fromranxx


Kavi dan Breanni adalah dua nama yang bertahun-tahun tidak bisa dipisahkan. Kalau menyebut Kavi, biasanya akan ada nama Bre di belakangnya. Hubungan mereka tidak terlalu beda seperti Anjani dan Askar, hanya saja mereka terlihat lebih 'romantis' dan saling mengakui keromantisan itu.

Mereka paham perasaan mereka masing-masing. Kavi paham kalau dia sayang Bre dan begitu juga sebaliknya. Lain dengan Askar dan Anjani yang bahkan tidak paham perasaan macam apa yang mereka rasakan satu sama lain. Ada beberapa alasan yang membuat Kavi tidak (atau belum) bisa memberi kepastian. Alasan yang hanya diketahui dirinya sendiri, alasan yang belum pernah dia ungkapkan pada siapapun.

Ada banyak hari dimana dia mendapati kedua orang tuanya saling berteriak satu sama lain. Banyak malam dimana dia tidak bisa tidur karena orang tuanya masih bertengkar sampai tengah malam. Ada juga banyak hari istimewa yang dilewatkan tanpa kumpul keluarga seperti yang dilakukan orang-orang normal. Banyak tengah malam yang dihabiskannya untuk merenungi kehidupannya yang nahas.

“Kenapa sih, Mas, kita gak punya orang tua yang akur kayak orang lain?”

“Karena Tuhan mau kita jadi orang yang kuat. Dikasih cobaan kayak gini tuh berarti kita dipilih karena kita umat yang kuat.

“Tapi Kavi juga pengen punya orang tua yang penyayang dan akur. Kayak orang tua Askar, misalnya.”

“Kita ya, Dek, manusia, selalu bandingin kehidupan kita sama punya orang lain. Selalu. Tapi kita gak pernah tau apa yang mereka sembunyiin, sama kayak orang lain gak tau apa yang kita tutupi. Semua orang emang kelihatan bahagia dari mata kita, tapi kita gak pernah tau di balik semua itu. Jangan bandingin diri sendiri sama orang lain. Cuma nimbun perasaan iri.”

Bagi Kavi, Kafka adalah satu-satunya alasan kenapa dia masih pulang ke rumah yang tidak pernah hangat. Dari kecil sampai sekarang, Kafka selalu jadi penguat di malam-malam rapuhnya.

Lalu Bre datang, menghiasi dirinya yang kelabu dengan warna. Bre dengan tingkah aneh dan tawa cantiknya datang mengisi hari-harinya. Kemudian bertambah satu alasan dia bertahan. Bertambah satu alasan dia tetap masuk sekolah walaupun masa depannya tidak tampak sama sekali di kedua matanya. Bre dengan senyum yang mengandung rindu saat tak bertemu menjadi alasan pasti kenapa Kavi masih percaya kasih sayang.

Namun kini, Kavi merasa semua percuma. Tak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Toh semua akan pergi meninggalkan dia.

Jadi kakinya melangkah di atas pasir. Melepas sepatu pemberian Kafka yang masih dipakainya walau sudah mulai usang. Pantai di Jakarta mungkin tidak sealami dan seindah pantai di daerah lain. Tapi bagi Kavi semuanya cukup untuk melepas penat dari keramaian.

“Kalo ke pantai tuh gak usah pake sendal, Kav. Lepas. Biarin kaki kita kenalan sama pasir. Sama kayak beban di pundak kita. Lepasin. Biar ombak bawa semua beban kita pergi.”

Perkataan Bre terngiang di dalam kepalanya. Pantai ini selalu jadi pelarian mereka berdua usai lelah mengemban ilmu. Tanpa sadar membawa kebiasaan bagi Kavi untuk datang lagi kesini. Seperti sebuah kebutuhan.

“Gue udah lepas sepatu, Bre. Udah berusaha buat lepas beban yang ada di pundak gue juga, tapi kenapa masih berat? Apa karena letak bebannya bukan lagi di pundak, tapi di hati?” Kavi mulai bermonolog pada deburan ombak di depannya. Berandai-andai Bre sedang di sampingnya.

“Alasan yang bikin gue gak mau kasih hubungan kita status sebenernya ada di diri gue sendiri, Bre. Gue takut.” Perkataannya terjeda. Tangisannya mulai menunggu untuk keluar. Tapi seorang Kavi enggan menangis. Bisa terlihat lemah, katanya.

“Semua kenangan gue tentang hubungan tuh gak ada yang baik, Bre. Kedua orang tua gue punya status akan hubungan mereka, tapi gak pernah sekalipun gue liat mereka bahagia. Gue gak mau kayak gitu, Bre. Gue takut kalo status itu lama-lama ngiket kita, ngerubah kita, dan ngehancurin kita. Gue gak mau kehilangan sahabat terbaik gue.” Kepala Kavi tertunduk. Kedua matanya panas, kemudian lolos butiran air mata yang mati-matian ditahannya.

“Gue juga gak mau kehilangan sahabat terbaik gue, Kav.”

Kepala Kavi langsung terangkat, kemudian menoleh ke belakang. Mendapati Bre yang berdiri dengan kedua matanya yang basah. Bre melepas satu per satu sepatunya, lalu perlahan berjalan ke arah Kavi dengan kaki telanjang.

Keduanya kini saling berhadapan dengan air mata yang tak henti turun. “Semenjak ketemu lo, gue gak pernah mau jatuh cinta ke laki-laki lain, Kav. Buat gue, lo itu lebih dari cukup. Lo yang selalu jaga gue tetap waras di tengah dunia yang sinting ini. Cuma lo, Kav, gak ada yang lain.”

“Bre..”

“Gue emang selalu mempertanyakan hubungan kita, Kav. Selalu. Tapi semua itu karena gue takut 'kebebasan' di antara kita bisa bikin gue kehilangan lo. Gue gak suka kehilangan orang yang gue sayang.”

Bre meraih tangan Kavi, menggenggamnya erat. “Gak ada yang bisa ngehancurin kita selagi itu bukan Tuhan dan alam semesta ini, Kav. Gue gak akan pernah pergi ninggalin lo kecuali ajal yang misahin kita. Gak akan ada yang ngerubah kita, percaya sama gue.”

“Bre,” panggil Kavi pelan. Tangannya menghapus lembut air mata yang jatuh di pipi Bre. “Semua keambiguan di antara kita sebenernya dateng dari gue. Dari ketakutan gue. Dari trauma gue. Dan harusnya gue gak pernah bawa-bawa lo ke dalam ketakutan gue. Harusnya gue gak egois seakan gue yang paling berhak milikin lo.”

“Gue gak pernah ngerasa lo egois.” Bre menyanggah. “Gue gak pernah ngerasain keegoisan lo karena hari-hari gue jauh lebih banyak bahagianya dibanding sedihnya. Jadi jangan bilang lo egois lagi, Kav. Semua orang berhak takut dan ngelindungin diri dari ketakutannya itu. Gue gak akan nyalahin lo.”

“Masalah Leon tadi, gak usah dipikirin. Gue gak akan mau sama dia, gue juga gak sudi jadi pacarnya. Gak usah dibawa serius masalah dia yang bilang lo gak bisa ngasih kepastian ke gue. Bagi gue, rasa sayang lo aja udah sebuah kepastian. Jadi gak perlu status lagi buat bikin gue yakin.”

“Tapi kalo gue mau gimana, Bre?”

Kening Bre mengerut. “Mau apa?”

Kavi tersenyum kecil. “Mau kasih kepastian ke hubungan kita yang kata Mada gak jelas ini.”

“Maksudnya?”

“Gue mau benahin diri gue pelan-pelan, berdamai sama rasa takut gue. Siapa tau kalo sama lo, pikiran gue tentang semua hubungan itu nyakitin bakal ilang. Lo mau bantu gue dengan jadi pacar gue gak?”


Hari itu berjalan seperti biasa. Kelima anak manusia itu memutuskan untuk makan di kelas saat jam istirahat. Askar dengan bekal sehatnya yang dia bawa untuk dirinya dan Anjani, serta Mada, Kavi, dan Bre yang memesan ayam geprek di kantin. Mereka duduk melingkar, posisinya meja panjang milik Anjani dan Askar (yang berada di pojok kiri belakang kelas) adalah meja mereka makan. Kavi dan Bre yang duduk di depan Anjani dan Askar, membalikkan bangku mereka ke belakang. Mada yang duduk di samping kanan Askar juga menarik bangkunya dan menempati ujung kanan meja. Mereka bersenda gurau seperti biasa, menciptakan kenangan lain hari itu.

Namun ketenangan tidak berlangsung lama. Tiba-tiba rombongan laki-laki yang diketuai oleh Leon masuk ke kelas mereka dengan heboh. Ada yang menggebrak-gebrak pintu, meja, dan lemari di depan kelas. Leon datang dengan kemeja yang tak dikancing, di dalamnya cuma ada kaos hitam polos. Satu tangannya masuk ke dalam kantong celana abu-abunya.

Dia berjalan ke arah Bre dengan senyum tengil khasnya. Seisi kelas menoleh ke arahnya. Bre langsung buang muka, menatap Anjani panik. Askar, yang sudah diberitahu semuanya oleh Anjani juga ikut panik. Semalam mereka berdua memang membahas masalah Bre, Kavi, dan Leon kurang ajar ini. Semua terpaksa diceritakan setelah Askar curiga Anjani menyimpan rahasia.

“Halo, cantik.” Leon menyapa Bre. Dia berdiri dengan tangan yang diistirahatkan di atas senderan bangku Kavi dan Mada.

Kavi mengerut dalam. Dirinya menatap aneh Bre tertunduk. Perlahan garis putus-putus di benaknya sudah tersambung. Dugaannya selama ini benar, pasti Bre adalah perempuan yang ada di story Leon, dan Bre menyembunyikan sesuatu darinya.

“Ih si cantik sombong banget. Liat sini dong.” Leon kembali berucap. Kali ini Kavi berdiri, menghalangi Leon untuk menatap Bre dan melangkah maju agar Leon mundur.

“Lo ngapain sih? Kalo cuma mau ganggu Bre mending keluar. Mau keluar sendiri atau gue keluarin?”

Leon menatap Kavi yang hanya beda satu centimeter di atasnya. Dia tersenyum sinis, memainkan lidahnya di dalam mulut hingga tertonjol keluar, terlihat makin tengil. “Lo minggir deh, gue gak lagi ngomong sama lo,” balas Leon, menatap Kavi dengan tajam. Semua orang di kelas terdiam, merasakan atmosfer yang mulai menegang di seisi ruangan.

Kavi berdecak. “Lo ngomong sama Bre sama aja kayak lo ngomong sama gue. Lagian mending lo keluar deh!” Kavi mendorong bahu kiri Leon dengan telunjuk kanannya.

Leon tidak terima dan mendorong balik bahu Kavi. “Lo itu bukan siapa-siapanya Bre, lo yang harusnya keluar!”

