(not) IKEA date
Ini gue harus bersyukur tadi pagi habis jomplang dari kursi gak sih? Soalnya andai kursinya masih baik-baik aja dan gue gak beli kursi baru ke IKEA, mungkin sekarang gue gak ketemu sama mantan cantik gue.
Siapa lagi kalau bukan Kaia Elaina.
Ih sumpah ya, sampai sekarang gue masih berpendapat kalau nama Kaia itu somehow cantik. Gak pasaran (at least untuk gue) dan kesannya anggun. Jadi kalau lo merapalkan nama itu di dalam hati secara terus-menerus, alih-alih bosan, lo malah kecanduan.
Kaki gue tentunya melangkah begitu saja ke arahnya yang sedang melihat-lihat sebuah cangkir berwarna pastel. Gue berhenti tepat di sebelahnya, membawa keterkejutan di wajahnya.
“Hai,” sapa gue begitu saja. Gue ikut mengambil satu cangkir dan melihat-lihat.
“Lo ngapain disini?” tanyanya. Gue terkekeh. “Ya ini, kan, tempat umum. Masa gak boleh?”
“Lo ngikutin gue ya?!” tuduhnya. Ya gue gak terima dong!!
“ENAK AJAA!! Gue mau beli kursi!”
“Tapi kenapa harus disini? IKEA, kan, banyak!”
“Lah? Kok lo malah ngatur, sih?!”
“Mbak, Mas, suaranya kecilin dikit, ganggu pengunjung lain.” Kami sama-sama bungkan saat seorang ibu-ibu menegur kami.
Dia mendelik kesal, lalu melengos meninggalkan gue. Ya walaupun jujur gue agak kesal karena dituduh ngikutin dia, tapi gak mau munafik juga kalau sekarang gue memang ingin mengikuti langkahnya.
“Rambut lo hari ini cantik.” Gue memberi komentar pada rambutnya yang dikepang kecil dan disanggul sedemikian rupa.
“Thanks.” Dia hanya jawab begitu dan kembali pergi melihat barang lain. Kali ini dia mencium beberapa pewangi ruangan dan mengambil 10 biji.
“Banyak amat belinya. Lo lagi jastip, kah?”
“Bawel! Sana cari kursi aja!” Dia merengut kesal. Gue tetap gak peduli dan malah ikut mengambil scented candle untuk di kamar.
“Kok lo gak sama pacar lo, Kai?” tanya gue penasaran. Tangan gue masih sibuk mengambil pewangi ruangan yang sebenarnya belum gue ketahui wanginya.
“Me time.“
“Me time atau me time?” ledek gue. Dia berbalik untuk melotot dan mendengus lalu kembali berjalan meninggalkan gue. Ini orang ada dendam banget kayaknya sama gue. Tapi... ya gapapa sih. Emang gue salah.
“Karena kita sama-sama sendiri, mau bareng aja gak? Temenin gue yuk, Kai? Please?”
“Gak mau, nanti lo geer lagi.”
“Dih? Geer apaan? Gue kan udah bilang gue mau temenan aja sama lo!” ucap gue agak sewot.
Lagian, Kai tuh beneran gak ngerti poin yang gue sampaikan apa ya? Gue udah paham posisi gue sekarang. Gue paham kalau Kaia dan Habilal udah gak bisa bersatu lagi. Jadi gue cuma berusaha deketin Kai untuk memperbaiki hubungan PERTEMANAN bukan buat deketin dia lagi. Jadi yang geer disini sebenarnya siapa sih?!
“Gue udah gak mau deketin lo lagi, Kai, sumpah! Lo gak percayaan banget, sih, jadi orang!” Gue menahan tangannya pelan. Dia tuh ngomong tanpa lihat muka gue dari tadi! Gue kan jadi bingung ngejarnya.
“Kenapa?” Dia tiba-tiba berbalik. Dia berhenti, gue pun ikut mematung. “Kenapa apanya?”
“Kenapa masih mau temenan sama gue?”
“Ya karena gue mau liat lo bahagia. Gue mau liat perkembang lo buat meraih kebahagiaan lain setelah sakit karena gue. Gue mau memperbaiki semua yang gue hancurin dengan cara jadi temen lo, Kai, gue beneran gak akan ngelewatin batas. Serius, gue gak sebrengsek itu buat ngerebut cewek orang.”
Kai kelihatan terdiam. Entah apa yang ada di benaknya. Mungkin mikir, “Alasan apalagi si bangsat ini?” gitu kali, ya.
Gak lama dia mengangguk. “Yaudah.” Terus jalan ninggalin gue lagi.
Gue melongo. Kai hari ini lagi super duper gak jelas, dah. Dia salah makan atau lagi PMS?
“Eh! Yaudah apaan?” tanya gue saat berhasil menyusul langkah kecilnya.
“Yaudah kita temenan. Gak mau?”
“Mau! MAU MAU!”
“Tapi trial dulu.” Gue melongo lagi. Ini lama-lama gue tidur aja apa, ya, di kasur IKEA. Agak capek menghadapi Kai yang anehnya puol.
“Trial gimana sih? Lo kata gue aplikasi?”
“Ya gue harus liat dulu, lah, lo beneran atau enggak mau temenan sama gue. Lo pikir gampang kasih kepercayaan sama orang yang bikin gue nangis-nangis?” ucapnya menohok.
