Kaia, Habilal, dan Hujan
Kai duduk di bangku depan fakultasnya. Kakinya mengetuk tanah dengan gugup karena bisa dia dengar suara petir yang bersahut-sahutan. Awan di langit juga mulai menghitam, pertanda hujan akan turun tapi entah pada menit ke berapa. Tak lama, motor Jojo yang sudah familiar di matanya mendekat. Yang mengendarai mengenakan helm full face milik Jojo. Motor itu berhenti tepat di depannya, kemudian sang pengendara membuka helmnya.
“Lama gak?” Mata Kai hampir keluar saat melihat bahwa Bilal adalah si pengendara. “Lo..”
“Maaf banget tadi macet. Jakarta rame banget sore gini. Ayo naik.” Bilal mengambil helm cadangan yang menggantung di dekat kakinya berada dan memberikannya pada Kai. “Pake nih.”
Kai tak bergeming, hanya menatap Bilal dan helmnya. “Lo ngapain sih, Bil?”
“Ya jemput lo lah, ngapain lagi? Ayo buruan keburu ujan ini.”
Kai memutuskan untuk tidak naik ke atas motor dan berjalan untuk naik bis. “Gue gak mau berurusan sama lo lagi. Mending lo pulang aja sana sendiri.” Bilal kelabakan saat Kai berjalan menjauh. Dia melajukan motornya pelan di samping Kai.
“Yah, Kai, jangan gini dong. Nanti kalo lo gak sampe rumah gue yang dibunuh Jojo. Ayo naik aja, Kai, gue gak ngomong apa-apa deh di motor. Jangan pulang naik angkutan umum. Lo mau kejadian itu keulang lagi?”
Kai menghentikan langkahnya. Memorinya tiba-tiba memutar kenangan buruk saat dirinya hampir dilecehkan di dalam angkutan umum dan Bilal adalah satu-satunya saksi dan penolong saat itu. “Gue gak mau kejadian itu keulang, Kai. Jadi, please, pulang sama gue aja ya?”
Dengan menurunkan gengsinya, Kai menerima helm tadi dan naik ke atas motor. Sesuai omongannya tadi, Bilal benar-benar tidak mengajak bicara Kai. Ya.. setidaknya 10 menit pertama. Sisanya dia tidak tahan untuk tidak mengajak ngobrol mantannya yang masih sering ada di pikiran.
“Lo udah makan belum, Kai?”
“Katanya gak bakal ngajak ngomong.”
“Ya mohon maaf, ya, kencing bisa gue tahan tapi kalo kangen sama lo gak bisa.” Kai melotot saat mendengar perkataan Bilal. Memang dari dulu Habilal terkenal akan mulutnya yang ceplas-ceplos dan jenaka. Perkataannya selalu bisa menyanggah opini siapapun. Tak heran dia menjabat sebagai ketua klub debat waktu SMA dulu.
“Gak jelas,” sahutnya.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Memang sudah diaba-abai sejak tadi dan ternyata hujan memutuskan untuk turun pada menit ini. Bilal langsung melipir ke tempat teduh, sebuah toko bangunan yang sedang tutup. Mereka mengibaskan baju yang terkena tetesan air.
“Basah ya? Maaf gue kelamaan cari tempat neduh,” ucap Bilal merasa bersalah. Kai menggeleng. Bilal masih sama, suka minta maaf buat hal-hal yang bukan salahnya, pikir Kai.
Melihat tetesan air yang deras, tangan Kai menengadah, menampung air hujan. Bilal tersenyum melihatnya. Dari dulu dia suka dengan pribadi Kai yang selalu menghargai hal-hal kecil. “Masih suka mandi hujan gak? Dulu setiap hujan selalu nelfon gue minta temenin kuyup.” Bilal berusaha membuka percakapan.
“Udah enggak.”
“Kenapa? Padahal gue masih suka kayak gitu. Setiap hujan deres gue selalu ambil kunci motor terus ke taman kosong yang biasa kita datengin dulu.”
Bohong kalau Kai bilang saat ini di benaknya tidak terputar memori masa-masa mereka bersama. Tapi Kai memilih bungkam, enggan memperpanjang topik ini. Tapi bukan Habilal namanya kalau gampang menyerah. “Masih suka makan bubur gak diaduk?”
Kai memang enggan menjawab, tapi dia juga enggan protes. “Masih,” jawabnya.
