titik temu yang sebenarnya
Kaia berjalan menyusuri jalanan yang membawanya ke tempat pemakaman umum. Di sampingnya ada Habilal yang memegang 2 kantong plastik berisi bunga dan 2 botol air mawar untuk Kai ziarah nanti. Sedangkan tangan Kai berisi beberapa tangkai bunga untuk ditaruh di atas makam.
“Namanya Diana Lestari, cari di barisan ini, gue juga lupa makam ke-berapa.” Bilal menyerahkan kantong bunga yang ada di tangannya.
“Ini serius gapapa gue tinggal sendiri aja?” tanya Bilal meyakinkan.
Kai mengangguk, kaki kanannya mulai melangkah di antara batu nisan. “Gapapa. Nanti gue naik ojek aja, gue pernah ke daerah sini kok dulu waktu main ke rumah temen. Lo balik ke villa aja, Bil, gue mau sendiri dulu.”
Walaupun berat hati karena khawatir, Bilal tetap mengangguk. Berusaha memberi Kai ruang untuk dirinya sendiri. Dia melangkah menjauh untuk kembali ke villa. Kaki Kai melangkah sambil matanya sibuk mencari nama Dian Lestari di atas batu nisan. Lalu matanya menangkap nama itu, membuat raganya berdiri membeku di kaki makam.
“Assalamu'alaikum, Bunda..”
Entah keberanian darimana, dia juga tidak tau kenapa mulutnya berkata Bunda alih-alih Tante. Akhirnya dia maju, berdiri di samping kanan makam. Dia berjongkok, membelai kepala nisan yang bertuliskan nama Diana Lestari itu.
“Bunda.. Ini Kaia, pacarnya Adagio anak Bunda..” dirinya mulai bermonolog pelan. Suasana langit yang sendu sore itu membuat hawanya semakin sedih.
“Maaf ya kalau Kai baru sempet dateng ke sini..” Tangannya mulai mengambil satu genggam bunga lalu menaburkannya di atas makam. Air mata mengalir di kedua matanya. “Kak Ji baru kesini ya, Bunda? Kaia kangen banget sama Kak Ji..”
Ya. Dugaannya ternyata benar.
Makam Diana terlihat rapih, basah, dan penuh dengan bunga segar. Pertanda kehidupan baru saja menyinggahi tempat peristirahatannya. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah Jio.
“Maaf ya, Bunda, Kai udah nyakitin anak Bunda satu-satunya. Kai sama Kak Ji sempet berantem hebat karena salah paham, Bun. Karena Kai pula Kak Ji jadi dirawat di rumah sakit. Kai beneran gak tau kalau Kak Ji alergi udang.” Dia berulang kali menyeka air matanya yang terus jatuh dengan lengan bajunya.
“Kai sayang banget sama anak Bunda. Bagi Kai, Kak Ji itu kayak obat penyembuh. Kalau Kai sedih, pasti Kak Ji ngehibur Kai dan meluk sambil bilang kalau semuanya akan selesai pada waktunya. Anak Bunda tumbuh jadi laki-laki yang baik... banget.”
Dia membuka botol air mawar dan mulai membasuh kepala nisan, membersihkan debu di atasnya. “Kak Ji pergi sebulan ini, Bunda. Semua nyariin Kak Ji, berharap Kak Ji pulang atau ngasih kabar. Semua kehilangan, gak tau Kak Ji pergi kemana. Tapi ternyata dia pergi ke tempat dunianya istirahat. Dia pergi ke Bunda, ke samping Bunda. Harusnya Kai mikir itu dari awal ya?”
Dia menyelesaikan kegiatannya. Menyeka air mata yang masih tak henti keluar. “Kak Ji ada di sekitar sini gak, Bunda? Kai harus cari kemana ya kira-kira?”
Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, berharap ada Jio di sekitarnya. Tapi yang dilihat hanya satu penjaga makam yang sedang membersihkan rumput liar. Kepalanya kembali tertunduk. “Kayaknya Kak Ji lagi pergi ya, Bun? Kalau gitu besok Kai bakal tunggu disini ya? Mungkin Kai bakal dateng sama beberapa temen-temen juga kesini. Bunda tunggu Kai, ya?”
Kai lalu berdiri dari posisi jongkoknya. Dia tertawa pelan. “Duh, maaf ya, Bunda, Kai jadi sok akrab gini. Tapi Kai seneng bisa ngobrol sama Bunda hari ini. Kai pergi dulu ya, Bun.. Sampai ketemu besok.” Dia mengelus kepala nisan untuk terakhir kalinya lalu melangkah menjauh.
“Neng?” Langkahnya terhenti karena dikejutkan oleh penjaga makam yang tiba-tiba muncul di depannya. “Neng siapanya Bu Diana?”
“Eh? Saya.. pacar anaknya, Pak.”
“Oh, pacarnya Aji?”
Dahi Kai mengerut. “Aji? Oh, Adagio? Iya, Pak.”
Penjaga makam itu langsung memasang wajah lega. Senyum terpatri di bibirnya. “Alhamdulillah, Neng... Akhirnya ketemu juga sama yang kenal Aji.”
“Emangnya kenapa, Pak?”
“Ikut Bapak yuk, Neng?”
Walaupun jujur sebenarnya dia takut karena ini orang asing. Tapi hatinya tetap memilih melangkah mengikuti. Dia tetap siaga menggenggam ponselnya untuk berjaga-jaga. Dia dibawa ke area belakang TPU, terdapat sawah yang tidak terlalu luas. Bapak itu berhenti, lalu menunjuk ke arah saung di pinggir sawah.
“Neng coba kesana gih. Pasti Neng seneng deh.”
Kai memicingkan matanya, tidak bisa melihat jelas. “Ini saya gak dibohongin kan, Pak?”
“Enggak, Neng. Percaya sama saya, saya gak mau macem-macem.”
Kakinya melangkah usai mengucapkan terima kasih pada bapak itu. Walaupun dia juga tidak tau dia berterima kasih untuk apa. Saat tinggal beberapa langkah dari saung itu, dia melihat laki-laki yang tadinya duduk di dalamnya keluar dan berdiri.
“Kak Ji.”
Dia terkesiap. Matanya memanas lalu disusul air mata yang berlomba-lomba keluar. Raganya bergerak tanpa sadar mendekat ke arah Jio bagaikan magnet. Jio yang awalnya tidak menyadari langsung membeku. Kai sekarang sudah berada di dekapannya, memeluknya erat seakan tak ada hari esok. Keduanya tidak mengeluarkan kata apapun. Yang terdengar hanya suara gemuruh dan tangisan Kai yang cukup kencang.
“Kak...” Panggilan dari Kai bagaikan tombol tangis bagi Jio. Air mata yang dia tahan dari tadi langsung turun tanpa persetujuannya.
Bohong kalau dia bilang tidak rindu pada perempuannya.
“Kak.. Maafin aku..” tutur Kai pelan. Jio tak menjawab, dia membalas pelukan Kai, memeluk badan kecilnya erat.
“Kamu kemana aja sih? Aku takut gak bisa liat kamu lagi. Aku gak mau kehilangan kamu, Kak, kamu tega banget sih?!” tanyanya ketus di sela tangis.
“Maaf, Kai..” Kata pertama yang keluar dari mulut Jio usai bibirnya yang kelu. “Maaf udah ninggalin kamu dengan masalah yang belum selesai.”
Kai menarik dirinya, memberanikan diri menatap wajah yang dirindukannya satu bulan belakangan. Bibirnya tersenyum haru. Diusapnya pipi Jio yang basah dengan air mata.
“I miss you..” ucapnya lirih.
Jio tersenyum kecil. “I love you.“
Kai menepuk dada Jio pelan. “Aturan I miss you too tau!”
“Gak ada aturannya tuh?” ledek Jio.
