fromranxx


“Kalo kata gue sih, Nathan setahun abis kuliah udah luntang-lantung,” ujar Raja melanjutkan candaan sore itu. Nathan melotot, melempar bungkus sampah ke arah Raja. “Jangan sembarangan, anjing, gue gak mau nganggur!”

“Bukannya elu, Ja, yang bakal tipsen mulu pas kuliah?” sanggah Ares dari balik layar. Yang lain tertawa, melihat Raja yang ikut melotot.

“Yang jelas Gata Lunar bakal tetep pinter, sih...” sambar Karin.

“Kalo mereka udah gak pinter mah hancur masa depan Indonesia.” Kali ini Lunar yang menjitak kepala Raja karena omongan lebaynya.

Mereka bercanda, berbagi tawa, melepas beban yang.. sebenarnya masih di pundak, tapi sudah mulai ringan.

Tiba-tiba asisten rumah tangga keluarga Prasetyo datang untuk mengantar kue sekaligus memanggil Gata. “Mas, dipanggil sama Bapak.”

Bapak yang dimaksud tidak lain adalah Prasetyo. Kebetulan pria 40 tahun itu sedang tidak berangkat ke kantor hari ini. Gata mengangguk dan berdiri. “Bentar ya, jangan kangen,” katanya pada yang lain.

Mereka lanjut bercanda, kali ini di sebelah Ares ada Chelsea yang baru pulang dari tempat UTBK. Lunar yang merasa Gata terlalu lama di ruangan sang ayah jadi heran. Tidak biasanya dia dipanggil lama saat ada teman-teman seperti ini. Biasanya durasi lama saat dipanggil ayah hanya pada waktu membahas obrolan penting.

“Mau kemana?” tahan Raja saat dia berdiri.

“Ke.. kamar Bunda, minta duit cash buat bayar makanan,” bohongnya. Padahal di kamarnya juga ada uang cash. Tapi letak ruangan Prasetyo searah dengan kamar orang tua mereka, sedangkan kamarnya dan Gata ada di lantai atas. Jadi dia tidak bisa menggunakan alasan ingin ke kamar.

Lunar berjalan pelan, berusaha mengintip ruang kerja Prasetyo yang tidak ditutup rapat. Terdengar samar suara Prasetyo dan Gata sedang beradu argumen. Dia berdiri di sebelah pintu, berusaha mendengar percakapan yang sebelumnya tidak pernah dia dengar.

Karena Prasetyo selalu disiplin. Dia hanya akan memanggil kedua anaknya ke dalam ruangannya untuk bicara masalah yang serius. Dan kalau dia memanggil Gata, maka Lunar tidak berhak tau apa yang dia bicarakan, begitu juga sebaliknya.

“Paspor kamu udah diurus sama sekretaris Ayah, kamu tinggal berangkat aja.” Lunar langsung mengerutkan dahi.

Untuk apa Gata ingin keluar negeri???

“Yah, beneran harus ya, Yah?” tanya Gata pelan.

“Harus. Kamu yang berani bilang iya, kan? Laki-laki harus menepati janjinya, bukan cuma di mulut doang.”

“Tapi Lunar gimana, Yah? Dia sendirian dong disini?”

“Kamu maunya dia ikut kamu ke luar? Gitu? Ya kalau mau Lunar ikut biar Ayah urus semuanya sekarang.”

“Enggak! Jangan, Yah! Lunar biar di Indo aja. Maksud Gata, biasanya kan Lunar gak lepas dari Gata, Yah, jadi takut Lunar sedih..” Suara Gata terdengar menciut.

“Gak usah ribet. Lunar biar disini, kamu jangan malu-maluin disana. Selesai harus cepat dan membanggakan. Percuma kamu masuk universitas ternama kalau gak bawa hasil yang memuaskan.”

Setelah itu Lunar mendengar hening. “Yah, sebelum Gata pergi, Gata boleh minta tolong satu hal lagi gak ke Ayah?”

“Apa lagi?”

“Tolong kalau Lunar buat kesalahan atau buat Ayah kecewa, jangan dilampiasin ke dia. Ayah boleh omelin Gata via telfon, tapi jangan Lunar. Tolong ya, Yah?”

“Kenapa? Kalau Lunar salah ya dia harus tau konsekuensinya.”

“Enggak, Yah, limpahin aja semua kesalahan Lunar ke Gata. Biar Gata yang tanggung jawab. Laki-laki harus bertanggung jawab kan kata Ayah? Ini bentuk tanggung jawab Gata sebagai laki-laki, Yah. Jadi Gata mohon, selama beberapa tahun ke depan, tolong jangan marahin Lunar. Selama Gata pergi, tolong jangan kasar sama Lunar kayak gimana Ayah kasar ke Gata. Tolong, Yah..”

Dada Lunar sesak mendengar suara putus asa Gata. Entah sejak kapan air matanya sudah turun deras di pipinya. Tidak ada jawaban Prasetyo setelahnya. Yang ada hanya suara langkah yang semakin dekat ke pintu samping dia berdiri.

“Lun?” perlahan pandangan Lunar bergeser, memandang saudara kembarnya yang menatap dia kaget.

“Lun, lo.... kenapa bisa disini? Lun, biar gue jelasin du—” omongan Gata terpotong karena Lunar menepis lengannya yang berusaha menggandeng Lunar.

Tangisan Lunar tidak bersuara keras, dia menahan sesak dadanya sebisa mungkin. Mengetahui fakta bahwa Gata selama ini berpura-pura akan masuk perguruan tinggi yang sama dengannya membuat dia merasa dikhianati.

Pantas saja selama beberapa bulan belakangan Gata selalu keluar tanpa sepengetahuannya. Kamar Gata juga selalu dikunci, tidak seperti biasanya.

