fromranxx


Kami semua sampai di hotel mewah milik keluarga Yogi. Sejak awal di pesawat perasaan gue gak enak. Kayak ada sesuatu yang mengganjal tapi gue gak tau itu apa. Temen-temen gue juga ngerasain hal yang sama. Kayak, something's not right but we don't know what.

Gue diberi kamar bersamaan dengan Elias dan Ajun. Kamar yang kami tempati benar-benar mewah, luas, dan nyaman. Awalnya kami sampai bengong karena gak percaya kalau keluarga Yogi setinggi itu kedudukannya disini. Jelas Yogi langsung hilang jejak, orang-orang suruhan Tante Hana untuk mengantar kami aja ada banyak. Pastinya orang yang menjaga Yogi jauh lebih banyak lagi.

Kami diberikan baju formal warna hitam. Entah bagaimana mereka bisa tau persis ukuran baju kami. Katanya nanti malam kami akan ketemu sama Yogi, jadi masih ada waktu untuk istirahat.

“Kalian somehow ngerasa ini aneh gak sih?” tanya Elias yang lagi minum cola di meja bar.

Gue dan Ajun yang duduk di sofa mengangguk bersamaan. “Jujur gue iya. Kayak, effortnya tuh agak lebay padahal kita cuma ketemu Yogi. Gue kalo jadi Tante Hana mah bakal suruh anak gue yang ke Indonesia beli apart disana dibandingkan bayarin flight dan nyewain kamar hotel buat temen-temennya.” jawab Ajun.

“Kayak ada yang disembunyiin.” Gue menambahi.

“Tadi gue liat Alice agak shaking gitu. Pasti dia masih inget perlakuan keluarga Yogi dulu.” Elias berjalan ke arah sofa dan duduk di samping Ajun.

“Jelas lah, Yas, pasti dia trauma.” sahut gue.

“Gimana kalo nanti ada Tante Hana ya? Tadi padahal cuma orang suruhannya doang. Kasian dah Alice.” Kami mengangguk setuju dengan perkataan Ajun.

Gue juga mengkhawatirkan Alice yang terlihat gugup sejak awal naik pesawat. Pasti masih teringat jelas waktu dia diusir dari rumah orang tua Yogi waktu itu. “Yaudah kita bersih-bersih dulu aja. Nanti jangan lupa cek Alice terus ya, Ji, lo kan deket tuh. Takutnya dia ketakutan atau apa. Punya panic attack kan dia?”

Gue mengangguk pada pertanyaan Elias. “Nanti gue cek terus. Lo mandi duluan sana, Yas.”


Malam akhirnya tiba. Kami memakai setelan jas hitam yang sudah disiapkan. Waktu keluar kami berbarengan dengan waktu keluar para perempuan. Tampaknya mereka juga diberikan gaun hitam senada tetapi yang membedakan hanya modelnya. Kami saling tatap kebingungan.

“Ini sebenernya ada apa sih?” bisik Alice saat dia melipir untuk jalan di samping gue.

“Gak tau. Aku juga bingung, Al.”

“Ji, aku takut.” ucapnya. Gue menoleh dan mendapati beberapa peluh muncul di dahinya. Gue menggandeng tangannya, khawatir dia jatuh. “Ada aku. Kamu pegangan aja, kalau lemes banget nanti kita minta balik ke kamar aja.”

“Gapapa?”

“Gapapa. Pegangan.”

Kami diperintah masuk ke dalam mobil Limosin yang bisa mengangkut kami semua. Kemewahan yang disuguhi benar-benar gak bisa gue nikmati. Gue sibuk memikirkan seperti apa penampilan Yogi sekarang. Apa senyumnya masih terlihat lembut seperti dulu? Apa dia masih menyambut kami seperti dulu? Atau bahkan, apa rasanya seperti bertemu teman lama atau justru seperti bertemu orang asing?

Gue bisa melihat kening Alice mengerut dalam saat kami dipersilakan keluar dari mobil. Gue mendekat untuk berbisik, “Kenapa? Tulisannya apa artinya?”

Alice diam, hanya menggeleng. Wajahnya sedikit panik. Gue tau dari situ bahwa semua ini ada yang gak beres. Kami masuk ke dalam sebuah gedung tinggi yang sepi. Hanya beberapa orang suruhan Tante Hana yang memakai baju seragam. Mereka menyuruh kami menunggu di sofa panjang. Di depan kami disuguhi beberapa makanan dan minuman, tapi gak ada satupun dari kami yang berselera.

Suara sepatu hak menggema, kami menoleh bersamaan. Seorang perempuan paruh baya dengan wajah khas orang Jepang berjalan mendekat. Tubuhnya tegak dan anggun. Menjelaskan bahwa dia terlahir sebagai konglomerat yang gak mengerti apa itu melarat.

“Maaf ya udah nunggu lama.” Logatnya pun menunjukkan dia jarang menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya.

Tante Hana berjalan ke arah Alice. Tatapannya melembut, tangannya meraih tangan Alice dan menggenggamnya erat. Dalam hati gue khawatir lihat Alice yang agak gemetaran.

“Alice, Tante minta maaf ya?”

Gue lihat Alice tersenyum kecil. “Kita lupain aja, Tante. Semua udah baik-baik aja kok sekarang.”

“Andai waktu itu Tante nerima kamu, mungkin Yogi..” Omongannya terpotong. Air mata lalu keluar dari kedua matanya. Kami yang melihat hanya kebingungan dan saling tatap. Kecuali Alice. Dia juga ikut menangis.

“Sejak kapan, Tante?” ucapnya lemah. Kami makin bingung melihat situasi yang tiba-tiba sendu.

“Satu minggu lalu.” Tangis Alice makin deras. Dia menahan suara tangisnya sampai bahunya bergetar. Tante Hana memeluk Alice dan mereka menangis bersamaan.

Gue hanya menatap yang lain. Elias kelihatan ingin bertanya tapi ditahan, gak ingin ganggu. Selang beberapa menit baru Tante Hana melepas pelukannya dan beralih pada kami semua. Dia tersenyum di sela air matanya yang mengalir. “Ini teman-temannya Yogi ya..?”

“Iya, Tante. Saya Elias, ini Arjuna, Jio, Nara, Windi, dan ini Keira.” Elias memperkenalkan kami dengan menunjuk satu per satu. Tante Hana semakin tersenyum.

“Terima kasih ya.. Sudah jadi teman Yogi waktu di Indonesia dulu. Maaf kalau Yogi pernah ada salah sama kalian.”

Ini aneh.

“Kalau boleh tau, Yogi ada dimana ya, Tante? Saya mau ketemu, kangen banget.” Elias bertanya.

Tante Hana menyuruh kami mengikutinya ke arah belakang gedung. Dahi gue mengerut semakin dalam saat melihat jejeran makam yang jaraknya gak terlalu rapat satu sama lain. Gue lihat tangis Alice semakin deras.

Nggak. Ini gak mungkin. Jangan bilang...

“Yogi disini.” Tante Hana berhenti di depan satu makam.

Alice sekarang menangis meraung-raung, dia berlutut di depan batu makam Yogi. Mata gue mulai berkaca-kaca. Menolak kenyataan. Mengharap kekeliruan.

Sekarang gue mengerti apa maksud sikap Alice tadi. Gue mengerti mungkin arti dari huruf Jepang yang gak gue mengerti itu berbau tentang makam atau apapun yang merujuk kesitu.

“Yogi sudah berpulang tepat satu minggu yang lalu. Dia sakit. Leukimia. Semua pengobatan sudah dicoba tapi Tuhan lebih sayang dia.” jelas Tante Hana dengan tangis derasnya.

Gue melihat semuanya menggeleng. Menolak perkataan Tante Hana yang terasa menggerus hati.

“Nggak, Tante, nggak. Kita kesini mau ketemu Yogi, mau bercanda sama Yogi, bukan mau berdiri di depan makam orang.” Ajun terlihat menahan emosi. Urat lehernya terlihat jelas kalau dia menahan tangisnya.

Tante Hana menjawab dengan terbata-bata, “Maaf karena sudah memisahkan kalian. Maaf karena baru sempat mempertemukan kalian. Permintaan terakhir Yogi hanya satu, dia mau ketemu kalian, mengobrol dan bercanda seperti dulu. Tapi Tante tolak karena kondisinya semakin drop. Tante gak pernah sangka kalau permintaan terakhirnya baru bisa dipenuhi saat dia sudah berpulang.”

Air mata mengalir deras di pipi gue. Semua juga sama.

Kami kehilangan teman lama yang bahkan belum kami lihat wajahnya selama bertahun-tahun. Kami kehilangan teman lama untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini bukan hanya beda negara, tapi beda alam pula. Kenyataan pahit ini harus kami telan sendiri.

Tante Hana dan orang-orangnya meninggalkan kami. Memberi waktu sebanyak mungkin untuk menghabiskan waktu dengan Yogi. Makam Yogi, maksudnya.

“Bilang sama gue ini mimpi.” Nara berkata sambil menatap kosong ke depan.

“Anjing, ini apa sih maksudnya?! Tiba-tiba banget Ya Allah..” ucap Elias.

Kami sama-sama hening untuk beberapa saat. Masih berusaha mencerna bahwa sahabat baik kami yang selalu ada di kala susah dan senang kini sudah berpulang ke pangkuan Tuhan.

“Yog, balik, Yog...”

Ajun, yang gue tau jarang menangis kini menangis deras. Dia memegang makam Yogi, mengelusnya pelan. “Gue belom bayar utang gue waktu SMA, Yog, lo balik dulu sini.. Gue bayar dulu, kita baikan dulu, kita harus hidup lama dulu, Yog..”

Perkataannya membuat tangis kami makin deras. “Maafin gue, Yog..” Kini Elias yang mulai bersuara. “Maaf karena gue gak pernah jadi temen yang baik buat lo. Maaf karena gue berhenti nyari lo waktu itu. Mungkin kalau gue nyari lo sampai ke seluruh penjuru dunia, kita masih bisa ketemu, Yog. Mungkin kita masih sempet ketawa bareng kayak yang lo mau.”

Kepala Alice yang tadinya tertunduk kini tegak. Kami paham bahwa dia juga ingin mengucap sesuatu. “Kamu ketemu anak kita disana gak, sayang?”

Mendengar itu hati kami semua mencelos. Ini pasti jauh lebih berat bagi Alice. Dia kehilangan semua miliknya. Anaknya, juga cintanya.

“Maaf— maaf karena aku gak bisa jaga dia dengan baik. Maaf karena aku gak pernah jadi ibu yang baik. Mungkin— mungkin kalau dia lahir, kamu masih sempat ketemu sama dia. Mungkin kamu bisa gendong dia sebelum kamu pergi.” Alice terbata-bata.

Entah sudah berapa menit kami menghabiskan waktu disini. Entah sudah sejauh mana orang menganggap kami gila karena bicara dengan benda mati.

Yang gue rasakan hanya pedih. Hati gue terasa kosong. Hampa. Seperti itu lah gambaran kehilangan sahabat baik.

Satu persatu mulai meninggalkan makam. Hingga tersisa gue yang belum mengucap satu kata pun untuk berpamitan dengan Yogi. Semua meninggalkan gue sendiri. Elias bilang, “Ucap semua yang lo mau sampaikan ke Yogi, Ji. Ini kesempatan terakhir lo.”

Kaki gue yang tadi berdiri tegak kini berlutut. Menunjukkan kalau gue hanya berpura-pura tegar sejak tadi. Gue menepuk dada kiri gue berkali-kali agar sakitnya gak terlalu dalam. Tapi nihil. Rasanya tetap sakit.

“Gue gak pernah benci lo, Yog.” Kata itu menjadi awal salam terakhir gue dengan Yogi.

“Kesalahan yang lo perbuat waktu itu emang nyakitin, tapi gue gak pernah bisa benci lo. Mau sebrengsek apapun temen gue, gak pernah gue benci temen gue sendiri. Waktu itu gue justru mikir kalau yang deserve buat dapetin Alice emang lo. Gue gak pantes dapetin Alice, gue gak becus buat jagain dia.”

