bahagiaku bukan lagi kamu
Jio bersiap sore itu, kebetulan kelasnya selesai lebih cepat dan Kaia bilang dia akan pulang dengan Damian. Jio menatap bayangannya di cermin, dunianya yang sibuk belakangan ini terkadang membuatnya lupa untuk istirahat menarik napas sejenak. Dia berjalan keluar, melihat rumah sepi karena Habilal masih di kampus. Sebenarnya hubungan dia dan Habilal tidak ada perkembangan sama sekali. Jadi harapan kedua orang tuanya untuk meluluhkan hatinya sama sekali tidak berjalan lancar.
Butuh hampir 40 menit untuk sampai di tempat yang Keira bilang. Kalau boleh jujur dia malas berurusan dengan teman-teman Alice yang seakan masih hidup di dalam dunia dimana dia dan Alice masih bersama. Dia muak dengan pertanyaan, “Masih inget Alice gak, Ji?” atau “Kangen Alice gak?” yang selalu keluar dari mulut mereka tiap bertemu dengannya. Tapi dia juga tidak bisa menolak permintaan Elias yang sudah banyak membantunya di masa-masa sulit.
Dia duduk di tempat yang dekat dengan jendela. Sambil menunggu Keira datang, dia sibuk membaca novel Midnight Library karya Matt Haig yang belum kunjung selesai dia baca karena kesibukan. Menit demi menit tidak sadar dia lewati karena terlalu asik membaca. Tak lama dia mendengar bangku di depannya digeser. Kepalanya otomatis mendongak, melepas pandangannya dari buku di tangan. Namun tubuhnya malah membeku, netranya terbuka lebar melihat sosok yang ada di depannya sekarang. Alih-alih sosok Keira yang dia kenal, ini justru sosok familiar yang sudah tidak dia temui sejak 2 tahun lalu. Sosok yang sempat mengisi hari-harinya selama masa SMA dulu.
“Udah lama nunggunya? Sorry tadi ada kecelakaan di lampu merah jadinya macet.” Jio masih terdiam. Kini dadanya dipenuhi rasa sakit dan detakan jantung yang tiba-tiba kencang saat melihat wajahnya setelah 2 tahun.
“Long time no see, Jio.” Sapaan dengan senyum khasnya hampir membuat air mata menetes dari mata Jio. Beruntung dia sempat membuang muka dan menahan emosinya yang hampir meluap.
“Mana Kei?” tanya Jio, berusaha tidak menunjukkan emosinya.
“Keira gak bisa dateng, jadi aku yang kesini. Aku juga mau tau kabar kamu dan lihat kamu secara langsung.”
Jio menunduk, menatap meja menjadi lebih menarik dibanding menatap wajah Alice yang membuatnya rindu. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya saat ini. Semua campur aduk, membawa perasaan bersalah pada Kai karena tadi sempat berpikir untuk membawa Alice ke dekapannya. Jio tidak ingin menyambut kedatangan Alice yang membuat luka keringnya menjadi basah kembali. Menurutnya ini sebuah kesalahan. Baik untuknya maupun Alice.
“Kalau gitu, gak ada yang perlu aku lakuin disini. Tujuanku bukan ini.” Jio berdiri, Alice menahan tangannya. Dia berdiri di depan Jio dan memeluknya. Air mata yang ditahan di ujung mata Alice kini membasahi pipinya. Jio diam, tidak membalas, namun tidak juga berniat melepas.
“Aku kangen banget sama kamu, Ji.. Rasanya kayak mau mati karena semua rasa bersalah yang menghantui aku selama 2 tahun ini.”
1 menit mereka sama-sama diam dalam posisi seperti itu. Alice mengendurkan pelukannya. Dia menatap Jio dalam, Jio sempat bertatapan tapi dia memilih untuk membuang wajahnya ke samping. Terlalu sakit baginya untuk memandang wajah Alice. Hatinya memang bukan untuk Alice lagi, tapi seperti yang dia katakan pada Elias, rasa sakitnya tinggal.
“Kita bisa balik kayak dulu lagi kan, Ji?” Mendengar itu Jio menghela napasnya. Dia kembali duduk, menunggu Alice juga duduk di depannya. Dia memang tidak ingin meneruskan ini semua, tapi dia tidak bisa pergi tanpa penjelasan.
“Kayak dulu yang gimana maksud kamu?”
“Ya.. kayak dulu. Kemana-mana berdua, main sama temen-temen, masak berdua lagi..”
Jio tersenyum kecil. “Kamu masih hidup di masa lalu? Kamu gak inget sama Yogi dan anak kamu?”
Pertanyaan Jio bagaikan petir untuk Alice. Dia lupa kalau orang di depannya ini belum tau apa yang terjadi padanya. Kepalanya tertunduk, matanya kembali basah. “Anakku udah gak ada, Ji.”
Mata Jio melebar. “Al? Maksudnya—”
“Anakku meninggal bahkan sebelum dilahirkan. Aku berusaha buat nyembuhin semuanya sendiri. Semuanya terlalu berat buat aku, Ji.” Alice kembali menangis. Hati Jio serasa ikut teriris melihatnya.
“I'm sorry to hear that.“
Alice menggeleng, berusaha tegar dengan menghapus air matanya. “No, it's all my fault. Mungkin emang Tuhan gak mengizinkan aku untuk jadi Ibu karena aku ini manusia yang buruk.”
“Jangan ngomong kayak gitu,” tegur Jio. “Mungkin emang jalannya kamu harus sayang sama diri sendiri dulu, baru bisa sayang sama darah daging kamu sendiri.”
