semua sama lelahnya


“Kai, mau kemana lagi?” tanya Elias sembari menahan tangan Kai.

“Mau cek lagi ke caffe tempat Kak Ji biasa datengin.” Kai melepas tangan Elias dan meraih jaketnya.

“Tapi kan tadi udah dicek sama Daffa?” sahut Damian yang sedang minum di kursi bar rumah Jio.

“Kali aja Kak Ji belum dateng.”

Semua yang disana diam-diam menghela napas. Selama hampir 1 bulan mereka bekerja sama untuk mencari Jio. Alice bahkan membayar mahal untuk menyewa orang untuk mencari lokasi GPS ponsel Jio tapi berujung nihil. Libur semester membuat mereka tidak terlalu dihalangi kelas jadi bisa fokus mencari Jio.

Selama 1 bulan ini mereka menghadapi Kai yang tiba-tiba jadi emosional dan keras kepala. Kai tidak percaya kalau orang-orang bilang mereka tidak menemui Jio di tempat-tempat yang sering dia kunjungi. Kai selalu menolak fakta dan pergi mengeceknya sekali lagi seorang diri. Nafsu makannya menurun, tidurnya sedikit karena tangisnya lebih banyak, dan tatapan matanya selalu kosong.

Kondisinya hampir seperti mayat hidup.

“Lo mau sampai kapan sih begini?” Daffa angkat bicara. Nadanya dingin menusuk. Hawa di sekeliling mereka tiba-tiba senyap dan tegang. Semua menatap Kai yang membalikkan badannya perlahan.

“Maksudnya?”

“Lo mau sampai kapan gak percaya sama kita setiap kita bilang Bang Jio tuh gak ada?!” Kerutan di dahi Kai makin dalam. “LO PIKIR KITA BOHONG?! LO PIKIR KITA GAK BECUS NYARI BANG JI SAMPAI LO HARUS NGECEK SEKALI LAGI DENGAN MATA KEPALA LO SENDIRI?!”

Emosi Daffa tak tertahan. Membuat Damian dengan segera menariknya menjauh, berusaha menghentikan ketegangan.

Kai tersenyum sinis tanpa menjawab. “Lo sadar gak sih, Kai? Yang kehilangan disini tuh bukan lo doang!! Semua juga! Kita semua disini juga mau Bang Ji balik lagi sama kita. KITA JUGA BERUSAHA!!”

“Jujur gue setuju.” Arjuna angkat bicara. “Gue perhatiin lo terlalu emosional sampai lo gak percaya sama kita, Kai. Kita disini itu team, kita disini itu kerja sama. Kita semua sama-sama kehilangan jadi harusnya lo gak perlu mikir kita tuh bohong atau gak becus karena kita semua udah berusaha. Kita juga capek, Kai. Nyari orang yang gak ada kabar dan petunjuknya itu gak gampang. Fisik kita udah capek bolak-balik seharian jadi gak usah lah nambahin lagi dengan sikap lo yang kayak gini. Kita paham lo kehilangan, tapi gak gini caranya. Secara gak langsung lo meremehkan kerja kita semua.”

Omongan Arjuna memang menusuk. Tapi dia berbicara fakta. Dalam lubuk hati setiap orang yang disana, mereka juga berpikiran hal yang sama. Fisik sudah tergerus, masa pikiran dan perasaan harus diuji pula? Mereka paham sakitnya Kai mungkin berlipat ganda, jadi mereka memilih diam. Tapi hari ini tampaknya beberapa di antara mereka sudah tidak tahan dengan sikap Kai.

“Kai, udah ya? Kita tau nyari Jio itu capek, makanya kita gak mau kamu kerja dua kali dengan nyari di tempat yang udah kita datengin.” Kali ini Alice bicara dengan nada yang lebih halus.

Kai menghapus air matanya yang mengalir deras. “Kalian capek?”

Bilal berkata dengan panik, “Bukan gitu, Kai, tapi—”

“Kalau kalian capek harusnya dari awal gue aja yang nyari.”

Terdengar dengusan dari Daffa. “Oh ya? Yakin bisa ketemu kalau lo yang nyari sendirian? Kita bertujuh aja gak bisa ketemu hampir sebulan.”

“LO TUH GAK NGERTI RASANYA, DAF!”

“Gak ngerti? EMANG! Gue gak pernah ngerti karena gue gak ada di posisi lo. Tapi gue berusaha paham, Kai! Gue berusaha buat ngertiin lo dengan segala tingkah lo yang emosional sebulanan ini tapi lo malah gak ngehargain usaha yang lain! Lo mikir gak sih?!”

