perfectly wrong, perfectly hurt
Kalau orang lain bilang hidup adalah soal kebetulan-kebetulan yang terasa seperti takdir, mungkin Kai tau rasanya. Dua jam yang lalu dia memutuskan untuk ke salah satu mall di Jakarta, menghabiskan waktu sendiri karena janjinya lagi-lagi dibatalkan oleh sang pemberi janji alias Adagio. Kecewa? Tentu saja. Hari-harinya yang dulu penuh oleh Jio sekarang tiba-tiba merasa 'disingkirkan' oleh kesibukan. Dia memaklumi kesibukan Jio, tapi dia tidak memaklumi betapa sering Jio membatalkan janji. Harusnya sedari awal tidak usah buat janji kalau tidak bisa ditepati. Hal-hal itu hanya mendatangkan kekecewaan.
Dia baru saja selesai menonton film kartun di bioskop. Dia kira rasa kesalnya akan reda setelah menonton yang lucu-lucu, tapi yang ada dia semakin kesal. “Harusnya bisa nonton bareng Kak Ji!” gumamnya.
Dia menyibukkan diri dengan menyambangi toko baju satu per satu, melihat saja, tidak berniat untuk membeli. Berjalan seperti ini tidak juga menghibur hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Langkahnya berhenti tiba-tiba. Netranya menangkap siluet seseorang. Dia berjalan mendekat tapi menyembunyikan dirinya di salah satu tembok. Dia berusaha memastikan dengan mengedipkan matanya berkali-kali. Dan kali ini dia tidak salah, itu Jio.
Jio sedang berjongkok di depan perempuan yang duduk di salah satu bangku di tengah mall. Tatapannya terlihat khawatir, tangan mereka tampak saling menggenggam. Perempuan itu tertunduk dengan posisi membelakangi Kai, jadi dia tidak bisa melihat jelas.
Kai merasakan matanya mulai memanas. Dia tidak melihat orang lain di sekitarnya, hanya Jio dan perempuan itu. Pertahanannya runtuh saat perempuan itu memeluk leher Jio yang dibalas dengan tepukan pada punggungnya. Kai memutuskan pergi dari tempatnya. Dia tidak mau berasumsi tentang siapa perempuan itu tapi juga tidak berniat untuk menghampiri mereka. Dia menelan semuanya, menganggap yang barusan dia lihat hanya khayalan semata.
Mungkin cuma mirip.
Di dunia ini yang mirip sama Kak Ji banyak kok.
Kak Ji lagi ngerjain tugas, gak mungkin tiba-tiba di mall sama cewek lain.
Pikiran-pikiran itu terus bersuara di dalam kepalanya. Berusaha menyihir dirinya sendiri bahwa yang dia lihat bukan pacarnya, bukan juga kenyataan. Air mata yang menutupi kedua matanya membuat jalanan buram. Dia bahkan tidak sengaja menabrak seseorang.
“Kai?!”
Habilal lagi.
Kai mendongak, melihat wajah panik Habilal di tengah-tengah matanya yang buram. Tak lama dia merasakan dirinya sudah berada dalam dekapan Bilal. Dia tidak bicara apa-apa, hanya menepuk kepala Kai sampai dia mulai tenang. Kai menarik dirinya.
“Kai, What happened?” tanya Bilal sambil sibuk merapikan penampilan Kai yang terlihat berantakan.
“Bawa gue pergi dong, Bil..” ucapnya dengan suara khas orang habis menangis.
“Pergi kemana? Hm? Lo kenapa?” Bilal melemparkan pertanyaan dengan lembut, menunggu jawaban dari Kai sampai dia benar-benar tenang.
“Cowok gue pelukan sama cewek lain, gue gak tau itu siapa.”
Bilal langsung melotot. Tuas amarah di dirinya serasa diaktifkan. “Di dalem orangnya?” tanyanya dengan tatapan mata yang menajam.
Dia benci melihat Kai sakit dan menangis lagi.
“Iya. Tapi— LO MAU NGAPAIN?!” Kai reflek menarik baju Bilal yang tiba-tiba berjalan masuk ke dalam.
“Mau nonjok cowok lo lah. Ngapain lagi? Enak aja si brengsek bikin nangis temen gue.”
Kai kali ini menarik Bilal dengan agak keras. Dia memegang kedua lengannya. “Bil, udah dong. Gue mau pergi dari sini, lo gak usah nyamperin dia. Gue capek sumpah.”