Lunar tertawa miris, menertawakan dirinya yang sangat mudah ditipu. “Jelas aja lo selalu ngelak setiap gue mau liat berkas SBM lo dan selalu ngehindarin gue tiap gue lagi bicarain masalah kampus. Ya iyalah, jelas, lo kan gak pernah daftar SBM, jadi hal-hal itu cuma fiksi dan bullshit, kan, Ta?”

Lunar pergi menghampiri teman-temannya. Berniat memberitahu fakta yang dia yakin akan mengejutkan semua orang. Semua yang tadinya sedang tertawa mendadak hening saat melihat keadaan kacau Lunar. Raja sampai berdiri dari duduknya, menatap khawatir.

“Lun! Lun, sebentar!” panggil Gata yang menyusul di belakang.

“Lun, gue bisa jelasin ke lo. Ayo kita omongin dulu,” bujuk Gata.

“Lun, dengerin Gata dulu, Lun, dia—”

“Oh.... jadi kalian udah tau?” Lunar langsung memotong perkataan Nathan begitu saja. Kini dia menatap teman-temannya satu per satu. Tidak ada yang berani menjawab, paham apapun jawabannya Lunar akan tetap kecewa.

Raja melangkah untuk menghampiri tapi ditahan olehnya. Lunar seakan membangun tembok di sekelilingnya sekarang. “JAWAB GUE, KALIAN UDAH TAU?!” tanyanya lebih keras.

“Lun..”

“Bangsat ya. Hal kayak gini lo kasih tau ke semua orang tapi gak lo kasih tau ke gue, Ta? Lo tau perjanjian kita awalnya gimana, kan? Lo janji buat kuliah bareng gue disini, Ta, DI INDO!!” pekik Lunar.

“Lun, gue tau lo kecewa, tapi gue ada alasan lain, Lun. Gue minta maaf, okay?”

“Alasan apa?! Jelasin coba alasan apa yang bikin lo boongin gue sampe sebegininya? JELASIN!”

Gata membuang napasnya kasar. Tidak mungkin dia menjelaskan kalau dia membuat perjanjian dengan Ayahnya karena membantu Ayah Nathan tahun lalu.

“Lun, tadinya gue mau ngasih tau lo lebih awal kayak gue ngasih tau yang lain. Tapi gue gak mau bikin semangat belajar lo jadi down, gue gak mau fokus lo buyar cuma karena kecewa sama gue,” jelas Gata sebisanya.

“Tapi gak gini caranya, Ta. Lo bikin gue makin kecewa kalo begini. Lo nyembunyiin hal yang gak kecil buat gue, Ta, lo pun tau itu. Lo malah bikin kecewa gue makin besar. Gue berasa dikhianatin tau gak? Sama lo, sama kalian, sama semua orang.”

Napas Lunar tidak terkendali karena emosi yang berusaha ditahannya. Sejak kecil, dia tidak pernah dipisah dengan Gata. Sekolah dan juga tempat bimbel mereka selalu sama, itu mengapa sulit untuk Lunar berpisah dengan Gata. Apalagi untuk jarak yang amat jauh.

Kalau orang-orang mengatakan dia terlalu bawa perasaan atau lebay, dia mengerti. Tapi perasaannya nyata. Kecewanya benar ada. Amarahnya benar terasa. Dan menurutnya, dia berhak merasakan perasaan seperti ini. Jadi tidak ada yang berhak menghakimi dia terlalu perasa dan berlebihan.

“Gue butuh waktu..” ucap Lunar pelan. Mereka semua paham, memutuskan untuk membiarkan Lunar pergi ke kamarnya tanpa berusaha menahan.

“Gue bilang juga apa kan, Ta?” ucap Raja.

“Iya. Gue tau akhirnya bakal begini, Ja, gue tau. Tapi seenggaknya Lunar udah selesai UTBK. Terserah dia mau kecewa sama gue sampe kapan, itu hak dia, gue paham kok.” Gata menepuk pundak Raja pelan.

“Mungkin beberapa hari ke depan gue minta tolong lo buat jagain Lunar dulu ya, Ja? Gue kayaknya bakal keluar dulu, lo dateng aja ke rumah kalo bisa temenin Lunar.”

Raja mengangguk. “Iya, pasti gue jagain.”

Karin berjalan ke arah Gata, memberinya pelukan hangat. Karena dia tau tidak hanya Lunar yang sakit, tapi Gata juga.


“Gata!” seru Karin tepat setelah netranya menangkap Gata yang kini berjalan ke arahnya. Mulutnya tersenyum, tapi matanya memancarkan kesedihan.

Karin memegang kedua pipi Gata lembut, mengelus tempat yang menjadi sasaran tangan besar sang ayah. Meskipun Karin belum tau apa yang menjadi alasan Prasetyo melakukan ini pada Gata, dia yakin masalahnya terlalu besar untuk dia campuri.

“Mana yang sakit?” tanya Karin lembut. Gata menggenggam satu tangan Karin yang masih ada di pipinya. Perlahan dipindahkan ke dada kirinya, tempat dimana jantungnya —atau diisyaratkan sebagai tempat hati manusia merasa— berada.

“Disini, Rin. Sakit banget, sampe aku udah gak bisa nangis atau teriak lagi.”

Dahi Karin mengerut sedih. Dibawanya Gata ke dalam dekapan hangatnya. Berharap bisa meringankan sedikit beban yang selama ini dipikul, juga berharap menyembuhkan luka yang selama ini dibiarkan.