Gue berhenti sejenak. Untuk bicara terasa sulit karena tangis yang gak bisa gue bendung. “Gue udah percayain dia sama lo, Yog, kenapa lo malah pergi? Disaat semua udah damai dan baik-baik aja kenapa lo ninggalin kita semua? Kenapa, Yog? KENAPA?!”

Emosi gue tumpah ruah. Gue datang jauh dari Indonesia ke Jepang bukan untuk ini. Bukan untuk mengantar sahabat gue ke tempat terakhirnya.

“Maafin gue kalau gue punya salah ya, Yog? Bahagia di sana. Kita ketemu lagi di kehidupan yang lain. Makasih karena udah ngajarin banyak pelajaran hidup ke orang payah kayak gue.”

Susah payah gue berdiri. Untuk memberi salam terakhir. “Gue gak akan ngelupain lo, Yog, gak akan. Gue akan sering datang ke sini. Gue akan ajak lo buat turut hadir di tiap tahap kehidupan gue. Gue janji. Tunggu gue disana ya? Jangan kemana-mana. Kalau tiba waktunya gue berpulang maka lo harus nunggu gue di depan pintu.”

Lalu gue berbalik. Melangkah pergi. Menjauh dari tempat peristirahatan terakhir sahabat terbaik gue. Hari ini, sehelai kelopak bunga jatuh. Meninggalkan layu di helai-helai yang lain.


Kami semua sampai di hotel mewah milik keluarga Yogi. Sejak awal di pesawat perasaan gue gak enak. Kayak ada sesuatu yang mengganjal tapi gue gak tau itu apa. Temen-temen gue juga ngerasain hal yang sama. Kayak, something's not right but we don't know what.

Gue diberi kamar bersamaan dengan Elias dan Ajun. Kamar yang kami tempati benar-benar mewah, luas, dan nyaman. Awalnya kami sampai bengong karena gak percaya kalau keluarga Yogi setinggi itu kedudukannya disini. Jelas Yogi langsung hilang jejak, orang-orang suruhan Tante Hana untuk mengantar kami aja ada banyak. Pastinya orang yang menjaga Yogi jauh lebih banyak lagi.

Kami diberikan baju formal warna hitam. Entah bagaimana mereka bisa tau persis ukuran baju kami. Katanya nanti malam kami akan ketemu sama Yogi, jadi masih ada waktu untuk istirahat.

“Kalian somehow ngerasa ini aneh gak sih?” tanya Elias yang lagi minum cola di meja bar.

Gue dan Ajun yang duduk di sofa mengangguk bersamaan. “Jujur gue iya. Kayak, effortnya tuh agak lebay padahal kita cuma ketemu Yogi. Gue kalo jadi Tante Hana mah bakal suruh anak gue yang ke Indonesia beli apart disana dibandingkan bayarin flight dan nyewain kamar hotel buat temen-temennya.” jawab Ajun.

“Kayak ada yang disembunyiin.” Gue menambahi.

“Tadi gue liat Alice agak shaking gitu. Pasti dia masih inget perlakuan keluarga Yogi dulu.” Elias berjalan ke arah sofa dan duduk di samping Ajun.

“Jelas lah, Yas, pasti dia trauma.” sahut gue.

“Gimana kalo nanti ada Tante Hana ya? Tadi padahal cuma orang suruhannya doang. Kasian dah Alice.” Kami mengangguk setuju dengan perkataan Ajun.

Gue juga mengkhawatirkan Alice yang terlihat gugup sejak awal naik pesawat. Pasti masih teringat jelas waktu dia diusir dari rumah orang tua Yogi waktu itu. “Yaudah kita bersih-bersih dulu aja. Nanti jangan lupa cek Alice terus ya, Ji, lo kan deket tuh. Takutnya dia ketakutan atau apa. Punya panic attack kan dia?”

Gue mengangguk pada pertanyaan Elias. “Nanti gue cek terus. Lo mandi duluan sana, Yas.”


Malam akhirnya tiba. Kami memakai setelan jas hitam yang sudah disiapkan. Waktu keluar kami berbarengan dengan waktu keluar para perempuan. Tampaknya mereka juga diberikan gaun hitam senada tetapi yang membedakan hanya modelnya. Kami saling tatap kebingungan.

“Ini sebenernya ada apa sih?” bisik Alice saat dia melipir untuk jalan di samping gue.

“Gak tau. Aku juga bingung, Al.”

“Ji, aku takut.” ucapnya. Gue menoleh dan mendapati beberapa peluh muncul di dahinya. Gue menggandeng tangannya, khawatir dia jatuh. “Ada aku. Kamu pegangan aja, kalau lemes banget nanti kita minta balik ke kamar aja.”

“Gapapa?”

“Gapapa. Pegangan.”

Kami diperintah masuk ke dalam mobil Limosin yang bisa mengangkut kami semua. Kemewahan yang disuguhi benar-benar gak bisa gue nikmati. Gue sibuk memikirkan seperti apa penampilan Yogi sekarang. Apa senyumnya masih terlihat lembut seperti dulu? Apa dia masih menyambut kami seperti dulu? Atau bahkan, apa rasanya seperti bertemu teman lama atau justru seperti bertemu orang asing?

Gue bisa melihat kening Alice mengerut dalam saat kami dipersilakan keluar dari mobil. Gue mendekat untuk berbisik, “Kenapa? Tulisannya apa artinya?”

Alice diam, hanya menggeleng. Wajahnya sedikit panik. Gue tau dari situ bahwa semua ini ada yang gak beres. Kami masuk ke dalam sebuah gedung tinggi yang sepi. Hanya beberapa orang suruhan Tante Hana yang memakai baju seragam. Mereka menyuruh kami menunggu di sofa panjang. Di depan kami disuguhi beberapa makanan dan minuman, tapi gak ada satupun dari kami yang berselera.

Suara sepatu hak menggema, kami menoleh bersamaan. Seorang perempuan paruh baya dengan wajah khas orang Jepang berjalan mendekat. Tubuhnya tegak dan anggun. Menjelaskan bahwa dia terlahir sebagai konglomerat yang gak mengerti apa itu melarat.

“Maaf ya udah nunggu lama.” Logatnya pun menunjukkan dia jarang menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya.

Tante Hana berjalan ke arah Alice. Tatapannya melembut, tangannya meraih tangan Alice dan menggenggamnya erat. Dalam hati gue khawatir lihat Alice yang agak gemetaran.

“Alice, Tante minta maaf ya?”

Gue lihat Alice tersenyum kecil. “Kita lupain aja, Tante. Semua udah baik-baik aja kok sekarang.”

“Andai waktu itu Tante nerima kamu, mungkin Yogi..” Omongannya terpotong. Air mata lalu keluar dari kedua matanya. Kami yang melihat hanya kebingungan dan saling tatap. Kecuali Alice. Dia juga ikut menangis.

“Sejak kapan, Tante?” ucapnya lemah. Kami makin bingung melihat situasi yang tiba-tiba sendu.

“Satu minggu lalu.” Tangis Alice makin deras. Dia menahan suara tangisnya sampai bahunya bergetar. Tante Hana memeluk Alice dan mereka menangis bersamaan.

Gue hanya menatap yang lain. Elias kelihatan ingin bertanya tapi ditahan, gak ingin ganggu. Selang beberapa menit baru Tante Hana melepas pelukannya dan beralih pada kami semua. Dia tersenyum di sela air matanya yang mengalir. “Ini teman-temannya Yogi ya..?”

“Iya, Tante. Saya Elias, ini Arjuna, Jio, Nara, Windi, dan ini Keira.” Elias memperkenalkan kami dengan menunjuk satu per satu. Tante Hana semakin tersenyum.

“Terima kasih ya.. Sudah jadi teman Yogi waktu di Indonesia dulu. Maaf kalau Yogi pernah ada salah sama kalian.”

Ini aneh.

“Kalau boleh tau, Yogi ada dimana ya, Tante? Saya mau ketemu, kangen banget.” Elias bertanya.

Tante Hana menyuruh kami mengikutinya ke arah belakang gedung. Dahi gue mengerut semakin dalam saat melihat jejeran makam yang jaraknya gak terlalu rapat satu sama lain. Gue lihat tangis Alice semakin deras.

Nggak. Ini gak mungkin. Jangan bilang...

“Yogi disini.” Tante Hana berhenti di depan satu makam.

Alice sekarang menangis meraung-raung, dia berlutut di depan batu makam Yogi. Mata gue mulai berkaca-kaca. Menolak kenyataan. Mengharap kekeliruan.

Sekarang gue mengerti apa maksud sikap Alice tadi. Gue mengerti mungkin arti dari huruf Jepang yang gak gue mengerti itu berbau tentang makam atau apapun yang merujuk kesitu.

“Yogi sudah berpulang tepat satu minggu yang lalu. Dia sakit. Leukimia. Semua pengobatan sudah dicoba tapi Tuhan lebih sayang dia.” jelas Tante Hana dengan tangis derasnya.

Gue melihat semuanya menggeleng. Menolak perkataan Tante Hana yang terasa menggerus hati.

“Nggak, Tante, nggak. Kita kesini mau ketemu Yogi, mau bercanda sama Yogi, bukan mau berdiri di depan makam orang.” Ajun terlihat menahan emosi. Urat lehernya terlihat jelas kalau dia menahan tangisnya.

Tante Hana menjawab dengan terbata-bata, “Maaf karena sudah memisahkan kalian. Maaf karena baru sempat mempertemukan kalian. Permintaan terakhir Yogi hanya satu, dia mau ketemu kalian, mengobrol dan bercanda seperti dulu. Tapi Tante tolak karena kondisinya semakin drop. Tante gak pernah sangka kalau permintaan terakhirnya baru bisa dipenuhi saat dia sudah berpulang.”

Air mata mengalir deras di pipi gue. Semua juga sama.

Kami kehilangan teman lama yang bahkan belum kami lihat wajahnya selama bertahun-tahun. Kami kehilangan teman lama untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini bukan hanya beda negara, tapi beda alam pula. Kenyataan pahit ini harus kami telan sendiri.

Tante Hana dan orang-orangnya meninggalkan kami. Memberi waktu sebanyak mungkin untuk menghabiskan waktu dengan Yogi. Makam Yogi, maksudnya.

“Bilang sama gue ini mimpi.” Nara berkata sambil menatap kosong ke depan.

“Anjing, ini apa sih maksudnya?! Tiba-tiba banget Ya Allah..” ucap Elias.

Kami sama-sama hening untuk beberapa saat. Masih berusaha mencerna bahwa sahabat baik kami yang selalu ada di kala susah dan senang kini sudah berpulang ke pangkuan Tuhan.

“Yog, balik, Yog...”

Ajun, yang gue tau jarang menangis kini menangis deras. Dia memegang makam Yogi, mengelusnya pelan. “Gue belom bayar utang gue waktu SMA, Yog, lo balik dulu sini.. Gue bayar dulu, kita baikan dulu, kita harus hidup lama dulu, Yog..”

Perkataannya membuat tangis kami makin deras. “Maafin gue, Yog..” Kini Elias yang mulai bersuara. “Maaf karena gue gak pernah jadi temen yang baik buat lo. Maaf karena gue berhenti nyari lo waktu itu. Mungkin kalau gue nyari lo sampai ke seluruh penjuru dunia, kita masih bisa ketemu, Yog. Mungkin kita masih sempet ketawa bareng kayak yang lo mau.”

Kepala Alice yang tadinya tertunduk kini tegak. Kami paham bahwa dia juga ingin mengucap sesuatu. “Kamu ketemu anak kita disana gak, sayang?”

Mendengar itu hati kami semua mencelos. Ini pasti jauh lebih berat bagi Alice. Dia kehilangan semua miliknya. Anaknya, juga cintanya.

“Maaf— maaf karena aku gak bisa jaga dia dengan baik. Maaf karena aku gak pernah jadi ibu yang baik. Mungkin— mungkin kalau dia lahir, kamu masih sempat ketemu sama dia. Mungkin kamu bisa gendong dia sebelum kamu pergi.” Alice terbata-bata.