Kavi makin emosi. Tapi tangannya kemudian disentuh oleh Bre yang berdiri dari duduknya. “Udah, Kav.”

Di dalam hati Bre khawatir kalau-kalau Kavi tidak bisa menahan emosi dan menonjok Leon. Masalah akan lebih besar dan orang tua Kavi akan dipanggil seperti bayangannya.

“Gue udah bilang gue gak mau, Yon,” ucap Bre ke arah Leon, menatapnya sinis.

“Ya mau gak mau lo harus terima gue deketin dong? Itu kan hak gue buat deketin lo.” Bre terdiam.

“Lagian, kenapa sih lo pake acara pura-pura gak kenal padahal kita udah nge-date? Kenapa, Bre? Takut ketauan sama cowok yang gak bisa ngasih lo kepastian ini?” sambungnya sengaja meremehkan Kavi.

Kavi melebarkan kedua matanya, menatap ke arah Bre kaget. Rasanya ada yang membakar hatinya di dalam sana. Mada menatap Anjani dan Askar, meminta penjelasan, tapi mereka hanya bisa mengangguk membenarkan.

“Lo... nge-date sama Leon, Bre?” tanya Kavi pada Bre. Yang ditanya hanya bisa menatap ke arah sepatunya.

“Bre?” Panggil Kavi sekali lagi.

“Gue yakin lo udah liat story gue kan? Iya, itu Bre. Gue udah dua kali jalan-jalan sama dia, beliin dia makanan yang dia suka, nge-treat dia kayak yang seharusnya. Bukan kayak orang tolol yang nge-gatekeep dia dengan keegoisannya padahal gak berani ngasih kepastian.”

Kavi naik pitam. Dia memilih untuk mendengarkan jawaban Bre terlebih dahulu sebelum benar-benar marah. “Bre? Bener? Lo jalan sama dia tanpa ngasih tau gue?”

Bre menatap Anjani sekilas lalu akhirnya mengangguk. Rasanya percuma dia mengelak, toh memang kenyataannya seperti itu. Dia juga tidak bisa langsung menjelaskan tentang bagaimana dia diancam, bisa-bisa Kavi makin marah dan menonjok Leon sekarang. Yang dia hindari saat ini hanyalah baku hantam, itu saja. Masalah penjelasan bisa diberi lain waktu.

“Lo suka sama dia, Bre? Sama orang ini? Iya?” Kavi bertanya sambil menunjuk ke arah Leon. Tapi Bre tidak berani menatap Kavi. “Bre, liat gue!” Pinta Kavi agak keras.

Tatapannya tajam, rahangnya mengeras, wajahnya juga memerah menahan emosi dan rasa cemburu. Bre menatapnya takut-takut, tapi tidak memberi gelengan atau anggukan sama sekali. Hanya menatapnya dengan tatapan sayu.

“Gue kurang apa sih, Bre? Gue udah ada di samping lo selama bertahun-tahun. Kurang, Bre, perhatian gue selama ini? Kurang?!” Kavi tanpa sadar membentak Bre. Membuat Bre kaget, begitu juga Anjani, Askar, dan Mada.

Mada menahan tangan Kavi, “Udah, Kav, jangan kayak gini.”

“JANGAN KAYAK GINI GIMANA?! Lo tau gak rasanya dikhianatin sama orang yang lo sayang? Enggak kan? YAUDAH DIEM!!” Mada tersinggung, tapi dia memilih diam. Dia tau Kavi sedang dipenuhi emosi sekarang.

“Wow.... Denger deh ucapan dari cowok pengecut satu ini. Lagaknya kayak si paling memiliki. Lo pacarnya aja bukan, kenapa harus semarah ini?” Kavi menoleh pada Leon, tangannya mengepal keras. Menahan untuk tidak menonjok Leon.

Helaan napas kasar keluar dari mulut Kavi. “Oke, fine, gue lepas tangan. Terserah lo ya, Bre, lo mau jalan sama siapa, gue sekarang gak akan ikut campur. Congrats.”

Dan begitu saja, Kavi pergi membawa tasnya, melompat lewat jalur rahasia di belakang sekolah untuk bolos. Entah kemana kakinya melangkah, yang pastinya bukan rumah. Dia merasa semuanya berantakan. Orang tuanya selalu bertengkar sepanjang waktu, kakaknya sibuk dengan dunianya sendiri, kini perempuan yang dia sayang direnggut darinya begitu saja.

Di lain sisi, Bre menatap punggung Kavi yang perlahan menghilang dari pandangan. Air mata lolos di kedua pipinya, saling bersusulan. Anjani maju, mendekap Bre di pelukannya. Leon diam, semua sedikit di luar dugaannya. Dia menatap Bre, perempuan yang belakangan menarik perhatiannya sampai rela melakukan semua paksaan agar dia bisa mendapatkannya.

Bre melepas pelukan Anjani, lalu menatap Leon tajam. “Puas lo?” tanyanya dengan suara parau.

Leon kikuk, tak berniat menjawab. “Lo pernah bilang gue pathetic karena belain Kavi yang kata lo, 'gak bisa kasih kepastian' itu. Tapi gue liat lo JAUH lebih pathetic, Yon. Lo menghalalkan segala cara buat ngehancurin hubungan orang, cuma buat dapetin apa yang gak bisa lo dapetin. Kalo tujuan lo buat dapetin gue, gue saranin lo berhenti sekarang juga. Stop semua cara licik dan paksaan lo supaya gue mau jalan sama lo. Yang jelas, gue gak akan ninggalin Kavi, apalagi cuma karena cowok kayak lo.”


Lagi, lagi, dan LAGI. Rumah gue jadi tempat penampungan. Selama empat tahun gue temenan sama Kavi dan Mada, gak terhitung berapa kali mereka nginep di rumah gue selama seminggu.

Sebenernya gue juga gak masalah, toh gue di rumah juga kadang sendirian karena Mama dan Papa pada di RS tiap hari dan pulangnya cenderung malem. Mama juga gak pernah keberatan walaupun mereka nginep satu bulan penuh juga, malah Mama seneng karena rumah rame. Papa juga malah ngajakin main bulu tangkis di halaman belakang rumah. Makin betah aja para magadir itu.

Kavi dan Mada itu, dari luarnya aja yang suka ngelenong. Padahal ya... banyak juga masalahnya. Biasanya kalo mereka nginep di rumah gue, kami cerita sampai jam tiga pagi. Gak tau juga apa yang di bahas, tapi kebanyakan jujur-jujuran sama masalah hidup. Gue biasanya jadi pendengar aja karena gue gak tau harus cerita apa. Bukan berarti gue gak ada masalah juga sih, tapi susah aja ceritainnya.

Kavi dan Mada punya kesamaan, kedua orang tua mereka suka berantem di rumah. Gue gak terlalu sering ketemu juga sih sama orang tua mereka, soalnya emang jarang dateng pas ngambil rapot. Yang ngambilin justru Mas Kafka sama Bang Arga sampai guru-guru hafal.

Gue juga gak paham apa inti masalah dari sekian banyak cek-cok orang tua mereka, mungkin merekanya juga gak paham. Tapi kalau dari cerita Kavi, orang tuanya emang sama-sama gengsi dan gak cocok dalam berbagai hal. Keduanya sama-sama sibuk kerja sampai menelantarkan kedua anaknya. Terus kalau Mada.. katanya orang tua dia tuh emang gak saling cinta dari dulu. Orang tuanya itu salah satu korban perjodohan yang gak diinginkan. Walaupun di beberapa orang perjodohan itu berhasil, lain sama orang tua Mada. Mereka lama-lama jadi gak harmonis lagi dan merasa kalau pernikahan mereka itu sebuah kesalahan.

Karena alasan itu Mada dan Kavi selalu merasa satu rasa dan satu beban. Mereka sama-sama paham rasanya tinggal di rumah yang kayak neraka sepanjang waktu dan paham juga rasanya gak dipeduliin sama orang tua sendiri. Karena itu gue selalu memperlakukan mereka dan nerima mereka di rumah gue yang kebetulan dikasih kebahagiaan dan kehangatan sama Tuhan. Mama dan Papa juga selalu ngehibur mereka kalau mereka kesini, memperlakukan mereka kayak anak sendiri, berharap mereka lupa sama masalah di rumah mereka walau sejenak.

Sekarang posisinya gue duduk di kasur, Mada duduk di atas bean bag di lantai, dan Kavi duduk di atas kursi tempat biasa gue belajar. Di meja kecil di tengah-tengah kami ada banyak cemilan dan minuman yang disediain sama Mama.

“Jadi menurut lu berdua itu Bre atau bukan?” tanya Kavi.

Ini yang jadi topik obrolan sejak tadi. Nebak-nebak yang ada di instastory Leon itu beneran Bre atau bukan. Kavi sampai bandingin foto Bre sama perempuan di story Leon itu saking ketar-ketirnya.

“Sebenernya kalo diliat dari fisiknya sih sama, Kav. Tapi kalo dipikir pake otak tuh kayak kagak mungkin anjirr. Si Bre aja gak pernah nyapa Leon di sekolah, ngapain jalan bareng?” ucap gue.

Mada ngangguk sambil ngunyah kue bolu. “Menurut gue juga gitu. Mirip tapi aneh aja kalo mereka jalan bareng.”

“Tapi bisa aja gak sih Bre bosen sama gue terus nyari cowok lain?”

“Bosennya tuh bosen dalam konteks apa? Bosen temenan? Buktinya sama gue sama Askar dia gak bosen temenan tuh?” tanya Mada.

Kavi langsung diem. Mungkin bingung juga mau bales apa. “Kan, lo gak bisa jawab kan? Ya iya lah, lo gak ada status dari awal, Kav, jadi hubungan lu kagak jelas,” kata Mada lagi.

Kalo udah bawa status gini gue milih buat gak ikutan. Nanti malah gue yang kena lagi.

“Ma, elah! Gue gak lagi bahas statusnya!!!”

“Ya tapi akar masalah lu overthinking tapi gak bisa nanya karena gak berhak ini ya STATUS!!!” Mada keliatan emosi. Emang Kavi ini agak bebal kalau dibilangin.

Mada majuin badannya yang semula nyender di bean bag. “Nih ya, bego, gue kasih tau. Seandainya lu sama Bre ada status, lu bakal lebih berhak buat ngelarang Bre jalan sama cowok lain, gak kayak gini!! Lu udah berapa kali di-skakmat sama Bre dan orang-orang dengan pertanyaan, 'Emang lu pacarnya Bre?' atau 'Lah elu siapanya?' Hah? Gue aja capek anjir menjelaskan hubungan lu berdua yang kagak jelas itu!! Kagak pacaran tapi romantis, dibilang sahabat doang tapi kayak pacaran!!! SAMA AJA KAYAK ASKAR SAMA ANJANI TAU GAK!!!!!”

Denger itu jelas gue melotot. KENAPA JADI BAWA-BAWA GUE?!!!

“APA-APAAN KOK JADI GUE DIBAWA-BAWA?!” protes gue ke Mada sambil ngelempar bantal ke mukanya.