Lama-lama tubuh Gata bergetar. Dia menangis, untuk kesekian kalinya. Bahunya runtuh karena beban yang terlalu berat. Lututnya lemah karena terlalu lama berdiri tegak. Semua dinding yang dibangunnya tebal tiba-tiba hancur perlahan. Dirinya tidak sekuat yang dia kira. Hanya di depan Karin, dan hanya disaat tertentu dia seperti ini.

Semua manusia memang punya kelemahannya sendiri. Semua punya titik dimana mereka lemah dan tidak sanggup berdiri. Dan malam ini Gata memutuskan istirahat dari berlari.

“Aku bingung, Rin. Aku takut ninggalin Lunar sendirian..”

Karin membawa Gata duduk di bangku taman. “Kenapa? Kan ada aku, ada Raja, ada Nathan, Ares juga katanya nanti di Jakarta. Kita jagain Lunar kok, Ta..”

“Bukan masalah itu, Rin. Aku percaya kalian bisa jagain Lunar disini. Tapi aku gak yakin Lunar bakal baik-baik aja di rumah sendiri.” Gata menjeda ucapannya untuk menstabilkan napasnya.

Karin memutuskan untuk diam, membiarkan Gata mengeluarkan apa yang ingin dia bicarakan. “Kita dari kecil biasa sharing beban yang sama, Rin. Kalau Lunar dituntut sekolah di tempat A, maka aku juga dituntut itu. Tapi sekarang casenya udah beda. Aku harus ke luar negeri sedangkan Lunar sendiri di PTN Indo. Aku takut dia bakal jadi sasaran kekecewaan Ayah kalau aku gak ada. Biasanya aku yang diomelin Ayah kalau kita ada masalah, bukan dia.”

Mendengar itu, dahi Karin otomatis mengerut heran. Melihat kebingungan di wajah Karin, Gata meneruskan ucapannya. “Kalau kamu bingung kenapa aku terima aja buat nerima hukuman Ayah padahal bisa ditanggung berdua, ya alasannya karena aku laki-laki dan aku sayang sama Lunar.”

“Tapi harus banget nyakitin diri kamu begini, Ta?”

“Aku gak pernah nganggap ini nyakitin diri, Rin. Aku anggap ini bentuk perlindungan aku buat perempuan yang aku sayang. Siapapun bakal aku lindungin, termasuk kamu.”

“Terus, kapan kamu bakal bilang ke Lunar? Cuma dia yang belum tau kamu mau ke luar loh, Ta.”

Gata mengacak rambutnya. Membayangkannya saja dia sudah tidak tega. Melihat Lunar yang menatapnya kecewa merupakan hal yang dia hindari.

“Biar dia tau sendiri, Rin. Aku gak mau bilang sama dia, aku gak tega.”

Karin hanya bisa menghela napas. “Kalau itu yang menurut kamu baik, silahkan. Tapi kamu tenang aja, aku akan berusaha isi posisi kamu buat Lunar disini. Aku pastiin dia baik-baik aja kalau gak ada kamu.”

Gata menatap Karin haru. Direngkuhnya tubuh kecil Karin. “Makasih ya, Rin..”

“Sama-sama. Tapi aku juga minta sama kamu, jangan nyelesaiin apa-apa sendiri kayak gini. Sekali-kali kamu juga harus cerita ke Lunar.”

“Bakal aku coba, Rin.”


Entah sudah berapa kali Kaia menghela napas kasar sejak melihat Jio sudah duduk di sofa ruang tamu bersama Maminya—Wanda—dari jam 10 pagi. Padahal sudah dia niatkan kalau dia malas berurusan dengan Jio lagi. Terputar memori saat dia duduk berhadapan dengan Jio di salah satu tempat makan ayam gepuk waktu itu.

“Lo makannya jangan receh-receh bisa gak?”

“Makan tuh pelan-pelan biar gak keselek.”

“Kalau cuci tangan di kobokan jangan tumpah-tumpah airnya, nyusahin yang kerja aja lo.”

Atau yang paling menyebalkan, saat Jio bilang, “Lo makannya berantakan, kalah sama anak SD.”

SEMENYEBALKAN ITU, kalau kata Kaia. Tapi apa boleh buat? Daripada dia naik taksi online dan membayar bolak-balik, lebih baik dia memanfaatkan yang ada. Tidak perlu diajak bicara, toh ada Damian dan Daffa nanti, dia bisa lebih fokus ke dua orang itu dibanding Jio.

Yang lebih membuat Kaia kesal, Jio di depan Wanda begitu beda dengan Jio saat berdua dengannya. Benar-benar beda 180 derajat.

“Kak Jio, ayo berangkat sekarang. Kan jemput Damian dulu.” Kaia memutus obrolan Wanda dan Jio yang tengah seru, membuat Wanda melotot karena anaknya memotong Jio yang sedang bercerita.

“Tar dulu, ih! Jionya lagi cerita loh ini,” balas Wanda.

Kaia berdecak. “Kan kesini niatnya mau nganter aku, bukan story telling.” Kaia melihat Jio yang menatapnya datar.

Jio tersenyum kecil lalu berdiri. “Yaudah, Tante, lanjut besok aja ceritanya. Nanti Jio kasih tau juga toko bunga yang bagus, malah kalau perlu Jio anterin.”

“Lohh.. lagi seru padahal. Kamu, sih!” omel Wanda pada Kaia. Kaia melongo lalu langsung mengambil tangan kanan Wanda begitu saja. Disaliminya perempuan berumur 42 tahun itu untuk mempercepat keberangkatannya.

“Aku pergi dulu ya, Mi. Nanti kayaknya Daffa sama Dami mau kesini deh, gapapa?”

“Oh mau main? Gapapa, dong.. Nanti Mami buatin puding. Makannya pesen aja ya nanti? Mami lagi males masak, nih.” Kaia mengangguk mengiyakan.