“Kalau gue udah gak makan bubur diaduk. Waktu gue makan bubur Bu Darsi, gue inget lo. Akhirnya gue nyoba buat makan bubur tapi gak diaduk. Ternyata rasanya sama tuh? Malah lebih enak gak diaduk, gak berantakan. Visualnya juga tetep cantik.”
Kai tersenyum kecil mengingat betapa kekanakannya mereka dulu saat menghadapi perbedaan cara memakan bubur. Mereka saling menghina, tapi tetap memutuskan untuk makan bersama. “Dari dulu juga gue bilang enakan gak diaduk, kan?”
“Es krim favorit lo masih magnum?” Kai menggeleng. “Sekarang udah gak terlalu suka es krim. Lebih sering minum kopi.”
“Dulu padahal lo paling anti minum kopi ya. Inget banget lo nangis gara-gara dikasih dare minum kopi.”
“Tapi semenjak itu gue mutusin untuk nyoba hal-hal yang awalnya gue benci. Kopi ternyata gak sepahit itu. Lebih pahit rasa waktu lo mutusin gue.” Bilal tertohok dengan kalimat terakhir Kai. Tentu rasa bersalahnya selalu membekas. Lukanya juga terus basah. Tapi mendengar Kai yang selalu menyebut kebrengsekannya ternyata jauh lebih sakit dari perkiraan.
“Maaf.” Hanya kata itu yang akhirnya keluar dari mulut Bilal. Sedangkan Kai campur aduk. Ada perasaan puas yang diam-diam bertengger. Puas karena bisa membahas kesalahan masa lalu dengan si pelaku. Tapi ada pula rasa sakit dan rasa bersalah karena melihat Bilal tiba-tiba murung.
“Gue harap lo selalu jadiin kesalahan itu sebagai pelajaran, Bil. Entah apa yang ada di pikiran lo saat itu, tapi gue bisa pastiin gak ada yang mau ngerasain ada di posisi gue.”
“Kalau gue bilang ada alasan lain, lo bakal percaya gak, Kai?” Bilal menatap Kai penuh harap.
“Gue percaya pun gak akan bisa ngubah situasi kita, Bil. Apa yang lalu tetap di masa lalu. Gak perlu diulang, apalagi diperbaiki. Kalau lo minta gue untuk memaafkan, gue udah maafin lo. Tapi sebijak apapun gue, rasa sakitnya selalu tinggal.”
Bilal lagi-lagi tertunduk. Tidak tau harus menyalahkan siapa. Pada akhirnya dia menyalahkan semesta yang membuat takdirnya begitu rumit. “Kira-kira kapan rasa sakitnya bisa sembuh, Kai? Supaya kita bisa sama-sama lagi…”
”...sebagai teman.” Kai termangu. Jujur hatinya belum terbiasa dengan ini. Membayangkan dirinya berteman dengan orang yang menjadi patah hati pertamanya membuat dia menghela napas duluan.
“Nanti. Nanti akan ada saat gue bisa nyembuhin luka yang lo buat. Akan ada saatnya kita jadi teman. Tapi gak sekarang, Bil. Gue masih belum tau gimana caranya buat berdamai sama masa lalu.” Omongan Kai menjadi penutup percakapan mereka tentang masa lalu. Bilal berpikir, mungkin memang seharusnya dia meninggalkan masa lalunya. Mungkin memang seharusnya dia tidak berharap untuk bersatu dengan yang lalu.
Mereka saling diam selama hampir 1 jam setelahnya. Mereka menunggu hujan berhenti, tapi hujan masih sama derasnya. Bilal membuka jok motor, berpikir siapa tau ada jas hujan. Benar saja, terdapat satu pasang jas hujan di dalamnya. “Lah, anjir, ada jas hujan ternyata. Lo pake nih, Kai. Biar pulangnya gak kemaleman, udah mau maghrib gini.”
“Terus lo pake apa?” Bilal mengedikkan bahunya. “Gue mah gampang, gak pake juga gapapa. Biar sekalian basah aja.”
“Gak usah. Nunggu reda aja.” Tangan Kai ditarik pelan, Bilal menaruh jas hujan tadi di tangannya. “Pake. Gue gak mau mulangin lo kemaleman. Hujan kayak gini bakal lama berhentinya.”
Kai akhirnya menyetujui ide Bilal. Mereka pun meneruskan perjalanan setelah Kai selesai memakai jas hujannya. Dari dulu, Hujan, Kaia, dan Habilal adalah tiga hal yang tidak bisa dipisahkan. Tapi sekarang, semua sudah ada porsinya masing-masing. Mereka tetap berpisah, hidup tetap berjalan, dan hujan pun tetap turun.