tea, talk, tears
“So, what happened?” Omongan Kai membawa kesadaran Elias yang tadinya mengawang.
“Apa?” tanyanya balik.
Kai membenarkan posisi duduknya. Dia bersender pada kepala ranjang, di tangannya ada boneka Elias yang dipeluknya nyaman. Elias menyusul di sampingnya usai bengong selama bermenit-menit dalam posisi tengkurap. “Lo ngajakin ngobrol karena mau bilang sesuatu, kan?”
Elias ragu, tapi akhirnya mengangguk, “Gue balikan sama Shan.” Kai tersenyum kecil, kepalanya ditaruh di pundak Elias, tangannya dikaitkan pada tangan kiri Elias.
“Gak heran kok. Gue juga udah mikir kalian bakal balikan.”
“Kok gitu?” Kai memainkan jari-jari Elias.
“Ya... karena kalian putus tapi kayak masih saling sayang. Dulu waktu awal putus, Kak Shan sering ngechat gue. Nanyain lo udah makan belum, tidurnya cukup atau enggak, gitu. Tapi karena gue masih di Bandung, gue minta tolong sama Kak Ajun. Dari situ gue jadi tau. Oh.. Ternyata kalian pisah cuma karena salah paham dan kurang komunikasi. Aslinya, mah, masih saling sayang, kan?”
Elias tersenyum. Dadanya terasa hangat. “Iya. Dari semenjak putus, gak pernah seharipun gue lewatin buat kangen sama dia. Rasanya dia masih jadi milik gue gitu.”
“Yah.. itu lah namanya cinta, Kak.” Omongan Kai yang terkesan 'sok' di telinga Elias membawa satu cubitan gemas di pipinya.
“Nih, liat. Siapa yang sok tau cinta padahal baru kemaren sore kenalan.” Kai tertawa mendengarnya. Dia memukul paha Elias pelan.
“Gue pernah disakitin, tau, gak baru kemaren sore kenal cinta.”
“EH IYA! Cerita, dong, gimana lo bisa putus waktu itu. Gue juga belum liat mukanya. Ganteng gak?” Kai menyalakan ponselnya dan membuka galeri. Jari-jarinya menyelam di antara ribuan foto.
“Dibilang ganteng sih, banget. Badannya itu proporsional. TINGGI BANGET, Kak! Asli! Terus dia gak kenal glow up soalnya dari lahir glow terus.” Elias menatap Kai dengan tatapan menghina. Pasalnya, dia agak kesal dengan nada 'TINGGI BANGET' yang terkesan mengejeknya. Tapi saat melihat foto laki-laki yang tubuhnya bisa dibilang 60 persen adalah kaki, Elias jadi percaya.
“Ini mantan lo?” Kai mengangguk. “Namanya Habilal Biantara.”
“Ceritanya gimana?” Setelah satu helaan napas sesak, Kai menjelaskan seluruh kronologi bagaimana mereka bisa bertemu lalu berpisah. Kai menjelaskan bagaimana dia menderita saat harus menahan tangis tiap berpapasan dengan Bilal di koridor sekolah. Kai juga menceritakan bagaimana dia susah menerima cinta baru karena cinta lamanya yang buruk. Tapi di akhir cerita Kai bilang bahwa, seburuk apapun pengalamannya, dia tetap pernah merasa dicintai dan bahagia. Jadi sebenarnya tidak seburuk itu
“Lo udah damai belum? Sama masa lalu,” tanya Elias. Kai berpikir sampai bibirnya mengerucut. “Hmm... Hampir?”
“Yaudah kalo gitu.”
“Kenapa emang?”
“Ya kalo lo udah hampir berdamai, mah, gue gak perlu nonjok dia pas ketemu. Kecuali lo masih suffering karena dia, mungkin kalo ketemu, dia bonyok abis sama gue.”
Kai tersenyum, pelukannya di tangan Elias semakin erat. Meskipun hubungan mereka tidak harmonis dan manis sepanjang waktu, dia tau Elias adalah orang yang paling pertama memukul siapapun yang mengganggunya. Dulu saja, waktu mereka sekolah di SD yang sama, Elias sering mengajak ribut siapapun yang membuat adiknya menangis. Karena itu Elias sering dapat poin minus.
“Kak, kalo Kak Ji gimana? Dia dulu sama mantannya kenapa bisa putus?” Mendengar itu Elias jadi heran. Mereka belum sampai di tahap itu?
“Jio belum cerita sama sekali?” Kai jadi tertunduk. Tidak tau sebenarnya siapa yang salah disini. Dia yang kurang bertanya, atau Jio yang kurang terbuka. “Belum.”
Elias ragu, tapi akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan semuanya. Meskipun ini bukan hubungannya, dia tidak mau ada kata terlambat untuk adiknya.
“Namanya Alice. Dulu kita satu kelas selama 3 tahun. Gue, Jio, Ajun, Alice, sama satu lagi namanya Yogi. Alice sama Jio, tuh, ibarat 2 orang yang 'saling' sejak awal. Dari masih temenan, mereka selalu saling ngertiin, saling ngisi, saling ada, dan saling-saling yang lainnya. Makanya gue dan yang lain gak pernah heran kalau mereka end up jadian dan harmonis sampai hampir 4 tahun.” Elias mengambil jeda.
