the unrevealed part of her


Gue sampai di depan pintu besar rumah Elias. Setelah menelfon Tante Wanda untuk meminta izin, beliau memberitahu bahwa ada kunci darurat yang disimpan di bawah guci mahal yang ditaruh di depan pintu masuk. Gue lantas langsung mengangkat guci yang beratnya sebanding dengan berat Elias, lalu mengambil kunci di bawahnya. Tante Wanda juga berpesan kalau beliau akan pulang telat karena teman-temannya rempong.

Setelah itu gue masuk ke dalam rumah. Gue memindahkan bubur ayam dari tempat styrofoam ke mangkuk. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal, gue mengetuk pintu kamar Kai. Kira-kira butuh 5 ketukan dan 7 panggilan namanya untuk dia menyahut dari dalam. “Kai, ini gue, Jio. Kalau pintunya gak dikunci gue boleh masuk gak?” ucap gue, menghindari Kai harus repot turun kasur untuk membukakan gue pintu.

“Kak Ji? Lo ngapain?” balasnya agak samar karena terhalang pintu.

“Gue boleh masuk dulu gak?” tanya gue sekali lagi. Sepertinya berbicara tanpa terhalang pintu akan lebih mudah dan tidak menghabiskan energi.

“Buka aja, Kak, gak dikunci.” Gue membuka pintu perlahan. Mendapati Kai yang duduk menyender dengan lengan memeluk perutnya sendiri. Wajahnya pucat, rambut panjangnya sedikit berantakan, serta peluh kelihatan menghiasi dahinya. Melihat itu gue langsung paham kalau dia sedang menahan sakit yang amat.

Gue menaruh nampan di meja belajarnya, lalu berjalan ke arah tempat tidur. “Sakit banget?” Kai hanya mengangguk. Gue mengigit bibir bawah gue, bingung harus membereskan apa dulu.

“Udah sarapan?” Kai kali ini menggeleng. “Tadi udah disiapin Bi Asih, tapi gue gak bisa turun karena tiba-tiba sakit banget.”

Gue melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Cukup membuat orang yang baru makan tadi malam merasa lapar. “Gue bawa dua makanan. Satu bubur ayam, satunya lagi Roti O. Lo makan bubur dulu, nanti kalau masih laper baru makan roti. Kalau rotinya udah gak hangat nanti gue panasin di oven. Gimana?” Kai kelihatan setuju.

“Maag lo kambuh gak?”

“Enggak, Kak.” Gue mengangguk paham, lalu memberinya segelas air. Dia meminum itu sedikit lalu meraih mangkuk bubur di tangan gue. Segera gue tolak tangannya. “Gue suapin aja.”

“Hah? Gak usah, Kak, gue bisa sendiri kok.” Dia terdiam setelah gue menatapnya dengan menolak tegas.

Gue menyuapi Kai satu mangkuk bubur yang untungnya hanya tersisa sedikit. Tampaknya Kai memang lapar. Menahan sakit pun butuh tenaga, kan?

“Minum dulu.” Kai menerima gelas air putih tadi dan meminumnya sampai tandas. Wajahnya sudah kelihatan agak segar dari sebelumnya meskipun masih pucat. Gue menyerahkan satu botol kiranti yang gue beli di Indomaret tadi.

Usai memastikan dia meminumnya sampai habis, gue memerintahkan dia untuk duduk dulu dan jangan langsung berbaring karena baru selesai makan. Gue memposisikan diri di kursi meja belajarnya yang tak jauh dari kasur. “Masih sakit banget?” Kai hanya mengangguk pelan.

“Kok lo bisa disini, Kak?”

“Bisa lah. Naik motor.”

Kai kelihatan tertawa kecil lalu berdecak. Dia melihat gue seakan gue orang paling konyol. “Kak..”

Gue hanya tersenyum, lalu menjawab, “tadi Damian ngechat katanya mereka gak bisa ke rumah lo buat bantu. Berhubung keluarga lo juga lagi pada di luar, gue nyanggupin buat kesini. Kenapa? Lo gak nyaman ya kalau gue yang disini?”

Kai terlihat langsung menggeleng. “Bukan! Gue nyaman aja kok. Cuma agak bingung aja.”

“Tadi gue udah telfon Tante Wanda, katanya gapapa gue disini. Gue malah disuruh sampai malem disini nungguin Tante pulang.”

Dahi Kai terlihat mengerut. “Lo gak ada kelas emangnya, Kak?”

“Enggak. Dibatalin semua.”

Guel mulai memperhatikan seluruh isi kamar Kai yang terlihat tertata rapih. Satu-satunya spot yang berantakan hanya buku-buku bekas dia belajar di meja. “Ini boleh gue rapihin?” tanya gue tiba-tiba. Maklum, kebiasaan gue bersih-bersih membawa pengaruh untuk membereskan apapun yang berantakan di mata gue. Yang gak bisa gue benahi cuma satu. Hati gue sendiri.

“Boleh, sih, Kak. Tapi ngerepotin ah. Gak usah.”