“Ya soalnya lu ber-empat tuh sama aja! Sama-sama kagak jelas!”

“Tapi kan lagi bahas Kavi sama Bre?!?!!! AH ELU SIH, KAV!!” Gue langsung melotot ke arah Kavi, ngelempar kesalahan ke dia.

Kavi juga gak terima, dia melotot sambil protes, “KOK GUE?!! KAN GUE CUMA MINTA PENDAPAT LU BERDUA ITU BRE ATAU BUKAN! INI GARA-GARA MADA YANG RIBET BAWA-BAWA STATUS!!”

Kami barengan nengok ke Mada, tapi dia juga makin gak terima. “YA IYA HUBUNGAN LU BERDUA GAK JELAS SOALNYA!!!”

“DUHHH UDAH STOP BAHAS HUBUNGAN TAI KUCING INI!” teriak Kavi akhirnya.

Beberapa detik kemudian kami saling mendinginkan emosi masing-masing. Terus akhirnya gue angkat bicara. “Lu ke Bre itu cuma pure suka karena dia cantik dan sefrekuensi atau lebih dari itu?” tanya gue ke Kavi.

Kavi diem, natap kaleng Coca-Cola di depannya. Kemudian dia bilang, “Gue juga bingung jelasin perasaan gue ke Bre kayak gimana, Kar. Kayak... gue gak suka dia sama cowok lain, gue marah kalo dia digodain atau disakitin, gue juga maunya dia sama gue terus. Kalo gak ketemu Bre rasanya kangen, ada yang kurang gitu. Terus semua beban gue bisa hilang kalo ngeliat senyum Bre. Pokoknya gak mau pisah, gue mau sama Bre terus sampai tua.”

Gue terdiam. Entah kenapa penjelasan Kavi kayak gak asing. Kayak gue punya sesuatu yang sama kayak itu. Tapi masa iya sih...

Mada menghela napas pelan. “Lu udah cinta sama dia itu, Kav. Udah sayang. Udah bukan perasaan suka biasa.”

“Kenapa bisa gitu?”

“Ya... gak tau sih. Tapi menurut gue, kalo udah di tahap lu mau menghabiskan seluruh hidup lu sama orang itu, artinya lu udah nyentuh batas paling sayang lu ke orang lain. Soalnya orang yang cuma sekadar suka karena cantik, ya mereka bakal gak suka kalo ceweknya tiba-tiba udah gak secantik itu. Tapi kalo lu nerima semua kekurangan orang itu, artinya lu udah sayang. Kayak, no matter what will happen, lu bakal tetep ada di samping dia.”

Setelahnya baik gue atau Kavi sama-sama diem. Mada ini gak pernah pacaran, cuma sekedar suka tapi gak pernah dapet kesempatan buat confess. Tapi omongannya itu selalu paling bener kalau masalah cinta kayak gini. Gak tau juga dia berguru darimana. Atau emang efek kebanyakan nonton film aja.

“Sekarang pilihan ada di tangan lu, Kav. Lu mau take the risk buat macarin Bre tapi dapet hak buat jauhin cowok-cowok gatel itu, atau lu mau hubungan lu tetep kayak gini tapi ada resiko banyak cowok yang deketin Bre. Lu pikir lagi mana yang nyaman buat lu.”

Mada lalu nengok ke gue. Bikin gue naikin alis bingung. “Lu juga, Kar. Lu gak mikir mau temenan main-main doang sama Anjani sampai tua kan?”

Hah... Emang kenapa?

Itu rencana gue padahal. Temenan sama Anjani sampai tua...


tw // slightly talk about bullying

Temenan sama Anjani selama 17 tahun itu waktu yang lebih dari cukup buat gue paham tentang dia. Mungkin kalau ada kuis tentang Anjani, gue bisa jawab 90% dari 100.

Anjani itu gak suka cicak, jadi setiap gue pergi kemanapun gue bakal otomatis ngeliat dinding ada cicak atau enggak, kalau ada ya bakal gue buang atau kami yang pergi dari situ. Terus Anjani itu gak bisa ngeliat lampu yang terlalu terang. Jadi kalau ada sinar lampu mobil dari berlawanan arah pas malam hari atau sinar matahari yang terlalu terik pas siang hari, gue bakal nutupin matanya pakai tangan gue.

Anjani gak suka anggur, alergi kacang, suka es krim vanilla pakai saus coklat, dan gak suka sambal terasi. Mungkin kalian udah tau, tapi kami selalu barter daging dan kulit ayam, serta putih dan kuning telur. Pokoknya, sedeket itu sampai gue bisa tau hal-hal detail dari dirinya.

Anjani pernah dapet perlakuan kurang menyenangkan waktu SD dulu. Hal itu yang selalu buat dia marah dan gemeteran kalau ngeliat ada kakak kelas atau siapapun yang ngebully orang lain, terutama di lingkungan sekolah.

Waktu itu gue masih kelas 2 SD, kebetulan dapet kelas yang sama kayak Anjani, jadi kami duduk sebangku. Gue selalu seneng nyapa orang-orang, entah itu kakak kelas, guru, atau bahkan penjaga sekolah. Kata Mama, hal itu bisa aja jadi penyemangat buat orang lain. Karena itu gue selalu senyum ke semua orang yang gak sengaja eye contact sama gue.

Tapi seramah apapun gue, gak pernah sekalipun ada di pikiran gue buat nambah temen deket selain Anjani. Menurut gue yang lain cuma buat kenal aja, tapi gak usah ada yang sedeket Anjani. Bagi gue, Anjani seorang pun udah cukup. Jadi gue selalu nolak tawaran mereka buat makan bareng di kantin, pergi ke tempat les bareng, atau bahkan main petak umpet pas istirahat. Gue lebih suka makan bareng Anjani, pergi ke tempat les bareng Anjani, dan main congklak berdua bareng Anjani.

Jadi mungkin karena itu, orang-orang jadi gak suka sama Anjani. Mereka jadi mikir kalau gue gak mau main sama mereka karena dia. Ya emang gak sepenuhnya salah, tapi gak seharusnya mereka jadi ganggu Anjani karena hal itu.

Waktu awal Anjani diganggu, dia cuma disenggol di kantin. Kami mikirnya mereka gak sengaja, tapi setelah gue perhatiin, senggolan mereka selalu tambah keras setiap harinya. Gue juga sering liat mereka natap sinis ke arah Anjani yang gak pernah bales ngeliat ke arah mereka.

“Askar, kamu suka timun kan? Ini ada timun di nasi goreng aku, makan ya? Aku gak suka,” katanya waktu gue sibuk ngeliat ke arah cewek-cewek yang melototin dia dari ujung kantin.

“Askar, uangku ketinggalan di tas, aku ambil dulu ya? Kamu tunggu sini.” Dia juga bilang gitu waktu cewek-cewek itu jalan dari berlawanan arah, siap buat nyenggol dia lagi.

“Eh Askar! Aku ke toilet dulu ya udah kebelet banget, gak bakal keburu kalau di tempat les, kamu tunggu aja di mobil nanti aku nyusul.”

Hari itu, gue pikir Anjani cuma mau ngehindar untuk kesekian kalinya. Gue gak pernah ngelarang dia untuk menghindar atau nyuruh buat menghadapi semuanya karena gue tau itu susah. Jadi gue cuma diem aja ngeliat dia kabur dari cewek-cewek itu dan nunggu dia sampai balik lagi. Tapi hari itu, Anjani bukannya kabur kayak biasanya, tapi dia malah jatuh ke perangkap mereka.

Dia dikunciin di toilet guru deket kantin yang sepi. Toilet yang gak bakalan didatengin orang kalau sekolah udah selesai. Hari itu gue nunggu 15 menit sampai akhirnya mutusin buat ngajak sopir gue buat nyusul dia.

Gue nyari dia ke seluruh toilet sekolah dan berakhir nyuruh sopir gue buat ngerusak gembok yang dipakai buat ngunciin Anjani. Waktu berhasil buka pintunya, Anjani gak nangis sama sekali, dia justru senyum kecil ke arah gue dan keluar dengan tenang. Gue waktu itu langsung meluk dia, gue takut dia kenapa-napa.

“Jani.. Maaf aku datengnya telat, aturan tadi aku nemenin kamu..” kata gue hari itu. Anjani cuma geleng-geleng kecil terus senyum tapi matanya berkaca-kaca. Kelihatan jelas kalau dia nahan tangisannya hari itu.

“Aku gapapa kok, Askar, lagi pula aku tenang karena aku tau kamu pasti dateng buat nolongin aku.”

Gue akhirnya ngajak dia pulang, bodo amat sama les, gue cuma mau ngasih Anjani es krim supaya suasana hatinya lebih baik. Malemnya, gue pinjem hp mama dan langsung ngaduin itu ke wali kelas gue. Kabarnya, orang tua pelaku langsung dipanggil ke sekolah besok harinya.

Selang waktu sebulan, Anjani diganggu lagi. Kali ini mereka misahin gue dan Anjani. Mereka sengaja ngambil hari waktu gue lagi latihan taekwondo di lapangan. Gue pikir Anjani udah pulang, tapi sopir gue—yang juga sering nganter Anjani—bilang Anjani belom masuk mobil. Sontak gue langsung lari ke seluruh penjuru sekolah, masukin kelas satu per satu, toilet, bahkan ruang guru. Tapi gue malah nemuin Anjani di gudang belakang sekolah, tempat dimana alat musik buat marching band ditaruh.

“ANJANI!” teriak gue dan lari ke arahnya yang meringkuk di pojokan. Dia meluk kakinya sendiri.

“A— Askar...” ucapnya lirih. Air mata yang selama ini ditahannya sekarang jatuh. Benteng yang dia bangun pun runtuh. Anjani mutusin buat nunjukin dirinya yang utuh. Dan gue adalah yang pertama kali nyaksiin semua itu.

Semenjak hari itu, gue jadi merasa punya tanggung jawab buat jagain Anjani. Bilang gue lebay, tapi gue beneran gak suka ada orang yang nyentuh Anjani. Kalau lo ganggu Anjani, siap-siap gue bales. Gak perlu nunggu hukum alam, gue yang bakal ngehukum orang-orang itu.

Oleh karena itu, hari ini gue stay di samping Anjani setelah omongan Mada yang bilang kalau Stella itu bisa ngelakuin apa aja kalau udah gak suka sama orang. Gue lihat juga Kavi ngelakuin hal yang sama kayak gue, dia daritadi sibuk bujuk Bre supaya gak usah keluar kelas. Tapi Bre itu orangnya emang gak kenal takut, dia bilang lebih takut kelaperan dibanding takut sama Stella. Gue juga gak terlalu khawatir sih karena Bre itu ikut banyak olahraga bela diri. Judo, silat, taekwondo, muay thai, semua dia ikutin. Gue juga gak paham gimana cara dia bagi waktu antara semua itu tapi yang jelas Bre itu jauh lebih kuat dibanding penampilannya.

