Benang Kusut yang Terurai


Laki-laki bersurai hitam itu kembali menghela napasnya kesekian kali. Langkahnya berat, kakinya seolah enggan meninggalkan kamar yang sudah ditempatinya sejak umur 6 tahun. Kamar yang berada tepat di sebelah kamar kembarannya. Kamar yang jadi saksi bisu jatuh bangun seorang Gata Batara yang selalu gigih mengejar kemauan sang ayah.

Kini, dia harus pergi menempuh pendidikan tingkat tinggi di negeri orang. Semua rencana untuk tetap tinggal di sisi teman-temannya sirna begitu saja. Helaan napas terakhir lolos dari mulutnya, kini tangannya meraih gagang pintu tanpa ragu. Dia mendapati Lunar yang sudah menunggu di depan kamarnya.

“Udah siap?”

Dia mengangguk. “Udah. Ayah Bunda mana?”

“Ayah udah di mobil, Bunda masih di dapur.” Lunar mengaitkan tangannya pada lengan Gata. Mereka berjalan beriringan menuruni tangga.

Setelah berkali-kali mengecek barang agar tidak ada yang tertinggal, mereka berjalan ke arah mobil. Gata melihat ke arah wanita yang sudah mengurusnya bertahun-tahun itu, lalu memeluknya. Badannya sedikit membungkuk saat memeluk perempuan paruh baya yang biasa dipanggilnya “Mbok” itu.

“Mas Gata.. Baik-baik yo disana.. Kalo kangen sama Mbok nanti telfon lewat Mbak Lunar aja..” dielusnya kepala Gata dengan sayang. Rasanya tak percaya melihat Gata yang dulu masih berlarian keliling rumah sekarang sudah tumbuh menjadi laki-laki tampan yang meninggalkan rumah demi pendidikan.

“Iya, Mbok.. Gata pasti telfon. Bakal kangen banget pepes ikan, sambel terasi, sama sayur asemnya Mbok. Di Amerika gak ada pepes ikan, Mbok, adanya burger.” ucap Gata mengundang tawa keduanya.

Mata Gata berkaca-kaca, sedangkan mata Si Mbok sudah mengeluarkan air mata sejak tadi. “Jaga diri disana loh, Mas Gata.. Mbok tunggu Mas Gata pulang ke rumah..”

Gata lalu beralih ke arah supir dan satpam yang sudah mendedikasikan dirinya untuk keluarga Prasetyo selama bertahun-tahun. Terkadang dia suka ngopi sore dengan keduanya di pos satpam rumahnya. Dari membicarakan pengalaman masa lalu sampai membicarakan anjing tetangga yang senang menggonggong jam 2 pagi.

“Pak Aryo, Pak Sugeng, Gata pamit yaa?” Gata memeluk kedua pria itu bergantian. Ditepuknya pundak Gata oleh Pak Aryo, supir pribadi keluarga Prasetyo.

“Mas Gata keren loh, bisa kuliah ke luar negeri.” Pak Aryo mengacungkan jempolnya bangga. Gata tersenyum malu. “Bukan apa-apa, Pak, lagi beruntung aja ini mah.”

“Lah, Mas, kalo beruntung doang mah saya juga bisa atuh? Saya kan orang paling beruntung ini,” sambar Pak Sugeng disusul dengan logat khasnya.

“Nanti tolong jagain rumah ya, Pak Sugeng, jaman sekarang banyak maling. Terus nanti tolong anterin Lunar kalo Pak Aryo lagi senggang, ya? Pacarnya Lunar suka nyebelin gitu soalnya, Gata agak gak percaya, nih.” Gata bisik-bisik di kalimat akhir membuat mereka makin tertawa geli.

“Jangan gitu atuh, Mas, nanti Mbak Lunarnya ngamuk loh..” balas Pak Aryo.

“Pokoknya Mas Gata tenang aja, rumah aman, Mbak Lunar aman, semua aman kalo dipegang sama Suryo!” seru Pak Sugeng semangat.

Gata melongo sebentar. “Suryo siapa tuh, Pak?”

“Persatuan dari Sugeng Aryo, Mas, masa gak tau sih?”

Tawa Gata menyembur. “Ah, Pak Sugeng mah ada-ada aja!”