Suasana benar-benar memanas. Tak ada yang berani menghentikan karena semua sama-sama lelah.

Elias bahkan sudah sampai di tahap bingung. Dia tidak bisa lagi membela Kai. Dia sendiri paham teman-temannya merasa tersinggung dengan sikap Kai. Berulang kali mereka membicarakan ini padanya, meminta Elias untuk bilang ke Kai bahwa dia tidak perlu melakukan itu. Tapi dia sendiri juga tidak bisa melarang adiknya yang sedang kalut.

“Lo nanya gue bisa mikir apa nggak? NGGAK, DAF! NGGAK SAMA SEKALI! GUE GAK BISA MIKIR DENGAN JERNIH SEMENJAK KAK JI PERGI! GAK BISA!” teriakan Kai dibarengi dengan pijakan kakinya yang melemah. Beruntung Habilal dengan cepat menangkap badan Kai yang sekarang sedang menangis dengan suara kencang.

Tangisnya terdengar pilu. Menjelaskan hatinya yang kehilangan.

“Gue bukan gak percaya sama kalian.. Tapi gue cuma gak mau ada kemungkinan kalau Kak Ji dateng ke tempat itu setelah kalian pergi.. Gue cuma mau ambil semua kemungkinan yang ada..” Kai berkata dengan lemah di sela tangisnya.

Alice pun ikut meneteskan air matanya. Daffa langsung menghempaskan tangan Damian di pundaknya dan berbalik memunggungi Kai. Dalam hatinya dia menyesal membentak Kai barusan. Arjuna dan Elias tertunduk, bingung harus berkata apa.

Habilal membawa Kai ke dekapannya. Kai menangis kencang sambil meremas kaos Habilal. Berusaha meluapkan rasa sakit di dadanya.

“Kai..” Elias memanggil Kai dengan lembut usai tangisan Kai sudah mereda. “Kita semua tau rasanya kehilangan. Kita semua capek. Gue yakin lo juga sama capeknya, kan? Kita yang disini cuma mau lo istirahat dan cari Jio dengan pikiran yang jernih. Kalau lo cari Jio dengan pikiran kalut, semua gak akan selesai. Kalau lo gak jaga kesehatan, lo gak akan ketemu Jio dengan keadaan baik. Kita disini cuma khawatir sama lo. Kita disini juga sama-sama usaha, sama-sama gak mau melewati kemungkinan yang ada tapi kita semua juga ada batasnya, Kai. Kita juga bisa capek fisiknya.”

“Kita bukan nyalahin lo dengan nyari Bang Jio sendiri, Kai, tapi kita cuma mau lo jangan forsir diri lo terus. Kita cari sama-sama, lo gak perlu cari sendirian.” sahut Damian.

“Dan kalau lo ngecek tempat yang sama dua kali, kita bisa menyimpulkan kalau lo gak percaya sama kita, Kai.” tambah Arjuna kemudian.

Kai melepas dekapan Habilal. Kepalanya tertunduk. Air matanya tak henti turun.

“Maaf..” katanya pelan.

“Maaf kalau gue bikin keruh keadaan. Maaf kalau gue kesannya jadi gak percaya sama kalian, tapi gue gak maksud..”

Daffa berjalan mendekati Kai. Tangannya menangkup pipi Kai dan mengangkatnya sampai wajah Kai terlihat jelas. “Jangan nunduk gitu. Temen gue hebat, jadi gak boleh nunduk.” Jarinya menghapus jejak air mata di pipi Kai.

“Gue tau lo sayang banget sama Bang Ji, tapi lo juga harus perhatiin diri sendiri, Kai. Mana Kai yang tahan banting? Hm? Lo tuh aslinya keren, jangan jadi cemen gini dong!”

Omongan Daffa yang berusaha mencairkan suasana justru membuat Kai tambah menangis. Dia lega setelah melihat Daffa yang sudah bisa bercanda.

“Daffaa.... Maaf....” rengek Kai, persis seperti anak kecil sehabis dimarahi ibunya.

Daffa terkekeh pelan dan membawa Kai ke pelukannya. Ditepuknya punggung sahabat lamanya. “Maafin gue juga karena udah ngebentak lo. Gue abisnya geregetan ngeliat lo kayak gini terus. Kita disini berbagi luka yang sama, Kai, jangan disimpen sendirian aja. Kita cari Bang Ji sama-sama ya?”