Pathetic
Hari itu berjalan seperti biasa. Kelima anak manusia itu memutuskan untuk makan di kelas saat jam istirahat. Askar dengan bekal sehatnya yang dia bawa untuk dirinya dan Anjani, serta Mada, Kavi, dan Bre yang memesan ayam geprek di kantin. Mereka duduk melingkar, posisinya meja panjang milik Anjani dan Askar (yang berada di pojok kiri belakang kelas) adalah meja mereka makan. Kavi dan Bre yang duduk di depan Anjani dan Askar, membalikkan bangku mereka ke belakang. Mada yang duduk di samping kanan Askar juga menarik bangkunya dan menempati ujung kanan meja. Mereka bersenda gurau seperti biasa, menciptakan kenangan lain hari itu.
Namun ketenangan tidak berlangsung lama. Tiba-tiba rombongan laki-laki yang diketuai oleh Leon masuk ke kelas mereka dengan heboh. Ada yang menggebrak-gebrak pintu, meja, dan lemari di depan kelas. Leon datang dengan kemeja yang tak dikancing, di dalamnya cuma ada kaos hitam polos. Satu tangannya masuk ke dalam kantong celana abu-abunya.
Dia berjalan ke arah Bre dengan senyum tengil khasnya. Seisi kelas menoleh ke arahnya. Bre langsung buang muka, menatap Anjani panik. Askar, yang sudah diberitahu semuanya oleh Anjani juga ikut panik. Semalam mereka berdua memang membahas masalah Bre, Kavi, dan Leon kurang ajar ini. Semua terpaksa diceritakan setelah Askar curiga Anjani menyimpan rahasia.
“Halo, cantik.” Leon menyapa Bre. Dia berdiri dengan tangan yang diistirahatkan di atas senderan bangku Kavi dan Mada.
Kavi mengerut dalam. Dirinya menatap aneh Bre tertunduk. Perlahan garis putus-putus di benaknya sudah tersambung. Dugaannya selama ini benar, pasti Bre adalah perempuan yang ada di story Leon, dan Bre menyembunyikan sesuatu darinya.
“Ih si cantik sombong banget. Liat sini dong.” Leon kembali berucap. Kali ini Kavi berdiri, menghalangi Leon untuk menatap Bre dan melangkah maju agar Leon mundur.
“Lo ngapain sih? Kalo cuma mau ganggu Bre mending keluar. Mau keluar sendiri atau gue keluarin?”
Leon menatap Kavi yang hanya beda satu centimeter di atasnya. Dia tersenyum sinis, memainkan lidahnya di dalam mulut hingga tertonjol keluar, terlihat makin tengil. “Lo minggir deh, gue gak lagi ngomong sama lo,” balas Leon, menatap Kavi dengan tajam. Semua orang di kelas terdiam, merasakan atmosfer yang mulai menegang di seisi ruangan.
Kavi berdecak. “Lo ngomong sama Bre sama aja kayak lo ngomong sama gue. Lagian mending lo keluar deh!” Kavi mendorong bahu kiri Leon dengan telunjuk kanannya.
Leon tidak terima dan mendorong balik bahu Kavi. “Lo itu bukan siapa-siapanya Bre, lo yang harusnya keluar!”
Kavi makin emosi. Tapi tangannya kemudian disentuh oleh Bre yang berdiri dari duduknya. “Udah, Kav.”
Di dalam hati Bre khawatir kalau-kalau Kavi tidak bisa menahan emosi dan menonjok Leon. Masalah akan lebih besar dan orang tua Kavi akan dipanggil seperti bayangannya.
“Gue udah bilang gue gak mau, Yon,” ucap Bre ke arah Leon, menatapnya sinis.
“Ya mau gak mau lo harus terima gue deketin dong? Itu kan hak gue buat deketin lo.” Bre terdiam.
“Lagian, kenapa sih lo pake acara pura-pura gak kenal padahal kita udah nge-date? Kenapa, Bre? Takut ketauan sama cowok yang gak bisa ngasih lo kepastian ini?” sambungnya sengaja meremehkan Kavi.
Kavi melebarkan kedua matanya, menatap ke arah Bre kaget. Rasanya ada yang membakar hatinya di dalam sana. Mada menatap Anjani dan Askar, meminta penjelasan, tapi mereka hanya bisa mengangguk membenarkan.
“Lo... nge-date sama Leon, Bre?” tanya Kavi pada Bre. Yang ditanya hanya bisa menatap ke arah sepatunya.
