fromranxx


Halo, sayang. Apa kabar?

Maaf ya kalau aku masih lancang panggil kamu sayang padahal kita udah selesai.

Aku beruntung sempat memilikimu. Kalau kata Yovie & Nuno sih begitu. Tapi akhirnya aku relate sama lagu itu. Karena aku juga ngerasa beruntung karena sempat jadiin kamu milikku. Makasih ya udah nerima aku jadi pacar kamu meskipun aku gak sebaik pacar-pacar yang lain.

Aku gak sempurna, Kai.. Aku penuh kesalahan dan cacat. Aku membawa banyak kekurangan dan luka yang mungkin, tanpa sadar jadi alasan kita berdua jadi kayak gini sekarang.

Ada alasan kenapa aku gak pernah cerita tentang masa laluku, Kai. Aku gak mau kamu tau sisi kelamku di masa lalu. Sisi dimana aku hancur berantakan tanpa siapapun di sisi aku. Sisi dimana aku kehilangan duniaku sendiri setelah perginya bunda. Sisi dimana aku gak lagi ingin hidup karena ditinggal pergi sama orang yang kusayang selama 4 tahun penuh.

Aku gak siap nunjukkin kamu sisi yang itu. Aku cuma mau kamu lihat kebahagiaan dari aku, bukan kesedihan. Tapi ternyata aku salah ya? Tanpa aku cerita masa laluku juga sekarang aku kasih kamu kesedihan.

Udah berapa banyak air mata yang keluar karena aku? Pasti banyak ya? Maaf.. Aku gak bisa lagi disana buat ngehapus air mata kamu.

Aku gak akan ngelarang kamu untuk nangis karena aku sadar diri kalau aku lah penyebabnya. Karena itu sekarang aku pergi, Kai.. Supaya kamu bisa lepas dari kesedihan dan nemuin bahagia kamu.

Aku denger kamu mantan Habilal ya? Dunia tuh sempit ternyata. Iya, Habilal itu adik tiri aku. Adik yang aku benci sepanjang hidupku karena aku selalu anggap dia sebagai alasan di balik kepergian bunda. Tapi ternyata aku salah, Kai. Habilal bukan lah alasannya. Maut akan tetap menghampiri bunda meskipun Habilal gak lahir.

Habilal pernah nyakitin kamu, tapi aku yakin dia jauh lebih baik dari pada aku, Kai. Kamu boleh lanjutin hubunganmu sama dia. Aku udah titipin kamu sama dia, dan aku pun mau nitipin dia sama kamu. Aku selalu benci dia, tapi dia sebenernya baik. Dia bakal kasih kamu pelukan yang lebih nyaman dari aku. Dia juga pasti lebih banyak kasih kamu tawa dibanding aku.

Meskipun susah, bahagia ya, Kai.

I love you. And i always do.


Gue membuka mata yang berat akibat menangis semalam suntuk. Karena pesan Kak Elias semalam, gue mengurung diri di kamar, menangisi Kak Ji yang benar-benar tidak bisa dihubungi.

Gue menyesal gak menyelesaikan semuanya lebih cepat.

Berhari-hari setelah kejadian itu, gue berusaha hidup seakan baik-baik saja dengan perpisahan kami yang begitu singkat. Bisa dibilang, sebenarnya perpisahan kami hanya sepihak. Kak Ji belum mengatakan dia setuju dengan perkataan gue. Tapi diamnya itu membuat gue berpikir kalau dia menerima kata 'putus' itu. Terlebih dengan ucapan Alice sang mantan yang bilang kalau mereka balikan. Gue tau seharusnya gue gak asal bicara dan mengatakan kata putus. Tapi kecewa gue terlalu besar. Rasa sakitnya pun benar-benar gak bisa gue tahan lagi.

Gue keluar dari kamar dan melihat Kak Elias sudah berdiri di depan pintu dengan posisi siap mengetuk pintu.

“Hai,” sapanya.

Melihat dia membuat air mata gue jatuh perlahan. Gue berakhir di dalam dekapan kakak gue satu-satunya. “It's okay, you can cry as much as you want. I'm here for you.

“Harusnya gue ngehubungin Kak Ji ya, Kak? Harusnya gue selesaiin dulu masalah gue sama dia ya? Kalau gue hubungin dia mungkin jadinya gak akan kayak gini. Mungkin dia gak akan pergi gitu aja tanpa kabar..”

Dekapan Kak Elias makin kencang. “Hey.. No. Jangan gitu.. Ini semua keputusan Jio. Kita gak bisa apa-apa. Andai lo hubungin dia, kalau dia emang niat mau pergi ya kita bisa apa, Kai?”

Gue hanya diam. Pelukan kami dilonggarkan. Air mata gue dihapus walaupun percuma karena selalu muncul yang baru. “Di halaman belakang ada tamu. Lo mau mandi dulu atau langsung ditemuin?”

“Siapa?”

“Mandi dulu gih, biar enak.” ujarnya tanpa menjawab pertanyaan gue. Akhirnya gue tetap mengikuti perkataannya untuk mandi.

Setelah selesai gue turun ke bawah dan langsung menuju halaman belakang. Mendapati punggung perempuan berambut panjang yang sedang berdiri di depan kandang kelinci. Mendengar suara langkah gue, dia membalikkan badan.

“Kak Alice?”

Just call me Alice. I'm not even worth it to be called 'Kak'.”

“Ada perlu apa?”

I'm here to say sorry, Kai.” Alice meraih tangan gue sambil menatap gue dengan tatapan bersalahnya. “Harusnya aku gak ngelakuin itu. Harusnya aku gak ambil kesempatan buat ngehancurin hubungan kalian. Aku egois.”

Gue terdiam. Bingung.

“Aku sayang banget sama Jio, Kai. Even waktu kami sama-sama jauh, aku tetep sayang sama dia. Niatku balik ke Indonesia selain untuk nyelesaiin urusanku disini adalah untuk balik sama Jio. Aku tau itu bodoh banget dan kurang ajar karena aku yang nyakitin Jio duluan.”

Air matanya menetes. Gue pun sama. “Aku sadar udah gak ada ruang di hatinya buat aku. Semua udah keisi sama kamu. Bagi Jio aku cuma masa lalu yang gak bisa dilanjut. Niat awal aku ke rumahnya bukan untuk balikan sama dia lagi, Kai, tapi untuk bilang kalau aku udah siap hidup tanpanya. Aku mau ucapin selamat tinggal dengan layak.”

Dahi gue semakin mengerut. “Iya, pasti kamu bingung karena apa yang terjadi hari itu berbanding terbalik sama yang aku omongin. Tapi yang sebenarnya terjadi hari itu adalah aku yang nyium Jio duluan. I miss him so much sampai aku gak inget niat awalku. Dan waktu kamu bilang kalian udah selesai, aku tanpa sadar bilang kalau kami balikan, padahal gak sama sekali. Semua ini bukan salah Jio, ini salah paham yang aku buat sendiri. Dan aku nyesel udah ngelakuin itu..”

Gue memandang Alice lurus. Sekarang semua jelas bahwa Kak Ji gak pernah ngelakuin kesalahan hari itu.

“Kalau kamu mau benci aku, gapapa, kamu berhak. Aku yang bikin Jio pergi dan ditonjokin sama Elias yang salah paham waktu itu.” Kepalanya semakin tertunduk dalam. Matanya enggan melihat ke arah gue lagi.

“Alice..” panggil gue pelan. “Jujur aku kecewa. Tapi aku gak bisa salahin semuanya ke kamu. Aku juga dari awal gak pakai kepala dingin. Aku gak mau dengerin penjelasan Kak Ji dan gak ngehubungin dia.”

Gue memegang kedua pundaknya yang semakin bergetar. “Kita jatuh cinta sama cowok yang sama, aku gak bisa ngelarang hal itu karena itu hak kamu. Biar bagaimanapun kamu pernah ngisi hari-hari Kak Ji, kan?”

Alice menggeleng pelan. “Sekarang harusnya udah giliran kamu yang ngisi hari-harinya dan aku harusnya gak pernah ikut campur, Kai. Maaf ya..”

“Aku udah maafin kamu kok, Al. It's okay. Yang penting sekarang, kita harus cari Kak Ji sampai ketemu. Yang udah lalu biar berlalu, gak usah disesali banget.”

Alice langsung memeluk gue erat. Tangisnya justru tambah kencang. Gue menepuk punggungnya pelan. “Aku gak heran kenapa Jio cinta banget sama kamu, Kai. Hati kamu baik banget.”

Gue menarik diri dan menatap wajah Alice seraya tersenyum. “Aku juga gak heran kenapa Kak Ji gak bisa move on dari kamu selama 2 tahun penuh. Orangnya cantik begini kok.”

Kami tertawa pelan. Rasanya lega. Alice ini tidak seburuk yang gue kira. Dia tidak sejahat yang gue pikirkan. Dan, dia juga tidak menakutkan sebenarnya. Alice hanya terjebak masa lalu, sama seperti gue yang terjebak pada Bilal dan Kak Ji yang terjebak padanya.

“Oh iya,” Alice merogoh ke dalam tasnya. “Aku kesini untuk nganterin surat dari Jio yang ditinggalin buat kamu.”

Surat?


Jio baru saja keluar dari kamar mandi. Terhitung sudah 2 hari dia dirawat. Selain karena alergi, badannya juga melemah karena akhir-akhir ini terlalu stress dan kelelahan. Dokter menganjurkan untuk dirawat 4 hari agar tubuhnya tidak mudah drop.

Ajun terus menemani Jio. Bahkan dia ingin membolos kelas demi menjaga Jio tapi Jio mengancam akan menghancurkan semua gundam di rumahnya kalau dia nekat bolos. Alhasil dia hanya datang setelah kelas atau setelah pulang ke rumah untuk mandi. Selama dirawat, Jio lebih banyak tidur dan melamun. Dia tidak memiliki keberanian untuk mengirim pesan pada Kai.

Dia tau semua kejadian hari itu bukan 100 persen salahnya. Tapi mulutnya kelu jika harus disuruh menjelaskan. Dia merasa semua akan sia-sia, tidak ada yang mendengarkan. Sama seperti ayahnya yang tidak pernah mendengarkan semua perkataannya.