Dia melengos keluar meninggalkan Jio yang masih sibuk berpamitan. Dia berdiri di samping kursi penumpang mobil Elias. Mobil yang sama seperti yang waktu itu dia tumpangi saat pertama bertemu Jio.

Jio menekan tombol buka pada kunci mobil. Berjalan ke arah kemudi dihiasi dengan senyuman miring. Dia tidak habis pikir melihat tingkah Kaia yang menurutnya kekanak-kanakan.

Usai meninggalkan komplek besar rumah Kaia, Jio membuka suara. “Lo dendam banget sama gue?”

Kaia mendengus. “Lo selain salty, ternyata seneng geer juga ya, Kak?”

“Loh? Bukannya sikap lo dari awal gue dateng tuh nunjukkin lo ada dendam sama gue?”

“Duh, sorry ya, Kak, gue gak segabut itu buat dendam sama lo.”

Kali ini Jio berdecih, malas berdebat lebih panjang dengan anak baru lulus SMA. “Kosan temen lo dimana?”

“Deket stasiun depan, nanti nunggu di depan alfamart katanya dia.” Jio hanya mengangguk tanpa respon lebih.

Jio memutuskan memecah hening dengan menyetel lagu yang sepertinya sudah dia dengarkan beratus-ratus kali.

Mereka sampai di depan alfamart. Mendapati Damian yang sedang mengobrol dengan tukang rujak yang mangkal di depan. Kaia turun menghampiri. “Dam,” panggilnya.

Damian menoleh lalu langsung protes. “Lama bener, lu bangun candi dulu?”

Tangan Kaia langsung menjitak kepala Damian tanpa ragu. “Masih untung gue jemput!”

Mereka lalu masuk untuk melanjutkan perjalanan. Kaia pindah ke kursi belakang, menyuruh Damian duduk di samping kemudi.

“Bang, ini lo mau muter When We Were Young sampai berapa kali?” tanya Damian yang kebetulan sudah saling berkenalan dengan Jio 15 menit lalu.

“Kenapa emang?”

“Enggak, gapapa, cuma bingung aja lo gak ganti lagunya.”

Detik berikutnya diisi dengan Damian yang bercerita pada Kaia perihal tetangga kos barunya yang genit. Mereka mengobrol tanpa mengindahkan eksistensi Jio.

Mereka sampai di stasiun lebih lambat dari jadwal kedatangan Daffa. Jadi tidak perlu menunggu lama, Daffa sudah berdiri untuk langsung naik mobil.

“Lo pada tau gak, sih? Gue tadi tuh di kereta NGURUSIN ORANG MUNTAH, ANJIR!! Beneran kalo orang norak tuh mendingan naik motor aja sumpah dah, jangan macem-macem naik kereta. Bikin repot aja bangsatt!!” ceritanya heboh.

Jio yang mendengar langsung menggeleng-geleng. Kebisingan suara mereka yang saling sahut-sahutan membuatnya pusing.

“Eh, ini siapa, Kai? Sopir lo? Busettt, trendy bener!!”

Daffa langsung mendapat cubitan dari Damian. “Bukan, goblok! Mulut lo jangan asal napa.”

“Sakit anjirrrr!!” omel Daffa. “Terus siapa dong?”

“Temennya Bang Elias, namanya Adagio pake G.”

Daffa mematung sebentar. Berusaha mencerna. “Adagio tapi pake G tuh gimana dah? Kan dibacanya tetep J? Kenapa gak Adajio aja pake J?”

“DIH, KOK ELU YANG NGATUR ANJIRR!” balas Damian kesal.

Kaia memejamkan mata frustasi. Ditutupnya mulut Daffa dari belakang, menarik Daffa dengan tangan mengitari lehernya. “Jangan banyak bacot, Daf. Semakin lo bacot semakin gue mau ngeruwes muka lo.”

“AHAAN HIH, LEPHAASSS!!” teriaknya kesulitan bicara karena mulutnya ditutup.

Jio menatap Damian yang menggelengkan kepala melihat adegan ribut itu. “Dia emang biasa seberisik ini?”

“Ya... gitu deh, Bang. Waktu itu saking berisiknya dia pernah dikejar soang. Terus pernah juga mecahin alat praktek anak IPA gara-gara nyanyi potong bebek angsa di lab.”

Jio mengutuk Elias dalam hati. Kalau tau akan bertemu orang-orang macam Kaia dan temannya, mungkin dia tidak akan mengambil tawaran Elias. Karena dunianya terbiasa sepi, setelah mentari miliknya pergi.


Stasiun Gambir, saat matahari sudah hampir kembali ke peraduannya

Laki-laki bermata tajam bak elang itu berdiri dengan tangan bersarang di kedua kantong celananya. Kakinya mengetuk tanah dengan tempo lambat. Kebisingan Stasiun Gambir itu seakan tidak mengganggu dunianya. Sepasang earphone bertengger di kedua telinganya, memutar lagu dari masa lalu. Seakan lupa dengan alasan utama mengapa dia berdiri di parkiran stasiun, laki-laki itu menatap kosong jalanan di depannya.

Di sisi lain, Kaia yang kesulitan membawa ransel dan koper berukuran sedang itu sekarang menengok ke kanan dan kiri untuk mencari sosok yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

“Elias monyet,” umpatnya dalam hati. Mengutuk sang kakak yang tidak menjawab telfonnya. Baginya mencari mobil Xenia milik Elias di tengah banyaknya manusia tidaklah mudah. Apalagi dia tidak diberi nomor teman Elias itu. Entah kenapa juga tiba-tiba stasiun begitu ramai jadi parkiran mobil dan motor hampir penuh.

