusul di sampingnya usai bengong selama bermenit-menit dalam posisi tengkurap. “Lo ngajakin ngobrol karena mau bilang sesuatu, kan?”

Elias ragu, tapi akhirnya mengangguk, “Gue balikan sama Shan.” Kai tersenyum kecil, kepalanya ditaruh di pundak Elias, tangannya dikaitkan pada tangan kiri Elias.

“Gak heran kok. Gue juga udah mikir kalian bakal balikan.”

“Kok gitu?” Kai memainkan jari-jari Elias.

“Ya... karena kalian putus tapi kayak masih saling sayang. Dulu waktu awal putus, Kak Shan sering ngechat gue. Nanyain lo udah makan belum, tidurnya cukup atau enggak, gitu. Tapi karena gue masih di Bandung, gue minta tolong sama Kak Ajun. Dari situ gue jadi tau. Oh.. Ternyata kalian pisah cuma karena salah paham dan kurang komunikasi. Aslinya, mah, masih saling sayang, kan?”

Elias tersenyum. Dadanya terasa hangat. “Iya. Dari semenjak putus, gak pernah seharipun gue lewatin buat kangen sama dia. Rasanya dia masih jadi milik gue gitu.”

“Yah.. itu lah namanya cinta, Kak.” Omongan Kai yang terkesan 'sok' di telinga Elias membawa satu cubitan gemas di pipinya.

“Nih, liat. Siapa yang sok tau cinta padahal baru kemaren sore kenalan.” Kai tertawa mendengarnya. Dia memukul paha Elias pelan.

“Gue pernah disakitin, tau, gak baru kemaren sore kenal cinta.”

“EH IYA! Cerita, dong, gimana lo bisa putus waktu itu. Gue juga belum liat mukanya. Ganteng gak?” Kai menyalakan ponselnya dan membuka galeri. Jari-jarinya menyelam di antara ribuan foto.

“Dibilang ganteng sih, banget. Badannya itu proporsional. TINGGI BANGET, Kak! Asli! Terus dia gak kenal glow up soalnya dari lahir glow terus.” Elias menatap Kai dengan tatapan menghina. Pasalnya, dia agak kesal dengan nada 'TINGGI BANGET' yang terkesan mengejeknya. Tapi saat melihat foto laki-laki yang tubuhnya bisa dibilang 60 persen adalah kaki, Elias jadi percaya.

“Ini mantan lo?” Kai mengangguk. “Namanya Habilal Biantara.”

“Ceritanya gimana?” Setelah satu helaan napas sesak, Kai menjelaskan seluruh kronologi bagaimana mereka bisa bertemu lalu berpisah. Kai menjelaskan bagaimana dia menderita saat harus menahan tangis tiap berpapasan dengan Bilal di koridor sekolah. Kai juga menceritakan bagaimana dia susah menerima cinta baru karena cinta lamanya yang buruk. Tapi di akhir cerita Kai bilang bahwa, seburuk apapun pengalamannya, dia tetap pernah merasa dicintai dan bahagia. Jadi sebenarnya tidak seburuk itu

“Lo udah damai belum? Sama masa lalu,” tanya Elias. Kai berpikir sampai bibirnya mengerucut. “Hmm... Hampir?”

“Yaudah kalo gitu.”

“Kenapa emang?”

“Ya kalo lo udah hampir berdamai, mah, gue gak perlu nonjok dia pas ketemu. Kecuali lo masih suffering karena dia, mungkin kalo ketemu, dia bonyok abis sama gue.”

Kai tersenyum, pelukannya di tangan Elias semakin erat. Meskipun hubungan mereka tidak harmonis dan manis sepanjang waktu, dia tau Elias adalah orang yang paling pertama memukul siapapun yang mengganggunya. Dulu saja, waktu mereka sekolah di SD yang sama, Elias sering mengajak ribut siapapun yang membuat adiknya menangis. Karena itu Elias sering dapat poin minus.

“Kak, kalo Kak Ji gimana? Dia dulu sama mantannya kenapa bisa putus?” Mendengar itu Elias jadi heran. Mereka belum sampai di tahap itu?

“Jio belum cerita sama sekali?” Kai jadi tertunduk. Tidak tau sebenarnya siapa yang salah disini. Dia yang kurang bertanya, atau Jio yang kurang terbuka. “Belum.”

Elias ragu, tapi akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan semuanya. Meskipun ini bukan hubungannya, dia tidak mau ada kata terlambat untuk adiknya.

“Namanya Alice. Dulu kita satu kelas selama 3 tahun. Gue, Jio, Ajun, Alice, sama satu lagi namanya Yogi. Alice sama Jio, tuh, ibarat 2 orang yang 'saling' sejak awal. Dari masih temenan, mereka selalu saling ngertiin, saling ngisi, saling ada, dan saling-saling yang lainnya. Makanya gue dan yang lain gak pernah heran kalau mereka end up jadian dan harmonis sampai hampir 4 tahun.” Elias mengambil jeda.

“Dulu, gue selalu mikir mereka bakal sampai nikah. Karena Jio selalu pengertian sama Alice yang kadang keras kepala dan kekanak-kanakan. Alice pun selalu ngertiin sibuknya Jio sebagai anak olim dan OSIS. Cek-cok? Pasti. Mereka sering cek-cok karena jadwal Jio yang terlalu sempit buat ketemu bahkan di dalem sekolah. Jio sering dispen karena tambahan olim dan rapat OSIS. Alice kesepian, gue paham betul karena dulu dia pernah cerita sama gue.”

“Alice itu tipe cewek yang kayak gimana, Kak? Pasti cantik ya?”

Elias mengangguk. Dirinya tidak pernah munafik tentang betapa cantiknya Alice sedari dulu. “Dia cantik banget. Gengnya ber-4, cantik semua. Dari SMA mana pun kenal sama mereka dan followersnya tentu banyak. Mereka sering banget hang out setiap pulang sekolah. Tapi Jio gak bisa ngikutin cara hidup Alice yang pengennya nongkrong sana-sini, anaknya cuma fokus sama nilai. Akhirnya yang bisa gabung cuma gue sama Yogi, itu pun gue gak sering-sering karena lebih suka nongkrong di warkop. Singkat cerita, Alice jadi sering sama Yogi. Jio awalnya pikir malah bagus, dia ada orang buat nitipin ceweknya karena dia sibuk. Tapi ternyata, Alice sama Yogi diem-diem saling suka dan Alice hamil. I don't know when and how.

Kepala Kai langsung tegak. Entah kenapa dadanya ikut sesak mendengarnya. Dia membayangkan separah apa luka yang tertoreh di hati Jio.

“Yang awal tau, tuh, Jio. Alice ngomong ke dia langsung. Dia yang tau dari awal kalau yang dikandung Alice itu anaknya Yogi. Awalnya Yogi tiba-tiba hilang, kami lost contact, Yogi keluar dari kampus dan nomornya gak aktif. Beneran ngilang tanpa jejak. Gue nyariin dia berbulan-bulan mikir ada yang gak beres karena sebelumnya gak ada yang salah, sedangkan Jio dan Ajun milih buat diem dan gak peduli lagi. Gue dulu mikir, 'kok bisa mereka jahat banget gak peduli sama Yogi? Apa mereka gak peduli?' Gitu. Gue belain Yogi mati-matian di depan Jio tanpa tau kalau dia udah ngekhianatin sahabatnya sendiri.”

Kai bisa lihat mata Elias berkaca-kaca, sedangkan dirinya sudah menetaskan air mata. Seperti dia yang ikut menanggung rasa sakit yang Jio alami waktu itu. “2 minggu kemudian Alice ngilang juga. Gue udah tau kalo Alice selingkuh dan hamil, tapi gue gak tau sama siapa dan kenapa. Gue terlalu fokus sama hilangnya Yogi tanpa tau kalau Jio tersiksa. Akhirnya lama-lama gue sadar kalau gue lebih baik fokus sama apa yang di depan mata, yang hidup, yang jadi korban, dibandingkan nyari dia yang hilang tapi ternyata dalang. Gue beneran nyesel banget, Kai, karena baru tau kalo Yogi yang bikin Jio kacau kayak gitu.”

Kai membawa Elias ke dalam dekapannya. Kakaknya sudah meneteskan air mata penyesalan. Sejak dulu, Elias memang orang yang hatinya lembut. Dia akan menangis dalam setiap kesempatan yang membuat hatinya tersentuh. Dari matanya saja sudah terpancar betapa menyesalnya dia karena secara tidak langsung menyakiti Jio yang sudah patah berkeping-keping.

“Kak.. Hey? It's okay, it's not your fault. Lo waktu itu posisinya gak tau apa-apa, wajar. Mungkin kalau gue jadi lo, gue akan ngelakuin hal yang sama.” Kai berusaha menenangkan.

“Gue sayang banget sama temen-temen gue, Kai, gue gak nyangka banget kami bakal saling ngehancurin gini..” katanya di balik bahu Kai. Air matanya mengalir deras.