Entah sudah berapa menit kami menghabiskan waktu disini. Entah sudah sejauh mana orang menganggap kami gila karena bicara dengan benda mati.

Yang gue rasakan hanya pedih. Hati gue terasa kosong. Hampa. Seperti itu lah gambaran kehilangan sahabat baik.

Satu persatu mulai meninggalkan makam. Hingga tersisa gue yang belum mengucap satu kata pun untuk berpamitan dengan Yogi. Semua meninggalkan gue sendiri. Elias bilang, “Ucap semua yang lo mau sampaikan ke Yogi, Ji. Ini kesempatan terakhir lo.”

Kaki gue yang tadi berdiri tegak kini berlutut. Menunjukkan kalau gue hanya berpura-pura tegar sejak tadi. Gue menepuk dada kiri gue berkali-kali agar sakitnya gak terlalu dalam. Tapi nihil. Rasanya tetap sakit.

“Gue gak pernah benci lo, Yog.” Kata itu menjadi awal salam terakhir gue dengan Yogi.

“Kesalahan yang lo perbuat waktu itu emang nyakitin, tapi gue gak pernah bisa benci lo. Mau sebrengsek apapun temen gue, gak pernah gue benci temen gue sendiri. Waktu itu gue justru mikir kalau yang deserve buat dapetin Alice emang lo. Gue gak pantes dapetin Alice, gue gak becus buat jagain dia.”

Gue berhenti sejenak. Untuk bicara terasa sulit karena tangis yang gak bisa gue bendung. “Gue udah percayain dia sama lo, Yog, kenapa lo malah pergi? Disaat semua udah damai dan baik-baik aja kenapa lo ninggalin kita semua? Kenapa, Yog? KENAPA?!”

Emosi gue tumpah ruah. Gue datang jauh dari Indonesia ke Jepang bukan untuk ini. Bukan untuk mengantar sahabat gue ke tempat terakhirnya.

“Maafin gue kalau gue punya salah ya, Yog? Bahagia di sana. Kita ketemu lagi di kehidupan yang lain. Makasih karena udah ngajarin banyak pelajaran hidup ke orang payah kayak gue.”

Susah payah gue berdiri. Untuk memberi salam terakhir. “Gue gak akan ngelupain lo, Yog, gak akan. Gue akan sering datang ke sini. Gue akan ajak lo buat turut hadir di tiap tahap kehidupan gue. Gue janji. Tunggu gue disana ya? Jangan kemana-mana. Kalau tiba waktunya gue berpulang maka lo harus nunggu gue di depan pintu.”

Lalu gue berbalik. Melangkah pergi. Menjauh dari tempat peristirahatan terakhir sahabat terbaik gue. Hari ini, sehelai kelopak bunga jatuh. Meninggalkan layu di helai-helai yang lain.

#


Kami semua sampai di hotel mewah milik keluarga Yogi. Sejak awal di pesawat perasaan gue gak enak. Kayak ada sesuatu yang mengganjal tapi gue gak tau itu apa. Temen-temen gue juga ngerasain hal yang sama. Kayak, something's not right but we don't know what.

Gue diberi kamar bersamaan dengan Elias dan Ajun. Kamar yang kami tempati benar-benar mewah, luas, dan nyaman. Awalnya kami sampai bengong karena gak percaya kalau keluarga Yogi setinggi itu kedudukannya disini. Jelas Yogi langsung hilang jejak, orang-orang suruhan Tante Hana untuk mengantar kami aja ada banyak. Pastinya orang yang menjaga Yogi jauh lebih banyak lagi.

Kami diberikan baju formal warna hitam. Entah bagaimana mereka bisa tau persis ukuran baju kami. Katanya nanti malam kami akan ketemu sama Yogi, jadi masih ada waktu untuk istirahat.

“Kalian somehow ngerasa ini aneh gak sih?” tanya Elias yang lagi minum cola di meja bar.

Gue dan Ajun yang duduk di sofa mengangguk bersamaan. “Jujur gue iya. Kayak, effortnya tuh agak lebay padahal kita cuma ketemu Yogi. Gue kalo jadi Tante Hana mah bakal suruh anak gue yang ke Indonesia beli apart disana dibandingkan bayarin flight dan nyewain kamar hotel buat temen-temennya.” jawab Ajun.

“Kayak ada yang disembunyiin.” Gue menambahi.

“Tadi gue liat Alice agak shaking gitu. Pasti dia masih inget perlakuan keluarga Yogi dulu.” Elias berjalan ke arah sofa dan duduk di samping Ajun.

“Jelas lah, Yas, pasti dia trauma.” sahut gue.

“Gimana kalo nanti ada Tante Hana ya? Tadi padahal cuma orang suruhannya doang. Kasian dah Alice.” Kami mengangguk setuju dengan perkataan Ajun.

Gue juga mengkhawatirkan Alice yang terlihat gugup sejak awal naik pesawat. Pasti masih teringat jelas waktu dia diusir dari rumah orang tua Yogi waktu itu. “Yaudah kita bersih-bersih dulu aja. Nanti jangan lupa cek Alice terus ya, Ji, lo kan deket tuh. Takutnya dia ketakutan atau apa. Punya panic attack kan dia?”

Gue mengangguk pada pertanyaan Elias. “Nanti gue cek terus. Lo mandi duluan sana, Yas.”


Malam akhirnya tiba. Kami memakai setelan jas hitam yang sudah disiapkan. Waktu keluar kami berbarengan dengan waktu keluar para perempuan. Tampaknya mereka juga diberikan gaun hitam senada tetapi yang membedakan hanya modelnya. Kami saling tatap kebingungan.

“Ini sebenernya ada apa sih?” bisik Alice saat dia melipir untuk jalan di samping gue.

“Gak tau. Aku juga bingung, Al.”

“Ji, aku takut.” ucapnya. Gue menoleh dan mendapati beberapa peluh muncul di dahinya. Gue menggandeng tangannya, khawatir dia jatuh. “Ada aku. Kamu pegangan aja, kalau lemes banget nanti kita minta balik ke kamar aja.”

“Gapapa?”

“Gapapa. Pegangan.”

Kami diperintah masuk ke dalam mobil Limosin yang bisa mengangkut kami semua. Kemewahan yang disuguhi benar-benar gak bisa gue nikmati. Gue sibuk memikirkan seperti apa penampilan Yogi sekarang. Apa senyumnya masih terlihat lembut seperti dulu? Apa dia masih menyambut kami seperti dulu? Atau bahkan, apa rasanya seperti bertemu teman lama atau justru seperti bertemu orang asing?

Gue bisa melihat kening Alice mengerut dalam saat kami dipersilakan keluar dari mobil. Gue mendekat untuk berbisik, “Kenapa? Tulisannya apa artinya?”

Alice diam, hanya menggeleng. Wajahnya sedikit panik. Gue tau dari situ bahwa semua ini ada yang gak beres. Kami masuk ke dalam sebuah gedung tinggi yang sepi. Hanya beberapa orang suruhan Tante Hana yang memakai baju seragam. Mereka menyuruh kami menunggu di sofa panjang. Di depan kami disuguhi beberapa makanan dan minuman, tapi gak ada satupun dari kami yang berselera.

Suara sepatu hak menggema, kami menoleh bersamaan. Seorang perempuan paruh baya dengan wajah khas orang Jepang berjalan mendekat. Tubuhnya tegak dan anggun. Menjelaskan bahwa dia terlahir sebagai konglomerat yang gak mengerti apa itu melarat.

“Maaf ya udah nunggu lama.” Logatnya pun menunjukkan dia jarang menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya.

Tante Hana berjalan ke arah Alice. Tatapannya melembut, tangannya meraih tangan Alice dan menggenggamnya erat. Dalam hati gue khawatir lihat Alice yang agak gemetaran.

“Alice, Tante minta maaf ya?”

Gue lihat Alice tersenyum kecil. “Kita lupain aja, Tante. Semua udah baik-baik aja kok sekarang.”

“Andai waktu itu Tante nerima kamu, mungkin Yogi..” Omongannya terpotong. Air mata lalu keluar dari kedua matanya. Kami yang melihat hanya kebingungan dan saling tatap. Kecuali Alice. Dia juga ikut menangis.

“Sejak kapan, Tante?” ucapnya lemah. Kami makin bingung melihat situasi yang tiba-tiba sendu.

“Satu minggu lalu.” Tangis Alice makin deras. Dia menahan suara tangisnya sampai bahunya bergetar. Tante Hana memeluk Alice dan mereka menangis bersamaan.

Gue hanya menatap yang lain. Elias kelihatan ingin bertanya tapi ditahan, gak ingin ganggu. Selang beberapa menit baru Tante Hana melepas pelukannya dan beralih pada kami semua. Dia tersenyum di sela air matanya yang mengalir. “Ini teman-temannya Yogi ya..?”

“Iya, Tante. Saya Elias, ini Arjuna, Jio, Nara, Windi, dan ini Keira.” Elias memperkenalkan kami dengan menunjuk satu per satu. Tante Hana semakin tersenyum.

“Terima kasih ya.. Sudah jadi teman Yogi waktu di Indonesia dulu. Maaf kalau Yogi pernah ada salah sama kalian.”

Ini aneh.

“Kalau boleh tau, Yogi ada dimana ya, Tante? Saya mau ketemu, kangen banget.” Elias bertanya.

Tante Hana menyuruh kami mengikutinya ke arah belakang gedung. Dahi gue mengerut semakin dalam saat melihat jejeran makam yang jaraknya gak terlalu rapat satu sama lain. Gue lihat tangis Alice semakin deras.

Nggak. Ini gak mungkin. Jangan bilang...

“Yogi disini.” Tante Hana berhenti di depan satu makam.

Alice sekarang menangis meraung-raung, dia berlutut di depan batu makam Yogi. Mata gue mulai berkaca-kaca. Menolak kenyataan. Mengharap kekeliruan.

Sekarang gue mengerti apa maksud sikap Alice tadi. Gue mengerti mungkin arti dari huruf Jepang yang gak gue mengerti itu berbau tentang makam atau apapun yang merujuk kesitu.

“Yogi sudah berpulang tepat satu minggu yang lalu. Dia sakit. Leukimia. Semua pengobatan sudah dicoba tapi Tuhan lebih sayang dia.” jelas Tante Hana dengan tangis derasnya.

Gue melihat semuanya menggeleng. Menolak perkataan Tante Hana yang terasa menggerus hati.

“Nggak, Tante, nggak. Kita kesini mau ketemu Yogi, mau bercanda sama Yogi, bukan mau berdiri di depan makam orang.” Ajun terlihat menahan emosi. Urat lehernya terlihat jelas kalau dia menahan tangisnya.

Tante Hana menjawab dengan terbata-bata, “Maaf karena sudah memisahkan kalian. Maaf karena baru sempat mempertemukan kalian. Permintaan terakhir Yogi hanya satu, dia mau ketemu kalian, mengobrol dan bercanda seperti dulu. Tapi Tante tolak karena kondisinya semakin drop. Tante gak pernah sangka kalau permintaan terakhirnya baru bisa dipenuhi saat dia sudah berpulang.”

Air mata mengalir deras di pipi gue. Semua juga sama.

Kami kehilangan teman lama yang bahkan belum kami lihat wajahnya selama bertahun-tahun. Kami kehilangan teman lama untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini bukan hanya beda negara, tapi beda alam pula. Kenyataan pahit ini harus kami telan sendiri.

Tante Hana dan orang-orangnya meninggalkan kami. Memberi waktu sebanyak mungkin untuk menghabiskan waktu dengan Yogi. Makam Yogi, maksudnya.

“Bilang sama gue ini mimpi.” Nara berkata sambil menatap kosong ke depan.

“Anjing, ini apa sih maksudnya?! Tiba-tiba banget Ya Allah..” ucap Elias.

Kami sama-sama hening untuk beberapa saat. Masih berusaha mencerna bahwa sahabat baik kami yang selalu ada di kala susah dan senang kini sudah berpulang ke pangkuan Tuhan.

“Yog, balik, Yog...”

