rumah
Kalau dihitung, sudah 2 jam Kai berusaha membujuk gue untuk pulang. Dan kalau boleh jujur, gue pun mau pulang. Tapi lagi-lagi gue berpikir, emangnya benar-benar ada tempat gue untuk 'pulang'? Karena rumah yang gue sangka satu-satunya tempat gue pulang ternyata gue tinggalkan begitu aja.
“Rumah gak harus selalu dibawa, rumah itu justru selalu kita tinggal. Kepergian kita udah hal yang wajar karena itu justru menegaskan fungsi rumah itu sendiri, Kak. Rumah itu sejatinya tempat pulang, tempat kita kembali setelah pergi ke tempat lain. Jadi jangan mikir kamu gak punya 'rumah' cuma karena kamu ninggalin rumah itu.”
Begitu yang Kai katakan pada gue tadi. Karena perkataannya, gue jadi berpikir kalau gue memang harus pulang. Akhirnya gue memutuskan untuk berpamitan pada Pak Ujang dan istrinya.
“Saya udah punya rumah lagi, Pak, sekarang. Saya udah bisa pulang.” Kata itu yang gue ucapkan sebagai alasan gue pamit.
Kebaikan mereka akan selalu gue kenang. Gue bilang gue akan mampir lagi kesini. Gue bahkan meminta nomor rekening mereka untuk mengirim uang sebagai imbalan karena sudah menjaga makam Bunda selama bertahun-tahun.
Gue dan Kai menaiki angkutan umum, berpanas-panasan di bawah matahari Bandung. Meskipun begitu, Kai gak mengeluh sama sekali. Dia malah menggandeng tangan gue dengan senyuman lebarnya seraya menunjukkan tempat-tempat yang dulu sering dia kunjungi saat masih tinggal disini. Baginya Bandung benar-benar spesial. Tapi bagi gue Bandung masih tetap meninggalkan luka.
Kami sampai di depan villa. Mata gue menangkap Arjuna yang sedang menyiram tanaman di depan villa. Saat dia melihat gue, selang air yang dipegangnya langsung dilepas begitu saja, ditinggalkan mengalir. Dia berjalan terburu-buru ke arah gue dan langsung memeluk gue.
Sebuah pelukan yang amat jarang terjadi. Pelukan yang terasa seperti saudara yang sudah lama gak ketemu karena yang satunya pergi merantau dari rumah.
“Gue takut banget lo ilang, bangsat.” katanya sambil memeluk gue. Gue hanya bisa tertawa dan menepuk punggungnya.
“Gue bukan bocah, Jun.” Dia melepas pelukan gue dan menonjok bahu gue pelan.
“Lo bukan bocah tapi kadang tingkah lo tolol tau gak?! Bikin jantungan mulu.” Gue lagi-lagi terkekeh. Arjuna masih sama. Masih suka marah-marah.
“Yang lain mana?” tanya gue. Dia menoleh ke arah villa. “Di dalem. Ayo masuk.”
Kami bertiga melangkah masuk setelah mematikan keran air yang sudah terbuang banyak karena ulah Ajun. Saat masuk, di ruang tengah ada Bilal, Damian, dan Daffa yang sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing.
“Lagi mabar apa?” tanya gue. Sontak ketiganya menoleh bersamaan dengan ekspresi sama kagetnya.
Habilal yang pertama berdiri dan menghampiri gue. Dia memeluk gue erat tanpa berkata apapun. Damian dan Daffa juga berjalan mendekat. Gue menepuk pundak keduanya masih dengan posisi Bilal yang memeluk gue. Posisi seperti itu agak lama, sampai gue merasakan getaran dari tubuh Bilal. Kemudian disusul isakan pelan dari belakang punggung gue. Habilal menangis.
“Ngapain nangis? Cengeng.” ucap gue pelan. Dia menarik diri, menatap gue kesal. Ah, tubuhnya tinggi banget, gue sampai harus mendongak.
“Lo bikin khawatir tau gak, Bang?”
“Sejak kapan lo bisa khawatir sama gue?” tanya gue meledek. Dia mencubit gue pelan.
“Aw! Sakit!”
“Rasain! Itu balesan karena jadi abang gak bener! Bukannya minta maaf kek, apa kek, ini malah ngeledek!” Gue tertawa pelan, tapi lalu terdiam.
“Tapi, Bil.” Gue menatap matanya. “Lo masih mau nerima gue sebagai Abang lo? Setelah sikap gue selama ini yang gak mencerminkan keluarga sama sekali?”