“Tapi sekarang semuanya udah baik-baik aja, 'kan, Kak? Tenang aja, Kak Jio udah punya gue sekarang.” Elias mengendurkan pelukannya. Ditatapnya adik yang paling dia sayang. Pipinya dielus oleh Kai untuk menghapus air mata yang tersisa. Di dalam hatinya, banyak sekali kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi pada adiknya karena kedatangan Alice ke Indonesia membuat pikirannya tak tenang.

“Kai..”

“Hm?” Elias menangkup kedua pipinya. “Kalau mencintai Jio rasanya udah terlalu sulit dan sakit, tolong berhenti ya? Berhenti, terus dateng ke gue. Gue selalu ada kapanpun lo butuhin. Walaupun gue sayang sama Jio, tapi kalau dia berani nyakitin lo, gue rela ninggalin dia buat lo. Jadi bilang sama gue kalau ada yang gak beres ya?”

Malam itu, Kai menyadari kalau Elias mengkhawatirkan kekecewaan yang mungkin akan dirasakannya. Dia pun mengerti Elias hanya sedang menjalankan perannya sebagai seorang kakak. Dan di hati Elias, diam-diam dia memanjatkan doa agar adiknya tidak perlu merasakan sakit hati akibat cinta yang hancur di masa lalu.


Kai duduk di bangku depan fakultasnya. Kakinya mengetuk tanah dengan gugup karena bisa dia dengar suara petir yang bersahut-sahutan. Awan di langit juga mulai menghitam, pertanda hujan akan turun tapi entah pada menit ke berapa. Tak lama, motor Jojo yang sudah familiar di matanya mendekat. Yang mengendarai mengenakan helm full face milik Jojo. Motor itu berhenti tepat di depannya, kemudian sang pengendara membuka helmnya.

“Lama gak?” Mata Kai hampir keluar saat melihat bahwa Bilal adalah si pengendara. “Lo..”

“Maaf banget tadi macet. Jakarta rame banget sore gini. Ayo naik.” Bilal mengambil helm cadangan yang menggantung di dekat kakinya berada dan memberikannya pada Kai. “Pake nih.”

Kai tak bergeming, hanya menatap Bilal dan helmnya. “Lo ngapain sih, Bil?”

“Ya jemput lo lah, ngapain lagi? Ayo buruan keburu ujan ini.”

Kai memutuskan untuk tidak naik ke atas motor dan berjalan untuk naik bis. “Gue gak mau berurusan sama lo lagi. Mending lo pulang aja sana sendiri.” Bilal kelabakan saat Kai berjalan menjauh. Dia melajukan motornya pelan di samping Kai.

“Yah, Kai, jangan gini dong. Nanti kalo lo gak sampe rumah gue yang dibunuh Jojo. Ayo naik aja, Kai, gue gak ngomong apa-apa deh di motor. Jangan pulang naik angkutan umum. Lo mau kejadian itu keulang lagi?”

Kai menghentikan langkahnya. Memorinya tiba-tiba memutar kenangan buruk saat dirinya hampir dilecehkan di dalam angkutan umum dan Bilal adalah satu-satunya saksi dan penolong saat itu. “Gue gak mau kejadian itu keulang, Kai. Jadi, please, pulang sama gue aja ya?”

Dengan menurunkan gengsinya, Kai menerima helm tadi dan naik ke atas motor. Sesuai omongannya tadi, Bilal benar-benar tidak mengajak bicara Kai. Ya.. setidaknya 10 menit pertama. Sisanya dia tidak tahan untuk tidak mengajak ngobrol mantannya yang masih sering ada di pikiran.

“Lo udah makan belum, Kai?”

“Katanya gak bakal ngajak ngomong.”

“Ya mohon maaf, ya, kencing bisa gue tahan tapi kalo kangen sama lo gak bisa.” Kai melotot saat mendengar perkataan Bilal. Memang dari dulu Habilal terkenal akan mulutnya yang ceplas-ceplos dan jenaka. Perkataannya selalu bisa menyanggah opini siapapun. Tak heran dia menjabat sebagai ketua klub debat waktu SMA dulu.

“Gak jelas,” sahutnya.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Memang sudah diaba-abai sejak tadi dan ternyata hujan memutuskan untuk turun pada menit ini. Bilal langsung melipir ke tempat teduh, sebuah toko bangunan yang sedang tutup. Mereka mengibaskan baju yang terkena tetesan air.

“Basah ya? Maaf gue kelamaan cari tempat neduh,” ucap Bilal merasa bersalah. Kai menggeleng. Bilal masih sama, suka minta maaf buat hal-hal yang bukan salahnya, pikir Kai.

Melihat tetesan air yang deras, tangan Kai menengadah, menampung air hujan. Bilal tersenyum melihatnya. Dari dulu dia suka dengan pribadi Kai yang selalu menghargai hal-hal kecil. “Masih suka mandi hujan gak? Dulu setiap hujan selalu nelfon gue minta temenin kuyup.” Bilal berusaha membuka percakapan.

“Udah enggak.”

“Kenapa? Padahal gue masih suka kayak gitu. Setiap hujan deres gue selalu ambil kunci motor terus ke taman kosong yang biasa kita datengin dulu.”

Bohong kalau Kai bilang saat ini di benaknya tidak terputar memori masa-masa mereka bersama. Tapi Kai memilih bungkam, enggan memperpanjang topik ini. Tapi bukan Habilal namanya kalau gampang menyerah. “Masih suka makan bubur gak diaduk?”

Kai memang enggan menjawab, tapi dia juga enggan protes. “Masih,” jawabnya.

“Kalau gue udah gak makan bubur diaduk. Waktu gue makan bubur Bu Darsi, gue inget lo. Akhirnya gue nyoba buat makan bubur tapi gak diaduk. Ternyata rasanya sama tuh? Malah lebih enak gak diaduk, gak berantakan. Visualnya juga tetep cantik.”

Kai tersenyum kecil mengingat betapa kekanakannya mereka dulu saat menghadapi perbedaan cara memakan bubur. Mereka saling menghina, tapi tetap memutuskan untuk makan bersama. “Dari dulu juga gue bilang enakan gak diaduk, kan?”

“Es krim favorit lo masih magnum?” Kai menggeleng. “Sekarang udah gak terlalu suka es krim. Lebih sering minum kopi.”

“Dulu padahal lo paling anti minum kopi ya. Inget banget lo nangis gara-gara dikasih dare minum kopi.”

“Tapi semenjak itu gue mutusin untuk nyoba hal-hal yang awalnya gue benci. Kopi ternyata gak sepahit itu. Lebih pahit rasa waktu lo mutusin gue.” Bilal tertohok dengan kalimat terakhir Kai. Tentu rasa bersalahnya selalu membekas. Lukanya juga terus basah. Tapi mendengar Kai yang selalu menyebut kebrengsekannya ternyata jauh lebih sakit dari perkiraan.

“Maaf.” Hanya kata itu yang akhirnya keluar dari mulut Bilal. Sedangkan Kai campur aduk. Ada perasaan puas yang diam-diam bertengger. Puas karena bisa membahas kesalahan masa lalu dengan si pelaku. Tapi ada pula rasa sakit dan rasa bersalah karena melihat Bilal tiba-tiba murung.

“Gue harap lo selalu jadiin kesalahan itu sebagai pelajaran, Bil. Entah apa yang ada di pikiran lo saat itu, tapi gue bisa pastiin gak ada yang mau ngerasain ada di posisi gue.”

“Kalau gue bilang ada alasan lain, lo bakal percaya gak, Kai?” Bilal menatap Kai penuh harap.

“Gue percaya pun gak akan bisa ngubah situasi kita, Bil. Apa yang lalu tetap di masa lalu. Gak perlu diulang, apalagi diperbaiki. Kalau lo minta gue untuk memaafkan, gue udah maafin lo. Tapi sebijak apapun gue, rasa sakitnya selalu tinggal.”

Bilal lagi-lagi tertunduk. Tidak tau harus menyalahkan siapa. Pada akhirnya dia menyalahkan semesta yang membuat takdirnya begitu rumit. “Kira-kira kapan rasa sakitnya bisa sembuh, Kai? Supaya kita bisa sama-sama lagi…”

”...sebagai teman.” Kai termangu. Jujur hatinya belum terbiasa dengan ini. Membayangkan dirinya berteman dengan orang yang menjadi patah hati pertamanya membuat dia menghela napas duluan.

“Nanti. Nanti akan ada saat gue bisa nyembuhin luka yang lo buat. Akan ada saatnya kita jadi teman. Tapi gak sekarang, Bil. Gue masih belum tau gimana caranya buat berdamai sama masa lalu.” Omongan Kai menjadi penutup percakapan mereka tentang masa lalu. Bilal berpikir, mungkin memang seharusnya dia meninggalkan masa lalunya. Mungkin memang seharusnya dia tidak berharap untuk bersatu dengan yang lalu.

Mereka saling diam selama hampir 1 jam setelahnya. Mereka menunggu hujan berhenti, tapi hujan masih sama derasnya. Bilal membuka jok motor, berpikir siapa tau ada jas hujan. Benar saja, terdapat satu pasang jas hujan di dalamnya. “Lah, anjir, ada jas hujan ternyata. Lo pake nih, Kai. Biar pulangnya gak kemaleman, udah mau maghrib gini.”

