arjuna berbicara
Malam itu, gue lagi menyemili kacang mede yang tersedia di meja ruang tamu rumah Jio sambil nunggu yang punya rumah mandi. Anak itu udah tinggal sendiri di rumah yang cukup besar ini selama bertahun-tahun. Sejak duduk di bangku SMA dia belajar untuk mengurus dirinya sendiri. Gue dan Elias yang jujur—agak manja ke Ibu masing-masing udah sepakat kalau Jio adalah yang paling mandiri di antara kami bertiga. Seenggaknya sampai masuk kuliah, deh. Ya bayangin aja, dia sejak kelas 10 tinggal di kota asing yang baru dia datangi sekali saat itu dan harus mengurus semuanya sendiri. Awalnya, jujur gue berpikir dia menyia-nyiakan seluruh harta bokapnya yang punya rumah besar di Bandung. Tapi setelah tau alasannya, gue jadi merasa keputusannya tinggal di Jakarta adalah benar. Walaupun dia harus tinggal sendiri.
Kalau gue bayangkan, tinggal di satu atap bersama ibu tiri dan adik tiri yang dianggap menghancurkan kebahagiaannya bagaikan hidup di neraka. Walaupun gue bukan sebagai pemeran dalam hidup Jio, tapi jujur kalau gue ada dalam posisi itu, gue mungkin akan kabur saat itu juga. Gue yang hanya sebagai penonton saja merasa gak adil, apalagi Jio?
Sekarang anaknya baru turun dari tangga dengan rambut basah. Di tangannya ada ponsel yang berdering tapi gak dia angkat. Gue berasumsi kalau itu telfon dari Kai. “Angkat dulu kali.” Gue berkata sambil memasukkan kacang ke dalam mulut.
“Gue takut salah ngomong,” katanya lalu menaruh ponselnya di meja depan gue. Benar, telfon dari Kai.
“Berantem kenapa sih?” tanya gue. Dia berdecak. “Bukan berantem.”
“Terus?” Helaan napasnya sedikit frustasi, menandakan dia lagi banyak pikiran. “Gue tadi minta ketemu sama dia. Katanya dia lagi kerja kelompok sama temen cowoknya, namanya Jojo, lo kalo merhatiin sg-nya pasti tau. Entah kenapa gue gak nyaman aja setiap Kai ngomongin Jojo, karena kegiatannya akhir-akhir ini sama dia terus. Ya gue gak mau ngelarang, toh tugas kuliah, tapi gue jadi sensitif sendiri.”
Gue menutup toples kacang lalu menyedot aqua gelas sebelum angkat bicara. “Cemburu itu namanya.” Dia melirik gue kesal.
“Apa? Bener, kan? Lo jadi sensitif karena Jojo itu cowok. Kalo cewek, mah, lo gak akan segininya.”
“Gak cemburu juga, Jun, cuma gak nyaman aja—”
“Rasa gak nyaman itu timbul karena lo cemburu, PANJUL! Gak usah denial! Lo cemburu.”
Dia diam kali ini. “Ji, namanya hubungan, mah, gak bisa selamanya cuma berdua. Lo harus lemesin otot kalo ngeliat Kai sama cowok lain—selama dia gak ngelewatin batas. Lagian Kai juga gak suka, kan, sama si Jojo itu? Ya santai aja. Lo boleh tegang kalo Kai keliatan suka terus lo-nya dibuang. Lah ini cuma nugas?”
“Gue masih bisa nahan, Jun, kalo mereka cuma nugas. Tapi masalahnya janji malem ini jadi batal karena Kai tiba-tiba pulang sama Jojo. Jelas-jelas janjinya sama gue, kan? Dia justru bikin sg lagi dibonceng Jojo.”
Kacau ini mah. “Ji, manusia tempatnya lupa. Lo aja tau gimana gue sering lupa, Kai juga sama. Bisa aja dia buru-buru mau pulang karena capek dan pikirannya penuh karena tugas. Jadinya dia lupa kalo dia ada janji sama lo. Kemungkinan-kemungkinan itu harus lo pertimbangin, jangan langsung diambil hati. Lo harus denger dulu penjelasannya.”
Diam lagi. Bocah satu ini kalau diajak debat emang suka tiba-tiba diam. Gue jadi bingung apa gue salah ngomong atau justru omongan gue itu terlampau benar sampai dia kicep begini. Telfon dari Kai masih berdering, sampai akhirnya gue jengah sendiri. Gue ambil ponselnya, baru ingin geser ke tombol hijau, tangan gue dipelintir sama Jio.
“SAKIITTTT DONGO! LEPAS GAK?!”
“LO YANG LEPAS!” balasnya ngotot. Mau gak mau gue lepas ponselnya karena tenaga Jio itu kayak banteng. Bisa-bisa tangan gue keseleo karena dia.
“Pengecut, ah. Mana Jio yang gue kenal?” sindir gue. Dia justru natap gue sewot.
“Gak jelas.”
“Gini, Ji. Gue paham trauma yang lo dapet dari hubungan sebelumnya itu kayak apa. Ya.. walaupun gue gak sepenuhnya paham tapi gue tau—”
“Gak ada hubungannya kali,” potongnya. Sumpah, Adagio kalo lagi mode bebal tuh rasanya mau gue celupin ke dalem oli.
“Lo itu takut ditinggal, bego, makanya lo kayak gini. Lo mikir Kai sama kayak Alice sejak awal. Gue kan udah bilang, jangan anggep Kai sebagai Alice di dalam konteks apapun. Mau itu pribadi mereka maupun perilaku mereka. Alice ya Alice, Kai ya Kai. Alice ninggalin lo, bukan berarti Kai bakal ninggalin lo juga. Lo harusnya yang paling paham perbedaan mereka berdua, Ji. Gak mungkin lo sebuta itu, kan?”
Gue berhenti untuk minum sebentar, sedangkan Jio masih menyimak. “Jangan jadiin luka lama lo itu jadi pemicu luka baru lo. Jangan bikin masalah lalu lo jadi masalah baru. Jangan bikin kehidupan orang lain jadi berantakan karena kehidupan hancur lo dulu. Kalo kalian berdua sama-sama punya rasa kecewa karena masa lalu, harusnya kalian lebih dewasa buat ngehindarin masalah-masalah sepele kayak gini. Talk to her. Listen to her. Trust her. That's all you need.“
Tepat saat kalimat ceramah gue selesai, Elias datang dengan kantong plastik di tangan kanan dan kirinya. “Ji, adek gue nangis kenapa, bangsat?” tanyanya.
Gue kali ini cuma bisa menghela napas. Biarin 'calon' kakak-adik ipar ini membereskan masalahnya sendiri. Gue bagian nonton dan makan. Karena hidup itu cuma panggung sandiwara, Men.. Dan gue lebih suka jadi yang nonton sandiwara.