Ajun, yang gue tau jarang menangis kini menangis deras. Dia memegang makam Yogi, mengelusnya pelan. “Gue belom bayar utang gue waktu SMA, Yog, lo balik dulu sini.. Gue bayar dulu, kita baikan dulu, kita harus hidup lama dulu, Yog..”

Perkataannya membuat tangis kami makin deras. “Maafin gue, Yog..” Kini Elias yang mulai bersuara. “Maaf karena gue gak pernah jadi temen yang baik buat lo. Maaf karena gue berhenti nyari lo waktu itu. Mungkin kalau gue nyari lo sampai ke seluruh penjuru dunia, kita masih bisa ketemu, Yog. Mungkin kita masih sempet ketawa bareng kayak yang lo mau.”

Kepala Alice yang tadinya tertunduk kini tegak. Kami paham bahwa dia juga ingin mengucap sesuatu. “Kamu ketemu anak kita disana gak, sayang?”

Mendengar itu hati kami semua mencelos. Ini pasti jauh lebih berat bagi Alice. Dia kehilangan semua miliknya. Anaknya, juga cintanya.

“Maaf— maaf karena aku gak bisa jaga dia dengan baik. Maaf karena aku gak pernah jadi ibu yang baik. Mungkin— mungkin kalau dia lahir, kamu masih sempat ketemu sama dia. Mungkin kamu bisa gendong dia sebelum kamu pergi.” Alice terbata-bata.

Entah sudah berapa menit kami menghabiskan waktu disini. Entah sudah sejauh mana orang menganggap kami gila karena bicara dengan benda mati.

Yang gue rasakan hanya pedih. Hati gue terasa kosong. Hampa. Seperti itu lah gambaran kehilangan sahabat baik.

Satu persatu mulai meninggalkan makam. Hingga tersisa gue yang belum mengucap satu kata pun untuk berpamitan dengan Yogi. Semua meninggalkan gue sendiri. Elias bilang, “Ucap semua yang lo mau sampaikan ke Yogi, Ji. Ini kesempatan terakhir lo.”

Kaki gue yang tadi berdiri tegak kini berlutut. Menunjukkan kalau gue hanya berpura-pura tegar sejak tadi. Gue menepuk dada kiri gue berkali-kali agar sakitnya gak terlalu dalam. Tapi nihil. Rasanya tetap sakit.

“Gue gak pernah benci lo, Yog.” Kata itu menjadi awal salam terakhir gue dengan Yogi.

“Kesalahan yang lo perbuat waktu itu emang nyakitin, tapi gue gak pernah bisa benci lo. Mau sebrengsek apapun temen gue, gak pernah gue benci temen gue sendiri. Waktu itu gue justru mikir kalau yang deserve buat dapetin Alice emang lo. Gue gak pantes dapetin Alice, gue gak becus buat jagain dia.”

Gue berhenti sejenak. Untuk bicara terasa sulit karena tangis yang gak bisa gue bendung. “Gue udah percayain dia sama lo, Yog, kenapa lo malah pergi? Disaat semua udah damai dan baik-baik aja kenapa lo ninggalin kita semua? Kenapa, Yog? KENAPA?!”

Emosi gue tumpah ruah. Gue datang jauh dari Indonesia ke Jepang bukan untuk ini. Bukan untuk mengantar sahabat gue ke tempat terakhirnya.

“Maafin gue kalau gue punya salah ya, Yog? Bahagia di sana. Kita ketemu lagi di kehidupan yang lain. Makasih karena udah ngajarin banyak pelajaran hidup ke orang payah kayak gue.”

Susah payah gue berdiri. Untuk memberi salam terakhir. “Gue gak akan ngelupain lo, Yog, gak akan. Gue akan sering datang ke sini. Gue akan ajak lo buat turut hadir di tiap tahap kehidupan gue. Gue janji. Tunggu gue disana ya? Jangan kemana-mana. Kalau tiba waktunya gue berpulang maka lo harus nunggu gue di depan pintu.”

Lalu gue berbalik. Melangkah pergi. Menjauh dari tempat peristirahatan terakhir sahabat terbaik gue. Hari ini, sehelai kelopak bunga jatuh. Meninggalkan layu di helai-helai yang lain.


Jio bangun kira-kira pada saat jam menunjukkan pukul 10 pagi. Dia membaca pesan dari Kai dan juga Bilal yang mengatakan mereka akan pergi ke mall bersama Damian dan Daffa. Jio hanya membalas dengan kata hati-hati. Status Habilal yang mantan Kai tidak membuat dia cemburu atau marah. Dia memaklumi dan memutuskan untuk memberi kepercayaan pada keduanya. Lagi pula mereka sekarang lebih terlihat seperti teman dekat dibandingkan mantan.

Tidak pernah ada di pikirannya bahwa saat dia turun ke bawah, dia akan melihat ayahnya sedang duduk di sofa. Dia membeku di tengah tangga, menatap ayahnya bingung.

“Sini turun, Bang.” Alvaro berdiri dari sofa, bersiap menyambut anak sulungnya.

Jio meneliti ke semua arah, mempertanyakan apakah Alvaro hanya datang seorang diri atau bersama permaisurinya. “Ayah dateng sendiri kok, langsung dari Singapura ke Jakarta.”

Jio melanjutkan langkahnya. Dia hanya menyalimi ayahnya lalu mengambil air putih ke dapur untuk diminum. Dia menenggak satu gelas sambil tetap menatap ayahnya. “Ada perlu apa kesini? Mau nyari Bilal? Dia lagi pergi sama temennya.”

“Bukan, Ayah gak nyari Bilal. Ayah juga tau dia lagi gak ada di rumah. Ayah kesini mau ketemu sama Abang.”

Dahi Jio mengerut dalam. Ini bukan sikap ayahnya yang biasa. Ayahnya jarang repot-repot pulang dari Singapura ke Jakarta hanya untuk menengok kabarnya. Kalaupun Ayahnya pulang, dia akan pulang ke Bandung, bukan kesini.

Dia makin bingung saat Ayahnya menarik pelan tangannya untuk duduk di sofa. “Kenapa sih, Yah?”

Alvaro ragu untuk bicara. Sudah bertahun-tahun sejak dia bicara serius dengan putranya. Terakhir mereka bicara serius pun diwarnai dengan pertengkaran.

“Ayah mau minta maaf sama Abang.”

“Minta maaf untuk apa?”

“Semuanya, Bang..” Kepala Alvaro tertunduk. Kini dia seorang pengecut yang takut menatap wajah anaknya sendiri karena dosanya terlalu banyak. Jio juga ikut terdiam. Dia bingung harus menjawab apa.

Keheningan berlangsung selama beberapa menit. Sampai akhirnya Jio memutuskan untuk bertanya, “Ayah kangen sama Bunda gak sih?”

Pertanyaan itu membuat dada Alvaro sesak. “Pasti, Bang. Ayah selalu kangen Bunda, selalu kangen masakannya. Bunda kamu itu punya senyum tercantik di dunia ini. Suara Bunda juga menenangkan, selalu bisa buat Ayah jadi lebih tenang.” Jio melihat senyum kecil di wajah Alvaro.

Dia pun ikut tersenyum. “Bagi Jio juga Bunda itu segalanya. Gak akan bisa digantikan. Mungkin raga Bunda udah gak ada, tapi Bunda selamanya akan hidup di dalam hati dan pikiran Jio. Makanya Jio gak pernah setuju kalau Ayah bilang Tante Riani itu penggantinya Bunda.”

Alvaro memberanikan diri menatap anaknya. Matanya berkaca-kaca. Anak yang dia ingat masih setinggi lututnya kini sudah tumbuh jadi seorang laki-laki yang rupawan. “Apa aja yang Ayah lewatin, Bang? Banyak ya? Ayah gak pernah ikut andil dalam setiap perkembangan Abang. Tau-tau Abang udah jadi laki-laki ganteng aja.”

Jio terkekeh pelan. “Banyak, Yah. Sekarang Jio udah punya perempuan yang harus Jio jaga.”

“Maaf ya, Ayah gak pernah ada buat Abang. Ayah selama ini terlalu sibuk kerja sampai gak pernah pulang.”

“Kerjaan Ayah sepenting itu ya? Sampai gak pulang.” Pertanyaan ini seringkali muncul di benak Jio sedari kecil. Dia mempertanyakan setiap kehadiran Alvaro yang selalu alpha saat dibutuhkan.

“Beban tanggung jawab Ayah emang lumayan besar. Tapi Ayah sebenarnya selalu dapat libur 2 bulan selama 1 tahun.”

“Kenapa gak pulang, Yah?”

“Karena rasa malu, Bang.” Jio semakin bingung. “Dan juga rasa bersalah karena jadi seorang Ayah yang gak becus.”

Mata Jio memejam. Lagi-lagi kesalahpahaman. Lagi-lagi komunikasi yang tidak baik. Semua masalah yang dihadapinya hanya berputar di alasan yang sama.

“Jio gak pernah nuntut Ayah buat jadi seorang Ayah yang sempurna kok. Jio cuma perlu Ayah ada di setiap Jio butuh.”

“Ayah selalu mikir kalau Ayah harus kerja keras, menghasilkan uang yang banyak supaya kamu dan Bilal hidup bahagia. Ayah mikir kehadiran Ayah gak terlalu diperlukan karena kamu selalu bisa ngerjain semuanya sendiri tanpa Ayah. Jadi Ayah cuma ngirim uang dengan nominal yang banyak tanpa pulang.”

Tangan Jio mengenggam tangan Alvaro yang menangis seiring kata-kata keluar dari mulutnya. Dia bisa melihat jelas rasa bersalah yang ada di mata Alvaro. Penyesalan yang dalam, kesedihan yang menjamur di hati. Pedih sekali untuk dilihat.

“Ayah..” panggilnya. “Jio gak pernah butuh uang, Yah. Bukan uang yang Jio butuhin, tapi kehadiran Ayah. Jio dari dulu selalu butuh pelukan Ayah setiap kangen sama Bunda. Jio juga mau ucapan selamat Ayah waktu Jio menang Olimpiade. Jio cuma mau liburan bareng Ayah setelah lulus sekolah. Hal-hal kecil kayak gitu juga udah lebih dari cukup. Ayah gak perlu ngirimin uang terus. Karena uang 1 milyar pun kalah berharganya sama keluarga yang lengkap, Yah.”

Penjelasan Jio semakin membuat tangis Alvaro deras. Dia memeluk anak sulungnya erat. Berusaha memohon ampun atas segala kesalahan yang dia lakukan.

“Jio selalu maafin Ayah. Jio gak pernah sama sekali benci sama Ayah. Mulai sekarang, Ayah gak perlu merasa bersalah atas kesalahan yang udah lalu. Manusia gak ada yang sempurna kok, Yah, Jio pun begitu. Maafin Jio juga karena udah berperilaku kasar sama keluarga kita.”


Jio bangun kira-kira pada saat jam menunjukkan pukul 10 pagi. Dia membaca pesan dari Kai dan juga Bilal yang mengatakan mereka akan pergi ke mall bersama Damian dan Daffa. Jio hanya membalas dengan kata hati-hati. Status Habilal yang mantan Kai tidak membuat dia cemburu atau marah. Dia memaklumi dan memutuskan untuk memberi kepercayaan pada keduanya. Lagi pula mereka sekarang lebih terlihat seperti teman dekat dibandingkan mantan.

Tidak pernah ada di pikirannya bahwa saat dia turun ke bawah, dia akan melihat ayahnya sedang duduk di sofa. Dia membeku di tengah tangga, menatap ayahnya bingung.

“Sini turun, Bang.” Alvaro berdiri dari sofa, bersiap menyambut anak sulungnya.

Jio meneliti ke semua arah, mempertanyakan apakah Alvaro hanya datang seorang diri atau bersama permaisurinya. “Ayah dateng sendiri kok, langsung dari Singapura ke Jakarta.”

Jio melanjutkan langkahnya. Dia hanya menyalimi ayahnya lalu mengambil air putih ke dapur untuk diminum. Dia menenggak satu gelas sambil tetap menatap ayahnya. “Ada perlu apa kesini? Mau nyari Bilal? Dia lagi pergi sama temennya.”

