tepung dan strict elias
Gue menuruti perkataan Kak Ji untuk sabar menunggu dia yang sampai sekarang belum selesai ganti baju. Entah dia mandi atau apa. Tapi kejenuhan membuat gue jadi penasaran dengan foto-foto yang dipajang di ruang tamu. Di dinding hanya ada satu figura besar dengan foto tiga orang di dalamnya. Kak Ji kecil dan kedua orang tuanya berdiri sejajar dengan posisi Kak Ji di tengah. Ketiganya memakai baju coklat senada. Lalu di lemari kaca, ada figura-figura kecil yang didirikan. Isinya foto Kak Ji saat kecil. Beberapa ada yang foto berdua dengan Bundanya. Senyuman terlukis indah di foto-foto itu, seperti menggambarkan masa-masa paling bahagia yang ada di hidup Kak Ji.
Gue mendengar suara langkah turun. “Lagi liat foto gue waktu kecil, ya?” tanyanya sambil melangkah mendekat. Gue mengangguk. “Lucu.” Puji gue.
“Dulu gue kecilnya gak bisa diem sampe gue inget pernah dihukum gak boleh keluar rumah satu minggu. Kata Bunda waktu gue udah bisa jalan, gue jadi sering nyubitin paha orang lain yang ada di depan gue tanpa alasan. Aneh, ya?”
Gue tertawa kecil. “Gue juga pernah dihukum gara-gara nyemplungin mainan robot Kak Elias ke kolam renang. Dulu gue bilang robotnya mau mandi jadi gue taro semua di kolam. Kak Elias habis itu langsung ngambek sama gue 3 hari. Soalnya habis dicemplungin ke air, robotnya jadi gak bisa nyala lagi.”
Kini gantian dia yang tertawa mendengar cerita gue. “Semua anak kecil emang ada masa nakalnya masing-masing, sih.”
Setelah itu, untuk menghemat waktu, kami memutuskan untuk mulai membuat makanan untuk nanti dimakan. Kata Kak Elias, nanti dia beli pizza dan makanan penuh dosa (re: junk food) lainnya. Sedangkan gue dan Kak Ji akan membuat kue dan pudding. Kak Ji mengurus pudding yang mudah untuk dibuat sendiri, sedangkan gue masih kebingungan menakar bahan-bahan kue.
Gue terkejut saat melihat Kak Ji sudah berdiri di samping gue. “Udah selesai puddingnya?!”
“Udah. Orang cuma ngaduk di kompor terus ditaro cetakan, kok.” Gue diam-diam merasa tersaingi. Kok dia lebih jago?!
“Ada yang butuh dibantu gak?” tawarnya. Dengan berat hati gue mengangguk. “Gue bingung ini tepungnya udah berapa gram.” Gue menunjuk sendok takar di depan gue.
“Loh, di bawahnya ada angkanya, Kai.. Lo liat, deh.” Kak Ji membalik sendok tersebut dan menunjuk angka di bawahnya. Gue melotot, merutuki diri sendiri karena sebloon ini. “LAH KOK GUE BARU TAU?!”
Kak Ji tertawa lalu melihat ke resep. Tangannya dengan cekatan menakar bahan-bahan kering itu satu per satu. Gue memandanginya dari samping. Rahang tirus tegas miliknya sungguh terlihat lebih indah dari samping. Gue bahkan tidak keberatan kalau-kalau dia memergoki gue yang sedang melihat pesonanya.
Dia tiba-tiba menolehkan wajahnya ke arah gue. Jarak kami secara mengejutkan lebih dekat dari yang gue kira. Alih-alih memutus kontak mata karena terpergok memperhatikannya, gue justru menatap dia tepat di mata. Dia tersenyum, lalu tiba-tiba tangannya dengan cepat menoel ujung hidung gue dengan tepung. Gue melotot, “KAK!!!” Detik berikutnya tangan gue sibuk mencari tepung untuk membalasnya.
Dia berusaha menghindar dari serangan gue. Sialnya, gue memang kalah cepat. “SINI, GAK! GAK BOLEH CURAANGG!!”
“HAHAHAHA, AMPUN AMPUN!!” Kini wajahnya sudah terlukis beberapa coretan tepung walau sedikit. Dia membalas gue berkali-kali dan gue kena berkali-kali pula. NYEBELIN.
Akhirnya kami mengambil jalan damai. Dia mempersilakan gue untuk mengaduk campuran tepung-tepung itu sembari dia mengambil telur. Tanpa disangka, tangannya mencolek gue dengan tepung (lagi) dari belakang. Saat dia mencolek pipi kanan, gue refleks menoleh ke kanan tapi dia hilang dari pandangan. Saat dia mencolek pipi kiri, hal yang sama juga terjadi. Tingkahnya membuat gue geram. Gue bisa dengar tawa kecilnya dari belakang gue.
Akhirnya gue menyusun strategi untuk diam. Sesuai rencana, dia mengeluarkan kedua tangannya bersamaan, berusaha mencolekkan telunjuknya di kedua pipi gue. Tapi dengan sigap gue tangkap pergelangan tangannya. “KAK UDAHHHH!!!” Tawa renyahnya terdengar dari belakang gue. Kami agak bergelut kekuatan. Tingkah konyol itu membuat kami sama-sama tertawa.
Dengan cepat gue menyelip keluar dari 'kerangkeng' tangan Kak Ji. Kedua tangan gue menahan pergelangan tangannya untuk tetap di bawah. Tangan gue sudah gue putar, yang tadinya ada di dekat telapak tangan, sekarang berada di punggung tangannya. Menggengamnya agak kencang agar berhenti mencolek tepung itu. “Kak...” Tegur gue.