Akhirnya Bre ngalah dan nurut sama Kavi yang sekarang lagi ke kantin sama Mada buat beliin dia nasi goreng. Sedangkan gue udah nyiapin dua kotak bekel buatan Mama buat gue makan bareng Anjani. Dia natap gue datar, kayak mau protes tapi dia juga udah males. Di dalemnya ada makanan sehat ala Mama, Anjani juga tau rasanya karena Mama sering bawain buat dia. Istirahat hari ini berjalan kayak biasanya sampai gue denger pintu kelas gue dipukul-pukul dari luar.

Muncul deh Stella dan antek-anteknya. Jalan sambil masang muka sok galak dan berhenti natap Bre dan Anjani yang duduk di sebelah kiri gue. Gue liat ke arah tangan gue yang dipegang sama tangan dingin Anjani. Gue tau dia takut karena kejadian waktu itu, tapi dia gak nunduk sama sekali, dia malah ngeliat ke arah Stella yang sekarang teriak-teriak nyamperin tempat duduk kami. Bre? Jangan ditanya dia udah natap Stella dengan tatapan jijiknya.

“LO BERDUA KAN YANG KEMAREN BERANI NGELAWAN GUE?!!” teriaknya ke arah Bre dan Anjani. Di belakangnya ada tiga orang cewek yang dandanannya sama kayak dia, rok dan baju dikecilin, bibir merah, dan rambut yang diwarnain coklat gelap.

Duh, kenapa ya cewek kayak gini tuh masih exist. GUE MUAK.

“Ngelawan apaan dah? Emang kita tonjok-tonjokan?” jawab Bre sambil senyum ngeremehin Stella. Nah ini yang gue bilang kalau gue gak terlalu khawatir sama Bre, ya soalnya dia bisa bela dirinya sendiri.

Jelas Stella langsung melotot mau ngamuk. Dia berkacak pinggang depan gue, seakan nyuruh gue minggir supaya dia bisa leluasa nunjuk-nunjuk muka Bre dan Anjani yang emang duduk di deket tembok. Tapi gue enggan minggir, enak aja lu.

“Lo gak paham aturan emang? Masih kelas 11 aja belagu! Ngapain lo pake liptint di sekolah? Ngecilin rok segala lagi, MAU JADI JAGOAN?!!!”

“LAH LO JUGA NGACA DONG! DANDANAN LO JUGA GAK LEBIH BAGUS DARI GUE KALI!” balas Bre dengan nada mulai meninggi.

Gue nyium bau-bau pertempuran.

“LO!” Stella nunjuk ke arah Bre dengan muka merah nahan emosi. Terus detik berikutnya dia narik rambut panjang Bre ke belakang bikin kepala Bre kebentur di tembok belakangnya. “LO TUH GUE LIAT-LIAT SELALU SOK CANTIK TAU GAK?! CEWEK BEGO GAK BENER KAYAK LO TUH GAK USAH BANYAK GAYA! BAWA LIPTINT DIOR KE SEKOLAH, LO MAU PAMER LO ORANG KAYA?! HAH???”

Gue sama Anjani udah berdiri buat bantu Bre tapi gerakan Bre lebih cepet. Dia melintir pergelangan tangan kanan Stella dengan tangan kirinya. Tangan kanannya ngerapihin rambutnya. Stella jerit-jerit kesakitan, temennya ikut bantu buat ngelepasin tangan Bre tapi nyatanya tu cewek jauh lebih kuat dari tiga orang itu.

Anjani ngeliat gue dan kami berdua nahan tawa terus kembali duduk. Siklusnya tuh, temen Stella jambak rambut Bre atau narik seragamnya, nanti tangannya diplintir terus didorong sama Bre. Terus nanti temennya yang lain ngelakuin hal yang sama tapi kejadiannya ngulang lagi. Jadi kayak percuma aja empat cewek itu berusaha nyakitin Bre, karena Bre aja bisa megang dua pergelangan tangan mereka dengan satu tangan.

Kavi sama Mada dateng. Mereka melotot panik mau bantu tapi berhenti di tengah jalan pas liat Bre bisa handle semuanya sendiri. Jadi mereka cuma nyamperin meja gue dan Anjani yang posisinya di belakang meja Bre. Kami berempat ngeliatin pertarungan aneh itu sampe akhirnya Bre capek dan berdiri dari posisi duduknya. Iya, daritadi dia melintir tangan empat orang tuh sambil duduk, gokil kan?

“DUUUHHHH, MAU SAMPE KAPAN DAH LU PADA GUE PELINTIRIN?! GUE MAU MAKAN ANJIIIRR!!”

Stella dan temennya itu berhenti dan natap Bre kesel sekaligus takut. “Pertarungan” barusan itu cuma bikin mereka diliatin sama temen-temen kelas gue doang. Yang seragamnya berantakan juga cuma mereka, Bre masih rapih karena sebelum mereka berhasil narik juga tangannya udah dipelintir.

Bre buang napas kasar. “Nih ya, gue dari awal gak mau pake cara kasar dan mempermalukan lu semua di depan anak-anak kelas gue, tapi lu sendiri yang dateng-dateng ribut nyerang gue dan temen gue cuma karena masalah sepele. Gini deh, Kak, mendingan kita ngurus urusan masing-masing aja. Ngapain sih peduli banget gue pake liptint atau seragam gue dikecilin? Toh dandanan kalian gak ada bedanya. Kalo mau bilang ngelanggar peraturan, ya berarti kita sama-sama ngelanggar, simple kan? Udah lah, mending lu pada makan sana, keburu bel abis, gue laper nih!” ucapnya.

Gengnya Stella itu keliatan jengkel abis tapi gak tau mau bales apa soalnya udah di-skakmat sama Bre. Mereka akhirnya keluar kelas sambil misuh-misuh. Bre balik badan, ngeliat kami ber-empat yang udah tepuk tangan sambil muji-muji dia terus ketawa.

Bre ngeliat ke arah Anjani terus nepuk pundaknya pelan, “Tenang, Jan, selama ada Breanni semuanya aman,” katanya seakan tau kalau Anjani cuma pura-pura gak takut sejak tadi. Gue diem-diem senyum, tersadar kalau yang jagain Anjani bukan cuma gue sekarang, tapi seluruh sahabat gue yang lain.


Pernah gak sih gue mention tentang hubungan gue dan Askar ini? Kadang kalau orang nanya hubungan macam apa di antara gue dan Askar, ya gue cuma jawab temen dari kecil. Karena nyatanya emang Mama dia dan Bunda gue udah suka ngobrol bareng pas hamil kami yang jaraknya cuma beberapa bulan. Tetanggaan juga bikin kami sering main bareng. Karena gue gak mau kehilangan Askar and vice versa, kami gak pernah putus komunikasi walaupun udah bukan tetanggaan lagi.

Tapi kadang, jawaban kalo kami cuma sahabat tuh gak dipercaya. Mereka selalu bilang gue sama Askar kayak kembar yang gak pernah pisah, kayak sodara tapi bukan, kayak pacaran tapi juga bukan. Jadi tiap pergi kemana aja dan lagi beli jajanan, pasti yang ditanya, 'Pacarnya ya, Mas?', atau 'Cowoknya ya, Neng?'. Saking capeknya jelasin kalo kita cuma temen, gue sama Askar kadang cuma ngangguk aja.

Kalau ditanya bosen gak sama Askar terus? Gue bakal jawab enggak. Ya karena temenan sama Askar tuh seru. Gangguin dia waktu lagi belajar terus ujungnya gue yang disemprot dan disuruh ngerjain soal. Atau ngambil kuning telur bagiannya dan ngasih putih telur punya gue. Terus juga ngasih dia kulit ayam karena gue benci kulit ayam dan dia ngasih gue dagingnya. Banyak hal-hal kecil antara gue dan dia yang udah dari sananya terhubung. Jadi kalau kami pisah, gue gak tau harus ngasih putih telur dan kulit ayam ke siapa.

Askar ini tumbuh di dalam keluarga yang emang mementingkan manner banget, jadi dari kecil udah sopan. Kata tolong, maaf, terima kasih udah jadi temen baiknya. Sebuah kebiasaan yang bawa dampak positif buat gue dan temen-temen gue. Pernah waktu itu Bre duduk di kursi dengan kaki diangkat ke atas, pas Askar liat kakinya langsung digebuk suruh turun. Terus pernah juga Kavi ditanya sama orang asing tentang arah jalan, dia nunjuk arah pake jari telunjuk. Waktu orangnya pergi, Kavi juga digebuk sama Askar. Dia bilang kalau nunjuk arah apalagi ke orang yang lebih tua biasain pake jempol. Jadi bisa dibilang Askar ini perannya kayak ibu-ibu yang suka ngomel sama semua hal yang dilakuin anak-anaknya karena emang anaknya kagak waras semua.

Sekarang dia berdiri di depan gue setelah turun dari motor vespa matic warna hitamnya. Askar paling paham kalo gue gak suka ditinggal sendirian di rumah. Makanya setiap yang lain pada pergi, dia selalu nyamper gue buat ngajak main. Sekarang gue gak dalam mood buat main sebenernya, tapi gue juga gak mood buat diem di kamar setelah diomelin di grup chat sama Ayah gue, ngerti kan?

“Jelek lu kalo cemberut sumpah,” katanya sambil ngasih gue helm warna putih yang KAYAKNYA sih udah jadi hak milik gue karena Mbak Sara jarang make soalnya dia ke kampus naik mobil sendiri.

“Brisik.” Gue natap dia kesel. Dia ngiketin rambut panjang gue dengan ikat rambut yang selalu ada di pergelangan tangannya. Itu punya gue tapi gue titipin ke dia. Jadi kalo suatu saat putus satu, gue punya cadangan.

Setelah dia iketin rambut gue, helm tadi dia pasangin di kepala gue padahal gue juga bisa sendiri. DUH, pokoknya Askar ini selalu memperlakukan gue kayak anak kecil yang perlu bantuan dalam segala hal terutama hal-hal sepele begini! Ya.... gak nyebelin banget tapi kalo dipikir nyebelin juga gak sih?! Kayak, gue juga bisa ngurus diri gue sendiri plis??

Gue malem itu gak tau mau dibawa kemana. Pertamanya kami mampir dulu ke masjid soalnya si Askar belom solat maghrib. Ya gue omelin aja, ngapain dia buru-buru ke rumah gue sampe meninggalkan kewajiban????

Abis itu dia bawa gue ke pasar malem yang gue sendiri kaget ternyata ada di deket komplek rumah gue. “Kok gue baru tau sih ada pasar malem?” tanya gue ke dia setelah parkir motor.

“Ya elu mainnya kurang jauh.”

Gue mendelik dan jalan sambil gandengan sama dia. Dia genggem gue kenceng banget soalnya lagi rame banyak orang. Karena gak ada satupun dari kami yang udah makan malem, kami mutusin buat makan di salah satu warung pecel ayam sama seafood gitu.