Akhirnya dia menemukan mobil Xenia milik sang kakak yang berplat B 333 KEL itu. Kalau tidak salah, waktu itu Elias bilang arti tiga huruf belakang platnya adalah Kanaka Elias, nama panjangnya. Plat yang dibilang alay oleh Kaia bahkan sampai sekarang.

Netranya menangkap seorang laki-laki yang sedang duduk menyender di kap mobil Elias. Dia berjalan mendekat dengan perlahan. “Misi, lo temennya Kak Elias, kan?”

Jio tersadar dari lamunannya dan menatap Kaia. Kepalanya mengangguk. “Iya. Lo adeknya, kan?” Dibalas anggukan pula oleh Kaia.

“Yaudah sini kopernya, gue taruh di bagasi.” Kaia menyerahkan kopernya pada Jio yang langsung menaruhnya di bagasi.

Kaia masuk ke mobil lebih dulu, sedang mengutuk Elias yang baru membalas pesannya dengan alasan sedang men-charge ponselnya. Jio sudah duduk di kursi kemudi, memasang seatbelt dan mulai menyalakan mesin.

Matanya lalu menangkap seatbelt Kaia yang belum terpasang. “Kalau mau ditilang di hari pertama sampe Jakarta gapapa sih, paling kakak lo yang bayar,” sindirnya. Kaia langsung menoleh, mendapati Jio yang bicara tanpa melihat ke arahnya. Matanya sedikit memicing sebal sebelum memasang seatbelt.

Belum kenalan tapi udah nyindir, pikirnya. Tanpa membalas perkataan Jio, Kaia memilih diam dan melihat ke arah jalanan yang asing. Kaia sudah menghabiskan waktunya selama 6 tahun di Bandung untuk menempuh pendidikan. Karena kepribadiannya yang kelewat bebas, dia meminta pada kedua orang tuanya agar tinggal di Bandung bersama neneknya. Sekarang saat dirinya sudah menyelesaikan tahun ketiga di SMA, Maminya memerintahkan dia untuk kuliah di daerah Jakarta. Alhasil, dia berusaha masuk ke kampus negeri yang kebetulan dekat dengan rumahnya di Jakarta. Kampus tempat Kakaknya, Elias, berkuliah.

“Makan dulu.” Tiba-tiba Jio berbicara, membuat Kaia kaget. Suasana mobil yang sepi tanpa musik di tengah kemacetan menambah kecanggungan yang ada.

“Lo ngajak atau...”

“Nyuruh. Gue males denger kakak lo ngomel, jadi lo harus pulang dengan perut terisi.” Kaia memperhatikan Jio dari samping. Sampai saat ini bahkan dia belum tau namanya.

Sorry deh, Kak, tapi... ini lo gak ada niatan buat ngasih tau nama lo, gitu? Atau lo mau gue panggil Kak Jamal aja?”

Jio mengerutkan keningnya. “Apaan deh, aneh banget tiba-tiba Jamal?” Kali ini Jio menatap ke arah Kaia karena kebetulan macet di Jakarta kali ini tidak mengizinkan dia untuk bergerak.

“Ya lonya aja gak ngasih tau nama,” balas Kaia tiba-tiba ngotot.

“Nama gue Adagio. Tulisannya pakai G, tapi dibacanya J.”

“Dipanggilnya?”

“Jio.” Barulah Kaia mengangguk mengerti.

“Unik,” pikirnya.

“Lo udah lama kenal Kak Elias?”

“Gue temen Elias dari SMP. Lo gak tau?” Jio menoleh sebentar dan melihat Kaia menggelengkan kepala. Tidak bisa menyalahkan juga karena dia bahkan lupa Elias punya adik perempuan.

Kaia akhirnya sibuk mengambil selfie untuk mengabadikan kedatangannya ke Jakarta hari ini. Tangannya yang terulur ke depan membuat Jio kesusahan melihat kaca spion di kiri. “Duh, sorry banget, nih. Lo bisa diem dulu gak? Gue susah liat spion.” Jio menegur Kaia kesal.

“Iya, sorry.” Kaia menurut, tapi wajahnya tiba-tiba bete.

Karena bosan dia mengotak-atik radio, mencari yang lagunya paling heboh untuk mengusir bosan karena macet Ibu Kota. “Gue gak bisa fokus kalau lagunya berisik. Cari yang slow aja gak bisa?”

Kaia berdecak sebal. “Salah mulu gue!” Lalu tangannya memencet tombol off pada radio tadi.

“Ya iya, lah! Lo lagian pecicilan banget, sih. Gak bisa diem dikit?”

“Bosen, Kak, macet!”

“Gue juga tau macet. Tapi kalau lo gerak mulu, lo ganggu konsentrasi gue ke jalanan. Mau nabrak? Hah?”

Kaia menatap Jio sinis, dibalas tatapan kesal Jio. Mereka saling menatap tajam satu sama lain sampai akhirnya memutus kontak mata secara bersamaan karena suara klakson yang menyuruh mereka maju. Dalam hati, mereka berniat untuk tidak berurusan satu sama lain. Kepribadian mereka yang sudah bertolak belakang sejak awal adalah pertanda bahwa mereka tidak ditakdirkan untuk memiliki hubungan lebih. Tidak sampai takdir menggariskan hal yang berbeda.


“Lu mau kemana, anjir?” tanya Nathan sambil menahan tangan Raja yang tiba-tiba berdiri dari tempatnya. Ares yang juga ikut melihat di layar laptopnya memperhatikan dengan heran.

“Ketemu Lunar,” jawab Raja. Dia mengambil jaketnya yang digantung dekat tangga dan memasukkan ponselnya ke kantong. “Kata Gata dia pergi dari rumah, diem di taman rafles. Dia lagi gak mau ngomong sama Gata jadi gue yang samperin buat nyuruh pulang.”