“Terus lo pake apa?” Bilal mengedikkan bahunya. “Gue mah gampang, gak pake juga gapapa. Biar sekalian basah aja.”

“Gak usah. Nunggu reda aja.” Tangan Kai ditarik pelan, Bilal menaruh jas hujan tadi di tangannya. “Pake. Gue gak mau mulangin lo kemaleman. Hujan kayak gini bakal lama berhentinya.”

Kai akhirnya menyetujui ide Bilal. Mereka pun meneruskan perjalanan setelah Kai selesai memakai jas hujannya. Dari dulu, Hujan, Kaia, dan Habilal adalah tiga hal yang tidak bisa dipisahkan. Tapi sekarang, semua sudah ada porsinya masing-masing. Mereka tetap berpisah, hidup tetap berjalan, dan hujan pun tetap turun.


Jio melambaikan tangan sekali lagi pada Kai. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Mereka memasak beberapa makanan, tidak sadar kalau porsinya terlalu banyak dan memutuskan untuk memanggil Daffa dan Damian untuk ikut makan. Sepanjang obrolan tadi, Jio merasa kesadarannya benar-benar ada di awan. Melayang tak tentu arah, tidak mengizinkan Tuannya untuk tetap fokus pada apa yang di depannya. Hal itu membuat Kai, Damian, dan Daffa jadi heran tapi tidak berniat untuk menanyakan apa-apa.

Jalanan hari ini macet, membuat emosi Jio sedikit terkuras karena raganya ingin cepat sampai di rumah. Butuh hampir 1 jam perjalanan menuju rumahnya. Lalu saat dia ingin memasukkan motor ke garasi, dahinya spontan mengerut saat melihat mobil familiar yang dulu dilihatnya saat SMA. “Ayah?” Dia bermonolog.

Sudah 2 tahun ayahnya tidak pulang dari negara tetangga. Terakhir beliau pulang saat upacara kelulusannya. Sebelum itu pun dia sudah sering ditinggal pergi kesana-kemari, sehingga kehangatan seorang Ayah sudah benar-benar hilang dari memorinya. Baginya, pulang atau tidaknya sang Ayah sama saja, tidak membawa perubahan. Ketiadaan sang Ayah di rumah membuat dia harus menghabiskan banyak waktu bersama Ibu dan adik tirinya. Dirinya yang dilanda jengah memutuskan untuk pergi ke Jakarta dan tinggal seorang diri.

Ketenangan yang dia dapatkan di Jakarta, tidak sebanding dengan saat di Bandung. Maka dari itu dirinya menolak berkali-kali untuk pulang ke rumahnya di sana. Untuk menengok makam Ibundanya juga perlu keberanian dan kesiapan. Walau sudah bertahun-tahun sejak kepergian, jiwanya masih saja gemetar saat melihat baru nisan bertuliskan nama sang Ibunda. Karena itu dia hanya mengirimkan doa dari Jakarta, sesekali mampir ke makam tapi tidak mampir ke rumahnya.

Kakinya melangkah ke depan pintu, berhenti sebentar saat melihat di rak sepatu ada tiga pasang lain yang asing. Ada satu pasang sepatu perempuan yang membawa amarah di dalam jiwanya. Pintu depan dibukanya kasar, membuat tawa ketiga anggota “keluarga”nya terhenti. Ketiganya sedang bercengkrama di dapur, kini menatapnya bersamaan.

Alvaro —Ayahnya— berjalan mendekat. “Udah pulang, Bang?” Yang ditanya enggan menjawab. Netranya menangkap koper besar dan tas-tas di sekitarnya. Ada juga beberapa dus yang dilakban rapi. “Apa-apaan, sih, ini?” Dirinya balik bertanya. Dinginnya menusuk.

Alvaro mendekat lagi, berusaha meraih bahu anaknya yang mulai melebar. “Abang—” Hatinya mencelos saat Jio mundur untuk menghindari sentuhannya. Tapi Alvaro berusaha sabar.

“Ayah udah bilang kalau Ayah minta tolong buat bolehin adiknya tinggal disini, kan? Makanya sekarang kami kesini.” Jio mendengus sinis, menatap ketiganya satu per satu.

“Minta tolong gak ada yang lancang, Yah. Jio bahkan udah jelas bilang kalau Jio gak nerima siapapun disini.” Ditatapnya laki-laki tinggi yang berdiri tertunduk di sebelah Ibu tirinya. Laki-laki yang dipanggil 'adik' oleh Ayah dan Ibu tirinya.

Riani berjalan mendekat. Jio masih menatapnya tajam. Baginya alasan terbesar dari kehancuran keluarganya adalah wanita yang ada di depannya ini. Kalau dia tidak ada di dunia ini, mungkin Ibundanya masih hidup dan mereka masih hidup bahagia tanpa kehadiran si Penghancur. “Abang.. Tolong, ya? Biarin adiknya tinggal disini.”

Jio tertawa sinis. Kebencian nampak jelas di wajahnya. “Siapa 'abang' yang Tante maksud? Disini saya anak tunggal. Saya gak punya adik ataupun Ibu lagi. Saya cuma kenal Bunda, Ibu saya satu-satunya yang sekarang udah ada di tanah karena keegoisan Tante dan Ayah!”

Tepat saat nada tinggi Jio memuncak, satu tamparan melayang ke pipinya. Cukup keras sampai meninggalkan bekas merah yang terlihat jelas. Jio menatap sang Ayah yang menjadi pelaku tamparan tadi. Air mata mulai menggenang di kedua matanya. Kepalanya mengangguk mengerti. “Sekarang Jio paham, Yah, siapa yang Ayah pilih di antara kami. Bertahun-tahun lalu Jio tanya sama Ayah, siapa yang Ayah pilih, Jio, atau dua orang asing ini. Dan hari ini Jio dapat jawabannya.”

Alvaro menatap tangannya. Penyesalan datang menyeruak. “Abang, Ayah gak maksud—”

“Gak maksud apa, Yah? Gak maksud nampar Jio atau gak maksud selingkuh?”

“Abang!” Alvaro tidak tahan. Entah sejak kapan Adagio kesayangannya berubah menjadi laki-laki yang tidak punya sopan santun. Tapi semarah apapun dia, justru dia yang paling mengerti alasan semua sikap Jio padanya. “Sekarang terserah kalian. Mau bakar rumah ini sekalian pun terserah. Tapi kalau kalian punya logika, harusnya kalian kasihan sama saya yang udah gak punya rumah dan tempat untuk pulang. Setelah seluruhnya kalian renggut dari saya, tempat terakhir saya disini pun masih mau diambil? Egois.”

Jio lalu pergi untuk naik ke kamarnya di atas. Alvaro mengikuti di belakangnya. Sebelum pintu ditutup, Alvaro lebih dulu memegangnya dan menyelinap masuk ke kamar Jio. Pintunya dikunci dari dalam, membuat Jio membelalak. Keduanya saling tatap, semua yang melihat pasti tau kalau keduanya tidak memiliki hubungan yang baik.

“Apaan sih, Yah?” tanya Jio. Air matanya tidak berhenti jatuh, buru-buru dia hapus dengan kasar, dipalingkan pula wajahnya ke samping. Enggan menatap Ayahnya. Alvaro memegang kedua pundak anaknya, hatinya amat sakit melihat anaknya menangis dengan cara paling pedih.

“Ayah minta maaf..” Air mata ikut jatuh dari kedua matanya. Suara parau membuat suasana semakin kelabu. Jio tidak menjawab, masih memalingkan wajahnya dari sang Ayah.

“Ayah minta maaf.. Gak seharusnya Ayah ngelakuin hal itu. Maaf..”

“Salah, Yah. Gak seharusnya Ayah selingkuh dan punya anak sama wanita itu sedari awal. Andai Ayah gak selingkuh, Bunda gak akan sakit dan meninggal.” Omongan Jio membuat tangan Alvaro yang ada di pundaknya lepas. Dirinya termangu, tidak bisa lagi marah apalagi menampar Jio karena omongannya benar.

Jio berjalan untuk duduk di pinggir kasur. “Jio capek, Yah, kalau harus dipaksa nerima orang yang Jio benci. Udah cukup semua yang Jio punya diambil sama kalian. Jio cuma mau tenang, Yah..”

“Mereka ngambil apa dari kamu, Bang? Apapun kebutuhanmu selalu Ayah turuti, kok? Ayah berusaha untuk berlaku adil. Ayah berusaha untuk menebus semua kesalahan Ayah sama kamu dan Bundamu.”

Senyum sinis terpatri pada bibirnya. “Ayah tuh tau apa sih, Yah? Ayah selalu kerja, kerja, dan kerja sejak dulu. Ayah jarang di rumah, gak tau neraka macam apa yang dihadapi Jio dan Bunda. Banyak hal-hal yang dirampas dari Jio, Yah. Baik itu kebahagiaan atau harta. Ayah bahkan gak tau kalau uang saku Jio selama ini gak pernah sampai ke tangan Jio, kan? Jelas, Ayah, kan, terlalu buta sampai percaya sama wanita itu.”