“Ayam bakar satu, tapi jangan terlalu gosong ya, Mas. Terus ayam goreng satu digoreng kering kulitnya. Cumi asem manis satu, nasinya nasi putih aja, sama es teh manisnya dua.” ucapnya.

Askar juga punya job desk buat mesenin makanan kalo lagi makan di luar gini. Dia juga yang hafal kalo gue gak bisa makan kulit ayam jadi kadang kulitnya diminta goreng kering buat dia nanti. Bahkan dia hafal Kavi gak suka tomat di burgernya, Mada gak doyan timun di nasgor, atau Bre yang suka nambah sambel di ayam gepuknya.

Sekarang udah ngerti kan seberapa teliti dan mengayominya Askar ini?

“Eh gue ada cerita horor deh,” katanya terus naro ponselnya di meja.

“Apa?”

“Kemaren malem di rumah kan cuma ada gue sama Mbak Sara doang ya, dia lagi ngerjain tugas kuliahnya di halaman belakang. Dia manggil-manggil gue mulu anjrit nyuruuuuhhh mulu padahal gue lagi main game. 'Dek, ambilin minum', 'Dek, ambilin pulpen di kamar', 'Dek, bikinin mi dong', POKOKNYA NYURUH MULU!!”

Gue terkekeh terus dia lanjut cerita. “Akhirnya karena gue kesel, abis bikinin mi dia minta isiin gelasnya lagi kan, gue taro mainan laba-laba gue di gelasnya terus langsung kabur ke kamar.”

Gue melotot. “Mbak Sara kan takut laba-laba?!?!???”

“MAKANYA GUE LANGSUNG KABUR!! Bisa dilempar sendal gue.”

“Emang Mbak Sara belom sadar pas lu taro gelasnya?”

“Belom.” Obrolan terhenti sebentar karena makanan udah dateng. “Terus bagian horornya dimana?” tanya gue.

“Horornya, kan gue mandi di atas. Mbak Sara abis kaget katanya dia nyamperin gue ke dapur soalnya dia denger suara ORANG LARI!!”

“LAH ITU SIAPA?!”

“GAK TAU!! Mbak Sara udah teriak-teriak ngomel terus pas sampe dalem gak ada orang dia langsung kicep. Dia panggilin gue kemana-mana tapi katanya gak ada. Akhirnya gara-gara dia takut, dia teriak-teriak manggil gue di depan pintu kamar. LU BAYANGIN GUE BARU KELUAR KAMAR MANDI TERUS DENGER PINTU GUE DIGEDOR-GEDOR GIMANA GAK PANIK?!! GUE KIRA ADA KEBAKARAN!”

“Terus terus?”

“Nah abis pake baju gue buka pintunya, eh Mbak malah teriak terus ngeliat gue sambil nanya, 'KAMU BENERAN ADEK KAN? BUKAN SETAN?!?!', JELAS GUE SHOCK LAH!”

Dia ngejeda sebentar buat nyeruput es tehnya terus balik cerita. “Gue jawab aja, 'YA IYALAH!!' tapi Mbak malah nepok-nepok pipi gue terus nyubit tangan gue cuma buat mastiin kalo gue beneran orang. Abis itu dia cerita kalo tadi dia denger suara orang lari yang dia kira itu gue tapi ternyata bukan. NAH NYEBELINNYA, dia ninggalin laptopnya di halaman belakang terus nyuruh gue yang ambil. ANJRIIITTT LANGSUNG MISUH-MISUH LAH GUE!!”

“Lah emang lu takut setan?”

“Ya... takut dikit.”

“Terus ketemu gak sama setannya?”

“KAGAK. Padahal kalo ketemu tadinya mau gue ajak by one.”

Gue mencemooh. “Lu didatengin beneran paling nangis, Kar.”

“Gapapa gue punya Allah,” balasnya sambil nepok-nepok dada.

Pada akhirnya, Askar selalu punya cara sendiri buat bikin gue lupa sama masalah-masalah gue buat sementara. Cara uniknya buat alihin perhatian gue sama hal-hal yang nakutin juga selalu berhasil bikin gue merasa lebih baik. Jadi sebenernya gak ada alasan buat gue gak bersyukur punya sahabat kayak Askar. Cuma kalau dia lagi kayak gini....

“Eh tapi lu tau cara buat ngusir setan gak, Jan?”

CAPEK DEHHHHHH.


Lo pernah capek gak sih punya temen gila kayak Bre dan Kavi?

Well, kalau temen lo gak ada yang gila kayak dua orang itu mendingan bersyukur sekarang juga. Karena, terhitung empat tahun gue kenal sama mereka, udah gak terhitung berapa kali mereka dipanggil BK karena tingkah abnormalnya.

Jadi gue dan Anjani masuk di SMP yang sama dan ketemu sama Bre, Kavi, dan Mada disana. Awalnya banget itu karena gue dan Anjani beda kelas MOS, jadi mengharuskan kami buat pisah. Karena itu gue jadi orang cengo sendirian di kelas, gak ada yang ngajak ngobrol karena gak ada yang gue kenal. Terus tiba-tiba dateng deh anak cowok yang gayanya kayak jamet nyentrik di tengah-tengah kepala sekolah ngasih sambutan di kelas MOS gue. Iya, itu Kavi yang telat dateng MOS hari pertama dengan alasan banjir padahal hari itu cerah banget dan semalem juga gak hujan sama sekali. Pas ditanya, “Banjir dimana?”, dia malah jawab, “Di bantal saya, Pak.” alias sebenernya dia cuma ngiler dan telat bangun.

Waktu itu yang kosong ada dua bangku, gue duduk sendiri di belakang. Kavi langsung jalan ke sebelah gue dan nepuk bahu gue sok akrab. Jujur gue agak ngeri karena tingkahnya kayak anak bandel. Tapi asumsi gue musnah waktu jam istirahat gue liat dia bawa kotak bekel gambar Upin-Ipin dan tiga kotak susu ultra mimi. Dia bagi gue satu kotak dan gue terima dengan senang hati. Habis itu dia langsung ngebacot nanya nama, tempat tinggal, nem UN, tinggi badan, berat badan, pokoknya semua dia tanyain. Gue juga waktu itu dengan bodohnya jawab pertanyaannya dengan lengkap. Waktu di rumah gue baru sadar gue bisa aja dijual sama Kavi karena dia nanya data diri gue lengkap banget.

Waktu jam istirahat, gue ngechat Anjani buat masuk ke kelas gue dan makan bekel bareng. Turns out dia dateng dengan anak cewek tinggi lebih dari 20 cm di atasnya dengan rambut panjang berponi. Yang buat gue cengo waktu itu, poninya diwarnain jadi warna neon dan potongan rambutnya tuh gak beraturan panjang pendeknya. Sebelah kiri lebih pendek sedagu tapi sebelah kanannya enggak. Iya, itu Bre alias Breanni.

Dia mungkin ngerti sama muka cengo gue dan Kavi jadi sebelum kenalan dia bilang kalau rambutnya buat keperluan photoshoot yang dia jalanin dari kecil. Ya emang kalau diliat Bre itu cantik banget. Wajar dia udah ditawarin jadi model. Katanya orang tuanya udah dateng ke sekolah dan jelasin kalau dia izin pake model rambut nyentrik itu selama seminggu awal sekolah SMPnya. Gue jujur khawatir dia dilabrak kakel waktu itu, tapi satu kejadian bikin gue menghilangkan rasa khawatir itu. Bre pernah digangguin sama kakel cowok waktu berkeliaran dengan rambutnya itu dan dia malah nendang perut kakel itu sampai mental ke belakang. Dia gak disalahin karena kakel itu emang kurang ajar karena nyolek pipinya sembarangan.

Gue udah mikir kalau pertemanan gue dengan Bre dan Kavi bakal hangus kalau kami udah pindah ke kelas tetap dan gak sekelas lagi. Tapi nyatanya malah makin erat waktu di hari kedua MOS. Mada waktu itu dateng di hari kedua. Duduk di satu bangku kosong yang tersisa di kelas gue. Dia bilang kemarin dia diare jadinya gak bisa dateng. Mada waktu itu minta gue dan Kavi buat anterin dia ke toilet karena dia gak tau jalannya. Tapi karena gue dan Kavi kebanyakan ngobrol sama Bre dan Anjani, dia justru buang air di celana. Jelas aja kejadian gak terduga itu dilimpahkan salahnya ke gue dan Kavi.

Yang gue inget waktu itu Kavi minjemin celananya ke Mada yang bikin dia jadi hampir keserimpet karena celananya kepanjangan. Karena Kavi ngerasa bersalah, dia rela pakai sarung dengan dalaman celana boxer doang seharian. Gue yang ngerasa bersalah juga ngasih ijin Mada buat main PS ke rumah gue kapanpun dia mau.

Karena kejadian itu, gue jadi terjebak di circle pertemanan yang gak bisa dibilang kece tapi justru menyusahkan. Karena sifat mereka kadang di luar nalar dan kayaknya cuma gue yang cukup normal disini. Ibaratnya gue penyeimbang kalau mereka bertindak terlalu bodoh.

Kayak sekarang. Kami berlima lagi berdiri di sekeliling kolam ikan lele milik penjaga sekolah. Kata Anjani ternyata bener, lele itu boleh aja diambil tapi kami emang harus ambil sendiri dan ikannya cuma boleh diambil gak lebih dari enam ekor setiap beberapa bulan sekali. Gue juga sebenernya gak paham kenapa sekolah gue bisa ada kolam ikan lele yang mana gak ada hubungannya dengan kegiatan pembelajaran (atau mungkin ada tapi gue gak tau).

Bre sama Kavi lagi diskusi gimana caranya bisa ngambil lele itu tapi gak basah. Gue, Mada, dan Anjani cuma ngeliatin dari gazebo sambil makan es krim. Hari ini guru-guru lagi kunjungan ke sekolah lain gitu entah ada acara apa, jadi kami masuk sekolah cuma untuk jumat bersih alias ngebabu di sekolah. Kami pakai baju olahraga karena tadi pagi senam, tapi Bre sama Kavi udah ganti atasan dengan kaos hitam.

“Menurut lu berhasil gak kita makan lele hari ini?” tanya gue ke Anjani dan Mada.

“Kata gue sih berhasil. Bre kan berani banget bocahnya,” jawab Anjani.

Mada lewat untuk buang sampah sambil bilang, “Bre mah berani, tapi bocah di sebelahnya emang berani? Kerjaannya teriak-teriak gitu kalo takut. Lu liatin aja dah, paling bentar lagi teriak.”

Ajaibnya kata-kata Mada bener terjadi. Kavi teriak kenceng banget cuma karena ada belalang yang nemplok di kakinya. Sebenernya konsep hidup Kavi tuh terobos aja yang penting ada Bre. Jadi mau segila apapun kelakuan Bre, Kavi bakal tetep ngikutin walau sebenernya dia cemen sama hal-hal menantang.

“Nih, Kav, lu pegangin kaki gue nanti gue nyerok lelenya pake ember.”