“Ngapain, anjir? Dia kan gak mau ngomong sama Gata, kenapa jadi lo yang bujuk?”

“Ya dia cewek gue, Nat? Masa masih nanya juga?”

“Tapi kan—”

“Mau dia salah atau enggak, kita lagi ada masalah atau enggak, ya dia tetep cewek gue. Intinya gue keluar dulu, lo kalo mau makan atau apa ambil aja di dapur.” Raja langsung berjalan tanpa mengindahkan panggilan Nathan.

“Kemana dia, Nat?” tanya Ares yang kurang jelas mendengar percakapan mereka dari seberang sana. Nathan kemudian menatap layar laptop Raja dan menaikkan bahu. “Taman Raflessia nemuin Lunar. Biarin aja dah.”

Terdengar helaan napas Ares. “Semoga pulang-pulang udah baikan, deh.” Nathan mengangguk setuju. Tampaknya bukan hanya dia yang tidak suka kondisi panas seperti ini.


Raja memakirkan motornya di salah satu warkop dekat Taman Rafflesia, taman yang sering dijadikan tempat mereka main ayunan untuk mengenang masa lalu. Tadi Gata bilang dia berdiam di warkop sambil melihat ke arah Lunar yang sekarang sedang duduk di bangku panjang.

Gata keluar dari warung kopi itu untuk menemui Raja. Geraknya canggung, merasa bersalah usai keributan yang dibuatnya tadi. Raja menatap Gata malas. “Lo pulang aja sana,” suruhnya pada Gata.

“Gak usah, gue disini sampe lo sama Lunar pulang.” Raja langsung memutar bola matanya dan membuang napas kasar.

“Buat apa? Buat ikut campur lagi?”

Gata buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Ja, tapi maksudnya biar gue bisa mastiin Lunar baik-baik aja.”

Sanggahan Gata tidak membuat Raja menjadi lebih tenang. Menurutnya tetap saja menyinggung perasaannya. “Jadi lo gak percaya kalo gue yang jagain Lunar? Yaelah, Ta, gue juga gak bego, gue bisa jagain Lunar tanpa lo awasin. Gue bisa bawa dia pulang tanpa lecet sedikitpun, gue bisa mastiin dia baik-baik aja sebelum pulang. Gak usah ngeraguin gue gitu, lah.” Raja menatap Gata tajam.

Sudah merasa kalah dan salah, Gata akhirnya mengangguk pelan. “Oke, gue serahin Lunar ke lu. Maafin gue yang tadi, Ja.”

“Masalah itu kita bahas lain waktu. Mendingan lo cepet pulang atau gue yang pulang,” ancam Raja karena menurutnya Gata terlalu banyak omong.

Usai melihat Gata pergi dengan motor vespa kesayangannya, dia berjalan ke arah Lunar setelah menitipkan motornya pada penjaga warkop dengan mengiming-imingi akan membayar biaya parkir.

Sebenarnya dia sedikit ragu, takut mulutnya sewaktu-waktu akan mengeluarkan kalimat yang semakin menyakiti Lunar. Karena jujur, walaupun dia juga lelah dengan keadaan seperti ini, dia yakin Lunar juga sama lelahnya. Tapi Raja memberanikan diri untuk tetap melangkah, mencopot jaket di sela langkahnya, lalu menyampirkan di kedua pundak Lunar yang tampak meringkuk karena udara jam 11 malam.

Lunar terlonjak, matanya melotot melihat Raja yang dia kira orang asing yang ingin iseng. Walaupun matanya buram karena air mata, dia tau persis itu Raja dari harum jaketnya.

“Jangan kebiasaan sendirian malem-malem, kalo gak ada gue nanti lo diapa-apain gimana?” tanya Raja pelan lalu mengambil tempat kosong di sebelah Lunar.

Lunar masih bungkam, tidak menyangka Raja akan muncul di hadapannya di saat seperti ini. “Lain kali kalo emosi, tetep di rumah aja, jangan keluar. Selain karena gue khawatir, kembaran lo juga rese uring-uringan, ngerepotin tau.”

“Ja, gue pacar yang gak becus ya?” tanya Lunar tanpa membalas perkataan Raja. Yang menyelimuti pikirannya hanya rasa bersalah pada Raja.

“Kenapa bilang begitu?” tanya Raja balik. Kini dia menatap Lunar yang pipinya basah karena air mata. Tangannya terangkat untuk menghapus air mata yang jatuh.

“Yang lo bilang tadi di grup, pacaran sama gue akhir-akhir ini gak ada benefitnya. Gue gak becus ya, Ja, jadi pacar lo? Harusnya kita gak jadian ya?”

“Enak aja, lo! Gue udah ngeluarin tenaga buat nembak lo pake nyogok tukang bubur, masa putus?” balas Raja berusaha mencairkan suasana yang mulai serius.

“Gak putus maksud gue.. tapi harusnya dari awal kita gak jadian. Soalnya gue cuma mentingin diri sendiri dan lupa sama lo.”

Raja menarik tangan kanan Lunar untuk dia genggam. Berniat ingin masuk ke topik serius yang memang harus dibicarakan malam ini juga. “Disini kita berdua sama-sama salah, Lun, sama-sama gak becus juga. Impas. Gak ada yang paling salah dan paling bener. Kita sama-sama egois dan gak ada yang mau ngalah. Mungkin emang karena keadaan yang lagi gak adil buat kita jadinya sama-sama capek dan gak ada yang dingin.” Raja memulai pembahasannya.

