persentase
Niatnya malam ini gue ingin menyelesaikan buku Laut Bercerita yang sudah seminggu gak gue sentuh karena gue harus menyelesaikan tugas dan mengantar Kai. Tapi Si Malas Arjuna itu gak mau rugi dan malah ingin numpang tidur disini. Gagal lah semua rencana santai gue malam ini.
Jadi, singkat cerita, satu bulan belakangan hidup gue hanya berkutat pada cewek yang notabene adik dari sahabat SMA gue yang kelakuannya kurang ajar. Awalnya gue memang gak berharap lebih pada anak baru lulus SMA yang memiliki kebiasaan teriak kalau semangat dan ngegas kalau pendapatnya disanggah kedua temannya itu. Tapi lambat laun gue mulai bisa menerima kehadirannya dan justru terbiasa dengan tingkah-tingkahnya.
Dalam kurun waktu satu bulan gue sudah bisa menilai kalau Kai itu 60% mirip Alice. Iya, Alice itu memang mantan pacar gue yang kebetulan baru putus 2 tahun lalu tapi rasanya hati gue masih sama sampai sekarang. Gue akan menceritakan lebih tentang Alice, tapi gak sekarang. Hati gue masih terlalu sakit dan dada gue masih terlalu sesak untuk mengingat-ingat luka lama yang gue paksa kering.
Kesamaan yang ada di diri Kai entah kenapa membuat gue jadi lebih perhatian. Gue tau ini salah, gak seharusnya gue memandang Kai sebagai kembaran Alice atau pengganti Alice hanya karena beberapa kemiripan di diri mereka. Maka dari itu gue bilang sama Arjuna, kalau gue harus benahi hati gue dulu, baru bisa buka hati untuk yang lain. Karena sejujurnya semua masih hancur dan belum bisa gue tata sendiri. Butuh waktu untuk mencari serpihan yang sekarang entah terselip dimana.
Omong-omong tentang Arjuna, sekarang manusianya sedang melangkah dua langkah ke belakang setelah gue yang teriak sewot karena sepatunya gak ditaruh di rak sepatu. Tapi bukan Arjuna namanya kalau gak dibalas ocehan khasnya. “Yaelah lu, udah kayak nyokap gue aja, perihal sepatu doang sewotnya minta ampun.” Arjuna menggerutu dengan bibir manyun dan dan dahi mengkerut.
“Jelas aja gue sewot, orang manusianya aja KAGAK JELAS.” Gue berteriak di depan wajahnya membuat air mukanya makin kecut.
Dia mengangkat tinggi-tinggi dua kantong kresek bening yang isinya dua bungkus nasi goreng dan dua gelas es teh yang gue tebak isinya teh poci depan SPBU dekat sini.
“Nih, sogokan.” Arjuna berjalan melewati gue yang masih berdiri di depan pintu. Dia merebahkan dirinya dengan santai, seperti di rumahnya sendiri.
“Lo makan duluan aja, gue ambil HP dulu ke atas,” ucap gue pada Arjuna yang tampaknya langsung mengantuk begitu bertemu sofa empuk.
Gue berlari ke atas, masuk ke kamar monoton itu dan mengambil ponsel yang gue letakkan di atas kasur. Setelahnya gue berjalan ke bawah sambil membalas pesan Kai yang bilang ingin ditemani chat karena dia habis menonton film horor pendek dengan Damian dan Daffa di kampus tadi sore.
Tanpa sadar senyuman lolos dari bibir gue, membuat Arjuna tertawa dari bawah sana. “Cie elah.. Beda ye, emang, kalau orang lagi kasmaran tuh.”
Gue mendelik. “Siapa juga yang kasmaran.” Jawaban gue tampaknya malah mengundang tawa Arjuna yang semakin kencang.
“Bukan kasmaran, tapi ini namanya pertanda bakal move on ya kan, ya kan?” Kedua alisnya naik turun membuat gue jengkel.
Tanpa bicara banyak, gue hanya duduk di sofa kosong sebelahnya sambil membuka bungkus nasi goreng pedas langganan kami bertiga. Satu tangan gue mengetik, dan satunya lagi memegang sendok. Piring nasi goreng gue letakkan di atas bantal sofa yang ada di pangkuan gue.