“MAKSUDNYA SETENGAH BADAN LU NGEGANTUNG DI ATAS KOLAM?!”

“Iya, makanya pegang yang bener! Soalnya kalo lu lepas nyawa gue taruhannya.”

“ENGGAK!! BAHAYA ANJIRRR GAK MAU AH! GANTI CARA LAIN!”

Kan, baru juga mulai.

“Nih coba pake pengki.” Kavi menyerahkan benda itu ke Bre, menyuruh dia menyerok ikannya ke atas. Kolamnya emang agak jauh dasarnya tapi gak bisa dibilang dalem juga karena airnya mungkin cuma sebetis anak SMA.

Bre nyoba nyerok ikan pake pengki tapi yang ada ikannya loncat lagi ke dalem. Kavi sibuk ngarahin di sebelahnya. “Itu tuh! Kanan dikit, Bre! BUKAN YANG ITU DONGO! Nah iya yang itu, YAHHH ELAH JATOH LAGI.”

“Lu gak jago ah!” omelnya waktu Bre berhenti nyerok sambil ngos-ngosan.

“LU COBA AJA SENDIRI!!”

“Gak deh, takut.” Gue dan yang lain langsung nyorakin dia. Kavi tuh emang demen ngomelin orang tapi pas dicoba dia sendiri juga gak bisa.

Terus berbagai cara dicoba Bre dan Kavi. Sebenernya yang banyak kerja itu Bre, Kavi mah teriak-teriak doang di sebelahnya. Mungkin ada kali 30 menit mereka coba nangkep tapi gak ada yang berhasil. Mada berdiri sambil bawa tas belanjaan Alfamart yang entah isinya apa ke arah mereka.

“Nih,” katanya sambil nyerahin tas itu ke mereka. Kavi nerima dengan muka bingung sedangkan Mada balik duduk di samping gue.

“Apaan itu, Ma?”

“Yang jelas sesuatu yang bermanfaat.”

Gue liat Kavi merogoh ke dalam tas itu dan ngeluarin isinya.

“Bangsat lu, Ma.” Kavi melotot ke Mada kesel. Bre ikut megang itu dan langsung natap Mada tajam dengan mulut terbuka. Botol kosong melayang ke arah Mada yang langsung kena tepat di kepala.

“KENAPA GAK BILANG LU BAWA JARING?!?!!!!”

Gue langsung natap Anjani dan ngakak bareng ngetawain Kavi sama Bre yang dikerjain sama Mada. Jadi ternyata Mada bawa alat jaring gitu buat nangkep ikan. Yang ada gagangnya itu lohh nanti kita tinggal nyerok aja ke kolam terus dapet deh ikannya.

Mada cuma cengengesan dan lanjut makan snack sambil liatin Bre dan Kavi yang kembali ribut milihin ikan lele.

Akhirnya setelah seribu purnama dapet juga enam ikan lele di tangan. Niatnya satu ikan bakal kita kasih ke Mang Asep, itung-itung tanda terima kasih karena udah bolehin ambil lele miliknya.

Semalem udah dibagi tugas siapa yang bawa bumbu-bumbunya. Sekarang gue sama Anjani lagi ongkang-ongkang kaki di kantin, ngeliatin Bre yang lagi jongkok nyuci ikan dengan Kavi yang pasti ada di sampingnya. Mada cuma ngeliatin dari jarak beberapa langkah sambil ngasih instruksi ke Bre karena dia jago nyuci ikan tapi dia gak mau megang ikannya karena amis.

“Lu jago masak kan, Jan?” tanya Bre sambil bawa-bawa baskom lele yang udah bersih.

Anjani ngangguk, ngasih permen kaki yang baru dia emut ke gue. “Sini gue yang bumbuin.”

Gue cuma ngangkat bahu dan ngabisin sisa permen Anjani. Mada dan Kavi duduk di deket gue, biarin dua cewek itu masak lelenya dengan numpang di penjual ayam goreng kantin yang namanya Mpok Wati.

“Ciuman dah lu sama Anjani.” Gue hampir keselek ludah pas Kavi ngomong gitu sambil goleran di lantai deket kaki gue.

“Hah?”

“Ya itu, permen bekas dia lu emut. Ciuman kan?”

Oh wow bener juga. Gue selama bertahun-tahun gak pernah kepikiran kalo secara gak langsung gue sama Anjani udah sharing makanan dan minuman dengan wadah yang sama.......

Oh shit.... Gue gak mau first kiss gue Anjani............


Gue Askara. Biasanya sih cuma dipanggil Askar. Gue punya temen yang seumur hidupnya cuma dihabiskan sama gue. Namanya Anjani. Jadi singkat cerita kenapa gue dan dia bisa lengket kayak lem Korea gini tuh, dulu rumah kita sebelahan. Asli sebelahan sampai gue sama dia kalau lagi buka jendela kamar tuh bisa ngobrol. Pokoknya deket. Lu gak perlu effort buat ketemu Jani.

Terus sekitar kelas tujuh SMP, Jani pindah ke komplek lain. Alasannya karena rumah yang di sebelah rumah gue mau dikasih ke omnya. Sekarang yang nempatin emang omnya Jani dan keluarga kecilnya. Jujur gue agak sedih waktu Jani pindah karena gak ada yang bisa gue panggilin dari jendela lagi. Kadang kalau udah malem kita suka ngobrol tanpa suara pakai papan tulis kecil gitu. Kalau pernah nonton MV Taylor Swift yang You Belong With Me pasti kebayang deh.

Tapi pindah rumah gak bikin gue sama Jani lepas gitu aja. Nyatanya kami selalu ketemu di sekolah di kelas yang sama dan SEBANGKU selama bertahun-tahun. Kayaknya emang Tuhan gak ada niatan buat misahin gue sama Jani. Gue sih gak masalah, justru kalau Jani lepas dari pandangan gue, gue yang ketar-ketir.

Dalam artian, Jani tuh nyerempet tolol. Duh maaf tapi beneran ini gak lebay. Jalanan Jakarta bagi dia tuh kayak labirin yang gak bakal bisa dia selesaiin. Dia gak hafal jalanan sama sekali dan dia gak ngerti caranya pergi dari satu tempat ke tempat lain tanpa nyasar. Mau gak mau gue selalu pergi sama dia kemanapun dan kapanpun. Dan sekali lagi, gue gak masalah.

Bagi gue waktu sama Jani tuh selalu seru. Gak pernah gak seru. Justru kalau gak ada Jani rasanya kurang. Kayak makan rujak tanpa sambel atau makan kentang goreng tanpa saos. Gak lengkap.

Sekarang gue lagi jalan sama dia. Langkah kami sejajar. Sesuai rencana, gue sama dia mau main Timezone di salah satu mall deket sekolah. Sebelum masuk mall kami ganti atasan supaya gak ketauan dari SMA mana. Sebenernya gue udah ajak Kavi, Bre, sama Mada. Tapi manusia itu pada sok sibuk. Kavi emang mau sparing futsal, Bre katanya ada latihan taekwondo, terus Mada mau jalan sama abangnya.

Alhasil gue jadi pengamat Jani yang lagi sibuk main mesin capit boneka. Entah udah berapa kali dia gesek kartu ke mesinnya tapi bonekanya jatoh terus. Gue yang liat jadi emosi.

“Lo salah ngincer bego, kejauhan yang itu mah.” Gue akhirnya protes. Jani masih pose mikir dengan tangan di dagu. Kalau keseriusan ini dia pakai buat belajar mungkin dia udah ngalahin gue yang ranking satu ini.

“Maksud gue tuh biar gelinding gitu, Kar.”

Gue cuma ngangguk dan biarin Jani main lagi. Tapi Jani tuh emang jarang beruntung, jadi yang ada kami buang-buang duit lagi. Gue akhirnya menyita kartu itu dari tangan Jani. Kalau dibiarin bisa selesai besok ini.

“KOK DIAMBIL?!”

“Sini gue yang main! Kalo lu yang main duitnya cuma lu sedekahin ke mesin capit!”

Gue menggesekkan kartu untuk memulai permainan. Sebenernya dari tadi gue udah nemu yang menurut gue bisa diambil tapi Jani gak mau dengerin. Akhirnya gue coba pencet tombol buat ngambil. Bener aja, begitu capitannya turun, boneka kelinci itu langsung masuk ke lubang. Gue menatap Anjani yang cengo.

“Kan, ini tuh bukan soal gelinding atau enggak tapi soal otak,” ucap gue sambil mengetuk pelipis. Gue berjongkok untuk mengambil boneka dan memberikannya pada Jani.

“Nih, bawa.” Dia menerima dengan muka cemberut. Mungkin pikirnya hidup dia sia-sia karena gue berhasil dalam sekali coba.

Gue merangkulnya untuk beralih ke permainan lain. Dan emang udah bisa ditebak Anjani itu payah dalam permainan yang butuh fokus dan strategi. Dia cuma bisa berhasil di permainan buat bocah yang nyemprot air gitu sama getok-getok buaya yang nongol itu. Terakhir kami foto di photobox-nya Timezone.

Udah, sebenernya gitu doang kegiatan main gue sama dia. Gak ada yang spesial tapi gak bisa dibilang membosankan juga soalnya main sama Jani selalu seru kayak yang gue bilang. Bukan seru yang ngakak abis tapi seru yang bisa bikin lo senyum sebelum tidur karena inget hal-hal kecil waktu jalan sama dia. Misal kayak sekarang, Jani makan es krim belepotan sampai netes ke bajunya yang sialnya, warna putih.

Dia merengek minta gue bantu dia buat bersihin noda itu tapi gue juga gak bakat membersihkan sesuatu. Jadi gue justru malah nyiram bajunya dengan air mineral yang SUPER BANYAK. Jelas aja dia makin teriak dan mukanya kayak mau nangis karena itu baju kesukaannya.

“ASKAARRRRR GIMANA INIIII?!!”

Gue juga ikut panik asal lu tau. Akhirnya gue langsung buka hoodie warna hitam gue. Kebetulan gue pakai kaos putih di dalamnya. “Nih, lo ganti baju mending, nanti malah masuk angin.”

Dia kelihatan mau protes tapi gak jadi. Akhirnya dia nyuruh gue buat megangin cup es krimnya dan masuk ke toilet. Gue cuma bisa nyender di dinding sambil ngejilat es krim milik gue. Gak lama dia keluar dengan hoodie kebesaran milik gue.

Gue ketawa. “Lo kayak tenggelem dah, Jan.”

“DIEM!!”

Gue lalu menyuruh Jani memasukkan bajunya ke dalam tas gue. Biar gue cuci di rumah. Hitung-hitung permintaan maaf karena malah guyur dia di tengah mall.

Dia jalan sambil gandeng tangan gue. Kebiasaannya selama bertahun-tahun. Katanya, dia kalau diajak ke pasar sama Bundanya selalu kesesat karena gak gandengan di tengah orang ramai. Jadinya dia gandeng seluruh orang yang lagi jalan sama dia kecuali orang yang baru dikenal dan orang-orang yang gue larang. Maksudnya gue larang ya.... yang red flag menurut gue. Alias semua cowok selain Kavi dan Mada. Gak usah dijelasin lah ya kenapa red flag-nya.

