kepedihan, si teman baik


Jio melambaikan tangan sekali lagi pada Kai. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Mereka memasak beberapa makanan, tidak sadar kalau porsinya terlalu banyak dan memutuskan untuk memanggil Daffa dan Damian untuk ikut makan. Sepanjang obrolan tadi, Jio merasa kesadarannya benar-benar ada di awan. Melayang tak tentu arah, tidak mengizinkan Tuannya untuk tetap fokus pada apa yang di depannya. Hal itu membuat Kai, Damian, dan Daffa jadi heran tapi tidak berniat untuk menanyakan apa-apa.

Jalanan hari ini macet, membuat emosi Jio sedikit terkuras karena raganya ingin cepat sampai di rumah. Butuh hampir 1 jam perjalanan menuju rumahnya. Lalu saat dia ingin memasukkan motor ke garasi, dahinya spontan mengerut saat melihat mobil familiar yang dulu dilihatnya saat SMA. “Ayah?” Dia bermonolog.

Sudah 2 tahun ayahnya tidak pulang dari negara tetangga. Terakhir beliau pulang saat upacara kelulusannya. Sebelum itu pun dia sudah sering ditinggal pergi kesana-kemari, sehingga kehangatan seorang Ayah sudah benar-benar hilang dari memorinya. Baginya, pulang atau tidaknya sang Ayah sama saja, tidak membawa perubahan. Ketiadaan sang Ayah di rumah membuat dia harus menghabiskan banyak waktu bersama Ibu dan adik tirinya. Dirinya yang dilanda jengah memutuskan untuk pergi ke Jakarta dan tinggal seorang diri.

Ketenangan yang dia dapatkan di Jakarta, tidak sebanding dengan saat di Bandung. Maka dari itu dirinya menolak berkali-kali untuk pulang ke rumahnya di sana. Untuk menengok makam Ibundanya juga perlu keberanian dan kesiapan. Walau sudah bertahun-tahun sejak kepergian, jiwanya masih saja gemetar saat melihat baru nisan bertuliskan nama sang Ibunda. Karena itu dia hanya mengirimkan doa dari Jakarta, sesekali mampir ke makam tapi tidak mampir ke rumahnya.

Kakinya melangkah ke depan pintu, berhenti sebentar saat melihat di rak sepatu ada tiga pasang lain yang asing. Ada satu pasang sepatu perempuan yang membawa amarah di dalam jiwanya. Pintu depan dibukanya kasar, membuat tawa ketiga anggota “keluarga”nya terhenti. Ketiganya sedang bercengkrama di dapur, kini menatapnya bersamaan.

Alvaro —Ayahnya— berjalan mendekat. “Udah pulang, Bang?” Yang ditanya enggan menjawab. Netranya menangkap koper besar dan tas-tas di sekitarnya. Ada juga beberapa dus yang dilakban rapi. “Apa-apaan, sih, ini?” Dirinya balik bertanya. Dinginnya menusuk.

Alvaro mendekat lagi, berusaha meraih bahu anaknya yang mulai melebar. “Abang—” Hatinya mencelos saat Jio mundur untuk menghindari sentuhannya. Tapi Alvaro berusaha sabar.

“Ayah udah bilang kalau Ayah minta tolong buat bolehin adiknya tinggal disini, kan? Makanya sekarang kami kesini.” Jio mendengus sinis, menatap ketiganya satu per satu.

“Minta tolong gak ada yang lancang, Yah. Jio bahkan udah jelas bilang kalau Jio gak nerima siapapun disini.” Ditatapnya laki-laki tinggi yang berdiri tertunduk di sebelah Ibu tirinya. Laki-laki yang dipanggil 'adik' oleh Ayah dan Ibu tirinya.

Riani berjalan mendekat. Jio masih menatapnya tajam. Baginya alasan terbesar dari kehancuran keluarganya adalah wanita yang ada di depannya ini. Kalau dia tidak ada di dunia ini, mungkin Ibundanya masih hidup dan mereka masih hidup bahagia tanpa kehadiran si Penghancur. “Abang.. Tolong, ya? Biarin adiknya tinggal disini.”

Jio tertawa sinis. Kebencian nampak jelas di wajahnya. “Siapa 'abang' yang Tante maksud? Disini saya anak tunggal. Saya gak punya adik ataupun Ibu lagi. Saya cuma kenal Bunda, Ibu saya satu-satunya yang sekarang udah ada di tanah karena keegoisan Tante dan Ayah!”

Tepat saat nada tinggi Jio memuncak, satu tamparan melayang ke pipinya. Cukup keras sampai meninggalkan bekas merah yang terlihat jelas. Jio menatap sang Ayah yang menjadi pelaku tamparan tadi. Air mata mulai menggenang di kedua matanya. Kepalanya mengangguk mengerti. “Sekarang Jio paham, Yah, siapa yang Ayah pilih di antara kami. Bertahun-tahun lalu Jio tanya sama Ayah, siapa yang Ayah pilih, Jio, atau dua orang asing ini. Dan hari ini Jio dapat jawabannya.”

Alvaro menatap tangannya. Penyesalan datang menyeruak. “Abang, Ayah gak maksud—”

“Gak maksud apa, Yah? Gak maksud nampar Jio atau gak maksud selingkuh?”