Kening Alvaro mengerut. “Maksud kamu apa?”

“Uang yang selama ini Jio terima cuma buat keperluan rumah, Yah. Uang saku Jio untuk keperluan sehari-hari gak pernah ditransfer. Semua karena Ayah terlalu percaya sama orang asing. Wanita itu gak pernah sayang sama Jio kayak anaknya sendiri, gak pernah. Semua yang Ayah lihat, aslinya gak pernah seindah itu.”

“Kenapa kamu gak bilang sama Ayah?”

“Untuk apa? Jio bilang pun Ayah gak akan ngegubris. Ayah pasti lebih percaya dia daripada Jio. Udah lah, Yah, kalau emang mau milih mereka, silahkan. Jio bisa hidup sendiri disini. Tapi tolong jangan ganggu Jio.”

Alvaro menyisir rambutnya kasar. Kepalanya tiba-tiba pening. Tidak tau sisi mana yang harus dia percaya. Karena di matanya, Riani adalah istri yang baik. Dia pikir Riani cukup untuk mengurus Jio, menggantikan Ibundanya yang berpulang.

“Yaudah gini aja. Mulai sekarang duit Abang nanti Ayah yang transfer. Ayah akan ganti semua uang yang gak sampai di tangan Abang. Tapi jangan bahas ini lagi di depan Mama ya, Bang? Anggap aja itu kesalahan.” Jio lagi-lagi hanya bisa tersenyum sinis. Berharap apa dia pada sang Ayah yang matanya buta karena cinta.

“Abang inget, kan, dulu Abang mau punya adik? Dulu Abang ngerengek ke Bunda minta dikasih adik. Boleh gak Ayah minta tolong sekali lagi, Bang? Tolong anggap dia sebagai adik kamu. Tolong terima dia di rumah ini, hanya sampai dia lulus kuliah. Setelah itu, apapun mau Abang akan Ayah turuti.”

Jio berdiri dari duduknya. Dihapusnya air mata yang masih setia jatuh. “Kalau gitu, Jio minta untuk gak ganggu hidup Jio lagi. Tolong jangan hubungi Jio untuk pulang ke rumah di Bandung lagi. Tolong jangan paksa Jio untuk nerima wanita itu buat jadi pengganti Bunda. Karena sampai kapanpun, rumah Jio disini dan Bunda Jio cuma satu, gak bisa digantikan sama siapapun.”


Malam itu, gue lagi menyemili kacang mede yang tersedia di meja ruang tamu rumah Jio sambil nunggu yang punya rumah mandi. Anak itu udah tinggal sendiri di rumah yang cukup besar ini selama bertahun-tahun. Sejak duduk di bangku SMA dia belajar untuk mengurus dirinya sendiri. Gue dan Elias yang jujur—agak manja ke Ibu masing-masing udah sepakat kalau Jio adalah yang paling mandiri di antara kami bertiga. Seenggaknya sampai masuk kuliah, deh. Ya bayangin aja, dia sejak kelas 10 tinggal di kota asing yang baru dia datangi sekali saat itu dan harus mengurus semuanya sendiri. Awalnya, jujur gue berpikir dia menyia-nyiakan seluruh harta bokapnya yang punya rumah besar di Bandung. Tapi setelah tau alasannya, gue jadi merasa keputusannya tinggal di Jakarta adalah benar. Walaupun dia harus tinggal sendiri.

Kalau gue bayangkan, tinggal di satu atap bersama ibu tiri dan adik tiri yang dianggap menghancurkan kebahagiaannya bagaikan hidup di neraka. Walaupun gue bukan sebagai pemeran dalam hidup Jio, tapi jujur kalau gue ada dalam posisi itu, gue mungkin akan kabur saat itu juga. Gue yang hanya sebagai penonton saja merasa gak adil, apalagi Jio?

Sekarang anaknya baru turun dari tangga dengan rambut basah. Di tangannya ada ponsel yang berdering tapi gak dia angkat. Gue berasumsi kalau itu telfon dari Kai. “Angkat dulu kali.” Gue berkata sambil memasukkan kacang ke dalam mulut.

“Gue takut salah ngomong,” katanya lalu menaruh ponselnya di meja depan gue. Benar, telfon dari Kai.

“Berantem kenapa sih?” tanya gue. Dia berdecak. “Bukan berantem.”

“Terus?” Helaan napasnya sedikit frustasi, menandakan dia lagi banyak pikiran. “Gue tadi minta ketemu sama dia. Katanya dia lagi kerja kelompok sama temen cowoknya, namanya Jojo, lo kalo merhatiin sg-nya pasti tau. Entah kenapa gue gak nyaman aja setiap Kai ngomongin Jojo, karena kegiatannya akhir-akhir ini sama dia terus. Ya gue gak mau ngelarang, toh tugas kuliah, tapi gue jadi sensitif sendiri.”

Gue menutup toples kacang lalu menyedot aqua gelas sebelum angkat bicara. “Cemburu itu namanya.” Dia melirik gue kesal.

“Apa? Bener, kan? Lo jadi sensitif karena Jojo itu cowok. Kalo cewek, mah, lo gak akan segininya.”

“Gak cemburu juga, Jun, cuma gak nyaman aja—”

“Rasa gak nyaman itu timbul karena lo cemburu, PANJUL! Gak usah denial! Lo cemburu.”

Dia diam kali ini. “Ji, namanya hubungan, mah, gak bisa selamanya cuma berdua. Lo harus lemesin otot kalo ngeliat Kai sama cowok lain—selama dia gak ngelewatin batas. Lagian Kai juga gak suka, kan, sama si Jojo itu? Ya santai aja. Lo boleh tegang kalo Kai keliatan suka terus lo-nya dibuang. Lah ini cuma nugas?”

“Gue masih bisa nahan, Jun, kalo mereka cuma nugas. Tapi masalahnya janji malem ini jadi batal karena Kai tiba-tiba pulang sama Jojo. Jelas-jelas janjinya sama gue, kan? Dia justru bikin sg lagi dibonceng Jojo.”

Kacau ini mah. “Ji, manusia tempatnya lupa. Lo aja tau gimana gue sering lupa, Kai juga sama. Bisa aja dia buru-buru mau pulang karena capek dan pikirannya penuh karena tugas. Jadinya dia lupa kalo dia ada janji sama lo. Kemungkinan-kemungkinan itu harus lo pertimbangin, jangan langsung diambil hati. Lo harus denger dulu penjelasannya.”

Diam lagi. Bocah satu ini kalau diajak debat emang suka tiba-tiba diam. Gue jadi bingung apa gue salah ngomong atau justru omongan gue itu terlampau benar sampai dia kicep begini. Telfon dari Kai masih berdering, sampai akhirnya gue jengah sendiri. Gue ambil ponselnya, baru ingin geser ke tombol hijau, tangan gue dipelintir sama Jio.

“SAKIITTTT DONGO! LEPAS GAK?!”

“LO YANG LEPAS!” balasnya ngotot. Mau gak mau gue lepas ponselnya karena tenaga Jio itu kayak banteng. Bisa-bisa tangan gue keseleo karena dia.

“Pengecut, ah. Mana Jio yang gue kenal?” sindir gue. Dia justru natap gue sewot.

“Gak jelas.”

“Gini, Ji. Gue paham trauma yang lo dapet dari hubungan sebelumnya itu kayak apa. Ya.. walaupun gue gak sepenuhnya paham tapi gue tau—”

“Gak ada hubungannya kali,” potongnya. Sumpah, Adagio kalo lagi mode bebal tuh rasanya mau gue celupin ke dalem oli.

“Lo itu takut ditinggal, bego, makanya lo kayak gini. Lo mikir Kai sama kayak Alice sejak awal. Gue kan udah bilang, jangan anggep Kai sebagai Alice di dalam konteks apapun. Mau itu pribadi mereka maupun perilaku mereka. Alice ya Alice, Kai ya Kai. Alice ninggalin lo, bukan berarti Kai bakal ninggalin lo juga. Lo harusnya yang paling paham perbedaan mereka berdua, Ji. Gak mungkin lo sebuta itu, kan?”

Gue berhenti untuk minum sebentar, sedangkan Jio masih menyimak. “Jangan jadiin luka lama lo itu jadi pemicu luka baru lo. Jangan bikin masalah lalu lo jadi masalah baru. Jangan bikin kehidupan orang lain jadi berantakan karena kehidupan hancur lo dulu. Kalo kalian berdua sama-sama punya rasa kecewa karena masa lalu, harusnya kalian lebih dewasa buat ngehindarin masalah-masalah sepele kayak gini. Talk to her. Listen to her. Trust her. That's all you need.

Tepat saat kalimat ceramah gue selesai, Elias datang dengan kantong plastik di tangan kanan dan kirinya. “Ji, adek gue nangis kenapa, bangsat?” tanyanya.

Gue kali ini cuma bisa menghela napas. Biarin 'calon' kakak-adik ipar ini membereskan masalahnya sendiri. Gue bagian nonton dan makan. Karena hidup itu cuma panggung sandiwara, Men.. Dan gue lebih suka jadi yang nonton sandiwara.


