Kepastian
Kavi dan Breanni adalah dua nama yang bertahun-tahun tidak bisa dipisahkan. Kalau menyebut Kavi, biasanya akan ada nama Bre di belakangnya. Hubungan mereka tidak terlalu beda seperti Anjani dan Askar, hanya saja mereka terlihat lebih 'romantis' dan saling mengakui keromantisan itu.
Mereka paham perasaan mereka masing-masing. Kavi paham kalau dia sayang Bre dan begitu juga sebaliknya. Lain dengan Askar dan Anjani yang bahkan tidak paham perasaan macam apa yang mereka rasakan satu sama lain. Ada beberapa alasan yang membuat Kavi tidak (atau belum) bisa memberi kepastian. Alasan yang hanya diketahui dirinya sendiri, alasan yang belum pernah dia ungkapkan pada siapapun.
Ada banyak hari dimana dia mendapati kedua orang tuanya saling berteriak satu sama lain. Banyak malam dimana dia tidak bisa tidur karena orang tuanya masih bertengkar sampai tengah malam. Ada juga banyak hari istimewa yang dilewatkan tanpa kumpul keluarga seperti yang dilakukan orang-orang normal. Banyak tengah malam yang dihabiskannya untuk merenungi kehidupannya yang nahas.
“Kenapa sih, Mas, kita gak punya orang tua yang akur kayak orang lain?”
“Karena Tuhan mau kita jadi orang yang kuat. Dikasih cobaan kayak gini tuh berarti kita dipilih karena kita umat yang kuat.“
“Tapi Kavi juga pengen punya orang tua yang penyayang dan akur. Kayak orang tua Askar, misalnya.”
“Kita ya, Dek, manusia, selalu bandingin kehidupan kita sama punya orang lain. Selalu. Tapi kita gak pernah tau apa yang mereka sembunyiin, sama kayak orang lain gak tau apa yang kita tutupi. Semua orang emang kelihatan bahagia dari mata kita, tapi kita gak pernah tau di balik semua itu. Jangan bandingin diri sendiri sama orang lain. Cuma nimbun perasaan iri.”
Bagi Kavi, Kafka adalah satu-satunya alasan kenapa dia masih pulang ke rumah yang tidak pernah hangat. Dari kecil sampai sekarang, Kafka selalu jadi penguat di malam-malam rapuhnya.
Lalu Bre datang, menghiasi dirinya yang kelabu dengan warna. Bre dengan tingkah aneh dan tawa cantiknya datang mengisi hari-harinya. Kemudian bertambah satu alasan dia bertahan. Bertambah satu alasan dia tetap masuk sekolah walaupun masa depannya tidak tampak sama sekali di kedua matanya. Bre dengan senyum yang mengandung rindu saat tak bertemu menjadi alasan pasti kenapa Kavi masih percaya kasih sayang.
Namun kini, Kavi merasa semua percuma. Tak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Toh semua akan pergi meninggalkan dia.
Jadi kakinya melangkah di atas pasir. Melepas sepatu pemberian Kafka yang masih dipakainya walau sudah mulai usang. Pantai di Jakarta mungkin tidak sealami dan seindah pantai di daerah lain. Tapi bagi Kavi semuanya cukup untuk melepas penat dari keramaian.
“Kalo ke pantai tuh gak usah pake sendal, Kav. Lepas. Biarin kaki kita kenalan sama pasir. Sama kayak beban di pundak kita. Lepasin. Biar ombak bawa semua beban kita pergi.”
Perkataan Bre terngiang di dalam kepalanya. Pantai ini selalu jadi pelarian mereka berdua usai lelah mengemban ilmu. Tanpa sadar membawa kebiasaan bagi Kavi untuk datang lagi kesini. Seperti sebuah kebutuhan.
“Gue udah lepas sepatu, Bre. Udah berusaha buat lepas beban yang ada di pundak gue juga, tapi kenapa masih berat? Apa karena letak bebannya bukan lagi di pundak, tapi di hati?” Kavi mulai bermonolog pada deburan ombak di depannya. Berandai-andai Bre sedang di sampingnya.