“Ayah, Bunda disuruh-suruh sama Tante itu! Bunda lagi sakit tapi disuruh masak, Yah, omelin dong!” ucap Adagio umur 8 tahun. Lalu respon sang ayah?

Hanya, “Ya itu, kan, emang kewajiban Ibu rumah tangga, Jio.. Semua sama-sama kerja di rumah ini.” Tanpa tahu kenyataan sebenarnya.

Ibu dari Habilal itu, tidak pernah memegang pekerjaan rumah tangga kala suaminya tidak di rumah. Kerjanya hanya memerintah. Tapi bisa berubah jadi rajin kalau suaminya sedang di rumahnya, membuat Bunda Jio jadi terlihat buruk.

“Ayah, tadi Jio didorong sampai luka sama Tante itu! Liat, lutut Jio berdarah.” ucap Adagio umur 10 tahun.

Tapi lagi-lagi responnya, “Jatuh itu wajar, Jio.. Kalau gak jatuh, kamu gak tau rasanya sakit kayak gimana. Lagian gak mungkin Mama ngedorong kamu.”

Dan lagi, “Jio dilarang ke makam Bunda sama istri Ayah itu. Bisa tolong bilang untuk sopan gak?” ucap Adagio umur 12 tahun.

“Adagio bisa tolong berhenti ngadu gak? Kamu jangan sembarangan nuduh Mama yang nggak-nggak! Gak mungkin Mama setega itu!”

Setelahnya, dia memutuskan untuk tidak pernah menjelaskan apa yang menurutnya benar. Dia memutuskan untuk tidak pernah membela dirinya di depan orang-orang yang tidak akan pernah percaya. Dia tau hasil akhirnya tidak akan seperti yang dia inginkan. Oleh karena itu, saat seluruh orang percaya bahwa dia mencium Alice dengan sengaja dan kini kembali menjalin hubungan dengan Alice, dia memutuskan untuk mengikuti apa yang ingin mereka percayai.

Jio pasrah.

“Jangan bengong mulu sumpah, gue ngerti lu kesambet, anjrit!” omel Ajun yang baru sampai.

“Udah mandi lo?”

“Udah lah!” dia mengangkat tas berisi makanan. “Nih, dimasakin sop ayam sama nyokap gue.”

Jio tersenyum kecil. Terharu masih ada yang mengingat kehadirannya. “Bilang makasih, gitu.”

“Katanya kalau udah sembuh nginep di rumah gue aja. Biar diawasin makanannya.”

“Gak usah, ngerepotin.” Jio memasukkan sesendok kuah sop ayam ke mulutnya. Hangat langsung menjalar ke seluruh badannya.

“Dih, nggak! Orang nyokap gue kesepian di rumah. Selama liburan semester lo di rumah gue aja. Gue ada acara nginep 2 hari sama temen organisasi soalnya. Temenin nyokap gue.”

“Gak mau, Jun, gak enak guenya. Masa gak ada lo gue malah di rumah lo?”

“YAELAH JIII, kayak sama siapa aja dah!”

“Gue di rumah aja serius, gapapa.”

Ajun rasanya ingin menyentil dahi Jio kalau saja dia tidak sedang sakit. “Lo tuh batu banget sih!!”

“Lo gak bilang sama siapa-siapa, kan, kalau gue dirawat?” ujar Jio mengganti topik.

“Bilang ke Elias.”

“JUN!”

“Apa? DIA NYALAHIN LO ANJINGGG, MASA GUE DIEM AJA?!” pekik Ajun emosi.

“Justru itu, Jun, mendingan dia nyalahin gue aja dan gak tau keadaan gue!” balas Jio tak kalah emosi.

“Ji, dia tuh aneh anjir! Biasanya juga kepala dingin dulu, lah ini tiba-tiba nyalahin lo gitu aja! Dia gak tau apa kalau Alice tuh dari dulu emang suka asal omongannya? Dia gak tau Alice bisa bertindak apa aja?”

Jio tertunduk, helaan napasnya terdengar. “Soalnya ini nyangkut Kaia, Jun. Adeknya Elias, kesayangannya Elias. Siapapun yang nyakitin dia, itu balasannya.”

Ajun ikut menghela napas lelah. Serba salah. “Lo ada coba jelasin ke Kai, gak?”

Jio menggeleng lemah.

“KAN! LONYA JUGA BLOON!!”

“Dia gak akan percaya juga kan, Jun? Lagian dia juga bilang gue sama dia udah selesai. Biarin aja dia ngira gue yang salah. Itu yang mau mereka percaya, kalau gue antagonisnya.”

Ajun benar-benar mau mengeluarkan sumpah serapah yang banyak. Dia tau sahabatnya ini tolol, tapi dia tidak menyangka kalau ketololannya masih diulangi di hubungannya yang sekarang.

“Gue udah di tahap pasrah deh, Ji, sama lo. Yang jelas gue selalu ada di pihak lo. Kalau butuh bantuan, ke gue aja. Tapi saran gue,” Ajun menjeda.

”..jangan hidup dengan merasa kalau apa yang lo lakuin itu sia-sia. Gak ada yang sia-sia, Ji, even waktu lo ngebela diri lo. Walaupun orang-orang gak percaya sama perkataan lo, seenggaknya lo udah hidup dengan baik. Lo memanfaatkan kesempatan yang ada dengan baik. Lo harus belajar bahwa hidup gak selalu tentang berkorban, tapi juga tentang membela diri. Jangan jadiin diri lo sebagai antagonis kalau lo bukan si jahat.”


Keira menarik Alice untuk duduk di kasur apartemennya. Dia menyisir rambutnya ke belakang dengan heran sambil menatap Alice yang masih menangis.

“Lo tuh mikir apa sih, Lis?” tanya Keira. Berusaha meredam emosi yang sebenarnya sudah dia tahan sejak lama.

Alice masih bungkam. Keira melangkah untuk mengambil air putih. Diberikannya pada Alice yang menerima dengan tangan lemah. Setelah Alice meminum setengah dari isi gelas, Keira menaruhnya di meja samping tempat tidur. Dia duduk di sebelah Alice, membawa perempuan itu ke dekapannya.

Keira, Windi, dan Nara adalah saksi bagaimana hidup Alice berjalan. Waktu SMA dulu, Alice yang mereka kenal adalah Alice yang selalu ceria dan tersenyum pada siapapun yang ditemuinya. Semua orang kenal Alice, si cantik ramah dari smansa. Alice makin dikenal saat terang-terangan menolak primadona SMA tetangga di tengah lapangan dengan alasan sudah punya pacar. Dia jadi buah bibir, tapi tidak peduli dan malah menggandeng Jio di depan warga sekolah.

Di kacamata Keira, Alice hanya gadis kesepian. Kedua orang tuanya sibuk, bahkan hampir tidak melihatnya saat di rumah. Alice yang tidak bisa mendapatkan bahagianya di rumah, tetap membagikan kebahagiaan saat di luar rumah.

Keira paham betul bahwa yang dilakukan Alice dan Yogi waktu itu adalah salah besar. Namun dia juga yang paling paham mengapa Alice sampai seperti itu. Alice kesepian. Alice perlu perhatian. Dan Jio tidak bisa memberikan itu seiring berjalannya waktu. Kegiatan Jio menyita waktu kebersamaan mereka, membuat Alice nyaris menangis setiap minggu karena hanya ingin pacaran seperti anak SMA lainnya, bukan justru dibatalkan janjinya karena rapat OSIS dadakan atau tambahan olim.

Siklus itu terus berlanjut, sampai Alice sendiri kebal dengan segala alasan yang diberi Jio kala itu. Lalu datanglah Yogi, angin sejuk di tengah padang pasir. Membawa hiburan di kala sepi. Membawa tawa di kala sedih. Semua perhatian yang dia harap datang dari Jio, justru datang dari sahabat terbaiknya.

Segala kenyamanan itu membawa Alice ke dalam jurang bernamakan egois. Di satu sisi dia ingin Yogi tetap di sampingnya, tapi di satu sisi dia tidak ingin melepas Jio. Yogi pun ada di posisi yang sama. Dia tidak ingin mengkhianati sahabatnya, namun rasa cintanya pada Alice malah semakin besar. Karena itu mereka memutuskan untuk berhubungan di belakang tirai. Disembunyikan, dirahasiakan, dan disimpan rapat-rapat.

Keira adalah yang pertama mengetahui. Keira pula yang pertama memarahi Alice karena melenceng dari garis yang seharusnya. Tapi lagi-lagi dia jadi yang pertama memahami kalau itu bukan ranahnya. Yang terpenting adalah kebahagiaan Alice. Dia akhirnya menutup mata dan membisukan mulut.

Namun kini Keira sudah dewasa. Dia juga yakin Alice sudah bukan Alice yang dulu lagi. 2 tahun mereka berjauhan, lost contact, lalu bertemu lagi setelah sekian lama. Dia pikir Alice sudah mengerti dimana batas-batasnya. Tapi ternyata dia salah. Alice tetap Alice, si ramah tapi juga si egois. Sisi egois Alice ternyata masih ada. Bahkan saat jelas-jelas dia tau bahwa Jio sudah punya pacar, dia tidak peduli dan malah berusaha mendapatkan Jio kembali.

“Lo gak belajar dari kesalahan kah, Lis?” tanyanya pelan.

Alice menarik diri. Memainkan jari-jari dengan kepala tertunduk. “Ini di luar kendali gue, Kei..”

“Di luar kendali gimana sih, Lis? Lo gak lagi mabuk. Lo sadar sepenuhnya bahwa lo itu salah!”

“TAPI NIAT AWAL GUE BUKAN ITU, KEI!”

Mendengar suara Alice yang mulai meninggi, Keira memutuskan untuk mengalah. “Sorry, gue kebawa emosi.” ucap Keira.

