“hantu” kamar 013
Gue melihat ke arah langit yang hari ini cerah. Terlalu cerah sampai gue gak bisa lihat apa-apa di langit. Yang jelas langit kelihatan biru bersih. Tapi biasanya langit seperti ini membuat matahari jadi jauh lebih menyengat ke kulit. Dan benar saja, gue bisa lihat Dami dengan topi dan kacamata hitamnya, sedangkan Kak Ji dengan topi dan kaos hitamnya. Sesuai rencana, kami bertiga akan datang ke kos Daffa dan mengecek apa yang sebenarnya dia takuti.
Helaan napas terdengar dari samping kiri gue. Ada Dami yang lagi mendongak lihat langit. “Hari yang indah untuk nangkep setan,” celetuknya bikin gue menggebuk tangannya kencang.
“Entar didatengin beneran NANGIS...” ledek gue. Kak Ji mengajak kami untuk masuk ke dalam kos Daffa usai memarkirkan motor di depan.
Kaki kami melangkah ke rumah (yang lebih cocok disebut gedung) kos yang lumayan besar itu. Kata Daffa, berhubung kosan ini baru dibuka sekitar 11 bulan lalu dengan harga yang lumayan mahal untuk mahasiswa (2 juta / bulan), jadi wajar saja kalau penghuninya masih dikit. Jadi kosnya ada 3 lantai, per lantai ada 12 kamar. Gedungnya berbentuk sayap kanan-kiri dan setiap sayap ada 6 kamar berhadapan. Kata Daffa fasilitasnya mantep puol, AC-nya boleh dinyalain 24 jam, ada wifi di tiap kamar yang kencangnya minta ampun, makanya kadang kamar Daffa dijadikan warnet sementara. Aturannya cukup simpel, kamar harus dijaga kebersihannya, dapur bersama harus bersih dan rapih, kamar mandi gak boleh kotor dan bau, sampah gak boleh menumpuk, dan satu lagi, gak boleh pelihara binatang. Karena kosnya campur, jadi maksimal bawa teman lawan jenis sampai jam 10 malam, setelah jam itu akan dicek di CCTV dan ibu kosnya datang untuk nyuruh tamunya pulang. Kata Daffa, gak peduli mereka lagi ngerjain tugas atau apa, yang jelas di atas jam 10 gak boleh bawa teman lawan jenis. Gue tau banyak tentang kos Daffa ini karena anaknya bawel cerita hal-hal di tempat kosnya tanpa terkecuali.
Kami duduk menunggu di ruang tamu kos yang kursinya cukup banyak. Jujur, lebih mirip hotel kecil daripada kosan karena mengingat penghuninya pasti banyak banget seandainya full. Selang beberapa lama, Daffa turun dengan celana jogging hitam dan kaos oblong warna biru dongker. Rambutnya kelihatan agak kacau dan— wow, bawah matanya mulai menghitam. I guess gangguannya memang se-intens itu sampai dia semenyedihkan ini.
“Lu ketempelan ya, Daf? Dekil amat.” Lagi-lagi Damian dan mulut sembrononya.
Daffa langsung melempar sendal selopnya ke arah Dami. “MULUTNYA TOLONG DIJAGA YA, BABI!”
Tanpa menunggu lebih lama lagi, kami berjalan beriringan ke lantai 2. Kalau siang hari sebenarnya gak kelihatan serem, cuma sepi aja. Tapi gue kebayang kalau malam pasti hawanya sedikit berbeda karena tembok putih bersih dan lorong panjang yang sepi. Kami masuk ke kamar Daffa dulu, 'menyusun strategi' katanya.
Kamar Daffa terlihat seperti kamar kos biasa, tapi agak luas. Ada single bed, meja belajar dan kursinya, lalu ada lemari putih untuk pakaian. Di pojok ruangan ada troli kecil berisi makanan dan minuman yang bisa digeser dengan mudah. Tidak ada sofa, hanya ada 2 bean bag yang tampaknya jarang dipakai karena masih terlihat bagus. Alhasil gue dan Kak Ji duduk di atas bean bag
“Gue ngerapihin kamar demi kalian nih,” ucapnya mulai perhitungan. Padahal kalau dilihat juga masih berantakan.
“Lu rapihin aja dulu hidup lu yang berantakan itu,” kata Dami sambil mengangkat celana dalam Daffa yang— unexpectedly ada di atas meja belajar. Eugh.