“Abang!” Alvaro tidak tahan. Entah sejak kapan Adagio kesayangannya berubah menjadi laki-laki yang tidak punya sopan santun. Tapi semarah apapun dia, justru dia yang paling mengerti alasan semua sikap Jio padanya. “Sekarang terserah kalian. Mau bakar rumah ini sekalian pun terserah. Tapi kalau kalian punya logika, harusnya kalian kasihan sama saya yang udah gak punya rumah dan tempat untuk pulang. Setelah seluruhnya kalian renggut dari saya, tempat terakhir saya disini pun masih mau diambil? Egois.”

Jio lalu pergi untuk naik ke kamarnya di atas. Alvaro mengikuti di belakangnya. Sebelum pintu ditutup, Alvaro lebih dulu memegangnya dan menyelinap masuk ke kamar Jio. Pintunya dikunci dari dalam, membuat Jio membelalak. Keduanya saling tatap, semua yang melihat pasti tau kalau keduanya tidak memiliki hubungan yang baik.

“Apaan sih, Yah?” tanya Jio. Air matanya tidak berhenti jatuh, buru-buru dia hapus dengan kasar, dipalingkan pula wajahnya ke samping. Enggan menatap Ayahnya. Alvaro memegang kedua pundak anaknya, hatinya amat sakit melihat anaknya menangis dengan cara paling pedih.

“Ayah minta maaf..” Air mata ikut jatuh dari kedua matanya. Suara parau membuat suasana semakin kelabu. Jio tidak menjawab, masih memalingkan wajahnya dari sang Ayah.

“Ayah minta maaf.. Gak seharusnya Ayah ngelakuin hal itu. Maaf..”

“Salah, Yah. Gak seharusnya Ayah selingkuh dan punya anak sama wanita itu sedari awal. Andai Ayah gak selingkuh, Bunda gak akan sakit dan meninggal.” Omongan Jio membuat tangan Alvaro yang ada di pundaknya lepas. Dirinya termangu, tidak bisa lagi marah apalagi menampar Jio karena omongannya benar.

Jio berjalan untuk duduk di pinggir kasur. “Jio capek, Yah, kalau harus dipaksa nerima orang yang Jio benci. Udah cukup semua yang Jio punya diambil sama kalian. Jio cuma mau tenang, Yah..”

“Mereka ngambil apa dari kamu, Bang? Apapun kebutuhanmu selalu Ayah turuti, kok? Ayah berusaha untuk berlaku adil. Ayah berusaha untuk menebus semua kesalahan Ayah sama kamu dan Bundamu.”

Senyum sinis terpatri pada bibirnya. “Ayah tuh tau apa sih, Yah? Ayah selalu kerja, kerja, dan kerja sejak dulu. Ayah jarang di rumah, gak tau neraka macam apa yang dihadapi Jio dan Bunda. Banyak hal-hal yang dirampas dari Jio, Yah. Baik itu kebahagiaan atau harta. Ayah bahkan gak tau kalau uang saku Jio selama ini gak pernah sampai ke tangan Jio, kan? Jelas, Ayah, kan, terlalu buta sampai percaya sama wanita itu.”

Kening Alvaro mengerut. “Maksud kamu apa?”

“Uang yang selama ini Jio terima cuma buat keperluan rumah, Yah. Uang saku Jio untuk keperluan sehari-hari gak pernah ditransfer. Semua karena Ayah terlalu percaya sama orang asing. Wanita itu gak pernah sayang sama Jio kayak anaknya sendiri, gak pernah. Semua yang Ayah lihat, aslinya gak pernah seindah itu.”

“Kenapa kamu gak bilang sama Ayah?”

“Untuk apa? Jio bilang pun Ayah gak akan ngegubris. Ayah pasti lebih percaya dia daripada Jio. Udah lah, Yah, kalau emang mau milih mereka, silahkan. Jio bisa hidup sendiri disini. Tapi tolong jangan ganggu Jio.”

Alvaro menyisir rambutnya kasar. Kepalanya tiba-tiba pening. Tidak tau sisi mana yang harus dia percaya. Karena di matanya, Riani adalah istri yang baik. Dia pikir Riani cukup untuk mengurus Jio, menggantikan Ibundanya yang berpulang.

“Yaudah gini aja. Mulai sekarang duit Abang nanti Ayah yang transfer. Ayah akan ganti semua uang yang gak sampai di tangan Abang. Tapi jangan bahas ini lagi di depan Mama ya, Bang? Anggap aja itu kesalahan.” Jio lagi-lagi hanya bisa tersenyum sinis. Berharap apa dia pada sang Ayah yang matanya buta karena cinta.

“Abang inget, kan, dulu Abang mau punya adik? Dulu Abang ngerengek ke Bunda minta dikasih adik. Boleh gak Ayah minta tolong sekali lagi, Bang? Tolong anggap dia sebagai adik kamu. Tolong terima dia di rumah ini, hanya sampai dia lulus kuliah. Setelah itu, apapun mau Abang akan Ayah turuti.”

Jio berdiri dari duduknya. Dihapusnya air mata yang masih setia jatuh. “Kalau gitu, Jio minta untuk gak ganggu hidup Jio lagi. Tolong jangan hubungi Jio untuk pulang ke rumah di Bandung lagi. Tolong jangan paksa Jio untuk nerima wanita itu buat jadi pengganti Bunda. Karena sampai kapanpun, rumah Jio disini dan Bunda Jio cuma satu, gak bisa digantikan sama siapapun.”