“Tadinya gue dateng buat bilang kalau gue udah nyerah, Kei,” ujar Alice pelan. Keira menengok, tertarik. “Gue beneran mau nyerah buat balikin Jio ke pelukan gue lagi. Gue cuma mau say good bye ke dia. Jio seneng. Gak pernah gue liat dia seseneng itu. Terus dia bawa gue ke taman belakang rumahnya, ada bunga mawar, bunga kesukaan gue. Dia nanam bunga itu dan ngerawatnya sendiri sampe jadi cantik.... banget, Kei. Gue terharu. Karena alasan dia nanam bunga itu karena gue.”

Tangan Keira terulur untuk mengelus punggung Alice. “Dan entah gue kesetanan atau gimana, tiba-tiba gue nyium dia, Kei. Gue nyesel banget, serius. Gue gak ngerti kenapa tiba-tiba gue lancang kayak gitu. Gue gak maksud sama sekali.”

Maybe it's because you miss him so much.

“Mungkin.” lirih Alice.

Keira teringat sesuatu. “Kalau lo ke rumah Jio buat say good bye, kenapa lo bilang kalau kalian balikan?”

Helaan napas Alice keluar lagi. Kali ini lebih berat, lebih banyak penyesalan. “Perpisahan bukan keinginan gue kan, Kei? Hati gue masih mau Jio. Mungkin karena itu gue jadi ngeliat kehancuran hubungan mereka sebagai kesempatan untuk gue masuk. Akhirnya kata-kata bodoh itu keluar gitu aja. Gue pikir gue bakal seneng setelah bikin keduanya hancur, tapi ternyata gak sama sekali. Gue salah besar, Kei. Gue bukan lagi Alice yang bisa bahagia di atas derita orang lain. Apalagi derita Jio.”

Sekali lagi Keira memeluk Alice. Dia salah. Ternyata Alice yang kini di depannya adalah Alice yang sudah paham dimana batasnya. Alice hanya tidak mengerti cara mengendalikan perilaku dan perkataannya. Alice tau bahwa batasnya hanya di garis pertemanan dengan Jio, tidak bisa lagi lebih. Tapi Alice tidak mengerti bagaimana caranya lapang untuk menerima kenyataan.

“Lo harus beresin semua kesalahpahaman ini, Lis. Lo harus jelasin kalau maksud lo bukan itu. Kalau lo mau Jio bahagia, biarin mereka bersama. Lo harus cari kebahagiaan lo sendiri. Jangan merasa terikat sama Jio.”

“Kasih gue waktu untuk bisa lepasin Jio dengan lapang, Kei.”

Keira menggeleng. “Gue gak berhak buat ngasih lo waktu itu, Lis. Kendalinya bukan di tangan gue. Lo yang harus berusaha berdamai sama itu semua. Waktu gak akan mempengaruhi kalau lonya sendiri masih muter di lingkaran yang sama. Jangan terlalu lama, Lis, semua kuncinya ada di lo. Jio hancur, semuanya juga. Gue yakin Elias gak sudi ketemu sama Jio setelah semua yang terjadi. Cuma lo yang bisa kasih mereka bukti kalau bukan Jio yang salah.”


Arjuna POV

Kacau.

Satu kata yang menggambarkan situasi kali ini. Gue berkali-kali menelfon ponsel Jio tapi gak kunjung diangkat. Sebenernya, bukan tabiat gue untuk berkepala dingin tiap ada masalah. Itu tugas Elias, si paling sadar kalau gue dan Jio lagi gila. Tapi entah sejak kapan sosok itu hilang. Menyisakan gue yang kebingungan dapet telfon Elias marah-marah di tengah film yang lagi gue tonton di bioskop.

Setelah chat gue dan Elias tadi, gue langsung lari keluar bioskop. Masa bodoh rugi sama tiket premiere gue yang harganya 150 ribu. Gue lari ke parkiran, nyetir mobil kayak orang kesetanan yang mau nguasain jalan dengan cara nekan klakson berkali-kali sampai dianjing-anjingin sama orang di jalanan. Semua itu gue lakukan karena gue khawatir sama Jio.

Adagio ini, dari dulu selalu menyendiri. Setiap ada masalah dia selalu menyingkir dari dunia, seakan dia anak haram atau anak dewa yang gak boleh ketahuan sama monster di luar sana. Saking parahnya, gue pernah nemuin dia pingsan di dalem rumah karena gak ngabarin gue dan Elias kalau dia sakit. Gue inget waktu itu gue sampai panggil damkar untuk dobrak pintu rumah Jio yang dikunci dari dalam. Keputusan yang gue syukuri karena kalau enggak, mungkin gue udah kehilangan Jio waktu itu. Dia demam tinggi, sampai kejang. Semua karena apa? Karena patah hati.

Bego? Jelas. Gue juga paham dia bego. Gue gak masalah kalian mau ngatain Jio apa, tolol, bego, goblok, pokoknya terserah. Karena emang itu kenyataannya.

Jio adalah satu dari berjuta-juta orang di dunia ini yang otaknya gak jalan kalau udah nyangkut patah hati dan cinta. Makanya gue pribadi antara kasihan dan kesel kalau dia udah galau. Karena itu gue sering dateng nginep di rumahnya cuma untuk bikin dia terasa hidup. Untuk ngasih tau kalau dia gak sendirian.

Dan kali ini gue datang lagi. Untuk ngasih tau kalau dari semua orang yang pergi ninggalin dia, masih ada gue yang tersisa.

Belajar dari kejadian lalu, gue dan Elias masing-masing memegang kunci rumah Jio untuk jaga-jaga. Gue juga naruh kunci cadangan di bawah rak sepatu. Dan ternyata hari ini berguna lagi nih kunci.

Gue buka pintu. Kesunyian langsung menyapa. Rumah ini hawanya tiba-tiba dingin karena kosong. Mungkin rumah ini juga bisa ngerasain perasaan pedih tuannya.

“Ji?” panggil gue. Gak ada sahutan.

Gue melangkah masuk, berniat untuk naik ke kamarnya tapi justru menemukan Jio tergeletak di lantai dekat meja makan. Kursi yang dia duduki juga ikut jatuh di sampingnya. “JI!” pekik gue.

Gue menghampiri Jio yang wajahnya sudah memerah. Gue melihat kotak makan berisi udang yang hampir tandas.

Shit!” umpat gue.

Dengan segala kekuatan gue langsung memapah dia ke mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Jantung gue berdegup kencang, takut kalau sesuatu terjadi sama dia. Takut gue terlambat untuk menyelamatkan dia kali ini.

Jio alergi udang.

Fakta itu cuma diketahui sama gue dan Elias. Berkali-kali gue lihat Jio kambuh karena diberi olahan udang sama Ayahnya. Sebenci apapun dia sama kelakuan Ayahnya, apapun makanan yang dikirim untuknya selalu dia makan. Dan gue tebak kali ini bukan dari Ayahnya, tapi Kai.

Gue bener-bener marah. Gimana bisa Kai gak tau kalau cowoknya ini alergi udang? Apalagi yang dia makan kelihatannya banyak. Biasanya Jio gak pernah sampai pingsan begini.

Jio langsung diberi tindakan waktu gue sampai di rumah sakit. Untungnya tadi gue dibantu sama geng motor yang buka jalan supaya gue tiba lebih cepat. Sembari nunggu, gue jalan ke arah geng motor itu dan ngasih duit 500 ribu karena udah bantu gue.

Gue nunggu dengan cemas. Bolak-balik di depan UGD sampai dokter akhirnya keluar. Gue tanya Jio kenapa.

“Syukurnya cepet dibawa ke rumah sakit. Mungkin kalau nunda sampai beberapa jam ke depan, gejalanya bakal makin parah. Untuk saat ini pasien belum sadar, jadi akan kami pindah ke ruang rawat.” Gue akhirnya menyanggupi untuk mengurus administrasi sebagai walinya.


Malam harinya, sekitar jam 9an. Gue datang lagi ke rumah sakit usai pulang sebentar untuk ganti baju dan bawa baju-baju ganti Jio. Kata dokter masih harus nunggu beberapa hari sampai Jio diperbolehkan pulang.

Gue masuk ke dalam ruangan, mendapati Jio yang lagi mandang ke luar jendela yang lagi hujan. Setelah menaruh tas berisi baju, gue duduk di bangku sebelah ranjangnya. Gue menatap dia iba.

Sorot matanya kosong lagi.

“Ji..”

“Gue letak masalahnya, Jun,” ucapnya pelan. Suaranya serak, entah karena dia kebanyakan nangis atau karena alerginya.

“Ji.. Bukan salah lo.”

“Kalau bukan salah gue, gue gak akan ditinggalin sama semua orang yang gue sayang, Jun. Bunda, Ayah, Alice, sekarang Kai juga. Gue yang bawa sial, gue yang bikin semua pergi, gue letak masalahnya, Jun.” Gue memejam, ikut merasa menderita melihat keadaan Jio.

Gue meraih tangannya yang bebas dari selang infus, lalu menggengamnya. Berusaha menyadarkan kalau dia masih punya gue disini.

“Lo masih punya gue, Ji. Gue percaya sama lo. Gue gak nyalahin lo. Gue percaya lo gak bakal sebrengsek itu.”

“Nantinya juga lo bakal pergi nyusul mereka, Jun.”

“Ji.” Gue memberi peringatan. Frustasi, gue memberantakan rambut gue. “Coba sekarang lo ceritain, kenapa bisa begitu?”

Gue lihat dia memejam. Kepalanya mendongak, menyender pada bantal yang menyangga punggungnya. “Alice dateng tiba-tiba. Gue dari awal udah bilang gue gak mau berurusan sama dia lagi. Gue gak mau ngasih harapan lagi ke dia. Gue tolak dia dari pintu depan, tapi dia maksa masuk dan bilang dia cuma mau ngobrol. Lo pikir gue tega ngusir dia, Jun? Enggak. Apalagi pas tau dia punya panick attack selama ini dan berjuang sendirian. Gue akhirnya nerima dia.”

Gue mendengar dengan seksama. “Dia bilang berat buat nerima kenyataan kalau gue udah gak bisa sama dia lagi. Tapi akhirnya dia bilang dia bakal coba buat lupain gue. Gue jelas seneng, Jun, akhirnya kami bisa sama-sama hidup dengan porsi masing-masing. Akhirnya gue bawa dia ke taman belakang karena ada bunga mawar yang dia suka. Cuma sebagai kenangan terakhir, Jun, gak lebih.”