“Enggak. Gue gemes banget liatnya.” Gue dengar Kai tertawa. Setelah dia menyetujui, gue mulai menyusun satu-satu buku dan menaruhnya di pojok meja belajar.

Perhatian gue lalu teralih pada hiasan snowball glass yang dipajang rapih di rak di atas meja belajar. Gue mengambilnya untuk mengocok airnya. Lantas butiran putih di dalamnya langsung berenang tak beraturan. Di dalamnya ada laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan. Lucu, sekaligus indah.

“Lo beli ini dimana?” Gue bertanya sambil menunjukkan barang itu.

“Dikasih mantan, Kak.” Dia menjawab dengan senyuman yang terlihat pahit. Gue jadi tidak enak hati. Lagipula kenapa tiba-tiba gue penasaran dengan banyak hal dan jadi ingin ikut campur urusan orang, ya?

“Mau gue ceritain gak? Tentang mantan gue.” Dia menawari. Melihat dia yang sukarela begitu gue jadi berpikir kalau gue tidak boleh cuma menyemplungkan kaki, harus basah satu badan. Karena itulah gue mengangguk.

“Jadi gue pacaran sama dia sejak kelas 10. Selama pacaran baik-baik aja. Meskipun banyak cewek yang ngejar dia, dia selalu ngelihat ke satu arah. Ke arah gue doang. Karena itu gue pikir kita bakal bareng terus bahkan sampai kuliah gitu. Tapi ternyata di penghujung tahun kelas 12, tepatnya kelas 12 semester 1, dia tiba-tiba mutusin gue.”

Gue diam menyimak. Tak sedikitpun gue mengalihkan pandangan dari wajah Kai yang sejak tadi bercerita sambil melihat ke arah jari tangannya. Lalu dia melanjutkan, “gue langsung bingung dong, Kak? Karena kita beneran gak ada masalah apa-apa waktu itu. Akhirnya gue tanya dia kenapa. Setiap hari gue tanya, gue desek dia karena dia gak ngomongin alasan. Ternyata dia jujur kalau dia udah bosen sama gue.”

Gue membuang napas pelan. Dari sekian alasan untuk mengakhiri sebuah hubungan, menurut gue alasan bosan adalah alasan paling basi. Karena harusnya, orang yang benar-benar cinta tak akan pernah berpikir untuk mengakhiri hanya karena bosan. Tapi gue memaklumi, mereka masih SMA waktu itu, alasan sepele ini sudah menjadi hal yang wajar. Well, meskipun gue tetap kurang setuju apabila alasan ini dipakai oleh orang dewasa.

“Gue nangis banget waktu itu, Kak. Bayangin aja hampir 3 tahun gue sama dia. Satu sekolah pun tau gue pacarnya. Yang susah hilang bukan perasaannya, tapi kenangannya. Semua kebiasaan yang biasa gue lakuin sama dia tiba-tiba hilang gitu aja. Gimana gue gak nangis, kan? Tapi gue jadi gak sesedih itu pas tau dia jalan sama cewek lain di minggu berikutnya.”

Dahi gue mengerut. “Jalan sama cewek?”

Kai mengangguk. “Iya, cewek barunya.”

Mulut gue jatuh sampai akan terbuka lebar jika tidak gue kendalikan. “Jadi dia mutusin lo karena udah ada cewek lain, dong?”

“Betul. Makanya gue merasa dikhianati banget. Tapi marah pun, udah gak berhak, kan? Karena dia pasti berdalih kalau dia bukan nyelingkuhin gue. Kita udah putus duluan sebelum dia jadian sama cewek itu. Jadi yang bisa gue lakuin cuma pamer kalau gue selalu okay tanpa dia. Padahal mah, ya agak susah, sih, hehe.” Gue mengangguk paham.

Kerap kali ada beberapa situasi dimana kita akan menutupi perasaan sebenarnya dengan memasang topeng bahwa kita baik-baik saja tanpa mereka. Selain ingin membuktikan bahwa kita tidak butuh orang itu, sebenarnya itu bagian dari membohongi diri sendiri bahwa kita tegar. Padahal aslinya tidak setegar itu.

“Terus dia sekarang gimana?”

Kai mengangkat kedua bahunya. “Katanya sih dia gap year. Tapi bukan karena gak keterima, dia pinter banget soalnya. Dia mau istirahat dulu, jadi ikut SBM tahun depan.” Satu helaan napas keluar dari mulutnya.

“Gue juga sebenernya udah mulai gak peduli sama dia sih, Kak. Tapi gak bisa gue pungkiri kalau misal dia muncul di depan gue lagi, luka itu bakal muncul dan gue bakal keinget sama semua kenangan gue sama dia. Makanya sebisa mungkin gue gak ke Bandung terlalu sering. Gue meminimalisir kemungkinan buat ketemu dia lagi.”

“Yaudah, lo di Jakarta aja. Ada keluarga lo, Elias, Damian Daffa juga,” gue menjeda. “Dan ada gue di Jakarta.”