“Tapi dia enak-enakan sama cewek di dalem!”
“Gue paham, tapi gue gak mau liat mukanya sekarang, Bil! Lo tuh ngerti gak sih?!”
Nada mereka mulai meninggi. Bilal menghela napas, memutuskan mengalah. Masih ada lain kesempatan untuk menonjok cowok itu, pikirnya. Dia akhirnya menarik tangan Kai untuk pergi dari situ. Dirinya yang baru saja memarkirkan motor kini keluar lagi, tidak jadi menyinggahi mall.
Di sisi lain, Jio sedang membukakan botol air minum untuk Alice. Dia tau ini tidak benar, dia tau ini sebuah kesalahan. Harusnya dia kabur dari sini, bukan malah diam. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan Alice yang sedang kacau seorang diri.
Tadi dirinya baru selesai mengerjakan tugas di salah satu tempat makan di mall ini. Dirinya sudah berniat untuk ke rumah Kai tapi langkahnya terhenti saat melihat Alice sedang berjongkok sambil memegang besi pembatas kaca di tengah mall. Dirinya langsung berlari, membawa Alice duduk.
Hampir 5 menit dia mendampingi Alice yang kesulitan untuk mengatur napasnya. Dia berusaha untuk melakukan sesuatu tapi Alice bilang dia cukup diam menemani. Saat mulai tenang, Alice langsung memeluk Jio sambil menangis. Jio tidak mungkin langsung melepas pelukan itu dengan kasar, dia masih punya hati. Maka tidak ada yang bisa dia lakukan selain menepuk punggung perempuan itu untuk menenangkannya.
“Sejak kapan, Al?”
“Apa?” tanya Alice balik. “Ohh, panic attack?” sambungnya.
“Hampir 2 tahun kayaknya. Waktu di rumah tante aku tiba-tiba sesek napas, aku pikir asma tapi ternyata pas dicek itu serangan panik. Sampai sekarang belum hilang, tapi udah agak mendingan gak terlalu sering kambuhnya, aku udah tau cara ngatasinnya juga.”
“Kamu sendirian disini?”
Alice mengangguk. “Iya. Tadi aku mau coba me time gitu, eh taunya malah kambuh. Untung tadi ada kamu, dada aku sakit banget, aku pikir aku bakal mati tadi.”
“Jangan ngomong gitu, Al...”
“Hehehe, tapi gapapa kalau aku mati tadi soalnya aku mati di pelukan kamu ini.”
Jio membuang wajah ke arah lain. Dia tidak bisa melihat Alice yang kondisinya menyedihkan tapi tetap berusaha tertawa di sampingnya.
“Makasih ya, Ji..” ujar Alice pelan.
“Kalau bukan kamu pun aku bakal nolong orang yang jongkok di tengah mall, Al.” jawab Jio. Berusaha tidak memberikan kesalahpahaman.
“Tapi kamu sekarang duduk disini karena aku Alice, kan?”
“Pulang yuk? Aku anter.” Jio memutuskan untuk menyudahi topik ini. Dirinya merasa bersalah kalau harus terus bersama Alice setelah membatalkan janjinya dengan Kai.
Alice menurut. Tubuhnya juga sudah lelah dan dia tidak lagi bersemangat untuk menyambangi toko baju seperti tujuan awalnya. Dia berjalan di samping Jio. Melihat tangannya yang menganggur membuat Alice ingin menggenggamnya seperti hari kemarin.
“Al..” tegur Jio karena Alice benar-benar berusaha menggenggam tangannya. Dia menepis pelan tangan Alice dan memasukkannya ke dalam hoodie.
Alice menunduk melihat penolakan itu. “Padahal dulu kita kemana-mana selalu gandengan..”
“Dulu ya dulu, Al. Aku udah punya pacar.”
“Kalau gitu putusin aja.”
Langkah Jio terhenti. Perkataan itu membuatnya benar-benar berniat untuk berhenti berurusan dengan Alice. Baginya ini sudah tidak sehat.
“Aku gak akan putusin pacarku cuma untuk kamu, Al. Aku sayang sama dia.”
“Melebihi sayang kamu ke aku?”
“Jauh, Al. Aku harus jaga dia sekarang, udah bukan kamu lagi. Porsi aku jagain kamu udah selesai. Udah ya, Al? Please?”