pelanggaran
Napas Salsa terengah-engah. Entah kenapa dia tiba-tiba bolos di tengah pelajaran kesukaannya (sosiologi) dengan alasan ke toilet hanya untuk berlari ke UKS. Dia membuka pintu UKS yang dingin, menatap Kayandra sambil mengatur napasnya. Kayandra terkejut, dia kira ada guru atau penjaga UKS yang memergoki dia berkelahi dengan anak sekolah sebelah di tengah jam sekolah. Tapi ternyata yang ada di depannya justru Salsa—gebetan barunya.
“Sa? Kenapa?”
“Justru gue yang harus tanya lo kenapa,” balas Salsa dengan nada panik. Dia memperhatikan luka yang ada di wajah Kayandra sembari meringis. “Kenapa bisa begini sih, Yan?”
“Digigit semut.”
Gebukan pelan diterimanya akibat berbicara ngawur. “Gue serius, Yandra.”
Kayandra menghela napas. “Tadi gue keluar sebentar habis ada urusan penting—”
“Urusan penting apa?” potong Salsa. Dia langsung menyadari kelancangannya. “Ah, sorry, gue penasaran doang. Gak dijawab gapapa kok.”
Kayandra yang tadinya ingin merahasiakan hal ini terpaksa bercerita. “Tadi anak sebelah ngancem gue. Katanya kalo gue tadi gak nyamperin mereka, nanti mereka bakal nyamperin lo.”
Salsa mengerutkan alisnya. “Kenapa jadi gue?”
“Mereka liat kita sering berangkat dan pulang bareng, jadi dikiranya lo pacar gue.”
“Mereka kenapa bisa ngancem lo?”
“Gebetan ketua gengnya suka sama gue. Padahal gue liat mukanya aja gak pernah, tapi tiba-tiba mereka main keroyokan. Tadi untungnya Helen sama Janu lagi cabut nyebat, jadinya gue ada yang nolongin.”
Salsa menghela napasnya lagi. Mendengar ini semua dia jadi marah. Ketua geng tongkrongan SMA sebelahnya ini memang dikenal beringas dan kurang ajar. Semua yang dia gak suka langsung dihajar. Benar-benar mental preman.
Salsa berjalan ke lemari tempat obat-obatan diletakkan. Dia membersihkan serta mengobati luka Kayandra yang syukur— tidak separah itu. Tapi Salsa yakin bekasnya akan lama hilang.
“Lain kali, jangan disamperin lagi. Mereka cuma ngancem doang kok, Yan.”
Kayandra memperhatikan wajah cantik Salsa yang jaraknya hanya 15 centi. Salsa terlihat mengobatinya dengan telaten. “Ya gak bisa kalau yang mereka sentuh itu lo, Sa..”
“Gue gapapa, Yan, tenang aja.”
“Tapi gue gak bisa tenang, Sa. Gue gak mau lo kenapa-napa.”
Salsa terdiam, tangannya mengambang di udara karena ucapan Kayandra yang tiba-tiba membuat jantungnya berdegup kencang. Kayandra mengambil tangan Salsa, lalu menggengamnya di atas pangkuan.
Keduanya saling bertatapan. “Gue suka sama lo, Sa.”
“Yan..”
“Gue tau ini terlalu cepet. Mungkin bagi lo ini aneh dan annoying. Tapi gue juga gak tau kenapa gue bisa langsung tertarik gitu aja pas pertama kali liat lo. Gue gak tau harus jagain lo kayak gimana kalau gak dengan jadiin lo milik gue.”
Salsa masih diam. Dia juga tidak bisa bohong kalau berminggu-minggu yang dia jalani bersama Kayandra terasa lebih cerah dan berwarna. Kedatangan Kayandra sebagai teman sebangku barunya seperti angin sejuk di tengah gurun. Kedatangannya membawa banyak kejutan di tengah kehidupan datarnya.
“Yan..” panggil Salsa. Dada Kayandra tiba-tiba berdegup kencang. “Gue juga gak bisa bohong kalau kedatangan lo bikin gue jadi lebih sering ketawa. Tapi gue juga gak bisa bohong kalau gue masih perlu waktu buat memproses semuanya. Gak bisa tiba-tiba, Yan, harus ada langkah-langkahnya. Kalau lo mau dan berkenan, ayo kita kenalan dengan langkah yang pelan tapi pasti. Kalau kita udah merasa cocok satu sama lain, baru kita tentuin selanjutnya mau apa.”
Kayandra tersenyum. Kalimat barusan memang seperti penolakan, tapi tidak juga. Dia justru menganggap itu lampu hijau untuknya.
“Jadi ini lampu ijo atau lampu merah?”
“Lampu kuning.”
“LOH KOK GITU?”
“Pelanggaran,” sahut Salsa. “Soalnya lo hampir bikin gue jantungan gara-gara bonyok gini. Jangan diulangin ya?”