“Keluarga tetap keluarga, Bang. Gue tau lo juga pernah nyesel karena ngelakuin itu ke gue. Lagian, gue juga gak sebaik itu. Gue bukan adik yang sempurna juga, jadi kita bisa dibilang impas.”
Gue tersenyum dan memeluknya sekali lagi. Kali ini gue mengacak rambutnya pelan.
Kemudian ada suara turun dari tangga. Begitu terburu-buru sampai gue khawatir dia tersandung. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia berdiri di depan gue dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Jio..”
“Alice.” Gue membalas panggilannya. Dia lalu memeluk gue, membuat gue sedikit panik lalu menengok ke arah Kai. Tapi Kai hanya mengangguk sambil tersenyum. Lantas gue membalas pelukannya. Gue yakin Alice sudah lebih dewasa dibanding Alice yang dulu, atau pun Alice yang datang ke rumah gue satu bulan lalu.
“Ji, i'm so sorry, gara-gara aku semuanya jadi kesusahan kayak gini. Gara-gara aku kamu jadi pergi dari rumah dan hampir pisah sama semuanya. I'm so sorry, Ji, i'm really sorry.“
Suaranya benar-benar menyiratkan dia merasa bersalah. Gue tau dia gak berniat untuk berbuat seperti itu. Niat awalnya bukan itu. Gue paham.
“It's okay... Semua bisa buat kesalahan, Al. Yang penting kita harus selalu ambil pelajaran dari setiap kesalahan itu. Supaya kita bisa lebih damai sama masa lalu.”
Pelukan itu terlepas, Alice menatap gue sambil tersenyum. “It's sad that you're not mine anymore,” katanya.
“But the fact that Kaia is way more better than me makes it a happy ending.” lanjutnya. Kata-kata itu membuat gue terharu sekaligus lega. Seperti mengisyaratkan kalau hubungan antara kami berdua sudah usai.
Alice berjalan menghampiri Kai dan menariknya untuk berdiri di depan gue. Dia menyatukan tangan gue dan juga tangan Kai. “I hope you both have a happy ending. I'm sorry for what i've done. You both are meant for each other. I should've known that earlier.“
“So do i.” Suara lain tiba-tiba muncul dari balik pintu. Elias, si pemilik suara berjalan mendekat dari pintu halaman belakang villa.
“Gue juga harusnya gak pernah mikir buat misahin kalian berdua. Karena lo,” Dia menepuk bahu Kai pelan. “dan lo.” Lalu menepuk bahu gue.
“You both are meant for each other. Maaf kalau gue juga bikin semuanya keruh, gak nyelesaiin masalah kemarin dengan kepala dingin. Gue sadar kalau gue emang gak pernah jadi kakak yang baik.”
Gue menyanggah. “Oh ya? Emangnya ada nilai pasti tentang jadi kakak yang baik? Menurut gue, jadi kakak yang sayang sama adiknya dan bertanggung jawab juga udah cukup. Semuanya gak harus sempurna, selama lo udah ngelakuin yang terbaik, kenapa harus nyesel?”
“Dan selama gue hidup, Kak,” sambung Kai. “Gak pernah gue nemuin kakak lain yang lebih baik daripada lo. Selama ini lo gak pernah buat gue nyesel dilahirkan sebagai adek lo. Bener kata Kak Ji, semua gak ada yang sempurna, gue pun begitu. Jadi gak usah terlalu merasa bersalah karena berniat misahin gue sama Kak Ji, toh buktinya kami gak beneran pisah kan?”
Elias tersenyum lalu memeluk Kai. Tatapannya beralih pada gue, kemudian memeluk gue juga. Hari ini gue dapat banyak sekali pelukan. Hal yang gue sangka gak terlalu penting itu ternyata amat penting.
Peluk membuat kita merasa aman. Peluk juga membuat kita merasa berharga dan dihargai. Peluk-peluk itu juga terasa menguatkan. Membawa banyak energi positif yang seakan memang ditakdirkan untuk dibagi.
“Gue minta maaf karena udah ngerepotin kalian semua,” ucap gue pelan. Gue menatap semuanya satu per satu. “Seharusnya gue gak pernah mikir kalau gue gak punya rumah. Karena nyatanya rumah gue ada di kalian. Rumah gue gak akan pernah pergi atau pun hilang. Makasih karena udah mau jadi rumah gue.”