Malam ini entah kenapa jadi jauh lebih indah dari biasanya. Ini namanya lebay atau nggak, sih? Soalnya sejak Kak Ji melontarkan pertanyaan yang bikin gue agak shaking tadi, gue langsung lihat langit malam ini tiba-tiba berubah bagus dan indah. Udaranya sejuk cenderung dingin, membuat gue ingin cepat duduk di belakang motor Kak Ji dan mendengar celotehannya sepanjang jalan. Dan entah kenapa juga, gue jadi sibuk memilih baju yang cocok untuk malam yang 'kayaknya' akan jadi malam yang indah bagi gue.

Gue berdecak saat galau harus pilih baju yang mana. Akhirnya dengan segala pertimbangan, gue memilih baju rajut putih lengan panjang dengan bagian leher model turtleneck karena sepertinya malam ini akan agak dingin. Bagian kedua bahunya sedikit terbuka. Dipadu dengan wide leg jeans terang dan sepatu boots hitam. Setelah selesai gue melangkahkan kaki untuk ke bawah.

Tanpa gue sangka, ternyata Kak Ji udah duduk di sofa ruang tamu sama Mami. Gue melotot ke arahnya, seakan bilang, “KENAPA GAK NGOMONG KALO UDAH SAMPE?” lewat tatapan mata. Sedangkan dia cuma tersenyum manis ke arah gue.

“Kai ngapain berdiri disitu? Sini! Lama banget dandannya, kasian tau Jio-nya!” omelan Mami membuat gue gelagapan dan buru-buru menuruni tangga. Kak Ji tertawa kecil. “Gapapa, Tante, lagian gak buru-buru kok.”

“Yaudah, Mi, Kai berangkat sekarang deh.” Gue pamit sekalian menyalimi tangan Mami yang diikuti oleh Kak Jio.

“Tante, Kai-nya Jio pinjem dulu ya. Nanti dipulanginnya gak malem-malem, kok.” Gue bisa lihat Mami menatap Kak Ji dengan lembut dan senyum hangat. Kepala Kak Ji dielus dengan sayang, “Iya, Jio.. Bawa aja. Hati-hati di jalan, ya.”

“Iya, Tante.”

Setelahnya Mami izin masuk kamar untuk lanjut nonton drakor sedangkan kami berdua berjalan keluar untuk segera berangkat. Kak Ji memberikan helm yang biasa gue pakai lalu menatap gue seraya memakai helmnya sendiri. Asal kalian tau, senyumnya gak luntur dari bibirnya sejak tadi.

“Kamu kenapa gak ngomong kalo udah sampe, sih? Kalo gitu aku buru-buru tadi.”

“Kenapa harus buru-buru? Aku santai aja, kok. Kamu mau dandan seberapa lama pun aku gak akan protes, kan itu hak kamu.” Tangannya terulur merapikan rambut gue yang jatuh menutupi wajah. Perlakuan kecil seperti ini yang membuat gue selalu tersentuh.

“Yaudah, berangkat yuk? Takut kemaleman.”

Gue naik ke atas motor Kak Ji yang mulai membelah jalanan Jakarta yang malam itu lumayan dingin. Entah karena sedang musim hujan atau justru akan turun hujan, tapi yang jelas dinginnya malam ini membuat tangan Kak Ji menuntun kedua tangan gue untuk melingkar di perutnya. “Dingin, ya? Tangannya masuk aja ke kantong hoodie aku.”

Diam-diam gue tersenyum di balik bahunya. Merasakan kehangatan di malam dingin Jakarta tanpa gue kira ternyata indah juga. Kami berhenti di taman perumahan yang—entah dimana karena gue gak hafal jalanan Jakarta. Kak Ji menaruh helm gue di atas spion kiri dan miliknya di spion kanan. Tangannya terulur menagih balasan tangan gue, yang tentu gue sambut dengan senang hati. Dia menuntun gue duduk di salah satu bangku taman.

“Doyan sekoteng, gak?” tanyanya sambil jongkok di depan lutut gue. Kalau dilihat seperti ini matanya kelihatan bersinar, kayak ada galaksi di dalamnya. “Doyan, kok. Ada yang jual emang?”

“Ada, tuh,” Dia menunjuk ke arah belakang gue yang ternyata ada beberapa gerobak penjual makanan dan minuman kaki lima. Gue gak notis itu karena tertutup ayunan dan perosotan anak-anak. “Kalau gak, ada susu jahe merah juga.”

“Susu jahe aja deh, Kak. Biar langsung minum.” Kak Ji mengangguk lalu berdiri. “Tunggu sebentar, ya, gue beli dulu. Mau makan sekarang atau nanti?”

“Nanti aja, belum laper. Kamu laper gak?”

“Belum juga, tadi abis minum susu protein pas gym. Oke, sebentar, ya.” Gue mengangguk. Mata gue mengikuti setiap langkah yang diambilnya. Lagi-lagi gue dibuat tersenyum hanya karena melihat dia tertawa saat mengobrol dengan tukang susu jahe.

Gak lama Kak Ji balik dengan dua gelas susu jahe di tangannya. Dia melangkah dengan hati-hati, lalu menaruh gelasnya di tempat kosong sebelah kiri gue. Dia duduk tanpa menyisakan celah di antara kami berdua. Tangannya menyelinap ke sela-sela jari gue, mengisi kekosongan di antaranya. Bahunya yang berjarak dekat menggoda gue untuk menaruh kepala di atasnya, maka gue lakukan.

“Jawab dong,” cicitnya tiba-tiba. “yang tadi di-chat.”

“Yang mana?” goda gue. Padahal gue tau yang mana, tapi malu.

“Mau pacaran gak?” Suara lembut dan tenangnya sukses membuat gue ingin berubah jadi susu jahe detik itu juga. Jantung gue berdetak kencang sampai gue takut Kak Ji dengar dan berpikir gue cewek norak yang gak pernah pacaran. Gue menarik kepala gue dari bahunya, tapi gak memiliki cukup keberanian untuk menoleh ke arahnya.

“Kalau belum siap, aku akan tunggu sampe kamu siap. Tapi kalau udah siap, ayo pacaran.” Dia masih bicara dengan nada tenang.

Kayaknya yang lebay deg-degan cuma gue disini. “Aku juga gugup, jadi jawab dong, jantung aku kenceng banget detaknya.” Saat itu juga gue menoleh ke arahnya yang menatap gue melas.

Tawa kecil keluar dari mulut gue. Ternyata bukan gue doang yang gugup. “Tapi, Kak,” Omongan gue terhenti, membuat gue yakin dia semakin gugup.

“Kita berdua sama-sama tau masa lalu masing-masing, kan? Tau gimana sakitnya ditinggal sama yang kita sayang. Kalau hal itu terjadi lagi sama kita? Gimana?”

Senyum tipis menghiasi bibirnya. Kini kedua tangannya menggenggam tangan gue, menatap gue dengan air muka serius. “Aku gak bisa janjiin kamu bakal bahagia seratus persen kalau sama aku. Karena aku pun manusia yang bisa kapanpun buat salah. Tapi aku juga manusia yang bisa berusaha, jadi sebisa mungkin aku akan buat kamu bahagia dengan caraku. Dan yang perlu kamu ketahui cuma satu, Kai, aku bukan tipe orang yang ninggalin duluan.” Perkataan hangatnya membuat gue mengangguk.

“Aku percaya. Aku percaya karena kamu yang bilang itu. Tapi, Kak,” gue mengambil jeda. “Kalau andai aku yang nyakitin kamu?”

It's okay. Jatuh cinta, kan, gak selamanya indah. Jatuh cinta juga perlu ambil resiko sama siapapun kita jatuh. Kalau aku sakit hati, gapapa, karena yang milih kamu, kan, aku. Lagipula, jangan mikirin hal yang gak pasti akan kamu lakuin.”

Gue menyadari betapa besarnya hati seorang Adagio malam ini. Tuhan bisa menciptakan seorang Adagio dengan segala kelebihannya ini buat gue berpikir, ini kebaikan diambil dia semua apa yang lain bakal kebagian, ya? Pembawaannya selalu tenang, pribadinya lembut, orangnya teliti dan sabar, semua yang ada di diri dia selalu heart warming. Adagio tuh kayak candu, semakin kalian kenal, semakin kalian jatuh.

I need you to trust me, no matter what will happen. Aku minta kamu untuk percaya sama aku. Boleh, ya? Karena aku akan ngelakuin hal yang sama, percaya sama kamu.”


Gue melihat ke arah langit yang hari ini cerah. Terlalu cerah sampai gue gak bisa lihat apa-apa di langit. Yang jelas langit kelihatan biru bersih. Tapi biasanya langit seperti ini membuat matahari jadi jauh lebih menyengat ke kulit. Dan benar saja, gue bisa lihat Dami dengan topi dan kacamata hitamnya, sedangkan Kak Ji dengan topi dan kaos hitamnya. Sesuai rencana, kami bertiga akan datang ke kos Daffa dan mengecek apa yang sebenarnya dia takuti.