“Bukan, Ayah gak nyari Bilal. Ayah juga tau dia lagi gak ada di rumah. Ayah kesini mau ketemu sama Abang.”

Dahi Jio mengerut dalam. Ini bukan sikap ayahnya yang biasa. Ayahnya jarang repot-repot pulang dari Singapura ke Jakarta hanya untuk menengok kabarnya. Kalaupun Ayahnya pulang, dia akan pulang ke Bandung, bukan kesini.

Dia makin bingung saat Ayahnya menarik pelan tangannya untuk duduk di sofa. “Kenapa sih, Yah?”

Alvaro ragu untuk bicara. Sudah bertahun-tahun sejak dia bicara serius dengan putranya. Terakhir mereka bicara serius pun diwarnai dengan pertengkaran.

“Ayah mau minta maaf sama Abang.”

“Minta maaf untuk apa?”

“Semuanya, Bang..” Kepala Alvaro tertunduk. Kini dia seorang pengecut yang takut menatap wajah anaknya sendiri karena dosanya terlalu banyak. Jio juga ikut terdiam. Dia bingung harus menjawab apa.

Keheningan berlangsung selama beberapa menit. Sampai akhirnya Jio memutuskan untuk bertanya, “Ayah kangen sama Bunda gak sih?”

Pertanyaan itu membuat dada Alvaro sesak. “Pasti, Bang. Ayah selalu kangen Bunda, selalu kangen masakannya. Bunda kamu itu punya senyum tercantik di dunia ini. Suara Bunda juga menenangkan, selalu bisa buat Ayah jadi lebih tenang.” Jio melihat senyum kecil di wajah Alvaro.

Dia pun ikut tersenyum. “Bagi Jio juga Bunda itu segalanya. Gak akan bisa digantikan. Mungkin raga Bunda udah gak ada, tapi Bunda selamanya akan hidup di dalam hati dan pikiran Jio. Makanya Jio gak pernah setuju kalau Ayah bilang Tante Riani itu penggantinya Bunda.”

Alvaro memberanikan diri menatap anaknya. Matanya berkaca-kaca. Anak yang dia ingat masih setinggi lututnya kini sudah tumbuh jadi seorang laki-laki yang rupawan. “Apa aja yang Ayah lewatin, Bang? Banyak ya? Ayah gak pernah ikut andil dalam setiap perkembangan Abang. Tau-tau Abang udah jadi laki-laki ganteng aja.”

Jio terkekeh pelan. “Banyak, Yah. Sekarang Jio udah punya perempuan yang harus Jio jaga.”

“Maaf ya, Ayah gak pernah ada buat Abang. Ayah selama ini terlalu sibuk kerja sampai gak pernah pulang.”

“Kerjaan Ayah sepenting itu ya? Sampai gak pulang.” Pertanyaan ini seringkali muncul di benak Jio sedari kecil. Dia mempertanyakan setiap kehadiran Alvaro yang selalu alpha saat dibutuhkan.

“Beban tanggung jawab Ayah emang lumayan besar. Tapi Ayah sebenarnya selalu dapat libur 2 bulan selama 1 tahun.”

“Kenapa gak pulang, Yah?”

“Karena rasa malu, Bang.” Jio semakin bingung. “Dan juga rasa bersalah karena jadi seorang Ayah yang gak becus.”

Mata Jio memejam. Lagi-lagi kesalahpahaman. Lagi-lagi komunikasi yang tidak baik. Semua masalah yang dihadapinya hanya berputar di alasan yang sama.

“Jio gak pernah nuntut Ayah buat jadi seorang Ayah yang sempurna kok. Jio cuma perlu Ayah ada di setiap Jio butuh.”

“Ayah selalu mikir kalau Ayah harus kerja keras, menghasilkan uang yang banyak supaya kamu dan Bilal hidup bahagia. Ayah mikir kehadiran Ayah gak terlalu diperlukan karena kamu selalu bisa ngerjain semuanya sendiri tanpa Ayah. Jadi Ayah cuma ngirim uang dengan nominal yang banyak tanpa pulang.”

Tangan Jio mengenggam tangan Alvaro yang menangis seiring kata-kata keluar dari mulutnya. Dia bisa melihat jelas rasa bersalah yang ada di mata Alvaro. Penyesalan yang dalam, kesedihan yang menjamur di hati. Pedih sekali untuk dilihat.

“Ayah..” panggilnya. “Jio gak pernah butuh uang, Yah. Bukan uang yang Jio butuhin, tapi kehadiran Ayah. Jio dari dulu selalu butuh pelukan Ayah setiap kangen sama Bunda. Jio juga mau ucapan selamat Ayah waktu Jio menang Olimpiade. Jio cuma mau liburan bareng Ayah setelah lulus sekolah. Hal-hal kecil kayak gitu juga udah lebih dari cukup. Ayah gak perlu ngirimin uang terus. Karena uang 1 milyar pun kalah berharganya sama keluarga yang lengkap, Yah.”

Penjelasan Jio semakin membuat tangis Alvaro deras. Dia memeluk anak sulungnya erat. Berusaha memohon ampun atas segala kesalahan yang dia lakukan.

“Jio selalu maafin Ayah. Jio gak pernah sama sekali benci sama Ayah. Mulai sekarang, Ayah gak perlu merasa bersalah atas kesalahan yang udah lalu. Manusia gak ada yang sempurna kok, Yah, Jio pun begitu. Maafin Jio juga karena udah berperilaku kasar sama keluarga kita.”


“Makin banyak nyamuk anyinggggg.” Suara Bilal memecah keheningan malam. Jio hanya menengok lalu terkekeh.

“Ya siapa bilang gak ada nyamuk?”

“Terus ngapa ke gazebo anjrit.”

“Mau liat bintang.” Bilal mengikuti arah pandang Jio. Keduanya mendongak ke atas, melihat langit yang memang sedang cerah berbintang. Bulan pun terlihat bulat sempurna.

Akhirnya mengabaikan nyamuk, Bilal duduk di samping Jio. Dia menyeruput teh tawar hangatnya dan memeluk diri dengan jaket tebalnya.

“Lo kangen Bunda gak sih, Bang?” tanya Bilal.

“Gak ada satu hari yang gue lewatin tanpa kangen Bunda, Bil. Bunda itu segalanya buat gue.”

Bilal menghela napas. Pandangannya tertunduk ke tanah. “Mungkin bener ya. Andai gue gak lahir, mungkin Bunda gak akan sakit karena stress.”

Bilal lalu dapet satu toyoran dari Jio. Dia menatap protes, tapi Jio melotot dengan lebih galak. “Stop mikir kayak gitu bisa gak?” tanyanya ketus.

“Ya soalnya penyakit Bunda pemicunya karena stress. Kalau gak ada gue, mungkin Mama gak akan dibawa ke rumah sama Ayah dan berakhir berantem terus sama Bunda.”

Jio menyesap kopinya. “Gue bilang kan, Bil. Ada atau gak adanya lo, Bunda tetap bakal meninggal karena itu udah ajalnya. Kita gak bisa nunda atau ngerubah kematian, kan?”

“Ya bener juga sih, tapi—”

“Bunda gak akan suka juga lo nyalahin diri sendiri, Bil.” Potong Jio.

Keduanya diam cukup lama. Hanya suara jangkrik yang memenuhi telinga. Sesekali dengungan nyamuk lewat sekelebat.

“Kematian Bunda untuk dikenang aja ya, Bil. Gak usah nyalahin siapa-siapa. Kalau kita nyalahin orang sama aja kita nyalahin takdir Allah.” Jio berkata sambil melihat ke arah Bilal.

Bilal mengangguk pelan. “Maafin Mama ya, Bang.”

“Kenapa?”

“Ya Mama selama ini jahat sama lo. Gue akui, semua yang Mama lakuin dulu tuh gak bener banget. Karena lo anak tiri, jadinya Mama memperlakukan lo kayak orang lain. Gue gak pernah membenarkan sikap Mama yang dulu. Mama emang sayang sama gue, tapi akibatnya lo jadi disalahin dan diomelin terus. Jujur gue udah coba negur Mama untuk gak kayak gitu ke lo tapi Mama gak pernah mau dengerin gue.”

Jio tersenyum kecil dan hanya menghela napasnya. “Manusia kalau udah kenal harta biasanya tamak, Bil. Gue gak heran kenapa Mama lo segitunya mau berkuasa di rumah. Ya karena harta Ayah tuh banyak. Gue marah, pasti lah. Tapi lama-lama gue capek ngebenci orang. Makanya gue lebih pilih buat gak ketemu orang itu sama sekali, jadi gue pergi dari rumah.”

“Kalau lo gak mau ketemu Mama lagi gapapa, Bang, gue paham. Malah kayaknya gak usah ketemu deh, biarin kalian hidup masing-masing aja.”

Jio menggeleng. “Nggak, Bil. Bunda gak pernah ngajarin gue buat lari dari masalah. Semua pelarian gue selama ini emang karena diri gue pengecut aja. Sekali-kali gue mau coba hadapin, mau coba benahin, dan mau coba mulai dari awal. Walaupun luka yang Mama lo kasih gak akan pernah hilang, tapi gue masih bisa memaafkan kok.”

Habilal menatap Jio takjub. Dia tersenyum, lebar sekali. Kemudian dia memeluk Jio erat sambil tertawa kecil.

“Gue titip Kai ya, Bang. Gue jamin lo 100% lebih baik daripada gue. Jangan nyakitin Kai kayak apa yang gue lakuin. Kalau butuh tips and trick menjinakkan Kaia Elaina, hubungi gue aja, gue tau cara-caranya.”

Jio melepas pelukannya dan menoyor kepala Bilal sekali lagi. “Lo pikir cewek gue monyet?!”

Tawa Bilal menyembur. “BUKAN GUE YANG BILANG YA!”

“Lo juga kalau butuh saran dapetin cewek cantik spek Kai tapi bukan Kai bilang gue aja, gue cariin.”

“Dih anying, ogah amat. Lu aja punya mantan cuma satu, belagu banget lu.”

“Dih yaudah kalau gak mau.”

Keduanya melanjutkan pembicaraan sampai pagi buta. Membahas bagaimana mereka bertengkar di masa lalu dan membayangkan bagaimana mereka di masa depan. Obrolan yang tidak mereka sangka bisa didapatkan apabila mereka meruntuhkan tembok yang selama ini dibuat tinggi dan rapat itu dari lama. Malam itu mereka baru menyadari, kalau saudara itu bukan tentang kandung atau tiri, tapi tentang kasih sayang dan kata maaf.


Kalau dihitung, sudah 2 jam Kai berusaha membujuk gue untuk pulang. Dan kalau boleh jujur, gue pun mau pulang. Tapi lagi-lagi gue berpikir, emangnya benar-benar ada tempat gue untuk 'pulang'? Karena rumah yang gue sangka satu-satunya tempat gue pulang ternyata gue tinggalkan begitu aja.

“Rumah gak harus selalu dibawa, rumah itu justru selalu kita tinggal. Kepergian kita udah hal yang wajar karena itu justru menegaskan fungsi rumah itu sendiri, Kak. Rumah itu sejatinya tempat pulang, tempat kita kembali setelah pergi ke tempat lain. Jadi jangan mikir kamu gak punya 'rumah' cuma karena kamu ninggalin rumah itu.”

Begitu yang Kai katakan pada gue tadi. Karena perkataannya, gue jadi berpikir kalau gue memang harus pulang. Akhirnya gue memutuskan untuk berpamitan pada Pak Ujang dan istrinya.

“Saya udah punya rumah lagi, Pak, sekarang. Saya udah bisa pulang.” Kata itu yang gue ucapkan sebagai alasan gue pamit.

Kebaikan mereka akan selalu gue kenang. Gue bilang gue akan mampir lagi kesini. Gue bahkan meminta nomor rekening mereka untuk mengirim uang sebagai imbalan karena sudah menjaga makam Bunda selama bertahun-tahun.