“Jujur, sebulanan ini agak berat buat gue karena gue lagi ditinggal Bunda ke Bandung. Nenek sakit, Lun, harus operasi dan Bunda harus bolak-balik buat ngurus ini itu. Gue gak mau ngerepotin Nathan atau Gata buat nginep atau numpang nginep, Ares gak mungkin, Karin apalagi, jadi satu-satunya jalan keluar cuma gue yang harus ngelawan rasa takut gue. Sebenernya, gue emang butuh lo banget, tapi karena lonya juga lagi sibuk, yaudah gue ngandelin diri sendiri. Eh, tapi berhasil loh? Gue udah bisa di rumah sendirian tanpa sesek?” ucap Raja panjang lebar ditutup dengan rasa bangganya.

Mendengar itu perasaan Lunar campur aduk. Rasa bersalah semakin besar dicampur rasa senang karena trauma Raja perlahan berhasil dihilangkan.

“Gue udah baik-baik aja, giliran lo dong, lo cerita selama sibuk lo gimana aja. Lagi mikirin sesuatu gak?”

Lunar menumpuk tangan kirinya di atas kedua tangan Raja, memainkan jari-jari panjangnya. “Gue ngerasa kayak dikejar banget, Ja. Ayah tuh gak bolehin gue les buat utbk walaupun mampu, lebih dari mampu malah. Tau gak karena apa? Karena katanya Ayah mau liat kemampuan gue kalo pake usaha sendiri kayak gimana. Jadi gue beneran ngandelin diri sendiri, langganan bimbel online sebisa gue, belajar dari awal tanpa ada tutor sama sekali. Padahal gue mau tutor privat yang bisa ajarin gue secara intensif gitu, tapi sama Ayah gak boleh. Ibaratnya gue dikasih challenge yang bahkan gue sendiri gak paham gimana cara jalaninnya.”

Air mata Lunar kembali turun. Hal berat yang selama ini tidak dia beritahu pada Raja karena pikirnya Raja tidak akan peduli akhirnya keluar juga.

“Gue bingung juga, Ja, kenapa Gata kok gak disuruh belajar utbk juga? Kenapa dia sering pergi bawa tas? Gue sempet mikir masa iya dia dikasih les sedangkan gue enggak? Gue ngerasa sesek sendiri, sebel juga sama Gata karena dia gak ada buat gue padahal kita biasanya sharing pressure yang sama. Seakan-akan hidup Gata kayak lebih enak dari gue, apalagi semenjak jadian, dia lebih sering sama Karin dibanding gue. Gue kayak ditinggal sama semua orang, Ja.” Lunar menjelaskan kalimat panjang itu dengan sedikit tersendat-sendat.

Kali ini air matanya tumpah ruah, seluruh beban yang ditahannya dalam-dalam terasa keluar dari rongga tubuhnya perlahan. Tidak hilang, tapi ringan. Keadaan Lunar yang terlihat hancur membuat Raja membawa Lunar ke dekapannya. Memeluknya erat, mengatakan kata maaf berulang kali.

“Maaf, Lun, maaf gue gak coba nanya keadaan lo. Harusnya gue sadar ada yang aneh, tapi gue malah ngatain ambisi lo terlalu besar.” Lunar menggeleng di pelukan Raja. “Ambisi gue emang besar, Ja, gue gak mau kalah di depan Ayah. Makanya gue berusaha keras sampe gak sadar bikin lo terlantar gini. Harusnya gue seimbangin porsi belajar dan sosial gue, bukannya malah kayak gini.”

“Gapapa, sekarang yang penting kita sama-sama udah ngerti keadaan masing-masing. Kedepannya kita harus lebih sering komunikasi, ya, Lun?”

“Lain kali kalo gue terlalu fokus tolong ingetin gue ya, Ja? Gapapa omelin aja, gue juga capek sebenernya tapi gak ngerti caranya berenti. Rasanya kalo belajar tuh kayak masih aja kurang ngerti dan kurang paham, jadinya lanjut tanpa inget waktu.”

Raja lalu melepas pelukannya untuk menjitak kepala Lunar. “Makanya jangan kepinteran.”

“Ihh!! Sakit!” rengek Lunar. Raja terkekeh dan mengelus bekas jitakannya tadi.

“Kata Bunda, gue salah karena gue narik tangan lo pas lo lagi lari kenceng. Kalo gitu gue tanya dulu, lo mau gue ikut lari kenceng di sebelah lo, atau lo mau jalan pelan-pelan di sebelah gue?”

“Gue mau jalan aja, Ja. Gue capek lari. Karena kadang hidup tetep gak adil mau gue lari sekenceng apapun. Sekarang gue mau jalan, gapapa ketinggalan asalkan ada lo di samping gue.”


“Lu mau kemana, anjir?” tanya Nathan sambil menahan tangan Raja yang tiba-tiba berdiri dari tempatnya. Ares yang juga ikut melihat di layar laptopnya memperhatikan dengan heran.

“Ketemu Lunar,” jawab Raja. Dia mengambil jaketnya yang digantung dekat tangga dan memasukkan ponselnya ke kantong. “Kata Gata dia pergi dari rumah, diem di taman rafles. Dia lagi gak mau ngomong sama Gata jadi gue yang samperin buat nyuruh pulang.”

“Ngapain, anjir? Dia kan gak mau ngomong sama Gata, kenapa jadi lo yang bujuk?”

“Ya dia cewek gue, Nat? Masa masih nanya juga?”

“Tapi kan—”

“Mau dia salah atau enggak, kita lagi ada masalah atau enggak, ya dia tetep cewek gue. Intinya gue keluar dulu, lo kalo mau makan atau apa ambil aja di dapur.” Raja langsung berjalan tanpa mengindahkan panggilan Nathan.

“Kemana dia, Nat?” tanya Ares yang kurang jelas mendengar percakapan mereka dari seberang sana. Nathan kemudian menatap layar laptop Raja dan menaikkan bahu. “Taman Raflessia nemuin Lunar. Biarin aja dah.”

