heartbreak problems


“Wanna take a walk?” Suara Jio menyeruak sedetik Kai membuka pintu kamarnya. Jio berdiri merentangkan tangannya, tanpa pikir panjang Kai langsung masuk ke dalam dekapannya. Suara bising teman-teman mereka di lantai bawah tidak mereka hiraukan. Pikiran mereka melayang di tempatnya masing-masing, membawa kebisuan di raga. Memang beberapa minggu ini mereka tidak bertemu secara intens seperti awal. Maklum, makin tua semester makin banyak tugas yang harus diselesaikan.

“Kamu mau jalan-jalan gak?” ulang Jio. Kai mengendurkan pelukannya. Jio sibuk menatap sambil merapikan rambut yang menutupi wajah Kai. “Mau. Jalan kaki tapi.”

“Iya, ayo.” Mereka turun dengan tangan saling berkaitan, membuat yang lain saling bersahutan meledek. Karena sebenarnya memang yang membawa atmosfer canggung adalah Kai dan Jio. Kalau Shannon, dia canggung karena pertama kali bertemu dengan teman-teman Kai saja.

“Gue sama Kai keluar dulu ya,” pamit Jio.

“Kemana?” tanya Elias.

“Udah malem, Bang, etdah ini kita mau sesi jurit malem.” Sahut Daffa melirik jam yang sudah menunjukkan hampir tengah malam.

“Mau beli martabak di indomaret depan komplek. Mau kan? Tadi katanya Kak Shan mau martabak?” ucap Kai memberi alasan. Mendengar itu Elias langsung mengeluarkan dompetnya dan memberi beberapa lembar uang ratusan. “Nih, beli yang banyak, pada laper pasti.”

Kini keduanya berjalan beriringan di tengah udara malam yang dingin. Tangan kanan Kai dimasukkan ke kantong hoodie Jio. “Kamu gak lagi ada masalah, kan?” tanya Kai.

Jio terdiam sebentar. “Nggak. Kalo kamu?”

“Sama.” Setelahnya mereka kembali menikmati sunyinya malam dan dinginnya udara Jakarta. Saat sampai di depan indomaret, Kai bilang biar dia saja yang beli minuman dan Jio yang memesan martabak.

Saat sedang memilih minuman, dia tidak sengaja menabrak seseorang sampai barang bawaan di keranjangnya jatuh. “Ya ampun! Maaf, Kak! Aku kurang hati-hati.” Kai diam-diam merutuki kebiasaannya yang tidak memperhatikan jalan.

“Gapapa, kok, akunya juga gak liat kamu tadi..” Kai melihat wajah perempuan itu. Cantik. Rambutnya panjang dan kaki jenjang. Membuat Kai bengong sesaat.

“Eh, ada yang rusak gak, Kak? Kalo ada yang rusak aku ganti aja.” tawar Kai. Perempuan tadi menggeleng.

“Gak usah, gapapa. Gak ada yang rusak juga, kok. Aku duluan ya..” Kai mengangguk dan membiarkan dia pergi menghampiri temannya di rak lain.

“Lis, milih apaan, sih? Lama amat. Udah jam segini anjir.” Sayup-sayup Kai mendengar percakapan perempuan tadi.

“Ini pasta bentuknya kan beda-beda, gue pilih dulu yang sama yang mana. Masa nanti pas dimasak beda-beda?”

“Yaelah, Alice.. Gak ada yang peduli juga, yang makan cuma kita berempat anjirrr.” Kai menelan ludah, tangannya tiba-tiba berhenti saat ingin mengambil botol minuman. Karena pikirannya yang kalut, dia jadi sensitif mendengar nama Alice. Padahal dia tau di dunia ini yang bernama Alice pasti banyak.

“Dulu, gue kalo masak sama Jio—”

“Gak usah makan pasta.” Potong perempuan tadi. Dia mendengar suara bungkus makanan ditaruh secara kasar ke dalam rak. Kai diam-diam mengerutkan dahinya Siapa tadi? Jio katanya?

“Dih, Kei?! Katanya mau masak pasta?!”

“Gue udah bilang, jangan bawa-bawa mantan lo lagi, Lis. Please, lah.” Entah hanya perasaannya atau bagaimana, dia merasa perempuan yang tadi ditabraknya sengaja menekan kata mantan. Omongannya juga terdengar sengaja dibuat lebih keras, seakan-akan ingin Kai mendengarnya juga.

