bertemu sahabat lama
Kami semua sampai di hotel mewah milik keluarga Yogi. Sejak awal di pesawat perasaan gue gak enak. Kayak ada sesuatu yang mengganjal tapi gue gak tau itu apa. Temen-temen gue juga ngerasain hal yang sama. Kayak, something's not right but we don't know what.
Gue diberi kamar bersamaan dengan Elias dan Ajun. Kamar yang kami tempati benar-benar mewah, luas, dan nyaman. Awalnya kami sampai bengong karena gak percaya kalau keluarga Yogi setinggi itu kedudukannya disini. Jelas Yogi langsung hilang jejak, orang-orang suruhan Tante Hana untuk mengantar kami aja ada banyak. Pastinya orang yang menjaga Yogi jauh lebih banyak lagi.
Kami diberikan baju formal warna hitam. Entah bagaimana mereka bisa tau persis ukuran baju kami. Katanya nanti malam kami akan ketemu sama Yogi, jadi masih ada waktu untuk istirahat.
“Kalian somehow ngerasa ini aneh gak sih?” tanya Elias yang lagi minum cola di meja bar.
Gue dan Ajun yang duduk di sofa mengangguk bersamaan. “Jujur gue iya. Kayak, effortnya tuh agak lebay padahal kita cuma ketemu Yogi. Gue kalo jadi Tante Hana mah bakal suruh anak gue yang ke Indonesia beli apart disana dibandingkan bayarin flight dan nyewain kamar hotel buat temen-temennya.” jawab Ajun.
“Kayak ada yang disembunyiin.” Gue menambahi.
“Tadi gue liat Alice agak shaking gitu. Pasti dia masih inget perlakuan keluarga Yogi dulu.” Elias berjalan ke arah sofa dan duduk di samping Ajun.
“Jelas lah, Yas, pasti dia trauma.” sahut gue.
“Gimana kalo nanti ada Tante Hana ya? Tadi padahal cuma orang suruhannya doang. Kasian dah Alice.” Kami mengangguk setuju dengan perkataan Ajun.
Gue juga mengkhawatirkan Alice yang terlihat gugup sejak awal naik pesawat. Pasti masih teringat jelas waktu dia diusir dari rumah orang tua Yogi waktu itu. “Yaudah kita bersih-bersih dulu aja. Nanti jangan lupa cek Alice terus ya, Ji, lo kan deket tuh. Takutnya dia ketakutan atau apa. Punya panic attack kan dia?”
Gue mengangguk pada pertanyaan Elias. “Nanti gue cek terus. Lo mandi duluan sana, Yas.”
Malam akhirnya tiba. Kami memakai setelan jas hitam yang sudah disiapkan. Waktu keluar kami berbarengan dengan waktu keluar para perempuan. Tampaknya mereka juga diberikan gaun hitam senada tetapi yang membedakan hanya modelnya. Kami saling tatap kebingungan.
“Ini sebenernya ada apa sih?” bisik Alice saat dia melipir untuk jalan di samping gue.
“Gak tau. Aku juga bingung, Al.”
“Ji, aku takut.” ucapnya. Gue menoleh dan mendapati beberapa peluh muncul di dahinya. Gue menggandeng tangannya, khawatir dia jatuh. “Ada aku. Kamu pegangan aja, kalau lemes banget nanti kita minta balik ke kamar aja.”
“Gapapa?”
“Gapapa. Pegangan.”
Kami diperintah masuk ke dalam mobil Limosin yang bisa mengangkut kami semua. Kemewahan yang disuguhi benar-benar gak bisa gue nikmati. Gue sibuk memikirkan seperti apa penampilan Yogi sekarang. Apa senyumnya masih terlihat lembut seperti dulu? Apa dia masih menyambut kami seperti dulu? Atau bahkan, apa rasanya seperti bertemu teman lama atau justru seperti bertemu orang asing?
Gue bisa melihat kening Alice mengerut dalam saat kami dipersilakan keluar dari mobil. Gue mendekat untuk berbisik, “Kenapa? Tulisannya apa artinya?”
Alice diam, hanya menggeleng. Wajahnya sedikit panik. Gue tau dari situ bahwa semua ini ada yang gak beres. Kami masuk ke dalam sebuah gedung tinggi yang sepi. Hanya beberapa orang suruhan Tante Hana yang memakai baju seragam. Mereka menyuruh kami menunggu di sofa panjang. Di depan kami disuguhi beberapa makanan dan minuman, tapi gak ada satupun dari kami yang berselera.
