croissant n biscuit
Setelah adegan 'mengagumi ketampanan Jio diam-diam', Kai berjalan dengan memudarkan senyuman saltingnya barusan. “Udah lama, Kak?” Jio otomatis menoleh.
Yang pertama dia dapati adalah sosok Kai dengan kemeja putih dan celana kulot hitam di depannya. Terlihat santai tapi entah kenapa tetap ada poin plus karena Kai yang memakainya.
“Kita mau kemana, Kak?” tanya Kai setelah mereka keluar dari perpustakaan kampus. Dia melangkah mengikuti Jio tapi tidak tau mereka ingin kemana.
“Ke mana aja. Ke semua tempat yang bisa bikin emosi lo ilang.” Kai hampir melongo kalau saja dia ingat kalau harus menjaga image.
“Lo.. mau ngehibur gue gitu?” tanyanya, agar tidak salah mengartikan.
“Biasanya orang kalo lagi PDKT begitu, 'kan?” Kai menyembunyikan senyum kecilnya dan membiarkan Jio berjalan lebih dulu.
Kalau seperti ini, mah, dia tidak perlu hal lain karena amarahnya benar-benar sudah sirna sekarang. Melihat Jio yang tersenyum ke arahnya saja rasanya seperti angin sejuk usai berada di dalam ruangan tanpa ventilasi.
Jio memakaikan helm ke kepala Kai, dan yang dipakaikan menurut. Motor yang Jio bawa melaju pelan dan stabil. Keluar dari area kampus, lalu melewati beberapa lampu merah Ibu kota satu persatu. Mereka sampai di daerah Kemang, Jio memarkirkan motor di depan indomaret. Kai turun dengan wajah bingung.
“Indomaret, Kak?”
Jio melepaskan helm Kai dan juga helmnya. “Ada Point Coffee. Suka, kan?” Kai langsung menoleh ke dalam Indomaret. Benar juga.
“Suka, Kak.”
“Kalo gue? Suka gak?” Kai melongo sebentar. Lalu tawanya lolos melihat Jio juga tertawa. Keduanya sama-sama salting dengan pertanyaan barusan, benar-benar seperti remaja baru mengenal cinta. Padahal ini bukan yang pertama kalinya untuk mereka.
Jio menyuruh Kai duduk di tempat yang disediakan oleh pihak Indomaret. Ada dua bangku dan meja panjang yang bisa digunakan untuk minum kopi. “Lo mau apa? Biar gue yang pesenin.”
“Berdua aja, Kak, gapapa kok. Ayo bareng—”
Jio menahan kedua pundak Kai yang ingin berdiri, lalu menekannya pelan agar dia kembali duduk. “Gue aja. Mau apa?”
Kai akhirnya menyerah. “Matcha Frappe aja, Kak.”
“Mau croissant?”
“Boleh. Rasa keju.” Jio tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Mata Kai mengekori Jio kemanapun kakinya melangkah. Dia tersenyum melihat Jio membungkuk dan jongkok untuk mencari croissant yang biasanya ada di rak dekat roti-roti.
Kai mengalihkan pandangan dari ponselnya saat Jio menaruh matcha frappe miliknya di meja. Dia juga menaruh dua croissant keju. Kai tersenyum. “Makasih, Kak.”
“Anytime.” Dia membukakan bungkus kertas di sedotan lalu memasukkanya ke gelas matcha frappe milik Kai.
Jujur saja, perilaku Jio yang seperti ini membuat dia merasa spesial. Begitu spesial sampai dia takut kalau itu hanya perasaan sementara. Cepat-cepat Kai menyingkirkan pikirannya itu lalu membuka bungkus croissant-nya. Jio membeli dua biskuit bayi yang menarik perhatiannya.
“Biskuit bayi buat siapa, Kak?”
“Buat gue,” jawabnya santai. Tawa Kai menyembur. Jawaban yang tidak dia sangka. “Beneran buat lo?”
Jio mengangguk, membuka bungkus biskuit bayi itu. “Enak tau.”
“Emang iya?” tanya Kai sangsi. Dia tau mungkin saat bayi dia makan biskuit itu juga. Tapi dia tidak pernah memakannya saat sudah dewasa seperti sekarang.
“Mau coba?” Kai mengangguk. Diam-diam penasaran. Diambilnya biskuit bayi rasa pisang itu.