“Beneran gapapa emang ya kalo gue seumur hidup nebeng lu mulu?” katanya tiba-tiba. Topik yang aneh banget dibawa waktu makan es krim gini.

“Emang bakal seumur hidup? Kalo lu nikah atau gue nikah emangnya bakal tetep gue tebengin?” tanya gue balik.

Dia kelihatan mikir sebentar. “Bukannya kita nikah nanti?” Gue melotot lah jelas.

“Pede bener lu! Kagak ada!”

“Kenapa? Lu gak suka sama gue emang?”

Hmm... Pertanyaan sulit. Maksud gue sulit dalam artian, ya gue suka sama Anjani, tapi bukan suka yang tergila-gila sayang banget gitu bukan.

“Emangnya lu suka sama gue?” Gue malah melempar pertanyaannya balik ke dia.

Lagi-lagi dia mikir. “Ya suka aja sih... Nikah kalo udah suka mah bisa kan? Orang nikah gak saling kenal aja bisa.”

Gue memutarkan bola mata jengah. Otaknya Jani cuma separo kayaknya. Atau setengah sendok teh kali ya. “Ya gak gitu konsepnya! Nikah ya harus saling sayang, saling kenal, saling cinta dulu. Ya at least buat gue sih.. Soalnya gue gak mau nikah sama yang gak gue kenal. Bisa gila gue.”

“Lah kita udah memenuhi kriteria, Kar. Udah saling kenal dari bayi, udah saling sayang, udah saling cin—”

“KATA SIAPA?!”

“Iya sih kalo yang itu belom.”

Gue memicingkan mata. “Omongan lu udah jauh banget deh gue pusing bayanginnya. Masuk PTN aja belom tentu ini lagi lu ngomongin nikah.”

“Ya gue sih mau merencanakan aja soalnya gue males kenalan sama orang baru.”

“Jadi lu minta gue nikahin lu karena lu MALES?!”

“Iya.”

Gue udah lelah. Bisa tolong skip aja gak bagian hidup yang ini?


Lo tau gak sih apa yang bikin gue marah sampai dipanggil BK gini?

Jadi tadi gue ke toilet waktu bel istirahat. Sendiri. Misel sama Haris duluan ke kantin, Joan masih di ruang OSIS seperti biasa. Gue ke toilet lantai 1 yang hari ini lagi gak terlalu rame.

Pas gue lagi di bilik toilet, gue denger ada orang yang ngobrol. Sebenernya mungkin niat mereka bisik-bisik, cuma anehnya emang suara mereka kenceng.

“Lo liat gak sih chat Joan di grup OSIS semalem? Gak jelas banget anjir.”

Oh tentu nama itu bikin gue rela berdiri di balik pintu walaupun kegiatan gue udah selesai. Gue melipat tangan di belakang pintu, pasang kuping lebar-lebar.

“Dia tuh pinter tapi kadang tolol sumpah. Prokernya tuh banyak banget dan sok ambis anjir. Gue nyesel dia yang menang. Mungkin kalo yang menang Farid kita masih bisa santai anjir.” Gitu kata anak sialan ini.

Gue jujur gak tau siapa dia, gak terlalu peduli juga. Suaranya gak gue kenal sama sekali. Yang jelas dia anak OSIS aja.

“Makanya, gue aja kemaren cabut dari rapat. Dia tiap rapat tuh ngomelllll mulu, bilangnya kinerja kita kurang, dana kita kurang, blablabla. Gue capek anjir gue hidup bukan buat OSIS doang.”

“Terus akhirnya dia ngerjain sendiri gak sih? Kata Jihan tuh Joan kalo kita gak dateng bakal ngerjain semuanya sendiri.”

Oalah si brengsek ini yang bikin pacar gue sibuk sana-sini.

“Kalo gitu kita gak usah kerja gak sih? Toh nanti bakal dikerjain sendiri sama dia hahahahaa.”

Wah jujur gue udah gak bisa nahan emosi lagi. Alhasil gue keluar bilik dengan muka emosi. Tapi gue gak ngeliat ke arah mereka. Gue berjalan ke wastafel, cuci tangan dengan BAR-BAR sampai airnya nyiprat semua ke mereka. Emang sengaja juga sih, orang-orang gak tau diri kayak gini malah cocoknya di ceburin ke combrean depan sekolah.

Gue mengabaikan mereka yang teriak-teriak minta gue buat berhenti. Akibatnya dia narik bahu gue nampar gue kenceng banget. Tentu gue kaget. Gue nge-freeze, berusaha mencerna kejadian barusan. Si cewek ini keliatan kaget sama aksinya sendiri.

“Kay!” Suara Misellia menyadarkan gue. Kayaknya dia nyusul ke toilet karena gue makan waktu lebih lama dari biasanya. Dia nyamperin gue dan nanya, “Lo gapapa?”

Gue cuma diam, kemudian ngelirik dua cewek itu sinis. “Lo apa-apaan sih main nampar orang aja?!” Misel keliatan emosi.

Cewek yang rambutnya pendek sebahu itu gelagapan tapi mau tetap keliatan galak. “Dia duluan yang nyipratin air ke gue! Liat aja nih baju gue! Basah semua!”

Well, emang bajunya basah sih. Tapi gak sebanding sama apa yang udah mereka bicarain tentang Joan.

“Masih untung cuma air, belom pernah gue ceburin ke got depan sekolah kan lu?” balas gue kesal. Dia malah melotot.

“Gue gak nyari masalah sama lo ya! Tiba-tiba lo nyipratin gue sama temen gue!” katanya sambil nunjuk-nunjuk muka gue.

Tampaknya suara dia yang kenceng ini bikin beberapa cewek ikut masuk untuk liat keributan. Letak toilet emang dekat dengan kantin.

“Lo ngomongin Joan kayak gitu lo kira gue gak denger? Nyadar goblok lo yang salah! Joan udah ngurusin OSIS mati-matian tapi anggotanya malah sengaja bolos dan ngelimpahin semua ke ketuanya. Lo ngotak dong!” teriak gue gak kalah kencang.

Dia keliatan malu, jadi dia jambak rambut gue kenceng. JELAS GUE GAK TERIMA. Gue balas jambak rambutnya gak kalah kenceng. Temennya yang satu lagi juga ikut narik seragam gue. Misel berusaha ngelepasin mereka tapi dia malah didorong kenceng ke belakang.

Mungkin ada kali 2 menit kami saling teriak dan jambak satu sama lain. Sampai akhirnya suara Haris masuk ke toilet dan dia bawa gue keluar. Gue tentu masih ngeluarin sumpah serapah gue ke dua orang tadi.

“KAY! UDAH!” bentaknya karena gue masih maki-maki sampai udah keluar toilet.

Gue mengatur napas. Melihat sekeliling, semua udah ngerubungin pintu masuk toilet karena penasaran. Gak lama ada guru BK gue datang dan menatap gue sinis. “Kayana, ikut saya ke ruang BK.”

Jadi begitu ceritanya kenapa gue bisa ada di ruang BK. Gue udah menceritakan semua kejadian runtutnya. Gue gak peduli mau nilai gue dikurangin atau apa. Yang jelas gue udah puas jambakin rambut dua cewek itu. Pas disebut Bu Patmi, ternyata namanya Sella sama Mia. Gue baru tau. Mereka gak terkenal juga sih.

Keputusan dari BK adalah gue yang mulai duluan. Gue sebenarnya juga mengakui gue yang mancing keributan, tapi harus ya semua guru nutup mata kalau gue ditampar sampai pipi gue masih membekas merah gini?

Gue menghela napas, nunggu keputusan hukuman gue. Katanya Bu Patmi mau ngomongin dulu sama wali kelas gue dan wali kelas Sella Mia itu. Gue mengedarkan pandangan ke ruang BK yang AC-nya super dingin. Di papan tulisnya ada tanggal-tanggal prediksi SNMPTN dan SBMPTN tahun ini.

Pintu ruangan dibuka. Sesaat gue kira itu Bu Patmi, tapi ternyata Joan. Gue berdiri dari duduk gue dan senyum ke arahnya.

“Hai,” sapa gue.

Dia kelihatan khawatir tapi air mukanya gak bersahabat. Dia ngelus pipi gue yang masih merah perih. Tanpa bilang apa-apa dia bawa kompres es dan nuntun tangan gue buat megang itu sendiri.

“Kenapa lo belain gue segitunya sih, Kay?”

Senyum gue memudar. Nadanya dingin, pertanda dia serius. Matanya keliatan marah, tapi entah marah untuk siapa. Dia gak natap gue, malah ngasih gue visual sampingnya.

“Maksud lo gimana sih, Jo?”

“Gue denger lo nyipratin mereka karena mereka ngomongin gue.”

“Ya emang. Terus apa masalahnya? Lo pacar gue, Jo, ya jelas gue belain lo.”

“Tapi gak sampe segininya, Kay. Lo jadi kena point dan terancam SP. Lo kalo mau berantem jangan di lingkungan sekolah.”

Gue tertohok. Lalu gue mendengus pelan. “Lo maksudnya nyalahin gue karena belain lo? Mereka ngomongin lo, Jo! Gue yang sakit dengernya!”

“Kalo lo denger harusnya lo tutup kuping aja. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Gak usah dibawa hati. Lagipula bukan lo yang diomongin kok?”

Gue tertawa sinis. “Gila ya. Enteng banget lo ngomong. Gue ngelakuin ini ya karena gue marah lo digituin. Sama halnya lo nonjok Reza karena dia ngatain gue. Apa sih masalahnya?!”

“Urusan gue biar jadi urusan gue, Kay.”

“Dan urusan gue jadi urusan lo gitu? Gak jelas sumpah, Jo. Kalo mau hubungan satu arah mending gak usah sama gue sumpah. Gue maunya hubungan yang 'saling' bukan salah satu doang yang berkorban.”

“Yaudah kalo gitu kita putus aja.”

Kacau.

Lo bisa bayangin gak rasanya jadi gue?

Udah mati-matian belain dia. Kena tampar, kena jambak, kena SP. Tapi yang lo belain malah minta putus kayak gini.

Hidup tuh... bener-bener selalu di luar perkiraan.


TW / harsh words

Kayana hari itu jalanin hari seperti biasa. Duduk di bangku, dengerin guru, ngeladenin Haris yang lagi kasmaran karena jalan sama Misellia, dan juga chat sama pacarnya Joan.

Biasanya mereka menghabiskan waktu istirahat bareng. Kalau biasanya bertiga, kali ini nambah Misellia yang diajakin makan bareng sama Haris. Karena Joan habis dari ruang OSIS, jadinya Haris dan Kayana mampir ke kelas Misellia yang cuma beda 2 pintu dan jalan bareng ke kantin. Kata Joan dia udah dudukin satu meja buat mereka.