Gue dan Kai menaiki angkutan umum, berpanas-panasan di bawah matahari Bandung. Meskipun begitu, Kai gak mengeluh sama sekali. Dia malah menggandeng tangan gue dengan senyuman lebarnya seraya menunjukkan tempat-tempat yang dulu sering dia kunjungi saat masih tinggal disini. Baginya Bandung benar-benar spesial. Tapi bagi gue Bandung masih tetap meninggalkan luka.

Kami sampai di depan villa. Mata gue menangkap Arjuna yang sedang menyiram tanaman di depan villa. Saat dia melihat gue, selang air yang dipegangnya langsung dilepas begitu saja, ditinggalkan mengalir. Dia berjalan terburu-buru ke arah gue dan langsung memeluk gue.

Sebuah pelukan yang amat jarang terjadi. Pelukan yang terasa seperti saudara yang sudah lama gak ketemu karena yang satunya pergi merantau dari rumah.

“Gue takut banget lo ilang, bangsat.” katanya sambil memeluk gue. Gue hanya bisa tertawa dan menepuk punggungnya.

“Gue bukan bocah, Jun.” Dia melepas pelukan gue dan menonjok bahu gue pelan.

“Lo bukan bocah tapi kadang tingkah lo tolol tau gak?! Bikin jantungan mulu.” Gue lagi-lagi terkekeh. Arjuna masih sama. Masih suka marah-marah.

“Yang lain mana?” tanya gue. Dia menoleh ke arah villa. “Di dalem. Ayo masuk.”

Kami bertiga melangkah masuk setelah mematikan keran air yang sudah terbuang banyak karena ulah Ajun. Saat masuk, di ruang tengah ada Bilal, Damian, dan Daffa yang sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing.

“Lagi mabar apa?” tanya gue. Sontak ketiganya menoleh bersamaan dengan ekspresi sama kagetnya.

Habilal yang pertama berdiri dan menghampiri gue. Dia memeluk gue erat tanpa berkata apapun. Damian dan Daffa juga berjalan mendekat. Gue menepuk pundak keduanya masih dengan posisi Bilal yang memeluk gue. Posisi seperti itu agak lama, sampai gue merasakan getaran dari tubuh Bilal. Kemudian disusul isakan pelan dari belakang punggung gue. Habilal menangis.

“Ngapain nangis? Cengeng.” ucap gue pelan. Dia menarik diri, menatap gue kesal. Ah, tubuhnya tinggi banget, gue sampai harus mendongak.

“Lo bikin khawatir tau gak, Bang?”

“Sejak kapan lo bisa khawatir sama gue?” tanya gue meledek. Dia mencubit gue pelan.

“Aw! Sakit!”

“Rasain! Itu balesan karena jadi abang gak bener! Bukannya minta maaf kek, apa kek, ini malah ngeledek!” Gue tertawa pelan, tapi lalu terdiam.

“Tapi, Bil.” Gue menatap matanya. “Lo masih mau nerima gue sebagai Abang lo? Setelah sikap gue selama ini yang gak mencerminkan keluarga sama sekali?”

“Keluarga tetap keluarga, Bang. Gue tau lo juga pernah nyesel karena ngelakuin itu ke gue. Lagian, gue juga gak sebaik itu. Gue bukan adik yang sempurna juga, jadi kita bisa dibilang impas.”

Gue tersenyum dan memeluknya sekali lagi. Kali ini gue mengacak rambutnya pelan.

Kemudian ada suara turun dari tangga. Begitu terburu-buru sampai gue khawatir dia tersandung. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia berdiri di depan gue dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Jio..”

“Alice.” Gue membalas panggilannya. Dia lalu memeluk gue, membuat gue sedikit panik lalu menengok ke arah Kai. Tapi Kai hanya mengangguk sambil tersenyum. Lantas gue membalas pelukannya. Gue yakin Alice sudah lebih dewasa dibanding Alice yang dulu, atau pun Alice yang datang ke rumah gue satu bulan lalu.

“Ji, i'm so sorry, gara-gara aku semuanya jadi kesusahan kayak gini. Gara-gara aku kamu jadi pergi dari rumah dan hampir pisah sama semuanya. I'm so sorry, Ji, i'm really sorry.

Suaranya benar-benar menyiratkan dia merasa bersalah. Gue tau dia gak berniat untuk berbuat seperti itu. Niat awalnya bukan itu. Gue paham.

It's okay... Semua bisa buat kesalahan, Al. Yang penting kita harus selalu ambil pelajaran dari setiap kesalahan itu. Supaya kita bisa lebih damai sama masa lalu.”

Pelukan itu terlepas, Alice menatap gue sambil tersenyum. “It's sad that you're not mine anymore,” katanya.

But the fact that Kaia is way more better than me makes it a happy ending.” lanjutnya. Kata-kata itu membuat gue terharu sekaligus lega. Seperti mengisyaratkan kalau hubungan antara kami berdua sudah usai.

Alice berjalan menghampiri Kai dan menariknya untuk berdiri di depan gue. Dia menyatukan tangan gue dan juga tangan Kai. “I hope you both have a happy ending. I'm sorry for what i've done. You both are meant for each other. I should've known that earlier.

So do i.” Suara lain tiba-tiba muncul dari balik pintu. Elias, si pemilik suara berjalan mendekat dari pintu halaman belakang villa.

“Gue juga harusnya gak pernah mikir buat misahin kalian berdua. Karena lo,” Dia menepuk bahu Kai pelan. “dan lo.” Lalu menepuk bahu gue.

You both are meant for each other. Maaf kalau gue juga bikin semuanya keruh, gak nyelesaiin masalah kemarin dengan kepala dingin. Gue sadar kalau gue emang gak pernah jadi kakak yang baik.”

Gue menyanggah. “Oh ya? Emangnya ada nilai pasti tentang jadi kakak yang baik? Menurut gue, jadi kakak yang sayang sama adiknya dan bertanggung jawab juga udah cukup. Semuanya gak harus sempurna, selama lo udah ngelakuin yang terbaik, kenapa harus nyesel?”

“Dan selama gue hidup, Kak,” sambung Kai. “Gak pernah gue nemuin kakak lain yang lebih baik daripada lo. Selama ini lo gak pernah buat gue nyesel dilahirkan sebagai adek lo. Bener kata Kak Ji, semua gak ada yang sempurna, gue pun begitu. Jadi gak usah terlalu merasa bersalah karena berniat misahin gue sama Kak Ji, toh buktinya kami gak beneran pisah kan?”

Elias tersenyum lalu memeluk Kai. Tatapannya beralih pada gue, kemudian memeluk gue juga. Hari ini gue dapat banyak sekali pelukan. Hal yang gue sangka gak terlalu penting itu ternyata amat penting.

Peluk membuat kita merasa aman. Peluk juga membuat kita merasa berharga dan dihargai. Peluk-peluk itu juga terasa menguatkan. Membawa banyak energi positif yang seakan memang ditakdirkan untuk dibagi.

“Gue minta maaf karena udah ngerepotin kalian semua,” ucap gue pelan. Gue menatap semuanya satu per satu. “Seharusnya gue gak pernah mikir kalau gue gak punya rumah. Karena nyatanya rumah gue ada di kalian. Rumah gue gak akan pernah pergi atau pun hilang. Makasih karena udah mau jadi rumah gue.”


Kalau dihitung, sudah 2 jam Kai berusaha membujuk gue untuk pulang. Dan kalau boleh jujur, gue pun mau pulang. Tapi lagi-lagi gue berpikir, emangnya benar-benar ada tempat gue untuk 'pulang'? Karena rumah yang gue sangka satu-satunya tempat gue pulang ternyata gue tinggalkan begitu aja.

“Rumah gak harus selalu dibawa, rumah itu justru selalu kita tinggal. Kepergian kita udah hal yang wajar karena itu justru menegaskan fungsi rumah itu sendiri, Kak. Rumah itu sejatinya tempat pulang, tempat kita kembali setelah pergi ke tempat lain. Jadi jangan mikir kamu gak punya 'rumah' cuma karena kamu ninggalin rumah itu.”

Begitu yang Kai katakan pada gue tadi. Karena perkataannya, gue jadi berpikir kalau gue memang harus pulang. Akhirnya gue memutuskan untuk berpamitan pada Pak Ujang dan istrinya.

“Saya udah punya rumah lagi, Pak, sekarang. Saya udah bisa pulang.” Kata itu yang gue ucapkan sebagai alasan gue pamit.

Kebaikan mereka akan selalu gue kenang. Gue bilang gue akan mampir lagi kesini. Gue bahkan meminta nomor rekening mereka untuk mengirim uang sebagai imbalan karena sudah menjaga makam Bunda selama bertahun-tahun.

Gue dan Kai menaiki angkutan umum, berpanas-panasan di bawah matahari Bandung. Meskipun begitu, Kai gak mengeluh sama sekali. Dia malah menggandeng tangan gue dengan senyuman lebarnya seraya menunjukkan tempat-tempat yang dulu sering dia kunjungi saat masih tinggal disini. Baginya Bandung benar-benar spesial. Tapi bagi gue Bandung masih tetap meninggalkan luka.

Kami sampai di depan villa. Mata gue menangkap Arjuna yang sedang menyiram tanaman di depan villa. Saat dia melihat gue, selang air yang dipegangnya langsung dilepas begitu saja, ditinggalkan mengalir. Dia berjalan terburu-buru ke arah gue dan langsung memeluk gue.

Sebuah pelukan yang amat jarang terjadi. Pelukan yang terasa seperti saudara yang sudah lama gak ketemu karena yang satunya pergi merantau dari rumah.

“Gue takut banget lo ilang, bangsat.” katanya sambil memeluk gue. Gue hanya bisa tertawa dan menepuk punggungnya.

“Gue bukan bocah, Jun.” Dia melepas pelukan gue dan menonjok bahu gue pelan.

“Lo bukan bocah tapi kadang tingkah lo tolol tau gak?! Bikin jantungan mulu.” Gue lagi-lagi terkekeh. Arjuna masih sama. Masih suka marah-marah.

“Yang lain mana?” tanya gue. Dia menoleh ke arah villa. “Di dalem. Ayo masuk.”

Kami bertiga melangkah masuk setelah mematikan keran air yang sudah terbuang banyak karena ulah Ajun. Saat masuk, di ruang tengah ada Bilal, Damian, dan Daffa yang sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing.

“Lagi mabar apa?” tanya gue. Sontak ketiganya menoleh bersamaan dengan ekspresi sama kagetnya.

Habilal yang pertama berdiri dan menghampiri gue. Dia memeluk gue erat tanpa berkata apapun. Damian dan Daffa juga berjalan mendekat. Gue menepuk pundak keduanya masih dengan posisi Bilal yang memeluk gue. Posisi seperti itu agak lama, sampai gue merasakan getaran dari tubuh Bilal. Kemudian disusul isakan pelan dari belakang punggung gue. Habilal menangis.

“Ngapain nangis? Cengeng.” ucap gue pelan. Dia menarik diri, menatap gue kesal. Ah, tubuhnya tinggi banget, gue sampai harus mendongak.

“Lo bikin khawatir tau gak, Bang?”

“Sejak kapan lo bisa khawatir sama gue?” tanya gue meledek. Dia mencubit gue pelan.

“Aw! Sakit!”

“Rasain! Itu balesan karena jadi abang gak bener! Bukannya minta maaf kek, apa kek, ini malah ngeledek!” Gue tertawa pelan, tapi lalu terdiam.

“Tapi, Bil.” Gue menatap matanya. “Lo masih mau nerima gue sebagai Abang lo? Setelah sikap gue selama ini yang gak mencerminkan keluarga sama sekali?”

“Keluarga tetap keluarga, Bang. Gue tau lo juga pernah nyesel karena ngelakuin itu ke gue. Lagian, gue juga gak sebaik itu. Gue bukan adik yang sempurna juga, jadi kita bisa dibilang impas.”

Gue tersenyum dan memeluknya sekali lagi. Kali ini gue mengacak rambutnya pelan.