“Alasan yang bikin gue gak mau kasih hubungan kita status sebenernya ada di diri gue sendiri, Bre. Gue takut.” Perkataannya terjeda. Tangisannya mulai menunggu untuk keluar. Tapi seorang Kavi enggan menangis. Bisa terlihat lemah, katanya.
“Semua kenangan gue tentang hubungan tuh gak ada yang baik, Bre. Kedua orang tua gue punya status akan hubungan mereka, tapi gak pernah sekalipun gue liat mereka bahagia. Gue gak mau kayak gitu, Bre. Gue takut kalo status itu lama-lama ngiket kita, ngerubah kita, dan ngehancurin kita. Gue gak mau kehilangan sahabat terbaik gue.” Kepala Kavi tertunduk. Kedua matanya panas, kemudian lolos butiran air mata yang mati-matian ditahannya.
“Gue juga gak mau kehilangan sahabat terbaik gue, Kav.”
Kepala Kavi langsung terangkat, kemudian menoleh ke belakang. Mendapati Bre yang berdiri dengan kedua matanya yang basah. Bre melepas satu per satu sepatunya, lalu perlahan berjalan ke arah Kavi dengan kaki telanjang.
Keduanya kini saling berhadapan dengan air mata yang tak henti turun. “Semenjak ketemu lo, gue gak pernah mau jatuh cinta ke laki-laki lain, Kav. Buat gue, lo itu lebih dari cukup. Lo yang selalu jaga gue tetap waras di tengah dunia yang sinting ini. Cuma lo, Kav, gak ada yang lain.”
“Bre..”
“Gue emang selalu mempertanyakan hubungan kita, Kav. Selalu. Tapi semua itu karena gue takut 'kebebasan' di antara kita bisa bikin gue kehilangan lo. Gue gak suka kehilangan orang yang gue sayang.”
Bre meraih tangan Kavi, menggenggamnya erat. “Gak ada yang bisa ngehancurin kita selagi itu bukan Tuhan dan alam semesta ini, Kav. Gue gak akan pernah pergi ninggalin lo kecuali ajal yang misahin kita. Gak akan ada yang ngerubah kita, percaya sama gue.”
“Bre,” panggil Kavi pelan. Tangannya menghapus lembut air mata yang jatuh di pipi Bre. “Semua keambiguan di antara kita sebenernya dateng dari gue. Dari ketakutan gue. Dari trauma gue. Dan harusnya gue gak pernah bawa-bawa lo ke dalam ketakutan gue. Harusnya gue gak egois seakan gue yang paling berhak milikin lo.”
“Gue gak pernah ngerasa lo egois.” Bre menyanggah. “Gue gak pernah ngerasain keegoisan lo karena hari-hari gue jauh lebih banyak bahagianya dibanding sedihnya. Jadi jangan bilang lo egois lagi, Kav. Semua orang berhak takut dan ngelindungin diri dari ketakutannya itu. Gue gak akan nyalahin lo.”
“Masalah Leon tadi, gak usah dipikirin. Gue gak akan mau sama dia, gue juga gak sudi jadi pacarnya. Gak usah dibawa serius masalah dia yang bilang lo gak bisa ngasih kepastian ke gue. Bagi gue, rasa sayang lo aja udah sebuah kepastian. Jadi gak perlu status lagi buat bikin gue yakin.”
“Tapi kalo gue mau gimana, Bre?”
Kening Bre mengerut. “Mau apa?”
Kavi tersenyum kecil. “Mau kasih kepastian ke hubungan kita yang kata Mada gak jelas ini.”
“Maksudnya?”
“Gue mau benahin diri gue pelan-pelan, berdamai sama rasa takut gue. Siapa tau kalo sama lo, pikiran gue tentang semua hubungan itu nyakitin bakal ilang. Lo mau bantu gue dengan jadi pacar gue gak?”