adagio sang tenang


Dengan rambut yang masih basah usai mandi pagi, Kaia membuat nasi goreng sosis seperti rencananya. Karena Jio yang datang ke rumahnya jam 9 malam hanya untuk mengantarkan martabak telur yang terkenal ramai itu, Kaia jadi merasa tidak enak. Dia merasa keluarganya keterlaluan karena sudah membuat anak orang repot mengurus dirinya yang sebenarnya sudah dewasa ini. Dia paham karena titel anak bungsunya ini yang membuat dia dicap paling kecil dan harus dijaga adalah alasan utama keluarganya selebay ini. Tapi harusnya tidak sampai membuat Jio, yang notabene baru ditemui sebulan oleh Kaia, harus mengantri satu setengah jam untuk membelikannya martabak telur.

Jio datang hanya untuk mengantar itu dan menanyakan keadaannya. Hampir 10 kali Kaia dengar kata, 'lo seriusan gak apa-apa?' dari mulutnya semalam. Jadi hitung-hitung balas budi, Kaia membuatkan nasi goreng sosis yang sudah di-approved enak oleh Damian dan Daffa.

Saat sedang ingin memotong sosis, Kaia mendengar suara bel yang pertanda Jio sudah datang. Dia mempersilakan Jio duduk lalu kembali melanjutkan kegiatannya memotong sosis. Sialnya, dari sekian waktu dia harus mengiris jarinya sekarang, di hadapan Jio. Darah langsung mengalir dari ujung jari telunjuknya, membuat dia meringis.

Jio yang kebetulan sedang berdiri untuk mengambil minum langsung berjalan khawatir. “Kenapa? Kena pisau?”

Kaia hanya mengangguk. Selain karena sakit, dia sebenarnya takut melihat darah. Kakinya mulai lemas. “Sini.” Jio menarik pelan tangan Kaia dan melihat lukanya dengan saksama. Dicucinya luka di jari Kaia.

“Kok darahnya gak berhenti, Kak?!” tanya Kaia panik.

“Tenang, jangan panik. Sedikit lagi berhenti. Lo jangan goyang-goyang gitu.” Jio memegang pundak kiri Kaia untuk menuntunnya diam.

Tak lama darahnya mulai berhenti, napas Kaia yang tadinya tertahan jadi mulai sedikit rileks. Berkat pembawaan Jio yang juga tenang, Kaia sukses tidak panik. Seperti di rumah sendiri, Jio menyuruh Kaia duduk sembari dirinya mengambil kotak P3K yang disimpan di laci. Dia mengobati luka Kaia dengan hati-hati. Sesekali berhenti jika Kaia meringis sakit.

“Udah,” ucapnya saat plester luka sudah tertempel rapi di jari Kaia. “Lain kali hati-hati. Kalau megang pisau tuh jarinya jangan memanjang, tapi nekuk sejajar supaya gak kena jari.”

Jio berdiri, meninggalkan Kaia ke dapur. “Biar gue yang lanjutin, lo diem aja disitu. Hari ini batal dulu makan nasi goreng buatan lo.”

Kaia cemberut. “Padahal gue mau bikinin lo atas ucapan makasih buat martabak telur semalam.” Jio tersenyum kecil di balik punggung lebarnya yang dipandang Kaia.

“Yaudah, kalau gitu lo punya dua utang sama gue.” Kaia mengerut. Matanya menatap Jio yang membalikkan badannya sekilas.

“Yang pertama buatin gue nasi goreng. Yang kedua,” Jio menjeda karena fokus pada potongan sosis di hadapannya. “Utang buat gak luka lagi kayak tadi. Utangnya bisa lunas kalau lo jaga diri lo dengan baik.”