Menit berikutnya Gata sudah duduk di mobil. Melambaikan tangan sampai mobil berjalan keluar dari pagar kediaman Prasetyo. Walaupun rumahnya tidak selalu hangat, tapi ketiga orang yang bekerja di rumahnya itu membuat rumah jadi ramai dan ramah. Saking seringnya ditinggal oleh Ayah dan Bunda, Gata Lunar jadi lebih akrab dengan orang-orang itu. Mereka memberlakukan ketiganya seperti keluarga, sama seperti mereka diberlakukan seperti anak sendiri oleh ketiganya.

Mereka lalu sampai di Bandara, memutuskan untuk singgah ke salah satu caffe untuk membeli minum dan beberapa kue. Lunar diajak oleh Bunda untuk beli makanan lain. Tinggallah mereka berdua. Ayah dan anak yang dekat tapi terasa jauh.

Bagi Gata, Ayahnya seorang pria yang hebat. Pria yang akan selalu menjadi motivasinya untuk sukses karena kegigihannya. Terlepas semua tekanan yang diberikan kepadanya dan juga Lunar, dia yakin tetap ada hati seorang Ayah untuk kedua anaknya.

“Mau bicara apa? Bilang. Harus berani. Laki-laki harus berani berucap dan memegang ucapannya. Lebih baik dikatakan sekarang daripada menyesal kalau kamu udah di atas pesawat nanti.” Gata tiba-tiba keringat dingin saat Prasetyo mengatakan hal itu.

Sampai detik ini, selalu banyak yang ingin Gata utarakan, tapi dia tidak cukup berani. “Gata jadi apa, Yah, setelah kuliah nanti?”

Kening Prasetyo mengerut. “Kenapa nanya Ayah? Memangnya Ayah itu Tuhan? Ya Ayah gak tau, lah.”

“Enggak, maksud Gata, Ayah mau Gata jadi apa?”

Prasetyo membuang napasnya kasar. Sedikit kecewa anaknya menanyakan hal itu. “Ayah gak mau ikut campur sama pilihan masa depan kamu. Tugas Ayah sebagai orang tua cuma sampai kamu kuliah, setelahnya kamu berhak memilih kamu mau apa dan mau bagaimana.”

Prasetyo menghela napasnya berat. “Asal kamu tau, Gata.. Ayah gak pernah benar-benar kecewa dengan kegagalan diantara pencapaian kalian yang luar biasa. Semua kritikan dan tekanan yang Ayah kasih itu sedikit dari bentuk ujian yang akan kamu hadapi kalau kamu menginjak ke dunia yang asli kelak. Kalau kamu dan Lunar tumbuh menjadi orang yang anti kritik dan tidak tahan dikritik, bahaya. Maka dari itu Ayah selalu mencari celah dari kesempurnaan kalian.”

Gata termangu, sejak tumbuh remaja ini adalah nada terlembut yang pernah dia dengar dari ayahnya. Biasanya Prasetyo lebih sering bicara tegas dan menusuk. Dia kira kasih sayangnya memudar bahkan hilang, tapi ternyata tidak.

“Mungkin kamu bingung kenapa Ayah gak pernah angkat bicara dan turun tangan setiap kalian dihina oleh orang-orang di sekolah. Tapi semua Ayah lakukan agar kalian terbiasa menyelesaikan masalah sendiri. Ayah gak mau kekuasaan Ayah disalahgunakan untuk menghukum orang-orang rendah seperti mereka. Ayah mau lihat sampai mana kalian bisa bertahan menghadapi pahitnya dunia. Ayah mungkin kelihatan acuh, tapi Ayah mengurus semuanya tanpa sepengetahuan kalian. Dunia itu jahat, Gata, dan kamu harus tau itu. Ayah gak mau kamu dan Lunar cuma berlindung di balik cangkang disaat sudah waktunya kalian menetas.”

Mata Gata memanas, kini tangan Prasetyo sudah melingkar di bahunya dan menepuk-nepuknya pelan. “Mungkin Ayah kelihatan gak peduli, tapi Ayah selalu tau, Ta. Ayah selalu jaga anak-anak Ayah dari jauh. Ayah sengaja menciptakan jarak supaya kalian terbiasa gak ada Ayah. Hidup Ayah gak pasti panjang, Ta, Ayah gak mau kalian ketergantungan sama Ayah.”

Kini air mata Gata sudah tak bisa dibendung. Kepalanya menunduk dalam. Badannya bergetar meredam tangis. Semua kenangan yang dia kira buruk dan menyakitkan kini perlahan sirna. Semua sikap yang diberikan oleh Prasetyo padanya kini seakan mempunyai arti.