Kemudian ada suara turun dari tangga. Begitu terburu-buru sampai gue khawatir dia tersandung. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia berdiri di depan gue dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Jio..”

“Alice.” Gue membalas panggilannya. Dia lalu memeluk gue, membuat gue sedikit panik lalu menengok ke arah Kai. Tapi Kai hanya mengangguk sambil tersenyum. Lantas gue membalas pelukannya. Gue yakin Alice sudah lebih dewasa dibanding Alice yang dulu, atau pun Alice yang datang ke rumah gue satu bulan lalu.

“Ji, i'm so sorry, gara-gara aku semuanya jadi kesusahan kayak gini. Gara-gara aku kamu jadi pergi dari rumah dan hampir pisah sama semuanya. I'm so sorry, Ji, i'm really sorry.

Suaranya benar-benar menyiratkan dia merasa bersalah. Gue tau dia gak berniat untuk berbuat seperti itu. Niat awalnya bukan itu. Gue paham.

It's okay... Semua bisa buat kesalahan, Al. Yang penting kita harus selalu ambil pelajaran dari setiap kesalahan itu. Supaya kita bisa lebih damai sama masa lalu.”

Pelukan itu terlepas, Alice menatap gue sambil tersenyum. “It's sad that you're not mine anymore,” katanya.

But the fact that Kaia is way more better than me makes it a happy ending.” lanjutnya. Kata-kata itu membuat gue terharu sekaligus lega. Seperti mengisyaratkan kalau hubungan antara kami berdua sudah usai.

Alice berjalan menghampiri Kai dan menariknya untuk berdiri di depan gue. Dia menyatukan tangan gue dan juga tangan Kai. “I hope you both have a happy ending. I'm sorry for what i've done. You both are meant for each other. I should've known that earlier.

So do i.” Suara lain tiba-tiba muncul dari balik pintu. Elias, si pemilik suara berjalan mendekat dari pintu halaman belakang villa.

“Gue juga harusnya gak pernah mikir buat misahin kalian berdua. Karena lo,” Dia menepuk bahu Kai pelan. “dan lo.” Lalu menepuk bahu gue.

You both are meant for each other. Maaf kalau gue juga bikin semuanya keruh, gak nyelesaiin masalah kemarin dengan kepala dingin. Gue sadar kalau gue emang gak pernah jadi kakak yang baik.”

Gue menyanggah. “Oh ya? Emangnya ada nilai pasti tentang jadi kakak yang baik? Menurut gue, jadi kakak yang sayang sama adiknya dan bertanggung jawab juga udah cukup. Semuanya gak harus sempurna, selama lo udah ngelakuin yang terbaik, kenapa harus nyesel?”

“Dan selama gue hidup, Kak,” sambung Kai. “Gak pernah gue nemuin kakak lain yang lebih baik daripada lo. Selama ini lo gak pernah buat gue nyesel dilahirkan sebagai adek lo. Bener kata Kak Ji, semua gak ada yang sempurna, gue pun begitu. Jadi gak usah terlalu merasa bersalah karena berniat misahin gue sama Kak Ji, toh buktinya kami gak beneran pisah kan?”

Elias tersenyum lalu memeluk Kai. Tatapannya beralih pada gue, kemudian memeluk gue juga. Hari ini gue dapat banyak sekali pelukan. Hal yang gue sangka gak terlalu penting itu ternyata amat penting.

Peluk membuat kita merasa aman. Peluk juga membuat kita merasa berharga dan dihargai. Peluk-peluk itu juga terasa menguatkan. Membawa banyak energi positif yang seakan memang ditakdirkan untuk dibagi.

“Gue minta maaf karena udah ngerepotin kalian semua,” ucap gue pelan. Gue menatap semuanya satu per satu. “Seharusnya gue gak pernah mikir kalau gue gak punya rumah. Karena nyatanya rumah gue ada di kalian. Rumah gue gak akan pernah pergi atau pun hilang. Makasih karena udah mau jadi rumah gue.”


Kaia berjalan menyusuri jalanan yang membawanya ke tempat pemakaman umum. Di sampingnya ada Habilal yang memegang 2 kantong plastik berisi bunga dan 2 botol air mawar untuk Kai ziarah nanti. Sedangkan tangan Kai berisi beberapa tangkai bunga untuk ditaruh di atas makam.

“Namanya Diana Lestari, cari di barisan ini, gue juga lupa makam ke-berapa.” Bilal menyerahkan kantong bunga yang ada di tangannya.

“Ini serius gapapa gue tinggal sendiri aja?” tanya Bilal meyakinkan.

Kai mengangguk, kaki kanannya mulai melangkah di antara batu nisan. “Gapapa. Nanti gue naik ojek aja, gue pernah ke daerah sini kok dulu waktu main ke rumah temen. Lo balik ke villa aja, Bil, gue mau sendiri dulu.”

Walaupun berat hati karena khawatir, Bilal tetap mengangguk. Berusaha memberi Kai ruang untuk dirinya sendiri. Dia melangkah menjauh untuk kembali ke villa. Kaki Kai melangkah sambil matanya sibuk mencari nama Dian Lestari di atas batu nisan. Lalu matanya menangkap nama itu, membuat raganya berdiri membeku di kaki makam.

“Assalamu'alaikum, Bunda..”

Entah keberanian darimana, dia juga tidak tau kenapa mulutnya berkata Bunda alih-alih Tante. Akhirnya dia maju, berdiri di samping kanan makam. Dia berjongkok, membelai kepala nisan yang bertuliskan nama Diana Lestari itu.

“Bunda.. Ini Kaia, pacarnya Adagio anak Bunda..” dirinya mulai bermonolog pelan. Suasana langit yang sendu sore itu membuat hawanya semakin sedih.

“Maaf ya kalau Kai baru sempet dateng ke sini..” Tangannya mulai mengambil satu genggam bunga lalu menaburkannya di atas makam. Air mata mengalir di kedua matanya. “Kak Ji baru kesini ya, Bunda? Kaia kangen banget sama Kak Ji..”

Ya. Dugaannya ternyata benar.

Makam Diana terlihat rapih, basah, dan penuh dengan bunga segar. Pertanda kehidupan baru saja menyinggahi tempat peristirahatannya. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah Jio.

“Maaf ya, Bunda, Kai udah nyakitin anak Bunda satu-satunya. Kai sama Kak Ji sempet berantem hebat karena salah paham, Bun. Karena Kai pula Kak Ji jadi dirawat di rumah sakit. Kai beneran gak tau kalau Kak Ji alergi udang.” Dia berulang kali menyeka air matanya yang terus jatuh dengan lengan bajunya.

“Kai sayang banget sama anak Bunda. Bagi Kai, Kak Ji itu kayak obat penyembuh. Kalau Kai sedih, pasti Kak Ji ngehibur Kai dan meluk sambil bilang kalau semuanya akan selesai pada waktunya. Anak Bunda tumbuh jadi laki-laki yang baik... banget.”

Dia membuka botol air mawar dan mulai membasuh kepala nisan, membersihkan debu di atasnya. “Kak Ji pergi sebulan ini, Bunda. Semua nyariin Kak Ji, berharap Kak Ji pulang atau ngasih kabar. Semua kehilangan, gak tau Kak Ji pergi kemana. Tapi ternyata dia pergi ke tempat dunianya istirahat. Dia pergi ke Bunda, ke samping Bunda. Harusnya Kai mikir itu dari awal ya?”

Dia menyelesaikan kegiatannya. Menyeka air mata yang masih tak henti keluar. “Kak Ji ada di sekitar sini gak, Bunda? Kai harus cari kemana ya kira-kira?”

Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, berharap ada Jio di sekitarnya. Tapi yang dilihat hanya satu penjaga makam yang sedang membersihkan rumput liar. Kepalanya kembali tertunduk. “Kayaknya Kak Ji lagi pergi ya, Bun? Kalau gitu besok Kai bakal tunggu disini ya? Mungkin Kai bakal dateng sama beberapa temen-temen juga kesini. Bunda tunggu Kai, ya?”

Kai lalu berdiri dari posisi jongkoknya. Dia tertawa pelan. “Duh, maaf ya, Bunda, Kai jadi sok akrab gini. Tapi Kai seneng bisa ngobrol sama Bunda hari ini. Kai pergi dulu ya, Bun.. Sampai ketemu besok.” Dia mengelus kepala nisan untuk terakhir kalinya lalu melangkah menjauh.

“Neng?” Langkahnya terhenti karena dikejutkan oleh penjaga makam yang tiba-tiba muncul di depannya. “Neng siapanya Bu Diana?”

“Eh? Saya.. pacar anaknya, Pak.”

“Oh, pacarnya Aji?”

Dahi Kai mengerut. “Aji? Oh, Adagio? Iya, Pak.”

Penjaga makam itu langsung memasang wajah lega. Senyum terpatri di bibirnya. “Alhamdulillah, Neng... Akhirnya ketemu juga sama yang kenal Aji.”

“Emangnya kenapa, Pak?”

“Ikut Bapak yuk, Neng?”

Walaupun jujur sebenarnya dia takut karena ini orang asing. Tapi hatinya tetap memilih melangkah mengikuti. Dia tetap siaga menggenggam ponselnya untuk berjaga-jaga. Dia dibawa ke area belakang TPU, terdapat sawah yang tidak terlalu luas. Bapak itu berhenti, lalu menunjuk ke arah saung di pinggir sawah.

“Neng coba kesana gih. Pasti Neng seneng deh.”

Kai memicingkan matanya, tidak bisa melihat jelas. “Ini saya gak dibohongin kan, Pak?”

“Enggak, Neng. Percaya sama saya, saya gak mau macem-macem.”

Kakinya melangkah usai mengucapkan terima kasih pada bapak itu. Walaupun dia juga tidak tau dia berterima kasih untuk apa. Saat tinggal beberapa langkah dari saung itu, dia melihat laki-laki yang tadinya duduk di dalamnya keluar dan berdiri.

“Kak Ji.”

Dia terkesiap. Matanya memanas lalu disusul air mata yang berlomba-lomba keluar. Raganya bergerak tanpa sadar mendekat ke arah Jio bagaikan magnet. Jio yang awalnya tidak menyadari langsung membeku. Kai sekarang sudah berada di dekapannya, memeluknya erat seakan tak ada hari esok. Keduanya tidak mengeluarkan kata apapun. Yang terdengar hanya suara gemuruh dan tangisan Kai yang cukup kencang.

“Kak...” Panggilan dari Kai bagaikan tombol tangis bagi Jio. Air mata yang dia tahan dari tadi langsung turun tanpa persetujuannya.

Bohong kalau dia bilang tidak rindu pada perempuannya.

“Kak.. Maafin aku..” tutur Kai pelan. Jio tak menjawab, dia membalas pelukan Kai, memeluk badan kecilnya erat.

“Kamu kemana aja sih? Aku takut gak bisa liat kamu lagi. Aku gak mau kehilangan kamu, Kak, kamu tega banget sih?!” tanyanya ketus di sela tangis.

“Maaf, Kai..” Kata pertama yang keluar dari mulut Jio usai bibirnya yang kelu. “Maaf udah ninggalin kamu dengan masalah yang belum selesai.”

Kai menarik dirinya, memberanikan diri menatap wajah yang dirindukannya satu bulan belakangan. Bibirnya tersenyum haru. Diusapnya pipi Jio yang basah dengan air mata.

I miss you..” ucapnya lirih.

Jio tersenyum kecil. “I love you.

Kai menepuk dada Jio pelan. “Aturan I miss you too tau!”

“Gak ada aturannya tuh?” ledek Jio.

Keduanya tertawa bersamaan. Hidung Jio mengerut gemas, wajahnya maju untuk menggelitik hidung Kai dengan hidungnya. Mereka saling memandang, meluapkan rasa yang tertahan, menyampaikan kata yang tak sempat diucap hanya lewat tatapan mata.

“Aku udah tau kalau kamu sama Alice gak ada apa-apa.” Kai mulai membuka topik tentang masalah mereka. Menurutnya ini harus segera diselesaikan.

“Maaf ya udah salah sangka dan main bilang putus secara sepihak.” Omongan Kai menyadarkan Jio. Pelukannya melonggar.