Helaan napas terdengar dari samping kiri gue. Ada Dami yang lagi mendongak lihat langit. “Hari yang indah untuk nangkep setan,” celetuknya bikin gue menggebuk tangannya kencang.

“Entar didatengin beneran NANGIS...” ledek gue. Kak Ji mengajak kami untuk masuk ke dalam kos Daffa usai memarkirkan motor di depan.

Kaki kami melangkah ke rumah (yang lebih cocok disebut gedung) kos yang lumayan besar itu. Kata Daffa, berhubung kosan ini baru dibuka sekitar 11 bulan lalu dengan harga yang lumayan mahal untuk mahasiswa (2 juta / bulan), jadi wajar saja kalau penghuninya masih dikit. Jadi kosnya ada 3 lantai, per lantai ada 12 kamar. Gedungnya berbentuk sayap kanan-kiri dan setiap sayap ada 6 kamar berhadapan. Kata Daffa fasilitasnya mantep puol, AC-nya boleh dinyalain 24 jam, ada wifi di tiap kamar yang kencangnya minta ampun, makanya kadang kamar Daffa dijadikan warnet sementara. Aturannya cukup simpel, kamar harus dijaga kebersihannya, dapur bersama harus bersih dan rapih, kamar mandi gak boleh kotor dan bau, sampah gak boleh menumpuk, dan satu lagi, gak boleh pelihara binatang. Karena kosnya campur, jadi maksimal bawa teman lawan jenis sampai jam 10 malam, setelah jam itu akan dicek di CCTV dan ibu kosnya datang untuk nyuruh tamunya pulang. Kata Daffa, gak peduli mereka lagi ngerjain tugas atau apa, yang jelas di atas jam 10 gak boleh bawa teman lawan jenis. Gue tau banyak tentang kos Daffa ini karena anaknya bawel cerita hal-hal di tempat kosnya tanpa terkecuali.

Kami duduk menunggu di ruang tamu kos yang kursinya cukup banyak. Jujur, lebih mirip hotel kecil daripada kosan karena mengingat penghuninya pasti banyak banget seandainya full. Selang beberapa lama, Daffa turun dengan celana jogging hitam dan kaos oblong warna biru dongker. Rambutnya kelihatan agak kacau dan— wow, bawah matanya mulai menghitam. I guess gangguannya memang se-intens itu sampai dia semenyedihkan ini.

“Lu ketempelan ya, Daf? Dekil amat.” Lagi-lagi Damian dan mulut sembrononya.

Daffa langsung melempar sendal selopnya ke arah Dami. “MULUTNYA TOLONG DIJAGA YA, BABI!”

Tanpa menunggu lebih lama lagi, kami berjalan beriringan ke lantai 2. Kalau siang hari sebenarnya gak kelihatan serem, cuma sepi aja. Tapi gue kebayang kalau malam pasti hawanya sedikit berbeda karena tembok putih bersih dan lorong panjang yang sepi. Kami masuk ke kamar Daffa dulu, 'menyusun strategi' katanya.

Kamar Daffa terlihat seperti kamar kos biasa, tapi agak luas. Ada single bed, meja belajar dan kursinya, lalu ada lemari putih untuk pakaian. Di pojok ruangan ada troli kecil berisi makanan dan minuman yang bisa digeser dengan mudah. Tidak ada sofa, hanya ada 2 bean bag yang tampaknya jarang dipakai karena masih terlihat bagus. Alhasil gue dan Kak Ji duduk di atas bean bag

“Gue ngerapihin kamar demi kalian nih,” ucapnya mulai perhitungan. Padahal kalau dilihat juga masih berantakan.

“Lu rapihin aja dulu hidup lu yang berantakan itu,” kata Dami sambil mengangkat celana dalam Daffa yang— unexpectedly ada di atas meja belajar. Eugh.

Tangan Daffa langsung menyambar celana itu dan mengumpatkannya di belakang badan. “BERSIH! SUMPAH BERSIH!” Teriaknya panik berusaha merubah ekspresi jijik Dami.

“Kalo rapi, mah, gak akan ada kancut di atas meja belajar, bego. Rapi darimananya.” Damian lalu menoyor kepala Daffa.

“Jadi kamarnya yang mana, Daf?” Kak Ji berusaha untuk mengembalikan fokus kami. Daffa berjalan ke arah keranjang kotor dengan cepat untuk menaruh celana tadi lalu duduk di pinggir kasur. “Yang sebelah kiri, Bang, yang nomor 013.”

Kak Ji mengangguk, lalu berdiri. Kami yang sadar kalau ini saatnya kami mengecek 'kebenaran' langsung saling tatap. Daffa kelihatan tambah gugup ditambah panik. Asli, rasanya baru 2 kali gue lihat Daffa sepanik ini selain waktu buka pengumuman SBMPTN.

“BANG!!” teriak Daffa 5 centi sebelum Kak Ji meraih gagang pintu. “Apa?”

“Ini gak mau nyusun strategi dulu? Kalau misal setannya udah nunggu di belakang pintu terus dia nyerang kita atau salah satu dari kita terhipnotis gitu gimana? ATAU dia sebenernya manusia yang nyelinap masuk dan udah nyiapin pisau di balik pintu? ATAU—”

“DAF!” potong Kak Ji. Baru kali ini gue lihat Kak Ji teriak dengan muka FRUSTASI parah. Dia kelihatan buka mulut dan menutupnya lagi berkali-kali. “Denger, calm down, okay? Jangan panik dulu, kita cuma ngecek hal sepele. Kalau lo emang gak berani biar gue sendiri aja, gapapa sumpah.” Kak Ji berusaha meyakinkan.

Sebenarnya gue tau dia malas berhubungan dengan drama 'hantu' Daffa ini. Karena jujur memang gue juga mikir ini semua gak masuk akal, sih. Apalagi sampai berpikiran ada manusia yang nyelinap... kayaknya agak too much.

“Yaudah gue tunggu di dalem, deh. Sumpah nyali gue udah minus nol.”

Tangan gue langsung menoyor kepalanya. “BILANG DARI TADI! JANGAN MALAH MENGHAMBAT JALANNYA OPERASI INI!”

Kak Ji keluar, diikuti gue, lalu Damian. Daffa berdiri di belakang, kepalanya menongol di sela daun pintu. Matanya memejam sebelah saat Kak Ji memegang gagang pintu kamar 013 itu. Gagang pintunya ditekan ke bawah, bersamaan dengan Daffa yang tiba-tiba menutup pintu dengan kencang sampai gue berani sumpah gue teriak heboh (banget) di telinga Kak Ji. Gue lihat Dami sampai mundur menabrak tembok di belakangnya, dan Kak Ji melepas tangannya dari gagang pintu.

“ANJIIINNNNGGGG, DAFFA GOBLOOK!!” umpat Dami, mewakili kami bertiga.

Akhirnya Kak Ji langsung membuka pintu kamar itu. Kepalanya menengok ke kanan, kiri, atas, bawah, lalu diulang lagi sampai gue dan Dami jadi gak sabar untuk ikut lihat kondisi dalamnya. Kami berdua menyelinap masuk kamar yang kosong dan agak berdebu itu. Dahi kami mengerut. Gak ada apa-apa, tuh?

Tapi setelahnya gue mendengar suara anak kucing yang mengeong dengan amat kecil dan lemah. Langsung gue membuka pintu lemari kayu yang tertutup. Benar saja, ada anak kucing warna abu-abu yang mengeong dengan sisa tenaganya yang tinggal sedikit. Usianya sekitar 3 bulan, badannya kurus dan tubuhnya ada debu dari lemari.

“Kucing....” Dami ikut berjongkok di sebelah gue. Kami bertiga terdiam, melongo bersamaan menatap anak kucing itu.

Dami terkesiap, membuat gue dan Kak Ji menoleh ke arahnya. “Terus gue ngomong apa sama orang pinter yang gue panggil?”

“Bilang aja setannya udah ketangkep,” sahut Kak Ji.

Kalau kata orang hidup itu cuma sandiwara, kata gue hidup itu cuma komedi. Kalau gak ngetawain hidup, ya kita yang diketawain. Siklusnya berulang. Tinggal pilih mau ngetawain atau diketawain. Yang jelas dua-duanya sama-sama miris. Kayak hidup gue sekarang.


Gue menuruti perkataan Kak Ji untuk sabar menunggu dia yang sampai sekarang belum selesai ganti baju. Entah dia mandi atau apa. Tapi kejenuhan membuat gue jadi penasaran dengan foto-foto yang dipajang di ruang tamu. Di dinding hanya ada satu figura besar dengan foto tiga orang di dalamnya. Kak Ji kecil dan kedua orang tuanya berdiri sejajar dengan posisi Kak Ji di tengah. Ketiganya memakai baju coklat senada. Lalu di lemari kaca, ada figura-figura kecil yang didirikan. Isinya foto Kak Ji saat kecil. Beberapa ada yang foto berdua dengan Bundanya. Senyuman terlukis indah di foto-foto itu, seperti menggambarkan masa-masa paling bahagia yang ada di hidup Kak Ji.

Gue mendengar suara langkah turun. “Lagi liat foto gue waktu kecil, ya?” tanyanya sambil melangkah mendekat. Gue mengangguk. “Lucu.” Puji gue.

