“Udah pas rasanya?” Kai memperhatikan Bilal yang sedang mengunyah udang asam manis buatannya. Wajahnya serius sekali, seperti juri master chef.
“Kurang garem DIKITTTT lagi abis itu lo cocok jadi muridnya Chef Arnold.” Kai tertawa pelan mendengar ocehan Bilal yang sedari dulu memang aneh.
Dia menambahkan sedikit garam lalu memberi udang lain pada Bilal untuk kembali dicicipi. Setelahnya Bilal mengangguk, jempolnya mengacung di udara. Dia menutup mulutnya dengan tangan satunya. “ENAK! UDAH ENAK! Gue jamin pacar lu nempel. PELET INI MAH!!”
“Lah kalo pelet gue gak mau melet elu,” balas Kai. Tubuhnya lalu oleng karena didorong pelan oleh Bilal.
“Mau gue anter ke rumah cowok lo gak?” tawar Bilal.
“Ngerepotin gak?”
“Buat lo mah enggak.”
“GUE BENERAN GAK NGASIH PELET KE UDANGNYA YA, BIL!!”
“GUE NAWARIN DOANG!!!”
Pada akhirnya perdebatan mereka ditutup dengan interupsi pembantu rumah Kai yang bilang kalau dapurnya ingin dibersihkan kalau kegiatan memasaknya sudah selesai. Dengan itu Kai naik ke atas untuk mandi dan ganti baju. Bilal duduk di sofa sambil sesekali melirik foto-foto yang dipajang di sekitarnya.
Mereka berangkat. Butuh sekitar 40 menit untuk sampai. Sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi jalanan macet, jadi sedikit lama. Kai menuntun Bilal tanpa maps, dia hanya mengarahkan ke arah mana Bilal harus melajukan motornya. Saat memasuki kompleks rumah Jio, Bilal mengerutkan dahinya. Tapi dia diam. Berpikir kalau rumah pacar Kai hanya satu kompleks dengannya saja. Tapi saat Kai meminta untuk memberhentikan motornya tepat di depan rumah Jio, Bilal langsung termangu.
Tangannya menahan Kai yang sedang membuka kunci pagar rumah Jio. “Kenapa? Gue gak maling ya, cowok gue bilang kalau ke rumahnya langsung ke depan pintu aja. Gue udah pernah ke rumahnya dan buka pager sendiri. Gak percaya?”
Dirinya turun dari motor dan melepas helm. “Ini rumah pacar lo?”
Kai menatap Bilal heran. “Ya iya lah? Kenapa sih?”
“Yakin?”
“Iya.” Kai melanjutkan kegiatan membuka kunci slot pagar rumah Jio. Tapi lagi-lagi ditahan oleh Bilal. “Kenapa lagi sih, Bil? Gue mau masuk. Lo lagian ngapain turun? Sana pulang aja, gue nanti pulang sendiri.” Kai agak kesal melihat tingkah aneh Bilal.
“Gue boleh ikut gak?”
“Hah?”
“Ikut masuk. Boleh gak? Sekalian kenalan sama pacar lo. Gue kan belom kenalan? Kita temen kan? Masa gak ngenalin.” Kepala Kai mulai pening mendengar rentetan pertanyaan dari Bilal.
“Bil, masih ada lain kali.”
“Enggak. Kita gak pernah tau apa bener ada lain kali. Kalo tiba-tiba besok gue udah gak ada gimana? Gue belom sempet ketemu pacar lo. Mukanya aja belom tau.”
“YA AMIT-AMIT!!
“Makanya ayo. Anggap ini kali terakhir gue bisa kenalan sama pacar lo.”
Sebenarnya semua ini hanya akal-akalan Bilal. Dia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau pacar Kai adalah Jio yang dia kenal. Walaupun kemungkinannya 99%. Kai akhirnya mengangguk, dia menuruti keinginan Bilal. Dia membuka pagar dan menyuruh Bilal memarkirkan motornya.
Dia mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Dia tau rumah Jio tidak dipasang bel, jadi mengetuk pintu adalah satu-satunya cara. Bilal yang berdiri di samping Kai menemukan sepasang sepatu perempuan di rak sepatu. Dia mengernyit. Itu bukan sepatu temannya, bukan pula sepatu mamanya. Lagipula mamanya tidak akan datang tanpa aba-aba. Memori Bilal memutar tentang kejadian di mall waktu itu. Saat dia melihat Kai menangis karena Jio berpelukan dengan seorang perempuan. Lantas dia langsung melotot saat menyadarinya. Dia menarik tangan Kai, berusaha menghentikannya mengetuk pintu.