“Maafin tangan Ayah yang selalu buat luka di diri kamu ya, Ta? Kekurangan Ayah sedari dulu selalu gak bisa kontrol emosi. Ayah selalu nyesel kalau tangan Ayah nyakitin kamu. Ayah bahkan terlalu malu buat meluk kamu setelah kamu dapat medali. Ayah bukan Ayah yang baik, Ta, Ayah terlalu banyak kurangnya. Jangan jadi kayak Ayah kalau kamu berkeluarga nanti.”

Gata menoleh dan langsung memeluk Prasetyo. Pelukan hangat yang sayangnya baru dia dapatkan setelah bertahun-tahun. Tangisnya meledak di dada Prasetyo. Semua emosi yang ditahannya keluar, membuat rasa bersalah di dada Prasetyo semakin besar.

Saat tangisnya agak mereda, Gata merenggangkan pelukannya. “Gata dari dulu selalu sedih, Yah. Gata kebingungan, Lunar pun sama. Kami kayak dua anak ayam yang ditinggalin induknya di tengah jalan. Maju bisa dilindas, mundur pun percuma karena kami harus tetap maju menemui induk kami di seberang jalan. Kami bertahan hidup cuma mengandalkan satu sama lain, berpikir kami bisa nyebrang jalanan itu sendiri. Tapi ternyata sampai kapanpun Gata dan Lunar masih butuh Ayah untuk jadi pelindung saat menyeberang jalan, Yah, kami gak sejago itu untuk nyebrang sendiri.”

“Tapi semua udah kejadian kan, Yah? Yang penting Gata udah dapat jawaban dari tanda tanya besar yang selama ini menuhin kepala Gata. Akhirnya Gata bisa berangkat dengan tenang tanpa beban. Semua tekanan yang Ayah kasih tanpa sadar bisa bantu Gata untuk berdiri kokoh di tengah ramainya jalan raya. Emang nyakitin, Yah, tapi Gata berterimakasih. Karena Ayah udah percaya sama Gata dan Lunar untuk menyeberang jalan tanpa pelindung. Mungkin kami sedikit lecet, tapi lukanya bisa sembuh dan hilang.”

“Gata mohon satu hal ke Ayah, tolong bilang hal ini ke Lunar juga, ya? Dia yang paling terpukul dengan semua perlakuan Ayah selama ini. Karena semenjak masuk SMP, kami kira kami udah kehilangan figur Ayah yang penyayang itu. Tiba-tiba kami kayak hidup di dunia yang beda dari waktu kami kecil. Bisa ya, Yah?”

Prasetyo menatap anaknya haru. Sedikit menyesali perilakunya yang terlalu keras itu. Berat juga dia rasa setiap pura-pura marah dan kecewa saat anaknya gagal. Rasanya dia ingin memeluk kedua anaknya dan membelikan mereka makanan enak setiap hari. Tapi dia tidak bisa, dia tidak ingin anaknya menjadi manja karena harta. Walaupun sadar caranya salah, tapi Prasetyo percaya kalau anaknya akan mengerti dan mengambil pelajaran dari situ.

Semua benang kusut antara Ayah dan Anak itu perlahan berubah lurus. Sang ayah yang meminta maaf, dan sang anak yang berlapang dada memaafkan. Sang ayah yang bangga, dan sang anak yang lega.

Sebenarnya, akar dari sebuah benang kusut adalah si pemilik yang tidak menaruh benangnya dengan benar. Jika saja si pemilik menyimpan benangnya dengan rapih, mungkin benang itu akan tetap lurus. Tapi benang kusut tidak selamanya buruk, semua bisa dibenahi perlahan. Sama seperti sebuah kesalahpahaman, seluruhnya bisa diselesaikan dengan hati yang lapang.

Kalau seperti ini, Gata bisa melangkah tanpa ragu lagi. Kini beban di ranselnya lebih ringan, masih bisa dia bawa dengan satu tangan. Kini dia pun bisa meninggalkan Lunar yang sudah berhasil dibawanya ke seberang jalan. Dia tidak perlu khawatir kalau Lunar menyeberang jalan yang lainnya sendiri, karena sudah banyak pelindung yang akan melindunginya di tengah jalan.

Dengan itu, hari ini, adalah hari terakhir Gata di Jakarta. Gata Batara Prasetyo, izin pamit untuk meraih mimpi. Harapannya, Gata bisa kembali ke rumah dengan bahu yang lebih kokoh, kaki yang lebih kuat, serta dengan dada yang selalu lapang.