“Terus? The kiss..?”

I didn't expect it too. Terlalu cepet, Jun, gue bahkan gak sadar kalau ada Kai masuk. Tiba-tiba gue matung gitu aja. Terus Alice mungkin nyangka kalau gue terima tapi sebelum gue sempet ngehindar, Elias dateng nonjok gue. Semuanya cepet banget, gue bahkan gak inget pasti kejadian itu.”

“Jadi awalnya bukan lo kan, Ji?”

“Gue gak akan pernah ngawalin hal kayak gitu, Jun. Gue sayang sama Kai.”

Akhirnya gue cuma bisa manggut-manggut. Gue udah duga kalau semua gak kayak kelihatannya. “Alice tadinya dateng buat salam perpisahan. Makanya gue juga shock waktu dia malah bilang kalau kami balikan. Karena nyatanya yang dia bilang ke gue sama yang dia bilang ke yang lain tuh beda.”

Demi apapun, kalau Alice cowok, mungkin gue udah ajak dia berantem dengan skill gue yang pas-pasan ini. Sedari dulu dia itu banyak maunya. Dia expect apa sih dari Jio yang anak OSIS dan olim yang super sibuk? Main-main? Ngemall abis pulang sekolah? Kan aneh.

Alice sebenernya tuh baik banget tapi dia juga manipulatif. Semua kata-katanya selalu dikeluarkan dengan baik, disusun rapih sampai lo bakal terperdaya kalau lo gak kenal tabiat aslinya. No, gue bukan nyuruh kalian buat benci sama Alice. Itu cuma sudut pandang gue sebagai tokoh pembantu dalam hidup si tokoh utama Adagio. Biarpun begitu Alice udah ngasih banyak kebahagiaan buat Jio, ngehibur dia saat kesepian karena tinggal sendirian di kota orang. Jadi gue gak bisa benar-benar benci sama dia.

Gue selalu berpikir kalau semua orang ada alasan untuk melakukan sesuatu even hal yang salah sekalipun. Tapi kali ini gue lebih gak habis pikir sama Alice karena tingkahnya. Mau dipikir kayak gimana juga gue gak nemu titik waras dari alasan Alice ngelakuin itu kecuali karena keegoisannya buat tetep sama Jio.

Gue mengeluarkan ponsel. “Mau ngapain?” Jio menahan tangan gue.

“Mau ngasih tau Kai.”

“Jun, enggak.” Dia berusaha merebut ponsel gue. Tapi kali ini tenaganya lemah.

“Seenggaknya dia harus tau keadaan lo, Ji.”

“Jun, udah lah...” ucapnya kelihatan memohon. Gue berdecak, gak mungkin ngelawan kalau Jio udah begini.

Gue mengalah dengan menaruh ponsel gue di meja. Gue menyuruhnya untuk makan dan minum obat. “Lo pulang aja sana. Gue sendiri gapapa.”

“LO GILA?!”

“Apanya?”

“Ya gue gak mungkin ninggalin lo! Kalau bukan gue emang siapa yang mau jagain lo? Setan?”

Jio tertawa kecil. Nyebelin banget tawanya. “Galak amat.”

“Udah mendingan lo tidur sekarang.”

Gue pun menghabiskan waktu untuk menjaga Jio. Mungkin gue akan menghabiskan malam gue bersama Jio beberapa hari ke depan.

Karena seperti kata Kai waktu itu, orang putus cinta harus dikasih banyak kebahagiaan karena mereka cuma fokus sama rasa sakitnya.


“Udah pas rasanya?” Kai memperhatikan Bilal yang sedang mengunyah udang asam manis buatannya. Wajahnya serius sekali, seperti juri master chef.

“Kurang garem DIKITTTT lagi abis itu lo cocok jadi muridnya Chef Arnold.” Kai tertawa pelan mendengar ocehan Bilal yang sedari dulu memang aneh.

Dia menambahkan sedikit garam lalu memberi udang lain pada Bilal untuk kembali dicicipi. Setelahnya Bilal mengangguk, jempolnya mengacung di udara. Dia menutup mulutnya dengan tangan satunya. “ENAK! UDAH ENAK! Gue jamin pacar lu nempel. PELET INI MAH!!”

“Lah kalo pelet gue gak mau melet elu,” balas Kai. Tubuhnya lalu oleng karena didorong pelan oleh Bilal.

“Mau gue anter ke rumah cowok lo gak?” tawar Bilal.

“Ngerepotin gak?”

“Buat lo mah enggak.”

“GUE BENERAN GAK NGASIH PELET KE UDANGNYA YA, BIL!!”

“GUE NAWARIN DOANG!!!”

Pada akhirnya perdebatan mereka ditutup dengan interupsi pembantu rumah Kai yang bilang kalau dapurnya ingin dibersihkan kalau kegiatan memasaknya sudah selesai. Dengan itu Kai naik ke atas untuk mandi dan ganti baju. Bilal duduk di sofa sambil sesekali melirik foto-foto yang dipajang di sekitarnya.

Mereka berangkat. Butuh sekitar 40 menit untuk sampai. Sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi jalanan macet, jadi sedikit lama. Kai menuntun Bilal tanpa maps, dia hanya mengarahkan ke arah mana Bilal harus melajukan motornya. Saat memasuki kompleks rumah Jio, Bilal mengerutkan dahinya. Tapi dia diam. Berpikir kalau rumah pacar Kai hanya satu kompleks dengannya saja. Tapi saat Kai meminta untuk memberhentikan motornya tepat di depan rumah Jio, Bilal langsung termangu.

Tangannya menahan Kai yang sedang membuka kunci pagar rumah Jio. “Kenapa? Gue gak maling ya, cowok gue bilang kalau ke rumahnya langsung ke depan pintu aja. Gue udah pernah ke rumahnya dan buka pager sendiri. Gak percaya?”

Dirinya turun dari motor dan melepas helm. “Ini rumah pacar lo?”

Kai menatap Bilal heran. “Ya iya lah? Kenapa sih?”

“Yakin?”

“Iya.” Kai melanjutkan kegiatan membuka kunci slot pagar rumah Jio. Tapi lagi-lagi ditahan oleh Bilal. “Kenapa lagi sih, Bil? Gue mau masuk. Lo lagian ngapain turun? Sana pulang aja, gue nanti pulang sendiri.” Kai agak kesal melihat tingkah aneh Bilal.

“Gue boleh ikut gak?”

“Hah?”

“Ikut masuk. Boleh gak? Sekalian kenalan sama pacar lo. Gue kan belom kenalan? Kita temen kan? Masa gak ngenalin.” Kepala Kai mulai pening mendengar rentetan pertanyaan dari Bilal.

“Bil, masih ada lain kali.”

“Enggak. Kita gak pernah tau apa bener ada lain kali. Kalo tiba-tiba besok gue udah gak ada gimana? Gue belom sempet ketemu pacar lo. Mukanya aja belom tau.”

“YA AMIT-AMIT!!

“Makanya ayo. Anggap ini kali terakhir gue bisa kenalan sama pacar lo.”

Sebenarnya semua ini hanya akal-akalan Bilal. Dia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau pacar Kai adalah Jio yang dia kenal. Walaupun kemungkinannya 99%. Kai akhirnya mengangguk, dia menuruti keinginan Bilal. Dia membuka pagar dan menyuruh Bilal memarkirkan motornya.

Dia mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Dia tau rumah Jio tidak dipasang bel, jadi mengetuk pintu adalah satu-satunya cara. Bilal yang berdiri di samping Kai menemukan sepasang sepatu perempuan di rak sepatu. Dia mengernyit. Itu bukan sepatu temannya, bukan pula sepatu mamanya. Lagipula mamanya tidak akan datang tanpa aba-aba. Memori Bilal memutar tentang kejadian di mall waktu itu. Saat dia melihat Kai menangis karena Jio berpelukan dengan seorang perempuan. Lantas dia langsung melotot saat menyadarinya. Dia menarik tangan Kai, berusaha menghentikannya mengetuk pintu.

“Gak ada di rumah kali. Udah pulang aja yuk? Percuma lo ngetuk sampe besok juga.”

“Enggak. Kata kakak gue hari ini ada reuni, dia gak ikut karena mau rebahan di rumah,” balas Kai. Bilal menghela napas frustasi.

Ide lain muncul di kepalanya. “Gini! Lo duduk dulu di bangku situ, nanti gue teriak PAKET biar cowok lo turun. Lo sana gih.”

“Dih, gue aja gak dijawab apalagi lo?”

“Lahhhh, lo gak tau aja jaman sekarang kalo ada bunyi PAKET gitu orang langsung buka pintu.”

“Gak mau ah, aneh.”

“Eh biar makin surprise tau, Kai. Lo berdiri di belakang gue deh.”

“Ih enggak!!” seru Kai kesal. Dia lalu menekan gagang pintu, berpikir siapa tau tak dikunci. Dan benar, pintunya terbuka.

“Eh gak dikunci!” pekiknya senang. “Ih bahaya banget deh.” gerutunya kemudian.

Dia melangkah masuk, diikuti Bilal yang pasrah dengan jantung berdegup kencang. Dia takut kalau-kalau dugaannya benar. Pasti hati Kai hancur lagi.

“Kak...” panggil Kai berkali-kali. Dia melangkah ke atas, ke kamar Jio. Bilal hanya menunggu di sofa, berpura-pura sebagai tamu, padahal dia juga tinggal disini. Dia menemukan tas perempuan di sofa, matanya membelalak, beruntung Kai tidak melihat. Langsung saja dia tutupi tas itu dengan bantal sofa.

Kai turun kembali dari tangga. “Kok gak ada juga ya?” tanyanya bingung. Bilal ikut heran, dimana Jio kalau tidak di rumah?

“Kan? Gak ada kan? Udah kita pulang aja.”