“Dulu gue kecilnya gak bisa diem sampe gue inget pernah dihukum gak boleh keluar rumah satu minggu. Kata Bunda waktu gue udah bisa jalan, gue jadi sering nyubitin paha orang lain yang ada di depan gue tanpa alasan. Aneh, ya?”

Gue tertawa kecil. “Gue juga pernah dihukum gara-gara nyemplungin mainan robot Kak Elias ke kolam renang. Dulu gue bilang robotnya mau mandi jadi gue taro semua di kolam. Kak Elias habis itu langsung ngambek sama gue 3 hari. Soalnya habis dicemplungin ke air, robotnya jadi gak bisa nyala lagi.”

Kini gantian dia yang tertawa mendengar cerita gue. “Semua anak kecil emang ada masa nakalnya masing-masing, sih.”

Setelah itu, untuk menghemat waktu, kami memutuskan untuk mulai membuat makanan untuk nanti dimakan. Kata Kak Elias, nanti dia beli pizza dan makanan penuh dosa (re: junk food) lainnya. Sedangkan gue dan Kak Ji akan membuat kue dan pudding. Kak Ji mengurus pudding yang mudah untuk dibuat sendiri, sedangkan gue masih kebingungan menakar bahan-bahan kue.

Gue terkejut saat melihat Kak Ji sudah berdiri di samping gue. “Udah selesai puddingnya?!”

“Udah. Orang cuma ngaduk di kompor terus ditaro cetakan, kok.” Gue diam-diam merasa tersaingi. Kok dia lebih jago?!

“Ada yang butuh dibantu gak?” tawarnya. Dengan berat hati gue mengangguk. “Gue bingung ini tepungnya udah berapa gram.” Gue menunjuk sendok takar di depan gue.

“Loh, di bawahnya ada angkanya, Kai.. Lo liat, deh.” Kak Ji membalik sendok tersebut dan menunjuk angka di bawahnya. Gue melotot, merutuki diri sendiri karena sebloon ini. “LAH KOK GUE BARU TAU?!”

Kak Ji tertawa lalu melihat ke resep. Tangannya dengan cekatan menakar bahan-bahan kering itu satu per satu. Gue memandanginya dari samping. Rahang tirus tegas miliknya sungguh terlihat lebih indah dari samping. Gue bahkan tidak keberatan kalau-kalau dia memergoki gue yang sedang melihat pesonanya.

Dia tiba-tiba menolehkan wajahnya ke arah gue. Jarak kami secara mengejutkan lebih dekat dari yang gue kira. Alih-alih memutus kontak mata karena terpergok memperhatikannya, gue justru menatap dia tepat di mata. Dia tersenyum, lalu tiba-tiba tangannya dengan cepat menoel ujung hidung gue dengan tepung. Gue melotot, “KAK!!!” Detik berikutnya tangan gue sibuk mencari tepung untuk membalasnya.

Dia berusaha menghindar dari serangan gue. Sialnya, gue memang kalah cepat. “SINI, GAK! GAK BOLEH CURAANGG!!”

“HAHAHAHA, AMPUN AMPUN!!” Kini wajahnya sudah terlukis beberapa coretan tepung walau sedikit. Dia membalas gue berkali-kali dan gue kena berkali-kali pula. NYEBELIN.

Akhirnya kami mengambil jalan damai. Dia mempersilakan gue untuk mengaduk campuran tepung-tepung itu sembari dia mengambil telur. Tanpa disangka, tangannya mencolek gue dengan tepung (lagi) dari belakang. Saat dia mencolek pipi kanan, gue refleks menoleh ke kanan tapi dia hilang dari pandangan. Saat dia mencolek pipi kiri, hal yang sama juga terjadi. Tingkahnya membuat gue geram. Gue bisa dengar tawa kecilnya dari belakang gue.

Akhirnya gue menyusun strategi untuk diam. Sesuai rencana, dia mengeluarkan kedua tangannya bersamaan, berusaha mencolekkan telunjuknya di kedua pipi gue. Tapi dengan sigap gue tangkap pergelangan tangannya. “KAK UDAHHHH!!!” Tawa renyahnya terdengar dari belakang gue. Kami agak bergelut kekuatan. Tingkah konyol itu membuat kami sama-sama tertawa.

Dengan cepat gue menyelip keluar dari 'kerangkeng' tangan Kak Ji. Kedua tangan gue menahan pergelangan tangannya untuk tetap di bawah. Tangan gue sudah gue putar, yang tadinya ada di dekat telapak tangan, sekarang berada di punggung tangannya. Menggengamnya agak kencang agar berhenti mencolek tepung itu. “Kak...” Tegur gue.

“Apaa?” Jawabnya lembut sambil tetap senyum manis. Ah, gue jadi salting gini.

Posisi kami sekarang berhadapan, dia dengan senyum merekahnya menatap gue, dan gue masih dengan sisa senyum di bibir, menatap dia pula. Gue bisa melihat betapa tampannya Kak Ji jika dilihat dari jarak sedekat ini dan dengan senyum sebahagia ini. Wajah dingin tanpa jiwanya kini sirna entah kemana. Yang ada Kak Ji yang tertawa sampai matanya ikut sipit.

Entah sejak kapan, kegiatan saling tatap itu berubah intens. Perlahan suara tawa kami memudar, terganti hanya dengan senyum hangat satu sama lain. Dia memeperkan tangannya pada celemek di badannya, lalu meraih pipi gue. Tangan besar hangatnya itu mengelus kedua pipi gue, membersihkan belepotan tepung hasil keisengannya.

“Maaf, ya, muka cantiknya jadi belepotan tepung,” katanya. Gue tertegun. Bahaya, ini serangan mendadak namanya.

“Maaf juga, ya, muka gantengnya jadi belepotan tepung,” jawab gue dengan kalimat serupa. Gue juga ikut membersihkan tepung di wajahnya.

“Kalau gue mah karena emang dari lahir ganteng jadi gak masalah mau ada tepung atau nggak, Kai. Soalnya gue bakal tetep ganteng.” Refleks gue menggebuk pelan dadanya. “Kok lo jadi narsis, sih?!”

Tawa renyahnya keluar lagi. “Jadi orang harus narsis, supaya banyak yang naksir.”

“Loh? Gue aja yang naksir gak cukup emang?” Tangan gue terhenti. Wajah gue sedikit merengut.

Gigi rapihnya kembali ditampakkan. “Cukup. Lebih dari cukup malah.” Tangannya lalu mencubit pelan pipi kiri gue.

“CUKUP!! CUKUP JUGA PEGANG-PEGANG ADEK GUENYA YA ADAGIO BANGSAAAAATTTT!!!!”

And here we go. Kanaka Elias dan segala kerusuhannya.


Gue sampai sekarang masih gak paham sama pola pikir Elias. Berapa tahun pun waktu yang dihabiskan untuk pertemanan antara gue dan dia, gue benar-benar masih gak bisa menebak isi kepalanya sampai sekarang. Seperti sekarang, wajahnya memandang gue sangsi, matanya menatap gue tajam, tangannya juga dalam sikap pasang untuk mencegah gue mendekat pada Kai. Gue heran, padahal gue bukan melakukan tindakan gak senonoh.

“Lu pegang adek gue tanpa seizin gue itu udah gak senonoh, Ji.” Tadi dia bilang itu waktu gue protes. Padahal yang punya hak untuk bilang itu kan Kai, bukan dia?

“Lu juga, Kai, kok mau aja dipegang-pegang Jio?!” Gue benar-benar mau menimpuk kepalanya dengan sepatu tentara sekarang juga. KATA-KATANYA ITU TERLALU AMBIGU.

“YAS!” Protes gue. Dia tidak mendengarkan, malah melotot ke arah Kai. “Bahasanya jangan 'dipegang-pegang', dong! Ambigu tau, gak?!” omel Kai.

Gue lihat Elias memutar bola matanya jengah. “Ya.. Ya.. Whatever, yang penting kenapa lu bisa SANTAI BANGET PIPI LU DIELUS JIO?!”

“YA BECAUSE I LIKE HIM? THAT'S WHY.” Teriakan Kai satu ini bagai petir di siang bolong. Baik gue maupun Elias sama-sama membeku. Tampaknya Kai yang barusan sadar perkataan yang keluar dari mulutnya juga ikut membeku. Gue bisa merasakan detakan jantung gue tiba-tiba meningkat.

“Are you guys really THAT SERIOUS?!” Teriak Elias kembali heboh.

Kali ini giliran gue yang menatapnya jengah. “Yas, lo tuh udah kayak strict parents tau, gak? Freak, anjir!”

“Ya soalnya ini kali pertama gue kenal sama cowoknya Kai! Anak satu ini GAK PERNAH BILANG KALO PUNYA COWOK!!!” jawabnya sambil teriak ke arah Kai.

“YA SOALNYA INI YANG AKAN TERJADI KALO LU KENAL SAMA COWOK YANG GUE SUKA!!”