Kai tau yang ada di indomaret itu hanya dia dan mereka berdua. Nadanya jelas seperti sindiran, tapi jujur Kai tidak mengerti maksudnya karena dia bahkan tidak mengenali wajahnya. Dia mencoba fokus untuk membayar minuman di kasir.

“Eh! Ada Hotwheels! Dulu Jio suka banget ginian. Gue beli satu kali ya?”

“Buat apaan, sih, Lis? Gue beneran gak ngerti cara pikir lo sumpah. Lepas gak tuh mainan!” Pikiran Kai makin kalut. Dia ingat betapa banyaknya pajangan Hotwheels di rumah Jio. Dia menolak kebetulan itu. Tidak mungkin kalau yang sekarang dia dengar adalah percakapan dari Alice yang dia pikirkan.

“Lis, udah lah. Si Adagio Valo itu, tuh, udah gak peduli sama lo, anjir. Udah lah, nyet!”

Deg. Kali ini dia yakin. Ternyata benar, yang dia temui adalah Alice yang 'itu' dan Jio yang mereka maksud adalah Adagio miliknya. Kini dia mengerti maksud dari sindiran penuh penekanan kata oleh perempuan tidak dikenalnya tadi.

Kakinya langsung melangkah keluar. Dilihatnya Jio juga sudah selesai dengan martabaknya. Tangannya langsung menarik Jio pergi dari tempat itu. Langkahnya terburu-buru, membuat Jio bingung karena kesannya mereka sedang lari dari sesuatu.

“Kai? Hey? Kenapa buru-buru? Ada yang ganggu? Kai? KAI STOP!” Keduanya berhenti, genggaman Kai terlepas. Jio memejam, menyesal karena kelepasan membentak Kai. Sedangkan Kai sendiri sudah meneteskan air matanya.

Dia benar-benar ketakutan. Takut kalau Jio tadi bertemu dengan Alice dan berujung mereka kembali berhubungan. Dia takut kalau cara dia 'dibuang' dulu terulang lagi. Sekarang dia mengerti, perasaan takut yang datang bukan hanya karena cemburu, tapi juga trauma patah hati. Jio menarik Kai ke dalam dekapannya, pelukannya erat, menunjukkan penyesalan.

“Maaf.. Maaf aku teriak ke kamu. Aku cuma bingung kamu kenapa tadi. Maaf..” Berulang kali terucap kata maaf dari mulutnya. Dia merasakan baju bagian pinggangnya diremas kencang oleh Kai yang tangisnya semakin deras tak bersuara.

“Kai.. Maaf..” Pelukannya mengendur, dia mengusap kedua pipi Kai yang basah oleh air mata. “Kamu kenapa, Sayang? Hm? Bilang sama aku.”

Kai menggeleng. Tidak mungkin dia berkata jujur kalau tadi dia bertemu Alice. Di benaknya Jio akan tiba-tiba berlari kembali ke tempat tadi. Dia tidak ingin itu jadi kenyataan. “Kak,” panggilnya dengan suara parau.

“Hm? Kenapa, Sayang?” balas Jio lembut.

“Kamu bakal ninggalin aku gak?” Jio keheranan.

“Ninggalin kenapa? Aku gak punya alasan kuat buat ninggalin kamu.”

“Aku takut kamu tiba-tiba pergi. Aku emang gak sempurna, Kak, aku juga gak bisa selalu ngertiin kamu, tapi aku minta satu hal. Tolong, nanti kalau rasa suka kamu udah berkurang, bilang, ya, sama aku? Biar aku lebih siap sama perpisahan. Biar aku bisa lepas kamu dengan lapang.” Hati Jio ikut merasakan sakit melihat Kai memohon dengan suara parau dan mata yang penuh air mata.

Dia mengangguk, lalu kembali memeluknya. Di dalam hati dia ikut memohon hal yang sama. Karena Kai tidak tau seberapa takutnya Jio yang berpikir akan diduakan. Jio pun tidak tau seberapa takutnya Kai perihal kepergian. Sejatinya mereka sama-sama takut, tapi tidak saling mengungkap. Sama-sama menahan, dan perlahan sama-sama tersiksa.