“Tapi pintunya gak dikunci. Dia pasti di rumah, Bil.” Kali ini rasanya Bilal ingin menyerah. Dia pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Tapi dia berharap tiba-tiba Kai berubah pikiran dan mengajaknya pulang. “Oh, atau dia lagi ke warung kali ya?”

“Ya... mungkin aja, sih.” jawabnya pasrah.

Kai berjalan-jalan di sekitar rumah yang sudah familiar karena dulu dia sering berkunjung. Dulu itu karena semenjak semester baru ini, dia sudah tidak berkunjung lagi. Waktunya dan waktu Jio selalu tidak bisa bertemu. Kai melangkahkan kakinya ke halaman belakang, diikuti oleh Bilal yang masih was-was.

Kai membuka sedikit pintu yang menghubungkan rumah dengan halaman belakang yang ternyata tidak tertutup rapat. Senyum kecil di wajahnya langsung pudar saat melihat Jio dan seorang perempuan. Bibir keduanya saling bersentuhan. Kejadian itu cukup lama sampai Bilal masih sempat melihat.

Jio terdiam. Dia tiba-tiba tidak bisa memegang kendali atas tubuhnya sendiri. Perlakuan Alice yang terlalu tiba-tiba membuat dunianya seakan berhenti. Dia tidak bergerak dari posisinya sampai Alice yang lebih dulu menarik diri. Dia hanya menatap Alice. Hal itu membuat Bilal geram, menurutnya ini sudah keterlaluan.

Alice menangkup pipi Jio, pikirnya Jio tidak menolak. Melihat Alice yang tiba-tiba memajukan tubuhnya lagi, Bilal maju melangkah. Tapi langkahnya terhenti, lebih dulu disambar Elias yang tiba-tiba datang dan menonjok Jio.

Jio jatuh tersungkur, membawa kepanikan di wajah Alice dan Kai. Alice berteriak. “ELIAS!”

“BRENGSEK! LO APA-APAAN SIH, JI?!”

Jio memegang sudut bibirnya yang berdarah. Di belakang Kai ada Keira yang baru tiba. Keira dan Elias langsung berlari panik dari acara reuni saat melihat pesan Alice yang berkata dia akan ke rumah Jio dan berbarengan dengan informasi dari Daffa kalau Kai juga menuju kesini. Hal yang seharusnya bisa dicegah ternyata terlambat. Kai melihat semuanya. Elias pun begitu.

Jio berusaha bangkit tapi perutnya ditendang oleh Elias sampai tubuhnya kembali menyentuh tanah. Alice ingin menghampiri Jio tapi ditahan oleh Keira. Dia membawanya menjauhi Jio. Dirinya tentu kacau, dia tidak bisa melihat Jio kesakitan dan disakiti seperti itu. Alice merasa marah, merasa semua ini tidak adil sampai tidak menyadari bahwa dirinya lah yang memancing perkara.

“Kak, udah.” Kai bersuara. Semua langsung menoleh ke arahnya. Jio membelalak, tidak sadar kalau Kai selama ini berdiri disana, menyaksikan semuanya dalam bisu. Elias membuang muka, menyisir rambutnya frustasi. Rahangnya mengeras sejak tadi, emosinya memuncak.

“Kai?” Jio berdiri menghampiri Kai. Tepat saat Jio ingin meraih tangannya, Bilal maju untuk menghalangi. Dia menatap Jio tajam, dibalas tatapan yang tak kalah tajamnya. Tangan kanan Bilal menggenggam tangan Kai yang sembunyi di belakangnya. Dia sendiri tidak kuat kalau harus menatap Jio sekarang.

“Minggir,” ucap Jio pada Bilal.

“Gue gak akan biarin cowok brengsek kayak lo deketin Kai.”

“Lo siapa sih, Bangsat?! Gak usah ikut campur!”

Bilal tersenyum sinis. “Gue? Gue orang yang lebih dulu kenal Kai, yang lebih dulu cinta sama Kai dan yang akan selalu cinta sama Kai. Gue tadinya mau mundur pas tau ternyata lo cowoknya Kai, tapi ternyata kelakuan lo brengek kayak gini. Setelah pelukan sama cewek itu di tengah mall, lo malah ciuman? Gila ya. Kebrengsekan lo udah mendarah daging, Bang.”

“Maksudnya?” Elias maju. “Jadi sebelum ini lo udah ngelakuin hal yang sama, Ji? Iya?” Dia meraih kerah Jio, mempersempit jarak di antara keduanya.

“Lo nyakitin adek gue cuma demi mantan lo yang udah ninggalin lo? MANTAN LO YANG SELINGKUH ITU?!!”

“EL!” Bentak Keira. Dia tau disini Alice yang salah, tapi dia tidak terima kalau masa lalu Alice dibawa-bawa lagi. Di pelukannya ada Alice yang menangis deras dengan tatapan tajam ke arah semua orang di depannya.

Jio menunduk. “Maaf, Yas.”

Elias melepas cengkramannya sampai Jio mundur beberapa langkah. “Maaf? Ngapain? Lo harusnya minta maaf ke adek gue yang udah lo sakitin!” Dia menunjuk-nunjuk dada Jio dengan telunjuknya.

“Kak, udah.” peringat Kai sekali lagi. Tangannya masih meremas lengan baju Bilal.

“Kai..” panggil Jio. Dia mendekat tapi kali ini ditahan oleh Elias dan juga Bilal. Dia menghela napas pasrah. “Aku minta maaf..”

“Untuk kesalahan yang mana, Kak?”

“Kai..”

“Kalau kamu udah pernah tau rasanya lihat orang yang kamu sayang pergi sama orang lain, harusnya kamu gak pernah ngelakuin itu, Kak. Harusnya kamu tau gimana rasanya karena kamu pernah ada di posisi itu.”

Suaranya parau, penuh kepedihan. Siapapun yang mendengarnya pasti meringis karena ikut merasakan pedihnya.

“Kai, ini gak kayak yang kamu bayangin. Aku sama Alice—”

“Aku sama Jio balikan.” Potong Alice.

Jio langsung menengok ke arahnya, melotot marah. “Al?!”

“Kenapa? Kamu juga masih sayang sama aku kan, Ji?”

“Al, kamu apa-apaan sih? Kai, demi Allah aku—”

“Gak usah bawa-bawa Tuhan lah, Kak.” Kai tertawa sinis. Dirinya kini menatap Jio dan Alice bergantian. “Udah cukup sampai disini aja, Kak, kita. Tukang selingkuh emang cocoknya sama tukang selingkuh lain.”

Alice meronta dari pelukan Keira untuk menghampiri Kai tapi tidak berhasil. Tentu dirinya tersinggung. Kai menarik Bilal pergi dari sana. Diikuti Elias yang melempar tatapan marah pada Jio sebelum pergi dari sana. Keira lagi-lagi menarik Alice yang ingin mendekati Jio. Semuanya pergi meninggalkan Jio yang menunduk sendirian.

“Ternyata kalau semua orang ninggalin aku, kamu pun begitu, Kai.. Ternyata bener pikiran aku kalau di dunia ini, aku gak punya rumah dan tempat pulang.. Maaf karena udah buang-buang waktu kamu untuk mencintai orang yang payah kayak aku. Maaf..”


Napas Salsa terengah-engah. Entah kenapa dia tiba-tiba bolos di tengah pelajaran kesukaannya (sosiologi) dengan alasan ke toilet hanya untuk berlari ke UKS. Dia membuka pintu UKS yang dingin, menatap Kayandra sambil mengatur napasnya. Kayandra terkejut, dia kira ada guru atau penjaga UKS yang memergoki dia berkelahi dengan anak sekolah sebelah di tengah jam sekolah. Tapi ternyata yang ada di depannya justru Salsa—gebetan barunya.

“Sa? Kenapa?”

“Justru gue yang harus tanya lo kenapa,” balas Salsa dengan nada panik. Dia memperhatikan luka yang ada di wajah Kayandra sembari meringis. “Kenapa bisa begini sih, Yan?”

“Digigit semut.”

Gebukan pelan diterimanya akibat berbicara ngawur. “Gue serius, Yandra.”

Kayandra menghela napas. “Tadi gue keluar sebentar habis ada urusan penting—”

“Urusan penting apa?” potong Salsa. Dia langsung menyadari kelancangannya. “Ah, sorry, gue penasaran doang. Gak dijawab gapapa kok.”

Kayandra yang tadinya ingin merahasiakan hal ini terpaksa bercerita. “Tadi anak sebelah ngancem gue. Katanya kalo gue tadi gak nyamperin mereka, nanti mereka bakal nyamperin lo.”

Salsa mengerutkan alisnya. “Kenapa jadi gue?”

“Mereka liat kita sering berangkat dan pulang bareng, jadi dikiranya lo pacar gue.”

“Mereka kenapa bisa ngancem lo?”

“Gebetan ketua gengnya suka sama gue. Padahal gue liat mukanya aja gak pernah, tapi tiba-tiba mereka main keroyokan. Tadi untungnya Helen sama Janu lagi cabut nyebat, jadinya gue ada yang nolongin.”

Salsa menghela napasnya lagi. Mendengar ini semua dia jadi marah. Ketua geng tongkrongan SMA sebelahnya ini memang dikenal beringas dan kurang ajar. Semua yang dia gak suka langsung dihajar. Benar-benar mental preman.

Salsa berjalan ke lemari tempat obat-obatan diletakkan. Dia membersihkan serta mengobati luka Kayandra yang syukur— tidak separah itu. Tapi Salsa yakin bekasnya akan lama hilang.

“Lain kali, jangan disamperin lagi. Mereka cuma ngancem doang kok, Yan.”

Kayandra memperhatikan wajah cantik Salsa yang jaraknya hanya 15 centi. Salsa terlihat mengobatinya dengan telaten. “Ya gak bisa kalau yang mereka sentuh itu lo, Sa..”

“Gue gapapa, Yan, tenang aja.”

“Tapi gue gak bisa tenang, Sa. Gue gak mau lo kenapa-napa.”

Salsa terdiam, tangannya mengambang di udara karena ucapan Kayandra yang tiba-tiba membuat jantungnya berdegup kencang. Kayandra mengambil tangan Salsa, lalu menggengamnya di atas pangkuan.