“Gak ada di rumah kali. Udah pulang aja yuk? Percuma lo ngetuk sampe besok juga.”
“Enggak. Kata kakak gue hari ini ada reuni, dia gak ikut karena mau rebahan di rumah,” balas Kai. Bilal menghela napas frustasi.
Ide lain muncul di kepalanya. “Gini! Lo duduk dulu di bangku situ, nanti gue teriak PAKET biar cowok lo turun. Lo sana gih.”
“Dih, gue aja gak dijawab apalagi lo?”
“Lahhhh, lo gak tau aja jaman sekarang kalo ada bunyi PAKET gitu orang langsung buka pintu.”
“Gak mau ah, aneh.”
“Eh biar makin surprise tau, Kai. Lo berdiri di belakang gue deh.”
“Ih enggak!!” seru Kai kesal. Dia lalu menekan gagang pintu, berpikir siapa tau tak dikunci. Dan benar, pintunya terbuka.
“Eh gak dikunci!” pekiknya senang. “Ih bahaya banget deh.” gerutunya kemudian.
Dia melangkah masuk, diikuti Bilal yang pasrah dengan jantung berdegup kencang. Dia takut kalau-kalau dugaannya benar. Pasti hati Kai hancur lagi.
“Kak...” panggil Kai berkali-kali. Dia melangkah ke atas, ke kamar Jio. Bilal hanya menunggu di sofa, berpura-pura sebagai tamu, padahal dia juga tinggal disini. Dia menemukan tas perempuan di sofa, matanya membelalak, beruntung Kai tidak melihat. Langsung saja dia tutupi tas itu dengan bantal sofa.
Kai turun kembali dari tangga. “Kok gak ada juga ya?” tanyanya bingung. Bilal ikut heran, dimana Jio kalau tidak di rumah?
“Kan? Gak ada kan? Udah kita pulang aja.”
“Tapi pintunya gak dikunci. Dia pasti di rumah, Bil.” Kali ini rasanya Bilal ingin menyerah. Dia pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Tapi dia berharap tiba-tiba Kai berubah pikiran dan mengajaknya pulang. “Oh, atau dia lagi ke warung kali ya?”
“Ya... mungkin aja, sih.” jawabnya pasrah.
Kai berjalan-jalan di sekitar rumah yang sudah familiar karena dulu dia sering berkunjung. Dulu itu karena semenjak semester baru ini, dia sudah tidak berkunjung lagi. Waktunya dan waktu Jio selalu tidak bisa bertemu. Kai melangkahkan kakinya ke halaman belakang, diikuti oleh Bilal yang masih was-was.
Kai membuka sedikit pintu yang menghubungkan rumah dengan halaman belakang yang ternyata tidak tertutup rapat. Senyum kecil di wajahnya langsung pudar saat melihat Jio dan seorang perempuan. Bibir keduanya saling bersentuhan. Kejadian itu cukup lama sampai Bilal masih sempat melihat.
Jio terdiam. Dia tiba-tiba tidak bisa memegang kendali atas tubuhnya sendiri. Perlakuan Alice yang terlalu tiba-tiba membuat dunianya seakan berhenti. Dia tidak bergerak dari posisinya sampai Alice yang lebih dulu menarik diri. Dia hanya menatap Alice. Hal itu membuat Bilal geram, menurutnya ini sudah keterlaluan.
Alice menangkup pipi Jio, pikirnya Jio tidak menolak. Melihat Alice yang tiba-tiba memajukan tubuhnya lagi, Bilal maju melangkah. Tapi langkahnya terhenti, lebih dulu disambar Elias yang tiba-tiba datang dan menonjok Jio.
Jio jatuh tersungkur, membawa kepanikan di wajah Alice dan Kai. Alice berteriak. “ELIAS!”
“BRENGSEK! LO APA-APAAN SIH, JI?!”
Jio memegang sudut bibirnya yang berdarah. Di belakang Kai ada Keira yang baru tiba. Keira dan Elias langsung berlari panik dari acara reuni saat melihat pesan Alice yang berkata dia akan ke rumah Jio dan berbarengan dengan informasi dari Daffa kalau Kai juga menuju kesini. Hal yang seharusnya bisa dicegah ternyata terlambat. Kai melihat semuanya. Elias pun begitu.
Jio berusaha bangkit tapi perutnya ditendang oleh Elias sampai tubuhnya kembali menyentuh tanah. Alice ingin menghampiri Jio tapi ditahan oleh Keira. Dia membawanya menjauhi Jio. Dirinya tentu kacau, dia tidak bisa melihat Jio kesakitan dan disakiti seperti itu. Alice merasa marah, merasa semua ini tidak adil sampai tidak menyadari bahwa dirinya lah yang memancing perkara.