“Eh? Kita udah putus ya?” Tangannya hampir lepas dari tubuh Kai tapi Kai langsung menariknya untuk tetap di tempat. Dia menatap Jio jengkel. “Ih! Enggak!”

“Loh? Kan kamu yang bilang kalau kita udah selesai?”

“Ih tapi itu kan karena emosi. Kamu mah!”

“Berarti gak jadi putus?”

“Enggakkkkk!!!”

Jio tertawa puas. Ringan sudah bahunya. Lega melihat perempuannya sudah kembali ke pelukan. Di sela tawanya, hujan turun dengan deras. Dia membawa Kai naik ke saung, berharap hujannya tidak membawa angin sampai ke tengah saung.

Jaketnya sudah tersampir di bahu Kai. Dirinya duduk melipat kaki menghadap Kai, sedangkan Kai melipat kaki sambil duduk ke arah sawah di depan. Di posisi ini Jio bisa lihat jelas wajah cantik Kai dari samping. Disampirkan rambut Kai ke belakang telinga, lalu dirinya maju untuk mengecup pipi kirinya. Tentu saja pergerakan tiba-tiba itu membuat Kai tersipu.

“Cantik.” Puji Jio.

Kai berusaha membawa topik awal. “Kamu sebulanan ini kemana?”

Jio membawa Kai ke dekapannya, berusaha memberi kehangatan. “Pokoknya tempat yang pertama aku pikirin itu cuma makam Bunda. Aku kesini naik kereta karena kalau nyetir mobil belum kuat waktu itu. Aku curhat ke Bunda, mungkin sampai 4 jam? Lupa. Terus Pak Ujang dateng nyamperin aku.”

“Pak Ujang? Yang jaga makam?”

“Iya. Kamu tadi dikasih tau sama dia ya?” Kai membalas dengan anggukan. “Dia pokoknya nanya aku kenapa, ada masalah apa, terus bisa bantu apa. Kebetulan aku sama dia emang deket karena dulu aku hampir setiap hari dateng kesini setelah Bunda meninggal, jadi selalu ngobrol sama dia.”

“Aku bilang aku gak punya tempat tujuan. Dan akhirnya dia nawarin buat tidur di kamar anaknya yang ngerantau. Awalnya aku mau tolak dan bilang aku bisa tidur di apartemen murah deket sini. Tapi katanya buang-buang duit. Jadinya aku nginep di rumahnya selama satu bulan. Jujur aku juga udah gak enak karena kelamaan tapi aku dilarang pergi.”

Mendengar itu Kai agak sedikit tenang. Setidaknya Jio masih ditemani oleh orang baik disini dan diurus.

“Aku khawatir, takut kamu kenapa-napa.” ungkap Kai. “Aku sama yang lain nyari kamu, datengin semua tempat yang sering kamu datengin. Semuanya kehilangan, Kak.”

Jio terharu mendengarnya. “Maaf udah ngerepotin kalian..”

“Enggak. Gak sama sekali. Tapi jangan diulang ya? Jangan pergi lagi, jangan menghilang lagi, jangan tinggalin aku lagi.” Kai menatap Jio dengan memohon.

Jio tersenyum seraya mengangguk. Pandangannya meneliti setiap inchi wajah cantik perempuan miliknya.

“Kai,”

“Ya?”

Can i kiss you?


“Kai, mau kemana lagi?” tanya Elias sembari menahan tangan Kai.

“Mau cek lagi ke caffe tempat Kak Ji biasa datengin.” Kai melepas tangan Elias dan meraih jaketnya.

“Tapi kan tadi udah dicek sama Daffa?” sahut Damian yang sedang minum di kursi bar rumah Jio.

“Kali aja Kak Ji belum dateng.”

Semua yang disana diam-diam menghela napas. Selama hampir 1 bulan mereka bekerja sama untuk mencari Jio. Alice bahkan membayar mahal untuk menyewa orang untuk mencari lokasi GPS ponsel Jio tapi berujung nihil. Libur semester membuat mereka tidak terlalu dihalangi kelas jadi bisa fokus mencari Jio.

Selama 1 bulan ini mereka menghadapi Kai yang tiba-tiba jadi emosional dan keras kepala. Kai tidak percaya kalau orang-orang bilang mereka tidak menemui Jio di tempat-tempat yang sering dia kunjungi. Kai selalu menolak fakta dan pergi mengeceknya sekali lagi seorang diri. Nafsu makannya menurun, tidurnya sedikit karena tangisnya lebih banyak, dan tatapan matanya selalu kosong.

Kondisinya hampir seperti mayat hidup.

“Lo mau sampai kapan sih begini?” Daffa angkat bicara. Nadanya dingin menusuk. Hawa di sekeliling mereka tiba-tiba senyap dan tegang. Semua menatap Kai yang membalikkan badannya perlahan.

“Maksudnya?”

“Lo mau sampai kapan gak percaya sama kita setiap kita bilang Bang Jio tuh gak ada?!” Kerutan di dahi Kai makin dalam. “LO PIKIR KITA BOHONG?! LO PIKIR KITA GAK BECUS NYARI BANG JI SAMPAI LO HARUS NGECEK SEKALI LAGI DENGAN MATA KEPALA LO SENDIRI?!”

Emosi Daffa tak tertahan. Membuat Damian dengan segera menariknya menjauh, berusaha menghentikan ketegangan.

Kai tersenyum sinis tanpa menjawab. “Lo sadar gak sih, Kai? Yang kehilangan disini tuh bukan lo doang!! Semua juga! Kita semua disini juga mau Bang Ji balik lagi sama kita. KITA JUGA BERUSAHA!!”

“Jujur gue setuju.” Arjuna angkat bicara. “Gue perhatiin lo terlalu emosional sampai lo gak percaya sama kita, Kai. Kita disini itu team, kita disini itu kerja sama. Kita semua sama-sama kehilangan jadi harusnya lo gak perlu mikir kita tuh bohong atau gak becus karena kita semua udah berusaha. Kita juga capek, Kai. Nyari orang yang gak ada kabar dan petunjuknya itu gak gampang. Fisik kita udah capek bolak-balik seharian jadi gak usah lah nambahin lagi dengan sikap lo yang kayak gini. Kita paham lo kehilangan, tapi gak gini caranya. Secara gak langsung lo meremehkan kerja kita semua.”

Omongan Arjuna memang menusuk. Tapi dia berbicara fakta. Dalam lubuk hati setiap orang yang disana, mereka juga berpikiran hal yang sama. Fisik sudah tergerus, masa pikiran dan perasaan harus diuji pula? Mereka paham sakitnya Kai mungkin berlipat ganda, jadi mereka memilih diam. Tapi hari ini tampaknya beberapa di antara mereka sudah tidak tahan dengan sikap Kai.

“Kai, udah ya? Kita tau nyari Jio itu capek, makanya kita gak mau kamu kerja dua kali dengan nyari di tempat yang udah kita datengin.” Kali ini Alice bicara dengan nada yang lebih halus.

Kai menghapus air matanya yang mengalir deras. “Kalian capek?”

Bilal berkata dengan panik, “Bukan gitu, Kai, tapi—”

“Kalau kalian capek harusnya dari awal gue aja yang nyari.”

Terdengar dengusan dari Daffa. “Oh ya? Yakin bisa ketemu kalau lo yang nyari sendirian? Kita bertujuh aja gak bisa ketemu hampir sebulan.”

“LO TUH GAK NGERTI RASANYA, DAF!”

“Gak ngerti? EMANG! Gue gak pernah ngerti karena gue gak ada di posisi lo. Tapi gue berusaha paham, Kai! Gue berusaha buat ngertiin lo dengan segala tingkah lo yang emosional sebulanan ini tapi lo malah gak ngehargain usaha yang lain! Lo mikir gak sih?!”

Suasana benar-benar memanas. Tak ada yang berani menghentikan karena semua sama-sama lelah.

Elias bahkan sudah sampai di tahap bingung. Dia tidak bisa lagi membela Kai. Dia sendiri paham teman-temannya merasa tersinggung dengan sikap Kai. Berulang kali mereka membicarakan ini padanya, meminta Elias untuk bilang ke Kai bahwa dia tidak perlu melakukan itu. Tapi dia sendiri juga tidak bisa melarang adiknya yang sedang kalut.

“Lo nanya gue bisa mikir apa nggak? NGGAK, DAF! NGGAK SAMA SEKALI! GUE GAK BISA MIKIR DENGAN JERNIH SEMENJAK KAK JI PERGI! GAK BISA!” teriakan Kai dibarengi dengan pijakan kakinya yang melemah. Beruntung Habilal dengan cepat menangkap badan Kai yang sekarang sedang menangis dengan suara kencang.

Tangisnya terdengar pilu. Menjelaskan hatinya yang kehilangan.

“Gue bukan gak percaya sama kalian.. Tapi gue cuma gak mau ada kemungkinan kalau Kak Ji dateng ke tempat itu setelah kalian pergi.. Gue cuma mau ambil semua kemungkinan yang ada..” Kai berkata dengan lemah di sela tangisnya.

Alice pun ikut meneteskan air matanya. Daffa langsung menghempaskan tangan Damian di pundaknya dan berbalik memunggungi Kai. Dalam hatinya dia menyesal membentak Kai barusan. Arjuna dan Elias tertunduk, bingung harus berkata apa.

Habilal membawa Kai ke dekapannya. Kai menangis kencang sambil meremas kaos Habilal. Berusaha meluapkan rasa sakit di dadanya.

“Kai..” Elias memanggil Kai dengan lembut usai tangisan Kai sudah mereda. “Kita semua tau rasanya kehilangan. Kita semua capek. Gue yakin lo juga sama capeknya, kan? Kita yang disini cuma mau lo istirahat dan cari Jio dengan pikiran yang jernih. Kalau lo cari Jio dengan pikiran kalut, semua gak akan selesai. Kalau lo gak jaga kesehatan, lo gak akan ketemu Jio dengan keadaan baik. Kita disini cuma khawatir sama lo. Kita disini juga sama-sama usaha, sama-sama gak mau melewati kemungkinan yang ada tapi kita semua juga ada batasnya, Kai. Kita juga bisa capek fisiknya.”

“Kita bukan nyalahin lo dengan nyari Bang Jio sendiri, Kai, tapi kita cuma mau lo jangan forsir diri lo terus. Kita cari sama-sama, lo gak perlu cari sendirian.” sahut Damian.

“Dan kalau lo ngecek tempat yang sama dua kali, kita bisa menyimpulkan kalau lo gak percaya sama kita, Kai.” tambah Arjuna kemudian.

Kai melepas dekapan Habilal. Kepalanya tertunduk. Air matanya tak henti turun.

“Maaf..” katanya pelan.

“Maaf kalau gue bikin keruh keadaan. Maaf kalau gue kesannya jadi gak percaya sama kalian, tapi gue gak maksud..”

Daffa berjalan mendekati Kai. Tangannya menangkup pipi Kai dan mengangkatnya sampai wajah Kai terlihat jelas. “Jangan nunduk gitu. Temen gue hebat, jadi gak boleh nunduk.” Jarinya menghapus jejak air mata di pipi Kai.

“Gue tau lo sayang banget sama Bang Ji, tapi lo juga harus perhatiin diri sendiri, Kai. Mana Kai yang tahan banting? Hm? Lo tuh aslinya keren, jangan jadi cemen gini dong!”

Omongan Daffa yang berusaha mencairkan suasana justru membuat Kai tambah menangis. Dia lega setelah melihat Daffa yang sudah bisa bercanda.

“Daffaa.... Maaf....” rengek Kai, persis seperti anak kecil sehabis dimarahi ibunya.

Daffa terkekeh pelan dan membawa Kai ke pelukannya. Ditepuknya punggung sahabat lamanya. “Maafin gue juga karena udah ngebentak lo. Gue abisnya geregetan ngeliat lo kayak gini terus. Kita disini berbagi luka yang sama, Kai, jangan disimpen sendirian aja. Kita cari Bang Ji sama-sama ya?”