maaf
Jio bangun kira-kira pada saat jam menunjukkan pukul 10 pagi. Dia membaca pesan dari Kai dan juga Bilal yang mengatakan mereka akan pergi ke mall bersama Damian dan Daffa. Jio hanya membalas dengan kata hati-hati. Status Habilal yang mantan Kai tidak membuat dia cemburu atau marah. Dia memaklumi dan memutuskan untuk memberi kepercayaan pada keduanya. Lagi pula mereka sekarang lebih terlihat seperti teman dekat dibandingkan mantan.
Tidak pernah ada di pikirannya bahwa saat dia turun ke bawah, dia akan melihat ayahnya sedang duduk di sofa. Dia membeku di tengah tangga, menatap ayahnya bingung.
“Sini turun, Bang.” Alvaro berdiri dari sofa, bersiap menyambut anak sulungnya.
Jio meneliti ke semua arah, mempertanyakan apakah Alvaro hanya datang seorang diri atau bersama permaisurinya. “Ayah dateng sendiri kok, langsung dari Singapura ke Jakarta.”
Jio melanjutkan langkahnya. Dia hanya menyalimi ayahnya lalu mengambil air putih ke dapur untuk diminum. Dia menenggak satu gelas sambil tetap menatap ayahnya. “Ada perlu apa kesini? Mau nyari Bilal? Dia lagi pergi sama temennya.”
“Bukan, Ayah gak nyari Bilal. Ayah juga tau dia lagi gak ada di rumah. Ayah kesini mau ketemu sama Abang.”
Dahi Jio mengerut dalam. Ini bukan sikap ayahnya yang biasa. Ayahnya jarang repot-repot pulang dari Singapura ke Jakarta hanya untuk menengok kabarnya. Kalaupun Ayahnya pulang, dia akan pulang ke Bandung, bukan kesini.
Dia makin bingung saat Ayahnya menarik pelan tangannya untuk duduk di sofa. “Kenapa sih, Yah?”
Alvaro ragu untuk bicara. Sudah bertahun-tahun sejak dia bicara serius dengan putranya. Terakhir mereka bicara serius pun diwarnai dengan pertengkaran.
“Ayah mau minta maaf sama Abang.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Semuanya, Bang..” Kepala Alvaro tertunduk. Kini dia seorang pengecut yang takut menatap wajah anaknya sendiri karena dosanya terlalu banyak. Jio juga ikut terdiam. Dia bingung harus menjawab apa.
Keheningan berlangsung selama beberapa menit. Sampai akhirnya Jio memutuskan untuk bertanya, “Ayah kangen sama Bunda gak sih?”
Pertanyaan itu membuat dada Alvaro sesak. “Pasti, Bang. Ayah selalu kangen Bunda, selalu kangen masakannya. Bunda kamu itu punya senyum tercantik di dunia ini. Suara Bunda juga menenangkan, selalu bisa buat Ayah jadi lebih tenang.” Jio melihat senyum kecil di wajah Alvaro.
Dia pun ikut tersenyum. “Bagi Jio juga Bunda itu segalanya. Gak akan bisa digantikan. Mungkin raga Bunda udah gak ada, tapi Bunda selamanya akan hidup di dalam hati dan pikiran Jio. Makanya Jio gak pernah setuju kalau Ayah bilang Tante Riani itu penggantinya Bunda.”
Alvaro memberanikan diri menatap anaknya. Matanya berkaca-kaca. Anak yang dia ingat masih setinggi lututnya kini sudah tumbuh jadi seorang laki-laki yang rupawan. “Apa aja yang Ayah lewatin, Bang? Banyak ya? Ayah gak pernah ikut andil dalam setiap perkembangan Abang. Tau-tau Abang udah jadi laki-laki ganteng aja.”
Jio terkekeh pelan. “Banyak, Yah. Sekarang Jio udah punya perempuan yang harus Jio jaga.”
“Maaf ya, Ayah gak pernah ada buat Abang. Ayah selama ini terlalu sibuk kerja sampai gak pernah pulang.”
“Kerjaan Ayah sepenting itu ya? Sampai gak pulang.” Pertanyaan ini seringkali muncul di benak Jio sedari kecil. Dia mempertanyakan setiap kehadiran Alvaro yang selalu alpha saat dibutuhkan.
“Beban tanggung jawab Ayah emang lumayan besar. Tapi Ayah sebenarnya selalu dapat libur 2 bulan selama 1 tahun.”
“Kenapa gak pulang, Yah?”
“Karena rasa malu, Bang.” Jio semakin bingung. “Dan juga rasa bersalah karena jadi seorang Ayah yang gak becus.”
Mata Jio memejam. Lagi-lagi kesalahpahaman. Lagi-lagi komunikasi yang tidak baik. Semua masalah yang dihadapinya hanya berputar di alasan yang sama.
“Jio gak pernah nuntut Ayah buat jadi seorang Ayah yang sempurna kok. Jio cuma perlu Ayah ada di setiap Jio butuh.”
“Ayah selalu mikir kalau Ayah harus kerja keras, menghasilkan uang yang banyak supaya kamu dan Bilal hidup bahagia. Ayah mikir kehadiran Ayah gak terlalu diperlukan karena kamu selalu bisa ngerjain semuanya sendiri tanpa Ayah. Jadi Ayah cuma ngirim uang dengan nominal yang banyak tanpa pulang.”
Tangan Jio mengenggam tangan Alvaro yang menangis seiring kata-kata keluar dari mulutnya. Dia bisa melihat jelas rasa bersalah yang ada di mata Alvaro. Penyesalan yang dalam, kesedihan yang menjamur di hati. Pedih sekali untuk dilihat.
“Ayah..” panggilnya. “Jio gak pernah butuh uang, Yah. Bukan uang yang Jio butuhin, tapi kehadiran Ayah. Jio dari dulu selalu butuh pelukan Ayah setiap kangen sama Bunda. Jio juga mau ucapan selamat Ayah waktu Jio menang Olimpiade. Jio cuma mau liburan bareng Ayah setelah lulus sekolah. Hal-hal kecil kayak gitu juga udah lebih dari cukup. Ayah gak perlu ngirimin uang terus. Karena uang 1 milyar pun kalah berharganya sama keluarga yang lengkap, Yah.”
Penjelasan Jio semakin membuat tangis Alvaro deras. Dia memeluk anak sulungnya erat. Berusaha memohon ampun atas segala kesalahan yang dia lakukan.
“Jio selalu maafin Ayah. Jio gak pernah sama sekali benci sama Ayah. Mulai sekarang, Ayah gak perlu merasa bersalah atas kesalahan yang udah lalu. Manusia gak ada yang sempurna kok, Yah, Jio pun begitu. Maafin Jio juga karena udah berperilaku kasar sama keluarga kita.”