“Bre?” Panggil Kavi sekali lagi.
“Gue yakin lo udah liat story gue kan? Iya, itu Bre. Gue udah dua kali jalan-jalan sama dia, beliin dia makanan yang dia suka, nge-treat dia kayak yang seharusnya. Bukan kayak orang tolol yang nge-gatekeep dia dengan keegoisannya padahal gak berani ngasih kepastian.”
Kavi naik pitam. Dia memilih untuk mendengarkan jawaban Bre terlebih dahulu sebelum benar-benar marah. “Bre? Bener? Lo jalan sama dia tanpa ngasih tau gue?”
Bre menatap Anjani sekilas lalu akhirnya mengangguk. Rasanya percuma dia mengelak, toh memang kenyataannya seperti itu. Dia juga tidak bisa langsung menjelaskan tentang bagaimana dia diancam, bisa-bisa Kavi makin marah dan menonjok Leon sekarang. Yang dia hindari saat ini hanyalah baku hantam, itu saja. Masalah penjelasan bisa diberi lain waktu.
“Lo suka sama dia, Bre? Sama orang ini? Iya?” Kavi bertanya sambil menunjuk ke arah Leon. Tapi Bre tidak berani menatap Kavi. “Bre, liat gue!” Pinta Kavi agak keras.
Tatapannya tajam, rahangnya mengeras, wajahnya juga memerah menahan emosi dan rasa cemburu. Bre menatapnya takut-takut, tapi tidak memberi gelengan atau anggukan sama sekali. Hanya menatapnya dengan tatapan sayu.
“Gue kurang apa sih, Bre? Gue udah ada di samping lo selama bertahun-tahun. Kurang, Bre, perhatian gue selama ini? Kurang?!” Kavi tanpa sadar membentak Bre. Membuat Bre kaget, begitu juga Anjani, Askar, dan Mada.
Mada menahan tangan Kavi, “Udah, Kav, jangan kayak gini.”
“JANGAN KAYAK GINI GIMANA?! Lo tau gak rasanya dikhianatin sama orang yang lo sayang? Enggak kan? YAUDAH DIEM!!” Mada tersinggung, tapi dia memilih diam. Dia tau Kavi sedang dipenuhi emosi sekarang.
“Wow.... Denger deh ucapan dari cowok pengecut satu ini. Lagaknya kayak si paling memiliki. Lo pacarnya aja bukan, kenapa harus semarah ini?” Kavi menoleh pada Leon, tangannya mengepal keras. Menahan untuk tidak menonjok Leon.
Helaan napas kasar keluar dari mulut Kavi. “Oke, fine, gue lepas tangan. Terserah lo ya, Bre, lo mau jalan sama siapa, gue sekarang gak akan ikut campur. Congrats.”
Dan begitu saja, Kavi pergi membawa tasnya, melompat lewat jalur rahasia di belakang sekolah untuk bolos. Entah kemana kakinya melangkah, yang pastinya bukan rumah. Dia merasa semuanya berantakan. Orang tuanya selalu bertengkar sepanjang waktu, kakaknya sibuk dengan dunianya sendiri, kini perempuan yang dia sayang direnggut darinya begitu saja.
Di lain sisi, Bre menatap punggung Kavi yang perlahan menghilang dari pandangan. Air mata lolos di kedua pipinya, saling bersusulan. Anjani maju, mendekap Bre di pelukannya. Leon diam, semua sedikit di luar dugaannya. Dia menatap Bre, perempuan yang belakangan menarik perhatiannya sampai rela melakukan semua paksaan agar dia bisa mendapatkannya.
Bre melepas pelukan Anjani, lalu menatap Leon tajam. “Puas lo?” tanyanya dengan suara parau.
Leon kikuk, tak berniat menjawab. “Lo pernah bilang gue pathetic karena belain Kavi yang kata lo, 'gak bisa kasih kepastian' itu. Tapi gue liat lo JAUH lebih pathetic, Yon. Lo menghalalkan segala cara buat ngehancurin hubungan orang, cuma buat dapetin apa yang gak bisa lo dapetin. Kalo tujuan lo buat dapetin gue, gue saranin lo berhenti sekarang juga. Stop semua cara licik dan paksaan lo supaya gue mau jalan sama lo. Yang jelas, gue gak akan ninggalin Kavi, apalagi cuma karena cowok kayak lo.”