Keduanya saling bertatapan. “Gue suka sama lo, Sa.”

“Yan..”

“Gue tau ini terlalu cepet. Mungkin bagi lo ini aneh dan annoying. Tapi gue juga gak tau kenapa gue bisa langsung tertarik gitu aja pas pertama kali liat lo. Gue gak tau harus jagain lo kayak gimana kalau gak dengan jadiin lo milik gue.”

Salsa masih diam. Dia juga tidak bisa bohong kalau berminggu-minggu yang dia jalani bersama Kayandra terasa lebih cerah dan berwarna. Kedatangan Kayandra sebagai teman sebangku barunya seperti angin sejuk di tengah gurun. Kedatangannya membawa banyak kejutan di tengah kehidupan datarnya.

“Yan..” panggil Salsa. Dada Kayandra tiba-tiba berdegup kencang. “Gue juga gak bisa bohong kalau kedatangan lo bikin gue jadi lebih sering ketawa. Tapi gue juga gak bisa bohong kalau gue masih perlu waktu buat memproses semuanya. Gak bisa tiba-tiba, Yan, harus ada langkah-langkahnya. Kalau lo mau dan berkenan, ayo kita kenalan dengan langkah yang pelan tapi pasti. Kalau kita udah merasa cocok satu sama lain, baru kita tentuin selanjutnya mau apa.”

Kayandra tersenyum. Kalimat barusan memang seperti penolakan, tapi tidak juga. Dia justru menganggap itu lampu hijau untuknya.

“Jadi ini lampu ijo atau lampu merah?”

“Lampu kuning.”

“LOH KOK GITU?”

“Pelanggaran,” sahut Salsa. “Soalnya lo hampir bikin gue jantungan gara-gara bonyok gini. Jangan diulangin ya?”


Kalau orang lain bilang hidup adalah soal kebetulan-kebetulan yang terasa seperti takdir, mungkin Kai tau rasanya. Dua jam yang lalu dia memutuskan untuk ke salah satu mall di Jakarta, menghabiskan waktu sendiri karena janjinya lagi-lagi dibatalkan oleh sang pemberi janji alias Adagio. Kecewa? Tentu saja. Hari-harinya yang dulu penuh oleh Jio sekarang tiba-tiba merasa 'disingkirkan' oleh kesibukan. Dia memaklumi kesibukan Jio, tapi dia tidak memaklumi betapa sering Jio membatalkan janji. Harusnya sedari awal tidak usah buat janji kalau tidak bisa ditepati. Hal-hal itu hanya mendatangkan kekecewaan.

Dia baru saja selesai menonton film kartun di bioskop. Dia kira rasa kesalnya akan reda setelah menonton yang lucu-lucu, tapi yang ada dia semakin kesal. “Harusnya bisa nonton bareng Kak Ji!” gumamnya.

Dia menyibukkan diri dengan menyambangi toko baju satu per satu, melihat saja, tidak berniat untuk membeli. Berjalan seperti ini tidak juga menghibur hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Langkahnya berhenti tiba-tiba. Netranya menangkap siluet seseorang. Dia berjalan mendekat tapi menyembunyikan dirinya di salah satu tembok. Dia berusaha memastikan dengan mengedipkan matanya berkali-kali. Dan kali ini dia tidak salah, itu Jio.

Jio sedang berjongkok di depan perempuan yang duduk di salah satu bangku di tengah mall. Tatapannya terlihat khawatir, tangan mereka tampak saling menggenggam. Perempuan itu tertunduk dengan posisi membelakangi Kai, jadi dia tidak bisa melihat jelas.

Kai merasakan matanya mulai memanas. Dia tidak melihat orang lain di sekitarnya, hanya Jio dan perempuan itu. Pertahanannya runtuh saat perempuan itu memeluk leher Jio yang dibalas dengan tepukan pada punggungnya. Kai memutuskan pergi dari tempatnya. Dia tidak mau berasumsi tentang siapa perempuan itu tapi juga tidak berniat untuk menghampiri mereka. Dia menelan semuanya, menganggap yang barusan dia lihat hanya khayalan semata.

Mungkin cuma mirip.

Di dunia ini yang mirip sama Kak Ji banyak kok.

Kak Ji lagi ngerjain tugas, gak mungkin tiba-tiba di mall sama cewek lain.

Pikiran-pikiran itu terus bersuara di dalam kepalanya. Berusaha menyihir dirinya sendiri bahwa yang dia lihat bukan pacarnya, bukan juga kenyataan. Air mata yang menutupi kedua matanya membuat jalanan buram. Dia bahkan tidak sengaja menabrak seseorang.

“Kai?!”

Habilal lagi.

Kai mendongak, melihat wajah panik Habilal di tengah-tengah matanya yang buram. Tak lama dia merasakan dirinya sudah berada dalam dekapan Bilal. Dia tidak bicara apa-apa, hanya menepuk kepala Kai sampai dia mulai tenang. Kai menarik dirinya.

“Kai, What happened?” tanya Bilal sambil sibuk merapikan penampilan Kai yang terlihat berantakan.

“Bawa gue pergi dong, Bil..” ucapnya dengan suara khas orang habis menangis.

“Pergi kemana? Hm? Lo kenapa?” Bilal melemparkan pertanyaan dengan lembut, menunggu jawaban dari Kai sampai dia benar-benar tenang.

“Cowok gue pelukan sama cewek lain, gue gak tau itu siapa.”

Bilal langsung melotot. Tuas amarah di dirinya serasa diaktifkan. “Di dalem orangnya?” tanyanya dengan tatapan mata yang menajam.

Dia benci melihat Kai sakit dan menangis lagi.

“Iya. Tapi— LO MAU NGAPAIN?!” Kai reflek menarik baju Bilal yang tiba-tiba berjalan masuk ke dalam.

“Mau nonjok cowok lo lah. Ngapain lagi? Enak aja si brengsek bikin nangis temen gue.”

Kai kali ini menarik Bilal dengan agak keras. Dia memegang kedua lengannya. “Bil, udah dong. Gue mau pergi dari sini, lo gak usah nyamperin dia. Gue capek sumpah.”

“Tapi dia enak-enakan sama cewek di dalem!”

“Gue paham, tapi gue gak mau liat mukanya sekarang, Bil! Lo tuh ngerti gak sih?!”

Nada mereka mulai meninggi. Bilal menghela napas, memutuskan mengalah. Masih ada lain kesempatan untuk menonjok cowok itu, pikirnya. Dia akhirnya menarik tangan Kai untuk pergi dari situ. Dirinya yang baru saja memarkirkan motor kini keluar lagi, tidak jadi menyinggahi mall.

Di sisi lain, Jio sedang membukakan botol air minum untuk Alice. Dia tau ini tidak benar, dia tau ini sebuah kesalahan. Harusnya dia kabur dari sini, bukan malah diam. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan Alice yang sedang kacau seorang diri.

Tadi dirinya baru selesai mengerjakan tugas di salah satu tempat makan di mall ini. Dirinya sudah berniat untuk ke rumah Kai tapi langkahnya terhenti saat melihat Alice sedang berjongkok sambil memegang besi pembatas kaca di tengah mall. Dirinya langsung berlari, membawa Alice duduk.

Hampir 5 menit dia mendampingi Alice yang kesulitan untuk mengatur napasnya. Dia berusaha untuk melakukan sesuatu tapi Alice bilang dia cukup diam menemani. Saat mulai tenang, Alice langsung memeluk Jio sambil menangis. Jio tidak mungkin langsung melepas pelukan itu dengan kasar, dia masih punya hati. Maka tidak ada yang bisa dia lakukan selain menepuk punggung perempuan itu untuk menenangkannya.

“Sejak kapan, Al?”

“Apa?” tanya Alice balik. “Ohh, panic attack?” sambungnya.

“Hampir 2 tahun kayaknya. Waktu di rumah tante aku tiba-tiba sesek napas, aku pikir asma tapi ternyata pas dicek itu serangan panik. Sampai sekarang belum hilang, tapi udah agak mendingan gak terlalu sering kambuhnya, aku udah tau cara ngatasinnya juga.”

“Kamu sendirian disini?”

Alice mengangguk. “Iya. Tadi aku mau coba me time gitu, eh taunya malah kambuh. Untung tadi ada kamu, dada aku sakit banget, aku pikir aku bakal mati tadi.”

“Jangan ngomong gitu, Al...”

“Hehehe, tapi gapapa kalau aku mati tadi soalnya aku mati di pelukan kamu ini.”

Jio membuang wajah ke arah lain. Dia tidak bisa melihat Alice yang kondisinya menyedihkan tapi tetap berusaha tertawa di sampingnya.

“Makasih ya, Ji..” ujar Alice pelan.

“Kalau bukan kamu pun aku bakal nolong orang yang jongkok di tengah mall, Al.” jawab Jio. Berusaha tidak memberikan kesalahpahaman.

“Tapi kamu sekarang duduk disini karena aku Alice, kan?”

“Pulang yuk? Aku anter.” Jio memutuskan untuk menyudahi topik ini. Dirinya merasa bersalah kalau harus terus bersama Alice setelah membatalkan janjinya dengan Kai.

Alice menurut. Tubuhnya juga sudah lelah dan dia tidak lagi bersemangat untuk menyambangi toko baju seperti tujuan awalnya. Dia berjalan di samping Jio. Melihat tangannya yang menganggur membuat Alice ingin menggenggamnya seperti hari kemarin.

“Al..” tegur Jio karena Alice benar-benar berusaha menggenggam tangannya. Dia menepis pelan tangan Alice dan memasukkannya ke dalam hoodie.

Alice menunduk melihat penolakan itu. “Padahal dulu kita kemana-mana selalu gandengan..”

“Dulu ya dulu, Al. Aku udah punya pacar.”

“Kalau gitu putusin aja.”

Langkah Jio terhenti. Perkataan itu membuatnya benar-benar berniat untuk berhenti berurusan dengan Alice. Baginya ini sudah tidak sehat.

“Aku gak akan putusin pacarku cuma untuk kamu, Al. Aku sayang sama dia.”

“Melebihi sayang kamu ke aku?”

