kaialice


Gue membuka mata yang berat akibat menangis semalam suntuk. Karena pesan Kak Elias semalam, gue mengurung diri di kamar, menangisi Kak Ji yang benar-benar tidak bisa dihubungi.

Gue menyesal gak menyelesaikan semuanya lebih cepat.

Berhari-hari setelah kejadian itu, gue berusaha hidup seakan baik-baik saja dengan perpisahan kami yang begitu singkat. Bisa dibilang, sebenarnya perpisahan kami hanya sepihak. Kak Ji belum mengatakan dia setuju dengan perkataan gue. Tapi diamnya itu membuat gue berpikir kalau dia menerima kata 'putus' itu. Terlebih dengan ucapan Alice sang mantan yang bilang kalau mereka balikan. Gue tau seharusnya gue gak asal bicara dan mengatakan kata putus. Tapi kecewa gue terlalu besar. Rasa sakitnya pun benar-benar gak bisa gue tahan lagi.

Gue keluar dari kamar dan melihat Kak Elias sudah berdiri di depan pintu dengan posisi siap mengetuk pintu.

“Hai,” sapanya.

Melihat dia membuat air mata gue jatuh perlahan. Gue berakhir di dalam dekapan kakak gue satu-satunya. “It's okay, you can cry as much as you want. I'm here for you.

“Harusnya gue ngehubungin Kak Ji ya, Kak? Harusnya gue selesaiin dulu masalah gue sama dia ya? Kalau gue hubungin dia mungkin jadinya gak akan kayak gini. Mungkin dia gak akan pergi gitu aja tanpa kabar..”

Dekapan Kak Elias makin kencang. “Hey.. No. Jangan gitu.. Ini semua keputusan Jio. Kita gak bisa apa-apa. Andai lo hubungin dia, kalau dia emang niat mau pergi ya kita bisa apa, Kai?”

Gue hanya diam. Pelukan kami dilonggarkan. Air mata gue dihapus walaupun percuma karena selalu muncul yang baru. “Di halaman belakang ada tamu. Lo mau mandi dulu atau langsung ditemuin?”

“Siapa?”

“Mandi dulu gih, biar enak.” ujarnya tanpa menjawab pertanyaan gue. Akhirnya gue tetap mengikuti perkataannya untuk mandi.

Setelah selesai gue turun ke bawah dan langsung menuju halaman belakang. Mendapati punggung perempuan berambut panjang yang sedang berdiri di depan kandang kelinci. Mendengar suara langkah gue, dia membalikkan badan.

“Kak Alice?”

Just call me Alice. I'm not even worth it to be called 'Kak'.”

“Ada perlu apa?”

I'm here to say sorry, Kai.” Alice meraih tangan gue sambil menatap gue dengan tatapan bersalahnya. “Harusnya aku gak ngelakuin itu. Harusnya aku gak ambil kesempatan buat ngehancurin hubungan kalian. Aku egois.”

Gue terdiam. Bingung.

“Aku sayang banget sama Jio, Kai. Even waktu kami sama-sama jauh, aku tetep sayang sama dia. Niatku balik ke Indonesia selain untuk nyelesaiin urusanku disini adalah untuk balik sama Jio. Aku tau itu bodoh banget dan kurang ajar karena aku yang nyakitin Jio duluan.”

Air matanya menetes. Gue pun sama. “Aku sadar udah gak ada ruang di hatinya buat aku. Semua udah keisi sama kamu. Bagi Jio aku cuma masa lalu yang gak bisa dilanjut. Niat awal aku ke rumahnya bukan untuk balikan sama dia lagi, Kai, tapi untuk bilang kalau aku udah siap hidup tanpanya. Aku mau ucapin selamat tinggal dengan layak.”

Dahi gue semakin mengerut. “Iya, pasti kamu bingung karena apa yang terjadi hari itu berbanding terbalik sama yang aku omongin. Tapi yang sebenarnya terjadi hari itu adalah aku yang nyium Jio duluan. I miss him so much sampai aku gak inget niat awalku. Dan waktu kamu bilang kalian udah selesai, aku tanpa sadar bilang kalau kami balikan, padahal gak sama sekali. Semua ini bukan salah Jio, ini salah paham yang aku buat sendiri. Dan aku nyesel udah ngelakuin itu..”

Gue memandang Alice lurus. Sekarang semua jelas bahwa Kak Ji gak pernah ngelakuin kesalahan hari itu.

“Kalau kamu mau benci aku, gapapa, kamu berhak. Aku yang bikin Jio pergi dan ditonjokin sama Elias yang salah paham waktu itu.” Kepalanya semakin tertunduk dalam. Matanya enggan melihat ke arah gue lagi.

“Alice..” panggil gue pelan. “Jujur aku kecewa. Tapi aku gak bisa salahin semuanya ke kamu. Aku juga dari awal gak pakai kepala dingin. Aku gak mau dengerin penjelasan Kak Ji dan gak ngehubungin dia.”

Gue memegang kedua pundaknya yang semakin bergetar. “Kita jatuh cinta sama cowok yang sama, aku gak bisa ngelarang hal itu karena itu hak kamu. Biar bagaimanapun kamu pernah ngisi hari-hari Kak Ji, kan?”

Alice menggeleng pelan. “Sekarang harusnya udah giliran kamu yang ngisi hari-harinya dan aku harusnya gak pernah ikut campur, Kai. Maaf ya..”

“Aku udah maafin kamu kok, Al. It's okay. Yang penting sekarang, kita harus cari Kak Ji sampai ketemu. Yang udah lalu biar berlalu, gak usah disesali banget.”

Alice langsung memeluk gue erat. Tangisnya justru tambah kencang. Gue menepuk punggungnya pelan. “Aku gak heran kenapa Jio cinta banget sama kamu, Kai. Hati kamu baik banget.”

Gue menarik diri dan menatap wajah Alice seraya tersenyum. “Aku juga gak heran kenapa Kak Ji gak bisa move on dari kamu selama 2 tahun penuh. Orangnya cantik begini kok.”

Kami tertawa pelan. Rasanya lega. Alice ini tidak seburuk yang gue kira. Dia tidak sejahat yang gue pikirkan. Dan, dia juga tidak menakutkan sebenarnya. Alice hanya terjebak masa lalu, sama seperti gue yang terjebak pada Bilal dan Kak Ji yang terjebak padanya.

“Oh iya,” Alice merogoh ke dalam tasnya. “Aku kesini untuk nganterin surat dari Jio yang ditinggalin buat kamu.”

Surat?