Keduanya tertawa bersamaan. Hidung Jio mengerut gemas, wajahnya maju untuk menggelitik hidung Kai dengan hidungnya. Mereka saling memandang, meluapkan rasa yang tertahan, menyampaikan kata yang tak sempat diucap hanya lewat tatapan mata.
“Aku udah tau kalau kamu sama Alice gak ada apa-apa.” Kai mulai membuka topik tentang masalah mereka. Menurutnya ini harus segera diselesaikan.
“Maaf ya udah salah sangka dan main bilang putus secara sepihak.” Omongan Kai menyadarkan Jio. Pelukannya melonggar.
“Eh? Kita udah putus ya?” Tangannya hampir lepas dari tubuh Kai tapi Kai langsung menariknya untuk tetap di tempat. Dia menatap Jio jengkel. “Ih! Enggak!”
“Loh? Kan kamu yang bilang kalau kita udah selesai?”
“Ih tapi itu kan karena emosi. Kamu mah!”
“Berarti gak jadi putus?”
“Enggakkkkk!!!”
Jio tertawa puas. Ringan sudah bahunya. Lega melihat perempuannya sudah kembali ke pelukan. Di sela tawanya, hujan turun dengan deras. Dia membawa Kai naik ke saung, berharap hujannya tidak membawa angin sampai ke tengah saung.
Jaketnya sudah tersampir di bahu Kai. Dirinya duduk melipat kaki menghadap Kai, sedangkan Kai melipat kaki sambil duduk ke arah sawah di depan. Di posisi ini Jio bisa lihat jelas wajah cantik Kai dari samping. Disampirkan rambut Kai ke belakang telinga, lalu dirinya maju untuk mengecup pipi kirinya. Tentu saja pergerakan tiba-tiba itu membuat Kai tersipu.
“Cantik.” Puji Jio.
Kai berusaha membawa topik awal. “Kamu sebulanan ini kemana?”
Jio membawa Kai ke dekapannya, berusaha memberi kehangatan. “Pokoknya tempat yang pertama aku pikirin itu cuma makam Bunda. Aku kesini naik kereta karena kalau nyetir mobil belum kuat waktu itu. Aku curhat ke Bunda, mungkin sampai 4 jam? Lupa. Terus Pak Ujang dateng nyamperin aku.”
“Pak Ujang? Yang jaga makam?”
“Iya. Kamu tadi dikasih tau sama dia ya?” Kai membalas dengan anggukan. “Dia pokoknya nanya aku kenapa, ada masalah apa, terus bisa bantu apa. Kebetulan aku sama dia emang deket karena dulu aku hampir setiap hari dateng kesini setelah Bunda meninggal, jadi selalu ngobrol sama dia.”
“Aku bilang aku gak punya tempat tujuan. Dan akhirnya dia nawarin buat tidur di kamar anaknya yang ngerantau. Awalnya aku mau tolak dan bilang aku bisa tidur di apartemen murah deket sini. Tapi katanya buang-buang duit. Jadinya aku nginep di rumahnya selama satu bulan. Jujur aku juga udah gak enak karena kelamaan tapi aku dilarang pergi.”
Mendengar itu Kai agak sedikit tenang. Setidaknya Jio masih ditemani oleh orang baik disini dan diurus.
“Aku khawatir, takut kamu kenapa-napa.” ungkap Kai. “Aku sama yang lain nyari kamu, datengin semua tempat yang sering kamu datengin. Semuanya kehilangan, Kak.”
Jio terharu mendengarnya. “Maaf udah ngerepotin kalian..”
“Enggak. Gak sama sekali. Tapi jangan diulang ya? Jangan pergi lagi, jangan menghilang lagi, jangan tinggalin aku lagi.” Kai menatap Jio dengan memohon.
Jio tersenyum seraya mengangguk. Pandangannya meneliti setiap inchi wajah cantik perempuan miliknya.
“Kai,”
“Ya?”
“Can i kiss you?“