“Jauh, Al. Aku harus jaga dia sekarang, udah bukan kamu lagi. Porsi aku jagain kamu udah selesai. Udah ya, Al? Please?”


Jio bersiap sore itu, kebetulan kelasnya selesai lebih cepat dan Kaia bilang dia akan pulang dengan Damian. Jio menatap bayangannya di cermin, dunianya yang sibuk belakangan ini terkadang membuatnya lupa untuk istirahat menarik napas sejenak. Dia berjalan keluar, melihat rumah sepi karena Habilal masih di kampus. Sebenarnya hubungan dia dan Habilal tidak ada perkembangan sama sekali. Jadi harapan kedua orang tuanya untuk meluluhkan hatinya sama sekali tidak berjalan lancar.

Butuh hampir 40 menit untuk sampai di tempat yang Keira bilang. Kalau boleh jujur dia malas berurusan dengan teman-teman Alice yang seakan masih hidup di dalam dunia dimana dia dan Alice masih bersama. Dia muak dengan pertanyaan, “Masih inget Alice gak, Ji?” atau “Kangen Alice gak?” yang selalu keluar dari mulut mereka tiap bertemu dengannya. Tapi dia juga tidak bisa menolak permintaan Elias yang sudah banyak membantunya di masa-masa sulit.

Dia duduk di tempat yang dekat dengan jendela. Sambil menunggu Keira datang, dia sibuk membaca novel Midnight Library karya Matt Haig yang belum kunjung selesai dia baca karena kesibukan. Menit demi menit tidak sadar dia lewati karena terlalu asik membaca. Tak lama dia mendengar bangku di depannya digeser. Kepalanya otomatis mendongak, melepas pandangannya dari buku di tangan. Namun tubuhnya malah membeku, netranya terbuka lebar melihat sosok yang ada di depannya sekarang. Alih-alih sosok Keira yang dia kenal, ini justru sosok familiar yang sudah tidak dia temui sejak 2 tahun lalu. Sosok yang sempat mengisi hari-harinya selama masa SMA dulu.

“Udah lama nunggunya? Sorry tadi ada kecelakaan di lampu merah jadinya macet.” Jio masih terdiam. Kini dadanya dipenuhi rasa sakit dan detakan jantung yang tiba-tiba kencang saat melihat wajahnya setelah 2 tahun.

Long time no see, Jio.” Sapaan dengan senyum khasnya hampir membuat air mata menetes dari mata Jio. Beruntung dia sempat membuang muka dan menahan emosinya yang hampir meluap.

“Mana Kei?” tanya Jio, berusaha tidak menunjukkan emosinya.

“Keira gak bisa dateng, jadi aku yang kesini. Aku juga mau tau kabar kamu dan lihat kamu secara langsung.”

Jio menunduk, menatap meja menjadi lebih menarik dibanding menatap wajah Alice yang membuatnya rindu. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya saat ini. Semua campur aduk, membawa perasaan bersalah pada Kai karena tadi sempat berpikir untuk membawa Alice ke dekapannya. Jio tidak ingin menyambut kedatangan Alice yang membuat luka keringnya menjadi basah kembali. Menurutnya ini sebuah kesalahan. Baik untuknya maupun Alice.

“Kalau gitu, gak ada yang perlu aku lakuin disini. Tujuanku bukan ini.” Jio berdiri, Alice menahan tangannya. Dia berdiri di depan Jio dan memeluknya. Air mata yang ditahan di ujung mata Alice kini membasahi pipinya. Jio diam, tidak membalas, namun tidak juga berniat melepas.

“Aku kangen banget sama kamu, Ji.. Rasanya kayak mau mati karena semua rasa bersalah yang menghantui aku selama 2 tahun ini.”

1 menit mereka sama-sama diam dalam posisi seperti itu. Alice mengendurkan pelukannya. Dia menatap Jio dalam, Jio sempat bertatapan tapi dia memilih untuk membuang wajahnya ke samping. Terlalu sakit baginya untuk memandang wajah Alice. Hatinya memang bukan untuk Alice lagi, tapi seperti yang dia katakan pada Elias, rasa sakitnya tinggal.

“Kita bisa balik kayak dulu lagi kan, Ji?” Mendengar itu Jio menghela napasnya. Dia kembali duduk, menunggu Alice juga duduk di depannya. Dia memang tidak ingin meneruskan ini semua, tapi dia tidak bisa pergi tanpa penjelasan.

“Kayak dulu yang gimana maksud kamu?”

“Ya.. kayak dulu. Kemana-mana berdua, main sama temen-temen, masak berdua lagi..”

Jio tersenyum kecil. “Kamu masih hidup di masa lalu? Kamu gak inget sama Yogi dan anak kamu?”

Pertanyaan Jio bagaikan petir untuk Alice. Dia lupa kalau orang di depannya ini belum tau apa yang terjadi padanya. Kepalanya tertunduk, matanya kembali basah. “Anakku udah gak ada, Ji.”

Mata Jio melebar. “Al? Maksudnya—”

“Anakku meninggal bahkan sebelum dilahirkan. Aku berusaha buat nyembuhin semuanya sendiri. Semuanya terlalu berat buat aku, Ji.” Alice kembali menangis. Hati Jio serasa ikut teriris melihatnya.

I'm sorry to hear that.

Alice menggeleng, berusaha tegar dengan menghapus air matanya. “No, it's all my fault. Mungkin emang Tuhan gak mengizinkan aku untuk jadi Ibu karena aku ini manusia yang buruk.”

“Jangan ngomong kayak gitu,” tegur Jio. “Mungkin emang jalannya kamu harus sayang sama diri sendiri dulu, baru bisa sayang sama darah daging kamu sendiri.”

Alice tersenyum mendengarnya. Ini yang dia butuhkan selama ini. Hiburan yang hanya keluar dari mulut Adagio. “Aku udah gak sama Yogi, Ji.” Alice membeberkan fakta yang lainnya lagi.

Badan Jio menegak. “Kamu pergi ke luar negeri sama dia, kan? Kok bisa?”

“Keluarganya di Jepang gak nerima kehadiran aku dan anakku. Sehari setelah aku datang ke rumahnya, hari itu juga aku ditendang keluar. Yogi bilang dia gak bisa keluar rumah karena penjagaannya ketat dan dia diancam ikut diusir kalau berani membangkang. Aku gak mungkin egois, kan, Ji?”

Jio masih setia mendengarkan. “Untungnya aku ada tante di Jepang, jadi selama 2 tahun ini aku tinggal disana. Oh— keluargaku ngusir aku sehari aku bilang aku hamil, jadi jangan heran, hehe.”

Melihat Alice yang menyengir tanpa beban seperti itu membuat beban di pundak Jio seperti bertambah berat. Selama ini di bayangannya Alice bahagia dengan keluarga kecilnya di Jepang. Dia pikir Yogi akan bertanggung jawab atas perbuatannya dan memperjuangkan Alice. Tapi ternyata dia salah. Alice tidak pernah bahagia dan dia bukanlah satu-satunya yang tersiksa.

“Aku balik ke Indonesia untuk ketemu keluargaku dan cari kamu. HP lamaku rusak jadi aku gak bisa tau kabar kamu. 2 tahun rasanya lama banget tanpa kamu. Apalagi ditambah rasa bersalah.”

“Kamu udah ketemu Mama?” Jio bertanya. Mama yang dia maksud adalah Ibunya Alice. Pacaran hampir 4 tahun membuat Jio dekat dengan keluarganya.

“Udah, mereka udah mau nerima aku juga. Mungkin ke depannya aku bakal di Indonesia. Tapi kalau kangen Jepang aku bakal keluar sih, paling tinggal disana sebulan dua bulan.”

Jio mengangguk. Kini jelas sudah apa yang jadi pertanyaannya. Beban pikirannya sudah berkurang. Kini mungkin dia sudah bisa tidur dengan tenang. Lamunannya terputus saat tangan Alice menyelinap di atas tangannya. Jio memandang wajah Alice. Masih cantik seperti dulu. Hanya saja kini sorot matanya sedih dan di bawah matanya terdapat lingkaran hitam yang membuatnya terlihat menyedihkan.

“Aku mau memperbaiki apa yang aku rusak, Ji. Can you give me a chance?” tanyanya. Terlihat memohon.

“Al, kita udah gak bisa ngulang masa lalu kita. Semua udah ada tempatnya masing-masing, dan tempatku bukan di samping kamu lagi.” Tangannya terulur menyingkirkan tangan Alice.

“Aku udah gak bisa sama kamu, Al. Aku udah punya pacar.” ucap Jio melanjutkan.

Perkataan itu membuat Alice mematung. Gak mungkin, pikirnya. Jio cuma suka sama gue. Gak mungkin dia bisa lupain gue.

“Nggak, kamu pasti bohong. Ini semua akal-akalan kamu supaya aku gak deketin kamu lagi, kan? Jawab Ji!”

“Ini faktanya, Al. Aku udah bukan lagi Adagio yang mengorbit pada Alice. Aku udah punya orang lain yang aku pandang sebagai pusat semesta. Kisah kita emang harusnya selesai, Al, gak perlu dilanjut lagi. Apa yang rusak gak akan pernah bisa diperbaiki.”

“Ji, nggak! Aku gak mau. Aku masih bisa perbaiki semuanya, Ji, tolong kasih aku kesempatan. Ya? Please..” Nada paraunya membuat Jio meringis. Dia tidak pernah bisa berkata tidak pada Alice dari dulu. Tapi sekarang dia harus. Dia punya hati yang harus dijaga.

“Aku gak bisa, Al. Maaf.”

Alice lagi-lagi menahan Jio yang sudah berdiri dari tempatnya. “Al, tolong. Aku udah gak bisa lanjut sama kamu. Kata kita itu udah gak ada sejak 2 tahun lalu. Kamu harusnya tau kalau kita sama-sama, yang ada kita cuma nyakitin satu sama lain.”

“Nggak, Ji. Aku gak merasa sakit tiap sama kamu. Kamu salah.”