“Jangan dibahas mulu, dong, Kai... Gue tertohok dengernya.”
“Ya lo harus biasa lah! Katanya mau jadi temen? Kalau temen, tuh, harus udah biasa bahas luka dan masalah masa lalu tanpa tersinggung atau sakit hati lagi. Karena kalau kita udah temenan, artinya kita udah sama-sama damai sama masalah kita dulu.” Jelasnya panjang.
Gue akhirnya mengangguk. Gapapa, gapapa kalau gue harus dengar sindiran Kai tentang kesalahan gue 2 tahun lalu. Gue siap dan harus selalu siap. Karena kalau gak begini, mungkin gue akan kehilangan Kai lagi kali ini. Tapi bedanya sebagai teman.
“Yaudah, deal. Terserah lo mau trial berapa bulan. Tapi jangan perlakuin gue kayak orang asing lagi ya, Kai?”
Kai berhenti lalu menatap gue. “Gue gak mau bohong kalau lo selalu terasa familiar, Bil. Walaupun kita berubah status jadi apapun, kalau ketemu lo selalu ada rasa yang sama kayak bertahun-tahun lalu. Lo bayangin aja kita udah bareng-bareng berapa lama. Satu-satunya saat lo asing di mata gue itu waktu gue liat lo jalan sama cewek yang itu tuh.”
“Cewek yang mana?”
“Yang lo pacarin habis putus sama gue.”
Gue mengangguk mengerti. Jelas aja, macarin cewek itu bukan kehendak gue dari awal. Gue cuma pura-pura bahagia di depan Kai, sok baik-baik aja nyakitin dia. Padahal di dalemnya juga gue sama hancurnya. Terbukti hubungan gue dengan cewek itu gak bertahan lama. Sekolah gue tamat, hubungan gue juga. Dan yang bisa gue kenang sama tuh cewek sampai saat ini gak ada sama sekali. Semua panggilan sayang yang terlontar dari mulut gue cuma formalitas semata. Hati gue pun masih milik Kai sampai sekarang. Tapi untungnya, Tuhan masih kasih gue otak dan logika yang berjalan baik. Jadi walaupun gue masih mengagumi sosok Kaia ini, gue gak ada niat sama sekali untuk menghancurkan hubungannya dengan pacarnya yang entah siapa karena gue belum lihat. Karena menghancurkan hubungannya sama dengan menghancurkan hidupnya. Cukup gue hancurin satu kali, gak perlu ada kali kedua.
Iya, gue gak gila waktu nerima Habilal sebagai teman gue lagi. Karena sebenarnya gue juga gak bisa kehilangan dia sebagai temen. Gue mau belajar untuk berdamai. Gue mau belajar untuk menerima kalau gue dan Habilal memang udah selesai dan lebih baik seperti itu. Dan selain itu, gue ingin jadi orang yang lapang.
Suatu sore gue pernah duduk sama Daffa di caffe. Sambil nunggu Damian yang entah lama karena apa. Gue cerita kalau gue dan Habilal terkadang chat-an (dia duluan, of course). Daffa awalnya ngamuk. Beneran mau ngamuk dan hampir ngeblokir nomor Habilal di ponsel gue. Tapi tentunya gue tahan. Gue bilang, gue mau jadi orang yang dewasa dalam menerima rasa sakit. Gue gak mau lari dan benci sama rasa sakit itu terus, gue mau coba hadapi.
Dengan segala pertimbangan dari Daffa (yang sebenarnya gak terlalu berpengaruh terhadap keputusan gue), akhirnya dia menyetujui. Katanya, orang yang lapang adalah orang yang berteman dengan rasa sakitnya sendiri. Karena itu gue bilang kalau gue ingin jadi orang yang lapang. Gue ingin berdamai sama rasa sakit yang ditimbulkan Habilal dulu.
Dan ternyata, setelah kurang lebih 1 jam gue menghabiskan waktu bersamanya di IKEA untuk mencari kursi yang dia butuhkan, ternyata berbincang dengannya udah gak sesakit itu. Di mata gue sekarang Habilal kayak teman lama yang baru bertemu, bukan si mantan brengsek lagi. Bener ternyata, waktu itu menyembuhkan. Dan Habilal juga bener, perihal gue harus lihat dia dari sudut yang lain. Selama ini gue lihat dia sebagai si brengsek, tapi hari ini gue memutuskan untuk melihat dia sebagai si teman lama.
Aneh, memang. Gue akui ini aneh dan gue belum terlalu terbiasa. Ya jelas, gue menghabiskan 1 tahun tanpa lihat wajahnya. Tapi lama-kelamaan candaannya mulai lucu, gak lagi annoying. Senyumannya juga udah gak membawa debar, udah kayak senyum biasa dari Daffa dan Damian. Perbincangan tentang masa lalu juga cuma membawa kenangan, bukan lagi luka.
Walaupun mungkin gue masih butuh waktu untuk menghilangkan pikiran 'takut ditinggalkan', gue yakin waktu akan selalu punya jawabannya. Tapi perlahan gue pun harus bebenah diri, kan? Karena kalau gue gak mulai, seterusnya gue akan terus terjebak di lubang hitam yang entah dasarnya ada dimana. And i guess, this is the first step.