“Gak terlalu manis, ya?”
“Ya bayi asupan gulanya gak boleh terlalu banyak, Kai.”
“Oh.. Iya juga.” Mereka lanjut memakan makanannya masing-masing.
Tiba-tiba ponsel Jio berdering. Dia izin keluar untuk menerima telfon. Kai manut saja karena itu bukan ranahnya untuk melarang. Dia hanya memperhatikan Jio dari dalam. Cowok itu terlihat menatap kosong ke depan, berbicara hanya beberapa kata, lalu terlihat muak. Tentu ekspresi itu membuat Kai penasaran siapa yang sedang diajak bicara. Tapi lagi-lagi Kai sadar, bahwa itu bukan ranahnya.
Tak lama Jio kembali. Wajahnya berubah cerah tidak seperti saat menerima telfon tadi. “Sorry, lama ya?”
“Nggak, kok.”
Sebuah topik terlintas di kepala Kai. “Lo tuh asli Jakarta, Kak?”
Jio mengangkat kedua alisnya. “Hah? Nggak. Gue dari Bandung.”
“OH IYAA?? Kalo gitu lo tau gak bubur ayam yang di Asia Afrika? Yang jualan ibu-ibu, namanya Bu Darsi.”
Jio terkekeh. “Gue terakhir ke Bandung kelas 3 SMP, Kai. Abis itu gak pulang ke sana lagi. Jadi gue udah lupa. Lagian gue lebih sering main ke Braga dibanding ke Asia Afrika.”
Mendengar itu Kai terlihat agak kecewa. “Yah.. Padahal itu bubur terenak yang pernah gue makan.”
“Bubur di Jakarta juga banyak yang enak, kok. Yang depan komplek rumah gue itu enak, ayamnya banyak. Kapan-kapan lo cobain deh.”
“Oke oke! Eh, lo kenapa gak pulang ke Bandung lagi, Kak? Udah pindah semua ya, keluarga lo?”
“Keluarga gue masih disana. Gue disini tinggal sendiri. Ya... lebih nyaman disini aja.” Jio menjawab dengan canggung. Sudah lama dia tidak menceritakan tentang dirinya sendiri.
“Loh, kenapa? Padahal Bandung, kan, bagus tau, Kak. Gue aja waktu tinggal di Bandung seneng banget. Eh, gue bukan mengglorifikasi Bandung secara berlebihan loh... Tapi Bandung bagi gue tuh lumayan berharga!” Jio menaruh tangan kiri di dagunya. Tertarik melihat Kai yang semangat bercerita.
“Oh ya? Kenapa?” Alih-alih menjawab pertanyaan 'kenapa', Jio mengalihkan topik agar Kai menceritakan dirinya.
“Kan gue tinggal di Bandung untuk merantau ya, Kak. Ya.. agak lebay kalo dibilang merantau sih, orang cuma 2 jam jauhnya. Tapi Bandung tuh ngajarin gue banyak hal. Dimulai cara ngatasin home sick karena jauh dari keluarga. Terus cara ngatasin masalah sendiri tanpa pembelaan dari Kak Elias. Pokoknya banyak! Gue belajar untuk mandiri dan cari temen tuh di Bandung.”
“Lo tinggal disana sama siapa?”
“Sama nenek. Berempat sih sama Tante sama sepupu gue masih bayi.”
“Kalo Damian sama Daffa? Orang Bandung asli?” Kai mengangguk. “Asli banget mereka, mah. Dulu malah ngomong bahasa Sunda terus sampe gue cuma cengo doang. Akhirnya mereka yang ketularan logat Jakarta karena sering ngobrol sama Kak Elias di telfon. Gue gak bisa bahasa Sunda, btw.”
“Gue juga gak bisa, kok,” ucap Jio.
“Lo selama tinggal di Bandung gak ngerasa hal yang spesial gitu, Kak?”
Jio menerawang, berpikir, bagian mananya dari Bandung yang menurut dia spesial. “Spesialnya cuma sedikit, cuma sampe gue umur 10 tahun.”
“Kenapa emangnya?”
“Setelah itu Bunda udah gak ada. Jadi Bandung gak lagi spesial karena semesta gue udah hilang, semua berhenti di umur itu.”