jakarta malam


Malam ini entah kenapa jadi jauh lebih indah dari biasanya. Ini namanya lebay atau nggak, sih? Soalnya sejak Kak Ji melontarkan pertanyaan yang bikin gue agak shaking tadi, gue langsung lihat langit malam ini tiba-tiba berubah bagus dan indah. Udaranya sejuk cenderung dingin, membuat gue ingin cepat duduk di belakang motor Kak Ji dan mendengar celotehannya sepanjang jalan. Dan entah kenapa juga, gue jadi sibuk memilih baju yang cocok untuk malam yang 'kayaknya' akan jadi malam yang indah bagi gue.

Gue berdecak saat galau harus pilih baju yang mana. Akhirnya dengan segala pertimbangan, gue memilih baju rajut putih lengan panjang dengan bagian leher model turtleneck karena sepertinya malam ini akan agak dingin. Bagian kedua bahunya sedikit terbuka. Dipadu dengan wide leg jeans terang dan sepatu boots hitam. Setelah selesai gue melangkahkan kaki untuk ke bawah.

Tanpa gue sangka, ternyata Kak Ji udah duduk di sofa ruang tamu sama Mami. Gue melotot ke arahnya, seakan bilang, “KENAPA GAK NGOMONG KALO UDAH SAMPE?” lewat tatapan mata. Sedangkan dia cuma tersenyum manis ke arah gue.

“Kai ngapain berdiri disitu? Sini! Lama banget dandannya, kasian tau Jio-nya!” omelan Mami membuat gue gelagapan dan buru-buru menuruni tangga. Kak Ji tertawa kecil. “Gapapa, Tante, lagian gak buru-buru kok.”

“Yaudah, Mi, Kai berangkat sekarang deh.” Gue pamit sekalian menyalimi tangan Mami yang diikuti oleh Kak Jio.

“Tante, Kai-nya Jio pinjem dulu ya. Nanti dipulanginnya gak malem-malem, kok.” Gue bisa lihat Mami menatap Kak Ji dengan lembut dan senyum hangat. Kepala Kak Ji dielus dengan sayang, “Iya, Jio.. Bawa aja. Hati-hati di jalan, ya.”

“Iya, Tante.”

Setelahnya Mami izin masuk kamar untuk lanjut nonton drakor sedangkan kami berdua berjalan keluar untuk segera berangkat. Kak Ji memberikan helm yang biasa gue pakai lalu menatap gue seraya memakai helmnya sendiri. Asal kalian tau, senyumnya gak luntur dari bibirnya sejak tadi.

“Kamu kenapa gak ngomong kalo udah sampe, sih? Kalo gitu aku buru-buru tadi.”

“Kenapa harus buru-buru? Aku santai aja, kok. Kamu mau dandan seberapa lama pun aku gak akan protes, kan itu hak kamu.” Tangannya terulur merapikan rambut gue yang jatuh menutupi wajah. Perlakuan kecil seperti ini yang membuat gue selalu tersentuh.

“Yaudah, berangkat yuk? Takut kemaleman.”

Gue naik ke atas motor Kak Ji yang mulai membelah jalanan Jakarta yang malam itu lumayan dingin. Entah karena sedang musim hujan atau justru akan turun hujan, tapi yang jelas dinginnya malam ini membuat tangan Kak Ji menuntun kedua tangan gue untuk melingkar di perutnya. “Dingin, ya? Tangannya masuk aja ke kantong hoodie aku.”

Diam-diam gue tersenyum di balik bahunya. Merasakan kehangatan di malam dingin Jakarta tanpa gue kira ternyata indah juga. Kami berhenti di taman perumahan yang—entah dimana karena gue gak hafal jalanan Jakarta. Kak Ji menaruh helm gue di atas spion kiri dan miliknya di spion kanan. Tangannya terulur menagih balasan tangan gue, yang tentu gue sambut dengan senang hati. Dia menuntun gue duduk di salah satu bangku taman.

“Doyan sekoteng, gak?” tanyanya sambil jongkok di depan lutut gue. Kalau dilihat seperti ini matanya kelihatan bersinar, kayak ada galaksi di dalamnya. “Doyan, kok. Ada yang jual emang?”

