all is well
“Makin banyak nyamuk anyinggggg.” Suara Bilal memecah keheningan malam. Jio hanya menengok lalu terkekeh.
“Ya siapa bilang gak ada nyamuk?”
“Terus ngapa ke gazebo anjrit.”
“Mau liat bintang.” Bilal mengikuti arah pandang Jio. Keduanya mendongak ke atas, melihat langit yang memang sedang cerah berbintang. Bulan pun terlihat bulat sempurna.
Akhirnya mengabaikan nyamuk, Bilal duduk di samping Jio. Dia menyeruput teh tawar hangatnya dan memeluk diri dengan jaket tebalnya.
“Lo kangen Bunda gak sih, Bang?” tanya Bilal.
“Gak ada satu hari yang gue lewatin tanpa kangen Bunda, Bil. Bunda itu segalanya buat gue.”
Bilal menghela napas. Pandangannya tertunduk ke tanah. “Mungkin bener ya. Andai gue gak lahir, mungkin Bunda gak akan sakit karena stress.”
Bilal lalu dapet satu toyoran dari Jio. Dia menatap protes, tapi Jio melotot dengan lebih galak. “Stop mikir kayak gitu bisa gak?” tanyanya ketus.
“Ya soalnya penyakit Bunda pemicunya karena stress. Kalau gak ada gue, mungkin Mama gak akan dibawa ke rumah sama Ayah dan berakhir berantem terus sama Bunda.”
Jio menyesap kopinya. “Gue bilang kan, Bil. Ada atau gak adanya lo, Bunda tetap bakal meninggal karena itu udah ajalnya. Kita gak bisa nunda atau ngerubah kematian, kan?”
“Ya bener juga sih, tapi—”
“Bunda gak akan suka juga lo nyalahin diri sendiri, Bil.” Potong Jio.
Keduanya diam cukup lama. Hanya suara jangkrik yang memenuhi telinga. Sesekali dengungan nyamuk lewat sekelebat.
“Kematian Bunda untuk dikenang aja ya, Bil. Gak usah nyalahin siapa-siapa. Kalau kita nyalahin orang sama aja kita nyalahin takdir Allah.” Jio berkata sambil melihat ke arah Bilal.
Bilal mengangguk pelan. “Maafin Mama ya, Bang.”
“Kenapa?”
“Ya Mama selama ini jahat sama lo. Gue akui, semua yang Mama lakuin dulu tuh gak bener banget. Karena lo anak tiri, jadinya Mama memperlakukan lo kayak orang lain. Gue gak pernah membenarkan sikap Mama yang dulu. Mama emang sayang sama gue, tapi akibatnya lo jadi disalahin dan diomelin terus. Jujur gue udah coba negur Mama untuk gak kayak gitu ke lo tapi Mama gak pernah mau dengerin gue.”
Jio tersenyum kecil dan hanya menghela napasnya. “Manusia kalau udah kenal harta biasanya tamak, Bil. Gue gak heran kenapa Mama lo segitunya mau berkuasa di rumah. Ya karena harta Ayah tuh banyak. Gue marah, pasti lah. Tapi lama-lama gue capek ngebenci orang. Makanya gue lebih pilih buat gak ketemu orang itu sama sekali, jadi gue pergi dari rumah.”
“Kalau lo gak mau ketemu Mama lagi gapapa, Bang, gue paham. Malah kayaknya gak usah ketemu deh, biarin kalian hidup masing-masing aja.”
Jio menggeleng. “Nggak, Bil. Bunda gak pernah ngajarin gue buat lari dari masalah. Semua pelarian gue selama ini emang karena diri gue pengecut aja. Sekali-kali gue mau coba hadapin, mau coba benahin, dan mau coba mulai dari awal. Walaupun luka yang Mama lo kasih gak akan pernah hilang, tapi gue masih bisa memaafkan kok.”
Habilal menatap Jio takjub. Dia tersenyum, lebar sekali. Kemudian dia memeluk Jio erat sambil tertawa kecil.
“Gue titip Kai ya, Bang. Gue jamin lo 100% lebih baik daripada gue. Jangan nyakitin Kai kayak apa yang gue lakuin. Kalau butuh tips and trick menjinakkan Kaia Elaina, hubungi gue aja, gue tau cara-caranya.”
Jio melepas pelukannya dan menoyor kepala Bilal sekali lagi. “Lo pikir cewek gue monyet?!”
Tawa Bilal menyembur. “BUKAN GUE YANG BILANG YA!”
“Lo juga kalau butuh saran dapetin cewek cantik spek Kai tapi bukan Kai bilang gue aja, gue cariin.”
“Dih anying, ogah amat. Lu aja punya mantan cuma satu, belagu banget lu.”
“Dih yaudah kalau gak mau.”
Keduanya melanjutkan pembicaraan sampai pagi buta. Membahas bagaimana mereka bertengkar di masa lalu dan membayangkan bagaimana mereka di masa depan. Obrolan yang tidak mereka sangka bisa didapatkan apabila mereka meruntuhkan tembok yang selama ini dibuat tinggi dan rapat itu dari lama. Malam itu mereka baru menyadari, kalau saudara itu bukan tentang kandung atau tiri, tapi tentang kasih sayang dan kata maaf.