Tiba-tiba Arjuna bergerak mendekat, membuat gue memasang sirine bahaya untuk diri gue sendiri. “Jujur dah, Ji, cinta lo ke Alice udah tinggal berapa persen?” Ekspresinya mirip ibu-ibu julid di tukang sayur, membuat gue ingin menjitak bebas kepalanya andai punya tangan ketiga.
“Persen-persen, udah kayak game online jaman SMP,” sahut gue asal.
Dia berdecak. Tangannya menoyor bahu gue sebal. “Serius, anjir! Ini gue lagi mengira-ngira kapan lu bisa move on.”
Meskipun absurd, gue memutuskan tetap menjawab agar Arjuna gak banyak omong. “80 persen.”
“YAELAAHHHH, ITU MAH PERSENAN 6 BUKAN KEMAREN, JI!”
Gue mengangkat bahu. “Ya kenyataannya begitu.”
Arjuna tampak frustasi. Terbukti dengan effortnya menaruh piring hanya untuk mengacak rambutnya gemas. “Ji, move on dong, Ji, move on! Gue kasian dah sama lu seriusan.”
Dalam hati gue berkata, gue juga kasihan sama diri gue sendiri. Mungkin Alice disana sudah bahagia dengan keluarga kecilnya, tapi gue disini justru stuck dengan bayang masa lalunya.
Entah kenapa nasi goreng malam ini jadi berkali-kali lebih pedas karena topik yang dibuka Arjuna. Sialan.
Arjuna membuang napas kasar. Udah kayak dia yang paling frustasi dengan keadaan gue sekarang. Padahal harusnya gue yang repot, bukan dia. “Jangan bilang lo rela berurusan sama Si Cantik karena dia mirip sama Alice?”
Tepat sasaran.
Maksud gue, bukan membenarkan ucapannya 100 persen, tapi gue rasa itu salah satu alasan kenapa otak gue masih mengizinkan gue untuk terus berurusan dengan Kai satu bulan ini.
“Bener, Ji?” tanya Arjuna lagi karena gue belum menjawab. Gue bahkan berhenti mengunyah karena rasanya sukar untuk menelan, ini lagi dia malah meminta jawaban. “Kan, lo gak bisa jawab, kan?” lanjutnya.
Arjuna membuang napasnya kasar. Lagi. Entah sudah keberapa ratus gue dengar helaan kasarnya setiap berurusan sama gue. “Denger ya, sat. Gue udah kenal lo bertahun-tahun. Gue tau gak bakalan segampang itu lo ngelupain Alice. Gue tau cinta lo buat Alice tuh gak main-main, tapi jangan sampai lo nganggep orang lain itu sebagai Alice, Ji. Lo sama aja muterin labirin tapi yang ketemu jalan itu lagi, itu lagi.”
Gue masih diam, kunyahan gue makin lama, sama kayak omelan Arjuna yang juga makin lama. “Selama 2 tahun ini lo gak pernah mau berinteraksi sama perempuan kecuali dua hal, Ji. Satu karena tugas, dua karena kepepet. Awalnya gue pikir lo berurusan sama Si Cantik cuma demi Elias. Tapi pas gue liat lo di Fat Bubble ketawa dengan enjoynya sama dia, disitu gue yakin ada yang aneh.”
“What's wrong, Ji?” tanyanya final dengan nada hopeless.
Gue mendengus geli. “Kalau lo nanya what's wrong dan gue tau jawabannya juga gue bakal jawab dari 2 tahun lalu, Jun. Ini masalahnya gue juga gak tau kenapa rasanya gak berkurang drastis padahal gue kecewa sama dia.”
“Lo anggep dia sebagai korban atau pelaku, Ji, atas kesalahan ini?”
Di kalimat itu gue langsung natap Arjuna gak terima. “Gak mungkin gue anggep dia pelaku, Jun. Sampai kapanpun gue gak mau bikin dia jadi antagonis di hidup gue. Lebih baik gue yang jadi antagonis dengan gak nyari dia setelah tau semuanya.”
Arjuna langsung tertawa sekeras-kerasnya. Tampak puas menertawakan kebodohan yang barusan gue katakan. “Gila ya, gue gak sangka kalau lo beneran setolol ini, anjing.” Dia lalu langsung tertawa lagi.
“Ji, dimana-mana gak ada korban yang mancing pelaku duluan. Lo pikir Yogi yang suka duluan sama Alice? Terus dia yang ngehasut Alice atas semua ini? Kagak, anjing. Semua berawal dari Alice, bukan Yogi.”