“Kak, udah.” Kai bersuara. Semua langsung menoleh ke arahnya. Jio membelalak, tidak sadar kalau Kai selama ini berdiri disana, menyaksikan semuanya dalam bisu. Elias membuang muka, menyisir rambutnya frustasi. Rahangnya mengeras sejak tadi, emosinya memuncak.
“Kai?” Jio berdiri menghampiri Kai. Tepat saat Jio ingin meraih tangannya, Bilal maju untuk menghalangi. Dia menatap Jio tajam, dibalas tatapan yang tak kalah tajamnya. Tangan kanan Bilal menggenggam tangan Kai yang sembunyi di belakangnya. Dia sendiri tidak kuat kalau harus menatap Jio sekarang.
“Minggir,” ucap Jio pada Bilal.
“Gue gak akan biarin cowok brengsek kayak lo deketin Kai.”
“Lo siapa sih, Bangsat?! Gak usah ikut campur!”
Bilal tersenyum sinis. “Gue? Gue orang yang lebih dulu kenal Kai, yang lebih dulu cinta sama Kai dan yang akan selalu cinta sama Kai. Gue tadinya mau mundur pas tau ternyata lo cowoknya Kai, tapi ternyata kelakuan lo brengek kayak gini. Setelah pelukan sama cewek itu di tengah mall, lo malah ciuman? Gila ya. Kebrengsekan lo udah mendarah daging, Bang.”
“Maksudnya?” Elias maju. “Jadi sebelum ini lo udah ngelakuin hal yang sama, Ji? Iya?” Dia meraih kerah Jio, mempersempit jarak di antara keduanya.
“Lo nyakitin adek gue cuma demi mantan lo yang udah ninggalin lo? MANTAN LO YANG SELINGKUH ITU?!!”
“EL!” Bentak Keira. Dia tau disini Alice yang salah, tapi dia tidak terima kalau masa lalu Alice dibawa-bawa lagi. Di pelukannya ada Alice yang menangis deras dengan tatapan tajam ke arah semua orang di depannya.
Jio menunduk. “Maaf, Yas.”
Elias melepas cengkramannya sampai Jio mundur beberapa langkah. “Maaf? Ngapain? Lo harusnya minta maaf ke adek gue yang udah lo sakitin!” Dia menunjuk-nunjuk dada Jio dengan telunjuknya.
“Kak, udah.” peringat Kai sekali lagi. Tangannya masih meremas lengan baju Bilal.
“Kai..” panggil Jio. Dia mendekat tapi kali ini ditahan oleh Elias dan juga Bilal. Dia menghela napas pasrah. “Aku minta maaf..”
“Untuk kesalahan yang mana, Kak?”
“Kai..”
“Kalau kamu udah pernah tau rasanya lihat orang yang kamu sayang pergi sama orang lain, harusnya kamu gak pernah ngelakuin itu, Kak. Harusnya kamu tau gimana rasanya karena kamu pernah ada di posisi itu.”
Suaranya parau, penuh kepedihan. Siapapun yang mendengarnya pasti meringis karena ikut merasakan pedihnya.
“Kai, ini gak kayak yang kamu bayangin. Aku sama Alice—”
“Aku sama Jio balikan.” Potong Alice.
Jio langsung menengok ke arahnya, melotot marah. “Al?!”
“Kenapa? Kamu juga masih sayang sama aku kan, Ji?”
“Al, kamu apa-apaan sih? Kai, demi Allah aku—”
“Gak usah bawa-bawa Tuhan lah, Kak.” Kai tertawa sinis. Dirinya kini menatap Jio dan Alice bergantian. “Udah cukup sampai disini aja, Kak, kita. Tukang selingkuh emang cocoknya sama tukang selingkuh lain.”
Alice meronta dari pelukan Keira untuk menghampiri Kai tapi tidak berhasil. Tentu dirinya tersinggung. Kai menarik Bilal pergi dari sana. Diikuti Elias yang melempar tatapan marah pada Jio sebelum pergi dari sana. Keira lagi-lagi menarik Alice yang ingin mendekati Jio. Semuanya pergi meninggalkan Jio yang menunduk sendirian.
“Ternyata kalau semua orang ninggalin aku, kamu pun begitu, Kai.. Ternyata bener pikiran aku kalau di dunia ini, aku gak punya rumah dan tempat pulang.. Maaf karena udah buang-buang waktu kamu untuk mencintai orang yang payah kayak aku. Maaf..”