Saat lihat pacar dengan bahu bidangnya itu, Kayana langsung melambaikan tangan. Dia gak bisa langsung jalan karena orang-orang di kantin padet banget. Joan balas melambai sambil mamerin giginya.

Tapi detik berikutnya ada hal yang bikin Kayana marah banget. Reza, anak pentolan kelasnya yang punya mulut gak bisa direm dan sok jagoan itu tiba-tiba numpahin es teh ke baju Joan. Kayana liat dengan mata kepalanya sendiri kalau Reza itu sengaja pura-pura kesandung.

Langsung aja dia nerobos kerumunan manusia dan nyamperin Joan yang sekarang bajunya basah kuyup. “Anjing, lo sengaja ya?!” tanya Joan emosi.

Reza langsung nutup mulutnya dengan tangan, pura-pura kaget. Tapi ekspresinya jelas keliatan kalau dia puas dan nahan tawa. “Oops.. Sorry, gak liat ada pak ketos disini.”

Nadanya annoying. Kayana sontak langsung maju, dorong Reza tiba-tiba sampai anaknya sempoyongan. “LO SENGAJA ANJING GUE LIAT!!”

Reza jelas gak terima, dia langsung melotot. “Anak yang kerjaannya nyontek dan nyogok guru mending gak usah bacot!”

“CEWEK GUE GAK NYONTEK ATAU NYOGOK YA BANGSAT, LO KALO NGOMONG PAKE OTAK!” Joan balas teriak gak terima.

Saat ini seluruh atensi kantin ada di mereka. Beberapa ada yang bisik-bisik setelah omongan Reza barusan, beberapa ada yang natap Reza kesal karena tingkahnya gak sopan. Haris sama Misellia yang baru sampai karena kerumunan padat langsung menghampiri Joan dan Kayana. Haris mengajak Joan mundur, takut dia kelepasan dan nonjok Reza kayak beberapa hari lalu. Misellia juga narik Kayana mundur.

“Lo tuh mentang-mentang jadi ketos jadi sok suci anjing, sumpah. Sok mau mimpin sekolah padahal ngurus diri aja gak bener.”

Joan menggertak maju, tapi ditahan sama Haris. “Banyak ngomong lo brengsek, emang lo udah ngasih apa ke sekolah? Ngasih berita kalo SMA kita sama SMA sebelah tawuran gara-gara lo sama geng lo yang banyak gaya itu? IYA?!”

“Gak usah sok tau bangsat! Gue gak pernah mancing tawuran!” kata Reza ngotot. Dalam hati mah panik juga takut tingkahnya ketauan.

“Oh ya? Gue ada tuh rekaman CCTV yang ngerekam lo dan temen-temen lo ngelemparin sampah ke lapangan SMA sebelah minggu kemaren. Mau gue tunjukkin?”

Muka Reza langsung berubah jadi takut. Bukan ini tujuan dia. Tujuannya cuma mau balas dendam ke Joan karena udah nonjok dia beberapa hari lalu. Dia gak bisa lapor ke guru karena Joan ngancem bakal laporan sesuatu tentang tawuran hari Senin kemarin. Dia gak nyangka kalau omongan Joan benar terbukti.

“Gue tadinya mau laporin ini diem-diem ya, Rez, tapi lo yang mancing gue duluan. Biar aja hari ini seluruh warga sekolah tau kalo lo yang selama ini mancing-mancing keributan di SMA kita.”

Para murid langsung bisik-bisik, beberapa ada yang menyindir Reza karena perbuatannya. Joan langsung mengajak Kayana pergi dari itu. Mereka berempat duduk di bangku taman belakang.

“Baju lo basah semua,” ucap Kayana. Joan ikut melirik badannya yang basah. “Gue juga tau ini basah.”

“Bajingan emang Reza.” Haris mengumpat. Sekelas 1 tahun bersama Reza emang bukan mimpi indah.

“Ganti baju dulu yuk, Jo? Ngapain malah ke taman?” Joan menghela napas dan menatap Kayana. Tangannya terulur, mengusap rambut Kayana pelan. “Sorry ya gara-gara gue lo jadi kebawa.”

Kayana berdecih. “Gue gak mikirin juga kali, Jo. Bodo amat Reza mau ngomong apa, dia emang gak jelas dari dulu. Udah mendingan sekarang lo ganti baju. Ayo ke koperasi.”


Kai menundukkan badannya saat membuka pintu penumpang. Bibirnya tersenyum lebar menyapa laki-laki miliknya yang terduduk di kursi pengemudi. Tubuhnya lalu masuk seluruhnya ke dalam mobil.

“Lama gak nunggunya? Tadi catokan aku kurang panas jadi lama deh.” ucapnya beralasan.

Jio menggeleng, tangannya sibuk memakaikan sabuk pengaman di tubuh Kai. “Nggak kok. Lagian mau seberapa lama pun bakal tetep aku tungguin. Mau kamu nyatok sampe dinosaurus hidup terus punah lagi mah aku jabanin, Sayang.”

Kai memutar bola matanya. “Mulai deh, lebaynya keluar...” Jio terkekeh pelan. Kemudian dia sibuk menyalakan mobil untuk segera membawa Kai ke salah satu taman seperti rencananya.

Tangan kiri Jio sibuk mengenggam Kai. Terkadang mengecup punggung tangannya lembut saat jalanan di depannya lengang. Kai beberapa kali mengingatkan untuk fokus ke jalanan tapi tidak pernah didengarkan. Mereka bernyanyi mengikuti lagu yang disetel di radio sore itu. Semua lagunya bertema cinta. Seakan semesta pun mendukung mereka untuk saling berbahagia hari itu.

Usai memarkirkan mobilnya, Jio keluar dan berlari cepat untuk membukakan pintu untuk Kai. Tangan kirinya ditekuk di belakang tubuh, sedangkan tangan kanannya menengadah untuk menyambut tangan Kai. Persis seperti pangeran yang menawarkan seorang putri untuk berdansa.

Keduanya tidak berhenti tersenyum satu sama lain. Taman yang dikunjungi cukup luas, jadi mereka hanya berjalan santai sambil bergandengan tangan. Sesekali saling mengambil gambar untuk kenang-kenangan. Saat menemukan bangku, mereka duduk untuk menikmati angin sore yang berhembus pelan.

Mereka sangat suka mengunjungi taman-taman kota. Sepertinya seluruh kota di Jakarta sudah mereka kunjungi. Mereka senang merasakan angin membelai kulit mereka di bawah pohon-pohon rindang. Terasa sederhana tapi penuh cinta.

Kai menyenderkan kepalanya ke bahu bidang milik Jio. Keduanya menatap ke depan. “Apa kabar kamu sama ayahmu, Kak?” Sore itu Kai yang membuka topik.

“Baik. Jauh lebih baik dibanding tahun-tahun kemarin malah. Aku udah berusaha buat damai sama masa lalu juga. Ayah juga jadi lebih perhatian sama aku. Ada kali dia setiap hari ngechat buat nanya aku udah makan atau belum.”

“Oh ya? Bagus dong. Syukur kalau gitu.”

Jio mengangguk pelan. “Aku seneng banget sama keadaan keluargaku sekarang, Kai. Walaupun gak ada Bunda, tapi rasanya masih sama hangatnya.”

“Kamu hebat berarti. Udah lewatin masa-masa sulit.” Kai bicara sambil mendongak, membuat Jio menggesekkan ujung hidungnya pada hidung Kai. Hidung keduanya mengerut kegelian.

“Kalau kamu gimana? Mami Papi baik?”

“Mereka selalu baik, kok. Mami masih suka arisan kemana-mana dan ngumpul sama temennya. Dan Papi masih suka pergi dinas ke luar kota atau keluar negeri.”

“Kamu gak pernah ngerasa kesepian gitu? Kan keduanya sibuk terus.”

Kai menatap langit, menerawang. “Hmmm.. Kayaknya nggak deh. Karena setiap pulang kita ngehabisin waktu bareng-bareng. Tiap ditinggal sendiri juga Kak Elias selalu nemenin aku di chat atau telfon.”

“Tuh, Elias gak selamanya alpha tau kehadirannya.” celetuk Jio, mengingat Kai pernah bilang kalau Elias tidak pernah ada saat dibutuhkan.

Kai tertawa pelan. “HAHAHA iya sih.”

“Kamu sama Bilal gimana?” tanya Jio.

“Masih sering berantem. Nih, DIA TUH YA, KAK! NYEBELIN BANGET DEH! MASA SEPATU AKU BAWAHNYA DIKASIH PERMEN KARET BEKAS?!” Nada bicara Kai meninggi, badannya tegak karena emosi.

Jio sampai bengong. “Permen karet?”

“IYA!! IHHH KESEL AKU POKOKNYA!”

Jio hanya bisa tertawa. Memang sih setelah berbaikan, Bilal jadi mengeluarkan watak aslinya yang suka iseng dan mengganggu siapapun yang ada di dekatnya. Jio saja sering melempari bantal ke arahnya karena sering dibuat marah.

“Yang penting udah baikan, kalau musuhan terus juga gak enak kan?”

Bibir Kai maju. Masih kesal tapi benar juga kata Jio, daripada musuhan terus. “Kalau kamu sama Alice gimana?”

“Baik terus. Aku beberapa kali ketemu dia buat ngehibur. Dia terpukul banget sama kepergian Yogi.”

Pandangan Jio berubah sendu. Kai juga bisa merasakan betapa kosongnya tatapan mata Jio. Tangannya mengelus punggung Jio pelan. “Kepergian emang selalu kejam, Kak. Kepergian itu gak pernah nunggu kita untuk siap. Selalu tiba-tiba dan selalu nyakitin.”

Air mata menetes dari mata Jio. Tapi buru-buru dia hapus. Dia tidak ingin mengubah suasana menjadi sendu lagi. Tujuan mereka disini untuk melupakan kesedihan dan mengikhlaskan kepergian.

“Kepergian juga bikin semua yang tersisa jadi lebih berharga ya, Kai? Kalau aku asih merasanya begitu. Makanya aku gak mau kehilangan kamu. Aku gak mau kamu pergi.”

“Aku juga begitu, Kak. Aku gak pernah mau nerima kepergian dari siapapun.”

Jio menoleh, menatap Kai lekat-lekat. Jarinya menyisir rambut Kai, mengganjalnya di belakang telinga. Bibirnya tersenyum saat menatap tiap inci wajah Kai. Memandangnya saja sudah cukup membuat Jio jatuh cinta berkali-kali.

“Aku beruntung banget bisa punya kamu, Kai.”

Kai turut menatap mata Jio yang menyipit karena senyumnya.

“Aku jauh lebih beruntung bisa punya kamu, Kak.”

Sore itu, keduanya menghabiskan senja bersama. Dan mungkin, senja-senja berikutnya juga mereka habisi berdua. Karena keduanya tidak pernah meminta lebih, hanya kehadiran satu sama lain dan restu semesta. Dua insan manusia itu pun hanya berharap satu, yaitu agar kisah mereka abadi.