“Ada, tuh,” Dia menunjuk ke arah belakang gue yang ternyata ada beberapa gerobak penjual makanan dan minuman kaki lima. Gue gak notis itu karena tertutup ayunan dan perosotan anak-anak. “Kalau gak, ada susu jahe merah juga.”

“Susu jahe aja deh, Kak. Biar langsung minum.” Kak Ji mengangguk lalu berdiri. “Tunggu sebentar, ya, gue beli dulu. Mau makan sekarang atau nanti?”

“Nanti aja, belum laper. Kamu laper gak?”

“Belum juga, tadi abis minum susu protein pas gym. Oke, sebentar, ya.” Gue mengangguk. Mata gue mengikuti setiap langkah yang diambilnya. Lagi-lagi gue dibuat tersenyum hanya karena melihat dia tertawa saat mengobrol dengan tukang susu jahe.

Gak lama Kak Ji balik dengan dua gelas susu jahe di tangannya. Dia melangkah dengan hati-hati, lalu menaruh gelasnya di tempat kosong sebelah kiri gue. Dia duduk tanpa menyisakan celah di antara kami berdua. Tangannya menyelinap ke sela-sela jari gue, mengisi kekosongan di antaranya. Bahunya yang berjarak dekat menggoda gue untuk menaruh kepala di atasnya, maka gue lakukan.

“Jawab dong,” cicitnya tiba-tiba. “yang tadi di-chat.”

“Yang mana?” goda gue. Padahal gue tau yang mana, tapi malu.

“Mau pacaran gak?” Suara lembut dan tenangnya sukses membuat gue ingin berubah jadi susu jahe detik itu juga. Jantung gue berdetak kencang sampai gue takut Kak Ji dengar dan berpikir gue cewek norak yang gak pernah pacaran. Gue menarik kepala gue dari bahunya, tapi gak memiliki cukup keberanian untuk menoleh ke arahnya.

“Kalau belum siap, aku akan tunggu sampe kamu siap. Tapi kalau udah siap, ayo pacaran.” Dia masih bicara dengan nada tenang.

Kayaknya yang lebay deg-degan cuma gue disini. “Aku juga gugup, jadi jawab dong, jantung aku kenceng banget detaknya.” Saat itu juga gue menoleh ke arahnya yang menatap gue melas.

Tawa kecil keluar dari mulut gue. Ternyata bukan gue doang yang gugup. “Tapi, Kak,” Omongan gue terhenti, membuat gue yakin dia semakin gugup.

“Kita berdua sama-sama tau masa lalu masing-masing, kan? Tau gimana sakitnya ditinggal sama yang kita sayang. Kalau hal itu terjadi lagi sama kita? Gimana?”

Senyum tipis menghiasi bibirnya. Kini kedua tangannya menggenggam tangan gue, menatap gue dengan air muka serius. “Aku gak bisa janjiin kamu bakal bahagia seratus persen kalau sama aku. Karena aku pun manusia yang bisa kapanpun buat salah. Tapi aku juga manusia yang bisa berusaha, jadi sebisa mungkin aku akan buat kamu bahagia dengan caraku. Dan yang perlu kamu ketahui cuma satu, Kai, aku bukan tipe orang yang ninggalin duluan.” Perkataan hangatnya membuat gue mengangguk.

“Aku percaya. Aku percaya karena kamu yang bilang itu. Tapi, Kak,” gue mengambil jeda. “Kalau andai aku yang nyakitin kamu?”

It's okay. Jatuh cinta, kan, gak selamanya indah. Jatuh cinta juga perlu ambil resiko sama siapapun kita jatuh. Kalau aku sakit hati, gapapa, karena yang milih kamu, kan, aku. Lagipula, jangan mikirin hal yang gak pasti akan kamu lakuin.”

Gue menyadari betapa besarnya hati seorang Adagio malam ini. Tuhan bisa menciptakan seorang Adagio dengan segala kelebihannya ini buat gue berpikir, ini kebaikan diambil dia semua apa yang lain bakal kebagian, ya? Pembawaannya selalu tenang, pribadinya lembut, orangnya teliti dan sabar, semua yang ada di diri dia selalu heart warming. Adagio tuh kayak candu, semakin kalian kenal, semakin kalian jatuh.

I need you to trust me, no matter what will happen. Aku minta kamu untuk percaya sama aku. Boleh, ya? Karena aku akan ngelakuin hal yang sama, percaya sama kamu.”