Tangan Daffa langsung menyambar celana itu dan mengumpatkannya di belakang badan. “BERSIH! SUMPAH BERSIH!” Teriaknya panik berusaha merubah ekspresi jijik Dami.
“Kalo rapi, mah, gak akan ada kancut di atas meja belajar, bego. Rapi darimananya.” Damian lalu menoyor kepala Daffa.
“Jadi kamarnya yang mana, Daf?” Kak Ji berusaha untuk mengembalikan fokus kami. Daffa berjalan ke arah keranjang kotor dengan cepat untuk menaruh celana tadi lalu duduk di pinggir kasur. “Yang sebelah kiri, Bang, yang nomor 013.”
Kak Ji mengangguk, lalu berdiri. Kami yang sadar kalau ini saatnya kami mengecek 'kebenaran' langsung saling tatap. Daffa kelihatan tambah gugup ditambah panik. Asli, rasanya baru 2 kali gue lihat Daffa sepanik ini selain waktu buka pengumuman SBMPTN.
“BANG!!” teriak Daffa 5 centi sebelum Kak Ji meraih gagang pintu. “Apa?”
“Ini gak mau nyusun strategi dulu? Kalau misal setannya udah nunggu di belakang pintu terus dia nyerang kita atau salah satu dari kita terhipnotis gitu gimana? ATAU dia sebenernya manusia yang nyelinap masuk dan udah nyiapin pisau di balik pintu? ATAU—”
“DAF!” potong Kak Ji. Baru kali ini gue lihat Kak Ji teriak dengan muka FRUSTASI parah. Dia kelihatan buka mulut dan menutupnya lagi berkali-kali. “Denger, calm down, okay? Jangan panik dulu, kita cuma ngecek hal sepele. Kalau lo emang gak berani biar gue sendiri aja, gapapa sumpah.” Kak Ji berusaha meyakinkan.
Sebenarnya gue tau dia malas berhubungan dengan drama 'hantu' Daffa ini. Karena jujur memang gue juga mikir ini semua gak masuk akal, sih. Apalagi sampai berpikiran ada manusia yang nyelinap... kayaknya agak too much.
“Yaudah gue tunggu di dalem, deh. Sumpah nyali gue udah minus nol.”
Tangan gue langsung menoyor kepalanya. “BILANG DARI TADI! JANGAN MALAH MENGHAMBAT JALANNYA OPERASI INI!”
Kak Ji keluar, diikuti gue, lalu Damian. Daffa berdiri di belakang, kepalanya menongol di sela daun pintu. Matanya memejam sebelah saat Kak Ji memegang gagang pintu kamar 013 itu. Gagang pintunya ditekan ke bawah, bersamaan dengan Daffa yang tiba-tiba menutup pintu dengan kencang sampai gue berani sumpah gue teriak heboh (banget) di telinga Kak Ji. Gue lihat Dami sampai mundur menabrak tembok di belakangnya, dan Kak Ji melepas tangannya dari gagang pintu.
“ANJIIINNNNGGGG, DAFFA GOBLOOK!!” umpat Dami, mewakili kami bertiga.
Akhirnya Kak Ji langsung membuka pintu kamar itu. Kepalanya menengok ke kanan, kiri, atas, bawah, lalu diulang lagi sampai gue dan Dami jadi gak sabar untuk ikut lihat kondisi dalamnya. Kami berdua menyelinap masuk kamar yang kosong dan agak berdebu itu. Dahi kami mengerut. Gak ada apa-apa, tuh?
Tapi setelahnya gue mendengar suara anak kucing yang mengeong dengan amat kecil dan lemah. Langsung gue membuka pintu lemari kayu yang tertutup. Benar saja, ada anak kucing warna abu-abu yang mengeong dengan sisa tenaganya yang tinggal sedikit. Usianya sekitar 3 bulan, badannya kurus dan tubuhnya ada debu dari lemari.
“Kucing....” Dami ikut berjongkok di sebelah gue. Kami bertiga terdiam, melongo bersamaan menatap anak kucing itu.
Dami terkesiap, membuat gue dan Kak Ji menoleh ke arahnya. “Terus gue ngomong apa sama orang pinter yang gue panggil?”
“Bilang aja setannya udah ketangkep,” sahut Kak Ji.
Kalau kata orang hidup itu cuma sandiwara, kata gue hidup itu cuma komedi. Kalau gak ngetawain hidup, ya kita yang diketawain. Siklusnya berulang. Tinggal pilih mau ngetawain atau diketawain. Yang jelas dua-duanya sama-sama miris. Kayak hidup gue sekarang.