Suara sepatu hak menggema, kami menoleh bersamaan. Seorang perempuan paruh baya dengan wajah khas orang Jepang berjalan mendekat. Tubuhnya tegak dan anggun. Menjelaskan bahwa dia terlahir sebagai konglomerat yang gak mengerti apa itu melarat.
“Maaf ya udah nunggu lama.” Logatnya pun menunjukkan dia jarang menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya.
Tante Hana berjalan ke arah Alice. Tatapannya melembut, tangannya meraih tangan Alice dan menggenggamnya erat. Dalam hati gue khawatir lihat Alice yang agak gemetaran.
“Alice, Tante minta maaf ya?”
Gue lihat Alice tersenyum kecil. “Kita lupain aja, Tante. Semua udah baik-baik aja kok sekarang.”
“Andai waktu itu Tante nerima kamu, mungkin Yogi..” Omongannya terpotong. Air mata lalu keluar dari kedua matanya. Kami yang melihat hanya kebingungan dan saling tatap. Kecuali Alice. Dia juga ikut menangis.
“Sejak kapan, Tante?” ucapnya lemah. Kami makin bingung melihat situasi yang tiba-tiba sendu.
“Satu minggu lalu.” Tangis Alice makin deras. Dia menahan suara tangisnya sampai bahunya bergetar. Tante Hana memeluk Alice dan mereka menangis bersamaan.
Gue hanya menatap yang lain. Elias kelihatan ingin bertanya tapi ditahan, gak ingin ganggu. Selang beberapa menit baru Tante Hana melepas pelukannya dan beralih pada kami semua. Dia tersenyum di sela air matanya yang mengalir. “Ini teman-temannya Yogi ya..?”
“Iya, Tante. Saya Elias, ini Arjuna, Jio, Nara, Windi, dan ini Keira.” Elias memperkenalkan kami dengan menunjuk satu per satu. Tante Hana semakin tersenyum.
“Terima kasih ya.. Sudah jadi teman Yogi waktu di Indonesia dulu. Maaf kalau Yogi pernah ada salah sama kalian.”
Ini aneh.
“Kalau boleh tau, Yogi ada dimana ya, Tante? Saya mau ketemu, kangen banget.” Elias bertanya.
Tante Hana menyuruh kami mengikutinya ke arah belakang gedung. Dahi gue mengerut semakin dalam saat melihat jejeran makam yang jaraknya gak terlalu rapat satu sama lain. Gue lihat tangis Alice semakin deras.
Nggak. Ini gak mungkin. Jangan bilang...
“Yogi disini.” Tante Hana berhenti di depan satu makam.
Alice sekarang menangis meraung-raung, dia berlutut di depan batu makam Yogi. Mata gue mulai berkaca-kaca. Menolak kenyataan. Mengharap kekeliruan.
Sekarang gue mengerti apa maksud sikap Alice tadi. Gue mengerti mungkin arti dari huruf Jepang yang gak gue mengerti itu berbau tentang makam atau apapun yang merujuk kesitu.
“Yogi sudah berpulang tepat satu minggu yang lalu. Dia sakit. Leukimia. Semua pengobatan sudah dicoba tapi Tuhan lebih sayang dia.” jelas Tante Hana dengan tangis derasnya.
Gue melihat semuanya menggeleng. Menolak perkataan Tante Hana yang terasa menggerus hati.
“Nggak, Tante, nggak. Kita kesini mau ketemu Yogi, mau bercanda sama Yogi, bukan mau berdiri di depan makam orang.” Ajun terlihat menahan emosi. Urat lehernya terlihat jelas kalau dia menahan tangisnya.
Tante Hana menjawab dengan terbata-bata, “Maaf karena sudah memisahkan kalian. Maaf karena baru sempat mempertemukan kalian. Permintaan terakhir Yogi hanya satu, dia mau ketemu kalian, mengobrol dan bercanda seperti dulu. Tapi Tante tolak karena kondisinya semakin drop. Tante gak pernah sangka kalau permintaan terakhirnya baru bisa dipenuhi saat dia sudah berpulang.”
Air mata mengalir deras di pipi gue. Semua juga sama.
Kami kehilangan teman lama yang bahkan belum kami lihat wajahnya selama bertahun-tahun. Kami kehilangan teman lama untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini bukan hanya beda negara, tapi beda alam pula. Kenyataan pahit ini harus kami telan sendiri.
Tante Hana dan orang-orangnya meninggalkan kami. Memberi waktu sebanyak mungkin untuk menghabiskan waktu dengan Yogi. Makam Yogi, maksudnya.
“Bilang sama gue ini mimpi.” Nara berkata sambil menatap kosong ke depan.