“Apaa?” Jawabnya lembut sambil tetap senyum manis. Ah, gue jadi salting gini.
Posisi kami sekarang berhadapan, dia dengan senyum merekahnya menatap gue, dan gue masih dengan sisa senyum di bibir, menatap dia pula. Gue bisa melihat betapa tampannya Kak Ji jika dilihat dari jarak sedekat ini dan dengan senyum sebahagia ini. Wajah dingin tanpa jiwanya kini sirna entah kemana. Yang ada Kak Ji yang tertawa sampai matanya ikut sipit.
Entah sejak kapan, kegiatan saling tatap itu berubah intens. Perlahan suara tawa kami memudar, terganti hanya dengan senyum hangat satu sama lain. Dia memeperkan tangannya pada celemek di badannya, lalu meraih pipi gue. Tangan besar hangatnya itu mengelus kedua pipi gue, membersihkan belepotan tepung hasil keisengannya.
“Maaf, ya, muka cantiknya jadi belepotan tepung,” katanya. Gue tertegun. Bahaya, ini serangan mendadak namanya.
“Maaf juga, ya, muka gantengnya jadi belepotan tepung,” jawab gue dengan kalimat serupa. Gue juga ikut membersihkan tepung di wajahnya.
“Kalau gue mah karena emang dari lahir ganteng jadi gak masalah mau ada tepung atau nggak, Kai. Soalnya gue bakal tetep ganteng.” Refleks gue menggebuk pelan dadanya. “Kok lo jadi narsis, sih?!”
Tawa renyahnya keluar lagi. “Jadi orang harus narsis, supaya banyak yang naksir.”
“Loh? Gue aja yang naksir gak cukup emang?” Tangan gue terhenti. Wajah gue sedikit merengut.
Gigi rapihnya kembali ditampakkan. “Cukup. Lebih dari cukup malah.” Tangannya lalu mencubit pelan pipi kiri gue.
“CUKUP!! CUKUP JUGA PEGANG-PEGANG ADEK GUENYA YA ADAGIO BANGSAAAAATTTT!!!!”
And here we go. Kanaka Elias dan segala kerusuhannya.
Gue sampai sekarang masih gak paham sama pola pikir Elias. Berapa tahun pun waktu yang dihabiskan untuk pertemanan antara gue dan dia, gue benar-benar masih gak bisa menebak isi kepalanya sampai sekarang. Seperti sekarang, wajahnya memandang gue sangsi, matanya menatap gue tajam, tangannya juga dalam sikap pasang untuk mencegah gue mendekat pada Kai. Gue heran, padahal gue bukan melakukan tindakan gak senonoh.
“Lu pegang adek gue tanpa seizin gue itu udah gak senonoh, Ji.” Tadi dia bilang itu waktu gue protes. Padahal yang punya hak untuk bilang itu kan Kai, bukan dia?
“Lu juga, Kai, kok mau aja dipegang-pegang Jio?!” Gue benar-benar mau menimpuk kepalanya dengan sepatu tentara sekarang juga. KATA-KATANYA ITU TERLALU AMBIGU.
“YAS!” Protes gue. Dia tidak mendengarkan, malah melotot ke arah Kai. “Bahasanya jangan 'dipegang-pegang', dong! Ambigu tau, gak?!” omel Kai.
Gue lihat Elias memutar bola matanya jengah. “Ya.. Ya.. Whatever, yang penting kenapa lu bisa SANTAI BANGET PIPI LU DIELUS JIO?!”
“YA BECAUSE I LIKE HIM? THAT'S WHY.” Teriakan Kai satu ini bagai petir di siang bolong. Baik gue maupun Elias sama-sama membeku. Tampaknya Kai yang barusan sadar perkataan yang keluar dari mulutnya juga ikut membeku. Gue bisa merasakan detakan jantung gue tiba-tiba meningkat.
“Are you guys really THAT SERIOUS?!” Teriak Elias kembali heboh.
Kali ini giliran gue yang menatapnya jengah. “Yas, lo tuh udah kayak strict parents tau, gak? Freak, anjir!”
“Ya soalnya ini kali pertama gue kenal sama cowoknya Kai! Anak satu ini GAK PERNAH BILANG KALO PUNYA COWOK!!!” jawabnya sambil teriak ke arah Kai.
“YA SOALNYA INI YANG AKAN TERJADI KALO LU KENAL SAMA COWOK YANG GUE SUKA!!”
Dan menit-menit berikutnya yang gue dengar hanya cek-cok kakak adik beda dua tahun itu. Beberapa kali gue mencoba buka mulut untuk menghentikan, tapi yang gue dapat justru mereka yang lebih dulu ngegas ke satu sama lain. Dan yang akhirnya bisa gue lakukan apa? Diam, menghela napas, minum coca cola di meja, lalu menghela napas lagi. Lagian, sepertinya hidup gue memang ditakdirkan untuk dikelilingi orang-orang berisik yang punya banyak cadangan energi untuk teriak-teriak. Sedangkan gue? Kalau ibarat iPhone mungkin battery health gue udah 30%. Ya siapa yang sangka kalau hidup semelelahkan ini, kan...
ps : in case kalian bingung pelafalan kai, gue biasa bacanya ka-i bukan kay. idk kayak lebih enak dibacanya aja buat gue.