Dan menit-menit berikutnya yang gue dengar hanya cek-cok kakak adik beda dua tahun itu. Beberapa kali gue mencoba buka mulut untuk menghentikan, tapi yang gue dapat justru mereka yang lebih dulu ngegas ke satu sama lain. Dan yang akhirnya bisa gue lakukan apa? Diam, menghela napas, minum coca cola di meja, lalu menghela napas lagi. Lagian, sepertinya hidup gue memang ditakdirkan untuk dikelilingi orang-orang berisik yang punya banyak cadangan energi untuk teriak-teriak. Sedangkan gue? Kalau ibarat iPhone mungkin battery health gue udah 30%. Ya siapa yang sangka kalau hidup semelelahkan ini, kan...


ps : in case kalian bingung pelafalan kai, gue biasa bacanya ka-i bukan kay. idk kayak lebih enak dibacanya aja buat gue.


Setelah adegan 'mengagumi ketampanan Jio diam-diam', Kai berjalan dengan memudarkan senyuman saltingnya barusan. “Udah lama, Kak?” Jio otomatis menoleh.

Yang pertama dia dapati adalah sosok Kai dengan kemeja putih dan celana kulot hitam di depannya. Terlihat santai tapi entah kenapa tetap ada poin plus karena Kai yang memakainya.

“Kita mau kemana, Kak?” tanya Kai setelah mereka keluar dari perpustakaan kampus. Dia melangkah mengikuti Jio tapi tidak tau mereka ingin kemana.

“Ke mana aja. Ke semua tempat yang bisa bikin emosi lo ilang.” Kai hampir melongo kalau saja dia ingat kalau harus menjaga image.

“Lo.. mau ngehibur gue gitu?” tanyanya, agar tidak salah mengartikan.

“Biasanya orang kalo lagi PDKT begitu, 'kan?” Kai menyembunyikan senyum kecilnya dan membiarkan Jio berjalan lebih dulu.

Kalau seperti ini, mah, dia tidak perlu hal lain karena amarahnya benar-benar sudah sirna sekarang. Melihat Jio yang tersenyum ke arahnya saja rasanya seperti angin sejuk usai berada di dalam ruangan tanpa ventilasi.

Jio memakaikan helm ke kepala Kai, dan yang dipakaikan menurut. Motor yang Jio bawa melaju pelan dan stabil. Keluar dari area kampus, lalu melewati beberapa lampu merah Ibu kota satu persatu. Mereka sampai di daerah Kemang, Jio memarkirkan motor di depan indomaret. Kai turun dengan wajah bingung.

“Indomaret, Kak?”

Jio melepaskan helm Kai dan juga helmnya. “Ada Point Coffee. Suka, kan?” Kai langsung menoleh ke dalam Indomaret. Benar juga.

“Suka, Kak.”

“Kalo gue? Suka gak?” Kai melongo sebentar. Lalu tawanya lolos melihat Jio juga tertawa. Keduanya sama-sama salting dengan pertanyaan barusan, benar-benar seperti remaja baru mengenal cinta. Padahal ini bukan yang pertama kalinya untuk mereka.

Jio menyuruh Kai duduk di tempat yang disediakan oleh pihak Indomaret. Ada dua bangku dan meja panjang yang bisa digunakan untuk minum kopi. “Lo mau apa? Biar gue yang pesenin.”

“Berdua aja, Kak, gapapa kok. Ayo bareng—”

Jio menahan kedua pundak Kai yang ingin berdiri, lalu menekannya pelan agar dia kembali duduk. “Gue aja. Mau apa?”

Kai akhirnya menyerah. “Matcha Frappe aja, Kak.”

“Mau croissant?”

“Boleh. Rasa keju.” Jio tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Mata Kai mengekori Jio kemanapun kakinya melangkah. Dia tersenyum melihat Jio membungkuk dan jongkok untuk mencari croissant yang biasanya ada di rak dekat roti-roti.

Kai mengalihkan pandangan dari ponselnya saat Jio menaruh matcha frappe miliknya di meja. Dia juga menaruh dua croissant keju. Kai tersenyum. “Makasih, Kak.”

“Anytime.” Dia membukakan bungkus kertas di sedotan lalu memasukkanya ke gelas matcha frappe milik Kai.

Jujur saja, perilaku Jio yang seperti ini membuat dia merasa spesial. Begitu spesial sampai dia takut kalau itu hanya perasaan sementara. Cepat-cepat Kai menyingkirkan pikirannya itu lalu membuka bungkus croissant-nya. Jio membeli dua biskuit bayi yang menarik perhatiannya.

“Biskuit bayi buat siapa, Kak?”

“Buat gue,” jawabnya santai. Tawa Kai menyembur. Jawaban yang tidak dia sangka. “Beneran buat lo?”

Jio mengangguk, membuka bungkus biskuit bayi itu. “Enak tau.”

“Emang iya?” tanya Kai sangsi. Dia tau mungkin saat bayi dia makan biskuit itu juga. Tapi dia tidak pernah memakannya saat sudah dewasa seperti sekarang.

“Mau coba?” Kai mengangguk. Diam-diam penasaran. Diambilnya biskuit bayi rasa pisang itu.

“Gak terlalu manis, ya?”

“Ya bayi asupan gulanya gak boleh terlalu banyak, Kai.”

“Oh.. Iya juga.” Mereka lanjut memakan makanannya masing-masing.

Tiba-tiba ponsel Jio berdering. Dia izin keluar untuk menerima telfon. Kai manut saja karena itu bukan ranahnya untuk melarang. Dia hanya memperhatikan Jio dari dalam. Cowok itu terlihat menatap kosong ke depan, berbicara hanya beberapa kata, lalu terlihat muak. Tentu ekspresi itu membuat Kai penasaran siapa yang sedang diajak bicara. Tapi lagi-lagi Kai sadar, bahwa itu bukan ranahnya.

Tak lama Jio kembali. Wajahnya berubah cerah tidak seperti saat menerima telfon tadi. “Sorry, lama ya?”

“Nggak, kok.”

Sebuah topik terlintas di kepala Kai. “Lo tuh asli Jakarta, Kak?”

Jio mengangkat kedua alisnya. “Hah? Nggak. Gue dari Bandung.”

“OH IYAA?? Kalo gitu lo tau gak bubur ayam yang di Asia Afrika? Yang jualan ibu-ibu, namanya Bu Darsi.”

Jio terkekeh. “Gue terakhir ke Bandung kelas 3 SMP, Kai. Abis itu gak pulang ke sana lagi. Jadi gue udah lupa. Lagian gue lebih sering main ke Braga dibanding ke Asia Afrika.”

Mendengar itu Kai terlihat agak kecewa. “Yah.. Padahal itu bubur terenak yang pernah gue makan.”

“Bubur di Jakarta juga banyak yang enak, kok. Yang depan komplek rumah gue itu enak, ayamnya banyak. Kapan-kapan lo cobain deh.”

“Oke oke! Eh, lo kenapa gak pulang ke Bandung lagi, Kak? Udah pindah semua ya, keluarga lo?”

“Keluarga gue masih disana. Gue disini tinggal sendiri. Ya... lebih nyaman disini aja.” Jio menjawab dengan canggung. Sudah lama dia tidak menceritakan tentang dirinya sendiri.

“Loh, kenapa? Padahal Bandung, kan, bagus tau, Kak. Gue aja waktu tinggal di Bandung seneng banget. Eh, gue bukan mengglorifikasi Bandung secara berlebihan loh... Tapi Bandung bagi gue tuh lumayan berharga!” Jio menaruh tangan kiri di dagunya. Tertarik melihat Kai yang semangat bercerita.

“Oh ya? Kenapa?” Alih-alih menjawab pertanyaan 'kenapa', Jio mengalihkan topik agar Kai menceritakan dirinya.

“Kan gue tinggal di Bandung untuk merantau ya, Kak. Ya.. agak lebay kalo dibilang merantau sih, orang cuma 2 jam jauhnya. Tapi Bandung tuh ngajarin gue banyak hal. Dimulai cara ngatasin home sick karena jauh dari keluarga. Terus cara ngatasin masalah sendiri tanpa pembelaan dari Kak Elias. Pokoknya banyak! Gue belajar untuk mandiri dan cari temen tuh di Bandung.”

“Lo tinggal disana sama siapa?”

“Sama nenek. Berempat sih sama Tante sama sepupu gue masih bayi.”

“Kalo Damian sama Daffa? Orang Bandung asli?” Kai mengangguk. “Asli banget mereka, mah. Dulu malah ngomong bahasa Sunda terus sampe gue cuma cengo doang. Akhirnya mereka yang ketularan logat Jakarta karena sering ngobrol sama Kak Elias di telfon. Gue gak bisa bahasa Sunda, btw.”

“Gue juga gak bisa, kok,” ucap Jio.

“Lo selama tinggal di Bandung gak ngerasa hal yang spesial gitu, Kak?”

Jio menerawang, berpikir, bagian mananya dari Bandung yang menurut dia spesial. “Spesialnya cuma sedikit, cuma sampe gue umur 10 tahun.”

“Kenapa emangnya?”

“Setelah itu Bunda udah gak ada. Jadi Bandung gak lagi spesial karena semesta gue udah hilang, semua berhenti di umur itu.”