“Kalau begitu berarti cuma aku yang sakit tiap ada kamu. Aku gak bisa hidup dalam rasa sakit terus, Al. Kepergian kamu waktu itu buat aku gak bisa lupa. Kerusakan yang kamu perbuat bawa dampak besar untuk hidup aku. Aku udah gak bisa sembuhin hal itu.”

Alice tertohok pada tiap kalimat yang diucapkan Jio. Setengah dirinya tak terima, tapi setengahnya lagi tak menyanggah karena memang itu adanya. Dia juga sadar kalau dia membawa banyak luka pada hidup Jio. Tapi dia juga sadar kalau dia tidak bisa hidup tanpanya.

“Ji—”

“Lebih baik kita gak usah ketemu lagi, Al. Kita jalanin hidup masing-masing sekarang. Kamu dengan duniamu, dan aku dengan duniaku. Gak perlu lagi ada kata kita. Aku udah nemuin bahagiaku sendiri disini. Kamu juga harus begitu.”

Detik berikutnya Jio melangkah pergi. Meninggalkan Alice yang mematung. Raganya sudah tidak memiliki tenaga untuk menahan Jio pergi.

“Kamu udah nemuin bahagiamu, tapi bahagiaku cuma kamu. Gimana caranya aku harus bahagia kalau gak ada kamu?”


Daffa POV

Gue tuh ya, waktu bilang kalau Kai butuh perlindungan dan pengawasan dari siapapun cowok yang lagi deketin dia, gue benar-benar serius. Gue dan Dami, udah jadi saksi hidup Kai dari SMP. Kami berdua tau pasti apa yang Kai suka, Kai benci, atau apapun yang harus Kai hindari. Kami juga tau persis apa aja hal-hal yang bisa men-trigger Kai. Dari hal kecil maupun hal besar, kami tau Kai, bahkan lebih dari Bang Elias kakaknya sendiri.

Waktu itu gue dan Dami lagi main di belakang rumah Kai. Seperti biasa, menikmati senja di rumah orang kaya yang halaman belakangnya aja lebih gede dari kamar kosan gue. Terus kami ngobrol-ngobrol, tentang seberapa yakinnya Kai mau menjalin hubungan sama Bang Ji yang notabene orang baru di hidupnya. Katanya dia yakin, dia mau buka lembaran baru. Sampai situ gue masih oke, gue gak berhak ngelarang juga.

Terus suatu saat kami ngumpul LAGI di halaman belakang. Dia cerita, kalau dia tiba-tiba takut ditinggal sama Bang Ji dengan cara yang sama kayak Habilal brengsek itu dulu ninggalin dia. Dami bilang, “Yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan, Kai. Mau lo sama Bang Ji, kek, sama gue atau Daffa, kek, kita semua ada waktunya untuk pisah. Maka dari itu jangan terlalu jatuh dan jangan terlalu takut sama hal yang gak pasti. Penyakit hati banget itu.” dan saat itu gue langsung mau retweet ucapannya andai hidup ada tombol retweet. Sayangnya gak ada sih ya, payah dah.

Dan akhir-akhir ini, gue sama Dami diem-diem memperhatikan dan menggelar diskusi rahasia tentang semua cuitan Kai di twitternya. Akun rant yang isinya cuma kami berdua itu kayak gak pernah absen untuk mention betapa pusingnya dia sama pikirannya sendiri. Gue bilang ke Dami kita harus bilang sesuatu ke Kai, dia gak bisa dibiarin kalut sama pikirannya sendiri. Dan Dami bales, katanya kita gak boleh terlalu ikut campur, biar Kai beresin masalahnya sendiri.

Tapi akhirnya, saat semalam gue lihat dia mulai NGACO, saat itu juga gue bilang Dami kita harus tanya dia kenapa. Maka dari itu sekarang kami bertiga lagi kumpul kebo (bercanda), maksudnya kumpul di kosan gue dan Dami. Jangan khawatir! Kosan ini aman karena campur cewek cowok dan gue sama Dami juga kagak ada nafsu ngeliat Kai saking kami kenal udah lama. (Gak tau sih kalau Dami soalnya dia pernah suka, tapi kayaknya udah gak nafsu juga soalnya Kai kan udah punya cowok).

Ya singkat cerita, Dami buka obrolan dengan nanya apa yang terjadi pada Kai akhir akhir ini. Dia akhirnya bilang, kalau dia lagi anxious banget. Dia juga gak ngerti dia sebenernya takut sama apa. Dia paham dia jadi annoying ke Bang Ji karena dia nanya hal-hal yang sensitif dan out of topic dari yang seharusnya. Dia sempat kasih unjuk chatnya sama Bang Ji yang membuat gue meringis miris dan Dami merengut aneh. Kalau boleh jujur, emang isinya Kai nanya pertanyaan yang kebanyakan menyinggung dan annoying. Gue yang baca aja mengakui.

Siapa lagian yang tiba-tiba bawa mantan pacar pas lagi ngirim pap? Gue jamin Bang Ji yang awalnya sumringah pasti langsung sepet. Tapi gue sebagai teman Kai, paham betul kenapa dia bertingkah seperti itu. Masalahnya kan, Kai bukan pacaran sama gue, melainkan Bang Ji yang mungkin gak kebiasa dengan tingkah aneh Kai ini.

Duh, ini anak emang banyak traumanya sumpah, makanya kudu hati-hati. Ini lah alasan kenapa gue masih tetep ngasih muka tak bersahabat ke arah Bilal walaupun kelihatannya mereka udah berteman baik. Soalnya dia ikut andil dalam semua trauma yang Kai bawa sampai ke hubungannya sekarang.

“Lo sadar kan, Kai, kalo tingkah lo tuh nyebelin banget disini?” tanya gue langsung. Anaknya menunduk lalu mengangguk letoy. Ah! Niatnya mau gue omelin jadi gak tega.

“Lo bawa-bawa mantan Bang Ji mulu emangnya kenapa sih? Gara-gara liat sg di akun lama Bang Elyas?” Kini Dami yang bertanya.

“Itu salah satu alasan. Sebenernya ada hal yang ganjel di pikiran gue. Tadinya gue gak mau bilang siapa-siapa, kalian diem ya?” Dia menatap kami memohon dengan suara lemahnya.

Gue dan Dami mengangguk. “Kalian tau kan kisahnya gimana Kak Ji putus sama Alice mantannya? Kemarin waktu gue nangis pulang dari beli martabak itu, gue ketemu Alice.”

Gue shock. Damian juga. Kami sama-sama meneriakkan kata, “HAH?!” dengan mulut terbuka.

“Lo liat mukanya?” Kai menggeleng. “Enggak, tapi gue yakin itu dia. Soalnya dia nyebut hal-hal yang berhubungan sama Kak Ji, terlebih lagi temennya dengan jelas nyebut Adagio Valo. Gak mungkin salah.”

“Siapa tau orang lain dengan nama sama, Kai.” Kilah Damian yang sebenernya gue yakin cuma penghiburan gak berguna.

“Gak mungkin, Dam. Kalo cuma Alice mungkin gue masih maklum karena banyak yang namanya sama. Tapi Adagio Valo tuh, gak sepasaran itu. Gue aja baru kenal ada orang namanya Adagio.”

Diem-diem gue setuju. Ya orang mana yang namanya Adagio? Belum nemu gue selain Bang Ji ini. Namanya unik sekaligus aneh. Seinget gue tuh, Adagio nama tempo musik, kenapa jadi nama orang. Gak tau dah.

Lupakan. Intinya gue masih shock dengernya. Karena memang setau gue, Si Alice itu pindah ke luar negeri bareng selingkuhannya (temennya abang-abang itu) dan tinggal disana. Jelas aja kedatangannya yang tiba-tiba bikin Kai jadi rungsing sendiri. Gue sempet ngintip foto muka jelasnya di HP Bang Ajun, dan CANTIK BANGET. Kai yang belum liat mukanya aja udah kelabakan, apalagi liat? Bisa berubah jadi reog dia.

Akhirnya gue dan Dami mengerti alasan Kai jadi sesensitif ini. Karena kalau dilihat, masalah Alice-Adagio ini jauh lebih serius dan dalam dibandingkan masalah Kaia-Habilal. Walaupun luka orang gak pantas disandingi, tapi semua juga tau kalau diselingkuhi sampai pacar kita gak sengaja hamil tuh sakitnya banget banget.

“Lo beneran harus ngobrol sih sama Bang Ji.” Damian berucap final sambil meneguk coca cola. Gue manggut-manggut.

“Ngobrol gimana? Bilang, 'Kak aku ketemu mantan kamu loh.' KAN GAK MUNGKIN!!” ucapnya ngegas.

Lantas gue menoyor kepalanya. “Gak usah bawa-bawa mantan lah, tolol. Lo selesaiin apa yang jadi concern lo selama ini. Lo bilang kalo lo cuma mau afeksi soalnya Bang Ji sibuk mulu.”

“GUE GAK MAU AFEKSI, YA!!”

“Lo tuh kangen, bego, sama Bang Ji! Coba itung, udah berapa banyak hari minggu yang lo lewati sendirian? Biasanya kan kalian ketemu setiap hari, jalan tiap minggu, lah ini udah jarang, kan? Kangen itu mah.” cecar gue panjang lebar.

Gue menghela napas. Ribet ya orang pacaran. Bilang kangen aja sampe bikin ribut kemana-mana. Ini makanya gue takut disukain cewek! Ribet soalnya.

“Lo dateng ke rumahnya aja, Kai, surprise gitu ceritanya. Lo bawain makanan gitu, nanti sambil ngobrol. Kata lo Bang Ji sibuk nugas, kan? Nahhh, pas tuh, pasti butuh tenaga.” usul Dami.

“Boleh tuh! Masak sendiri aja biar keliatannya lo effort buat minta maaf dan baikan.”

Hari itu Kai manggut-manggut setuju. Entah akan membawa kebaikan atau keburukan. Gue dan Dami sama-sama berharap untuk kebahagiaan semuanya. Dan sampai detik ini pun gue masih bersikeras untuk gak pacaran sampai gue nemu orang yang klop dan gak ribet. Maklum, gue expert sebagai penasihat, tapi bukan sebagai pemain.