Alice tersenyum mendengarnya. Ini yang dia butuhkan selama ini. Hiburan yang hanya keluar dari mulut Adagio. “Aku udah gak sama Yogi, Ji.” Alice membeberkan fakta yang lainnya lagi.
Badan Jio menegak. “Kamu pergi ke luar negeri sama dia, kan? Kok bisa?”
“Keluarganya di Jepang gak nerima kehadiran aku dan anakku. Sehari setelah aku datang ke rumahnya, hari itu juga aku ditendang keluar. Yogi bilang dia gak bisa keluar rumah karena penjagaannya ketat dan dia diancam ikut diusir kalau berani membangkang. Aku gak mungkin egois, kan, Ji?”
Jio masih setia mendengarkan. “Untungnya aku ada tante di Jepang, jadi selama 2 tahun ini aku tinggal disana. Oh— keluargaku ngusir aku sehari aku bilang aku hamil, jadi jangan heran, hehe.”
Melihat Alice yang menyengir tanpa beban seperti itu membuat beban di pundak Jio seperti bertambah berat. Selama ini di bayangannya Alice bahagia dengan keluarga kecilnya di Jepang. Dia pikir Yogi akan bertanggung jawab atas perbuatannya dan memperjuangkan Alice. Tapi ternyata dia salah. Alice tidak pernah bahagia dan dia bukanlah satu-satunya yang tersiksa.
“Aku balik ke Indonesia untuk ketemu keluargaku dan cari kamu. HP lamaku rusak jadi aku gak bisa tau kabar kamu. 2 tahun rasanya lama banget tanpa kamu. Apalagi ditambah rasa bersalah.”
“Kamu udah ketemu Mama?” Jio bertanya. Mama yang dia maksud adalah Ibunya Alice. Pacaran hampir 4 tahun membuat Jio dekat dengan keluarganya.
“Udah, mereka udah mau nerima aku juga. Mungkin ke depannya aku bakal di Indonesia. Tapi kalau kangen Jepang aku bakal keluar sih, paling tinggal disana sebulan dua bulan.”
Jio mengangguk. Kini jelas sudah apa yang jadi pertanyaannya. Beban pikirannya sudah berkurang. Kini mungkin dia sudah bisa tidur dengan tenang. Lamunannya terputus saat tangan Alice menyelinap di atas tangannya. Jio memandang wajah Alice. Masih cantik seperti dulu. Hanya saja kini sorot matanya sedih dan di bawah matanya terdapat lingkaran hitam yang membuatnya terlihat menyedihkan.
“Aku mau memperbaiki apa yang aku rusak, Ji. Can you give me a chance?” tanyanya. Terlihat memohon.
“Al, kita udah gak bisa ngulang masa lalu kita. Semua udah ada tempatnya masing-masing, dan tempatku bukan di samping kamu lagi.” Tangannya terulur menyingkirkan tangan Alice.
“Aku udah gak bisa sama kamu, Al. Aku udah punya pacar.” ucap Jio melanjutkan.
Perkataan itu membuat Alice mematung. Gak mungkin, pikirnya. Jio cuma suka sama gue. Gak mungkin dia bisa lupain gue.
“Nggak, kamu pasti bohong. Ini semua akal-akalan kamu supaya aku gak deketin kamu lagi, kan? Jawab Ji!”
“Ini faktanya, Al. Aku udah bukan lagi Adagio yang mengorbit pada Alice. Aku udah punya orang lain yang aku pandang sebagai pusat semesta. Kisah kita emang harusnya selesai, Al, gak perlu dilanjut lagi. Apa yang rusak gak akan pernah bisa diperbaiki.”
“Ji, nggak! Aku gak mau. Aku masih bisa perbaiki semuanya, Ji, tolong kasih aku kesempatan. Ya? Please..” Nada paraunya membuat Jio meringis. Dia tidak pernah bisa berkata tidak pada Alice dari dulu. Tapi sekarang dia harus. Dia punya hati yang harus dijaga.
“Aku gak bisa, Al. Maaf.”
Alice lagi-lagi menahan Jio yang sudah berdiri dari tempatnya. “Al, tolong. Aku udah gak bisa lanjut sama kamu. Kata kita itu udah gak ada sejak 2 tahun lalu. Kamu harusnya tau kalau kita sama-sama, yang ada kita cuma nyakitin satu sama lain.”
“Nggak, Ji. Aku gak merasa sakit tiap sama kamu. Kamu salah.”
“Kalau begitu berarti cuma aku yang sakit tiap ada kamu. Aku gak bisa hidup dalam rasa sakit terus, Al. Kepergian kamu waktu itu buat aku gak bisa lupa. Kerusakan yang kamu perbuat bawa dampak besar untuk hidup aku. Aku udah gak bisa sembuhin hal itu.”
Alice tertohok pada tiap kalimat yang diucapkan Jio. Setengah dirinya tak terima, tapi setengahnya lagi tak menyanggah karena memang itu adanya. Dia juga sadar kalau dia membawa banyak luka pada hidup Jio. Tapi dia juga sadar kalau dia tidak bisa hidup tanpanya.
“Ji—”
“Lebih baik kita gak usah ketemu lagi, Al. Kita jalanin hidup masing-masing sekarang. Kamu dengan duniamu, dan aku dengan duniaku. Gak perlu lagi ada kata kita. Aku udah nemuin bahagiaku sendiri disini. Kamu juga harus begitu.”
Detik berikutnya Jio melangkah pergi. Meninggalkan Alice yang mematung. Raganya sudah tidak memiliki tenaga untuk menahan Jio pergi.
“Kamu udah nemuin bahagiamu, tapi bahagiaku cuma kamu. Gimana caranya aku harus bahagia kalau gak ada kamu?”