“Dulu, gue selalu mikir mereka bakal sampai nikah. Karena Jio selalu pengertian sama Alice yang kadang keras kepala dan kekanak-kanakan. Alice pun selalu ngertiin sibuknya Jio sebagai anak olim dan OSIS. Cek-cok? Pasti. Mereka sering cek-cok karena jadwal Jio yang terlalu sempit buat ketemu bahkan di dalem sekolah. Jio sering dispen karena tambahan olim dan rapat OSIS. Alice kesepian, gue paham betul karena dulu dia pernah cerita sama gue.”
“Alice itu tipe cewek yang kayak gimana, Kak? Pasti cantik ya?”
Elias mengangguk. Dirinya tidak pernah munafik tentang betapa cantiknya Alice sedari dulu. “Dia cantik banget. Gengnya ber-4, cantik semua. Dari SMA mana pun kenal sama mereka dan followersnya tentu banyak. Mereka sering banget hang out setiap pulang sekolah. Tapi Jio gak bisa ngikutin cara hidup Alice yang pengennya nongkrong sana-sini, anaknya cuma fokus sama nilai. Akhirnya yang bisa gabung cuma gue sama Yogi, itu pun gue gak sering-sering karena lebih suka nongkrong di warkop. Singkat cerita, Alice jadi sering sama Yogi. Jio awalnya pikir malah bagus, dia ada orang buat nitipin ceweknya karena dia sibuk. Tapi ternyata, Alice sama Yogi diem-diem saling suka dan Alice hamil. I don't know when and how.“
Kepala Kai langsung tegak. Entah kenapa dadanya ikut sesak mendengarnya. Dia membayangkan separah apa luka yang tertoreh di hati Jio.
“Yang awal tau, tuh, Jio. Alice ngomong ke dia langsung. Dia yang tau dari awal kalau yang dikandung Alice itu anaknya Yogi. Awalnya Yogi tiba-tiba hilang, kami lost contact, Yogi keluar dari kampus dan nomornya gak aktif. Beneran ngilang tanpa jejak. Gue nyariin dia berbulan-bulan mikir ada yang gak beres karena sebelumnya gak ada yang salah, sedangkan Jio dan Ajun milih buat diem dan gak peduli lagi. Gue dulu mikir, 'kok bisa mereka jahat banget gak peduli sama Yogi? Apa mereka gak peduli?' Gitu. Gue belain Yogi mati-matian di depan Jio tanpa tau kalau dia udah ngekhianatin sahabatnya sendiri.”
Kai bisa lihat mata Elias berkaca-kaca, sedangkan dirinya sudah menetaskan air mata. Seperti dia yang ikut menanggung rasa sakit yang Jio alami waktu itu. “2 minggu kemudian Alice ngilang juga. Gue udah tau kalo Alice selingkuh dan hamil, tapi gue gak tau sama siapa dan kenapa. Gue terlalu fokus sama hilangnya Yogi tanpa tau kalau Jio tersiksa. Akhirnya lama-lama gue sadar kalau gue lebih baik fokus sama apa yang di depan mata, yang hidup, yang jadi korban, dibandingkan nyari dia yang hilang tapi ternyata dalang. Gue beneran nyesel banget, Kai, karena baru tau kalo Yogi yang bikin Jio kacau kayak gitu.”
Kai membawa Elias ke dalam dekapannya. Kakaknya sudah meneteskan air mata penyesalan. Sejak dulu, Elias memang orang yang hatinya lembut. Dia akan menangis dalam setiap kesempatan yang membuat hatinya tersentuh. Dari matanya saja sudah terpancar betapa menyesalnya dia karena secara tidak langsung menyakiti Jio yang sudah patah berkeping-keping.
“Kak.. Hey? It's okay, it's not your fault. Lo waktu itu posisinya gak tau apa-apa, wajar. Mungkin kalau gue jadi lo, gue akan ngelakuin hal yang sama.” Kai berusaha menenangkan.
“Gue sayang banget sama temen-temen gue, Kai, gue gak nyangka banget kami bakal saling ngehancurin gini..” katanya di balik bahu Kai. Air matanya mengalir deras.
“Tapi sekarang semuanya udah baik-baik aja, 'kan, Kak? Tenang aja, Kak Jio udah punya gue sekarang.” Elias mengendurkan pelukannya. Ditatapnya adik yang paling dia sayang. Pipinya dielus oleh Kai untuk menghapus air mata yang tersisa. Di dalam hatinya, banyak sekali kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi pada adiknya karena kedatangan Alice ke Indonesia membuat pikirannya tak tenang.
“Kai..”
“Hm?” Elias menangkup kedua pipinya. “Kalau mencintai Jio rasanya udah terlalu sulit dan sakit, tolong berhenti ya? Berhenti, terus dateng ke gue. Gue selalu ada kapanpun lo butuhin. Walaupun gue sayang sama Jio, tapi kalau dia berani nyakitin lo, gue rela ninggalin dia buat lo. Jadi bilang sama gue kalau ada yang gak beres ya?”
Malam itu, Kai menyadari kalau Elias mengkhawatirkan kekecewaan yang mungkin akan dirasakannya. Dia pun mengerti Elias hanya sedang menjalankan perannya sebagai seorang kakak. Dan di hati Elias, diam-diam dia memanjatkan doa agar adiknya tidak perlu merasakan sakit hati akibat cinta yang hancur di masa lalu.