“Anjing, ini apa sih maksudnya?! Tiba-tiba banget Ya Allah..” ucap Elias.
Kami sama-sama hening untuk beberapa saat. Masih berusaha mencerna bahwa sahabat baik kami yang selalu ada di kala susah dan senang kini sudah berpulang ke pangkuan Tuhan.
“Yog, balik, Yog...”
Ajun, yang gue tau jarang menangis kini menangis deras. Dia memegang makam Yogi, mengelusnya pelan. “Gue belom bayar utang gue waktu SMA, Yog, lo balik dulu sini.. Gue bayar dulu, kita baikan dulu, kita harus hidup lama dulu, Yog..”
Perkataannya membuat tangis kami makin deras. “Maafin gue, Yog..” Kini Elias yang mulai bersuara. “Maaf karena gue gak pernah jadi temen yang baik buat lo. Maaf karena gue berhenti nyari lo waktu itu. Mungkin kalau gue nyari lo sampai ke seluruh penjuru dunia, kita masih bisa ketemu, Yog. Mungkin kita masih sempet ketawa bareng kayak yang lo mau.”
Kepala Alice yang tadinya tertunduk kini tegak. Kami paham bahwa dia juga ingin mengucap sesuatu. “Kamu ketemu anak kita disana gak, sayang?”
Mendengar itu hati kami semua mencelos. Ini pasti jauh lebih berat bagi Alice. Dia kehilangan semua miliknya. Anaknya, juga cintanya.
“Maaf— maaf karena aku gak bisa jaga dia dengan baik. Maaf karena aku gak pernah jadi ibu yang baik. Mungkin— mungkin kalau dia lahir, kamu masih sempat ketemu sama dia. Mungkin kamu bisa gendong dia sebelum kamu pergi.” Alice terbata-bata.
Entah sudah berapa menit kami menghabiskan waktu disini. Entah sudah sejauh mana orang menganggap kami gila karena bicara dengan benda mati.
Yang gue rasakan hanya pedih. Hati gue terasa kosong. Hampa. Seperti itu lah gambaran kehilangan sahabat baik.
Satu persatu mulai meninggalkan makam. Hingga tersisa gue yang belum mengucap satu kata pun untuk berpamitan dengan Yogi. Semua meninggalkan gue sendiri. Elias bilang, “Ucap semua yang lo mau sampaikan ke Yogi, Ji. Ini kesempatan terakhir lo.”
Kaki gue yang tadi berdiri tegak kini berlutut. Menunjukkan kalau gue hanya berpura-pura tegar sejak tadi. Gue menepuk dada kiri gue berkali-kali agar sakitnya gak terlalu dalam. Tapi nihil. Rasanya tetap sakit.
“Gue gak pernah benci lo, Yog.” Kata itu menjadi awal salam terakhir gue dengan Yogi.
“Kesalahan yang lo perbuat waktu itu emang nyakitin, tapi gue gak pernah bisa benci lo. Mau sebrengsek apapun temen gue, gak pernah gue benci temen gue sendiri. Waktu itu gue justru mikir kalau yang deserve buat dapetin Alice emang lo. Gue gak pantes dapetin Alice, gue gak becus buat jagain dia.”
Gue berhenti sejenak. Untuk bicara terasa sulit karena tangis yang gak bisa gue bendung. “Gue udah percayain dia sama lo, Yog, kenapa lo malah pergi? Disaat semua udah damai dan baik-baik aja kenapa lo ninggalin kita semua? Kenapa, Yog? KENAPA?!”
Emosi gue tumpah ruah. Gue datang jauh dari Indonesia ke Jepang bukan untuk ini. Bukan untuk mengantar sahabat gue ke tempat terakhirnya.
“Maafin gue kalau gue punya salah ya, Yog? Bahagia di sana. Kita ketemu lagi di kehidupan yang lain. Makasih karena udah ngajarin banyak pelajaran hidup ke orang payah kayak gue.”
Susah payah gue berdiri. Untuk memberi salam terakhir. “Gue gak akan ngelupain lo, Yog, gak akan. Gue akan sering datang ke sini. Gue akan ajak lo buat turut hadir di tiap tahap kehidupan gue. Gue janji. Tunggu gue disana ya? Jangan kemana-mana. Kalau tiba waktunya gue berpulang maka lo harus nunggu gue di depan pintu.”
Lalu gue berbalik. Melangkah pergi. Menjauh dari tempat peristirahatan terakhir sahabat terbaik gue. Hari ini, sehelai kelopak bunga jatuh. Meninggalkan layu di helai-helai yang lain.