Terdengar helaan napas Ares. “Semoga pulang-pulang udah baikan, deh.” Nathan mengangguk setuju. Tampaknya bukan hanya dia yang tidak suka kondisi panas seperti ini.


Raja memakirkan motornya di salah satu warkop dekat Taman Rafflesia, taman yang sering dijadikan tempat mereka main ayunan untuk mengenang masa lalu. Tadi Gata bilang dia berdiam di warkop sambil melihat ke arah Lunar yang sekarang sedang duduk di bangku panjang.

Gata keluar dari warung kopi itu untuk menemui Raja. Geraknya canggung, merasa bersalah usai keributan yang dibuatnya tadi. Raja menatap Gata malas. “Lo pulang aja sana,” suruhnya pada Gata.

“Gak usah, gue disini sampe lo sama Lunar pulang.” Raja langsung memutar bola matanya dan membuang napas kasar.

“Buat apa? Buat ikut campur lagi?”

Gata buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Ja, tapi maksudnya biar gue bisa mastiin Lunar baik-baik aja.”

Sanggahan Gata tidak membuat Raja menjadi lebih tenang. Menurutnya tetap saja menyinggung perasaannya. “Jadi lo gak percaya kalo gue yang jagain Lunar? Yaelah, Ta, gue juga gak bego, gue bisa jagain Lunar tanpa lo awasin. Gue bisa bawa dia pulang tanpa lecet sedikitpun, gue bisa mastiin dia baik-baik aja sebelum pulang. Gak usah ngeraguin gue gitu, lah.” Raja menatap Gata tajam.

Sudah merasa kalah dan salah, Gata akhirnya mengangguk pelan. “Oke, gue serahin Lunar ke lu. Maafin gue yang tadi, Ja.”

“Masalah itu kita bahas lain waktu. Mendingan lo cepet pulang atau gue yang pulang,” ancam Raja karena menurutnya Gata terlalu banyak omong.

Usai melihat Gata pergi dengan motor vespa kesayangannya, dia berjalan ke arah Lunar setelah menitipkan motornya pada penjaga warkop dengan mengiming-imingi akan membayar biaya parkir.

Sebenarnya dia sedikit ragu, takut mulutnya sewaktu-waktu akan mengeluarkan kalimat yang semakin menyakiti Lunar. Karena jujur, walaupun dia juga lelah dengan keadaan seperti ini, dia yakin Lunar juga sama lelahnya. Tapi Raja memberanikan diri untuk tetap melangkah, mencopot jaket di sela langkahnya, lalu menyampirkan di kedua pundak Lunar yang tampak meringkuk karena udara jam 11 malam.

Lunar terlonjak, matanya melotot melihat Raja yang dia kira orang asing yang ingin iseng. Walaupun matanya buram karena air mata, dia tau persis itu Raja dari harum jaketnya.

“Jangan kebiasaan sendirian malem-malem, kalo gak ada gue nanti lo diapa-apain gimana?” tanya Raja pelan lalu mengambil tempat kosong di sebelah Lunar.

Lunar masih bungkam, tidak menyangka Raja akan muncul di hadapannya di saat seperti ini. “Lain kali kalo emosi, tetep di rumah aja, jangan keluar. Selain karena gue khawatir, kembaran lo juga rese uring-uringan, ngerepotin tau.”

“Ja, gue pacar yang gak becus ya?” tanya Lunar tanpa membalas perkataan Raja. Yang menyelimuti pikirannya hanya rasa bersalah pada Raja.

“Kenapa bilang begitu?” tanya Raja balik. Kini dia menatap Lunar yang pipinya basah karena air mata. Tangannya terangkat untuk menghapus air mata yang jatuh.

“Yang lo bilang tadi di grup, pacaran sama gue akhir-akhir ini gak ada benefitnya. Gue gak becus ya, Ja, jadi pacar lo? Harusnya kita gak jadian ya?”

“Enak aja, lo! Gue udah ngeluarin tenaga buat nembak lo pake nyogok tukang bubur, masa putus?” balas Raja berusaha mencairkan suasana yang mulai serius.

“Gak putus maksud gue.. tapi harusnya dari awal kita gak jadian. Soalnya gue cuma mentingin diri sendiri dan lupa sama lo.”

Raja menarik tangan kanan Lunar untuk dia genggam. Berniat ingin masuk ke topik serius yang memang harus dibicarakan malam ini juga. “Disini kita berdua sama-sama salah, Lun, sama-sama gak becus juga. Impas. Gak ada yang paling salah dan paling bener. Kita sama-sama egois dan gak ada yang mau ngalah. Mungkin emang karena keadaan yang lagi gak adil buat kita jadinya sama-sama capek dan gak ada yang dingin.” Raja memulai pembahasannya.

“Jujur, sebulanan ini agak berat buat gue karena gue lagi ditinggal Bunda ke Bandung. Nenek sakit, Lun, harus operasi dan Bunda harus bolak-balik buat ngurus ini itu. Gue gak mau ngerepotin Nathan atau Gata buat nginep atau numpang nginep, Ares gak mungkin, Karin apalagi, jadi satu-satunya jalan keluar cuma gue yang harus ngelawan rasa takut gue. Sebenernya, gue emang butuh lo banget, tapi karena lonya juga lagi sibuk, yaudah gue ngandelin diri sendiri. Eh, tapi berhasil loh? Gue udah bisa di rumah sendirian tanpa sesek?” ucap Raja panjang lebar ditutup dengan rasa bangganya.

Mendengar itu perasaan Lunar campur aduk. Rasa bersalah semakin besar dicampur rasa senang karena trauma Raja perlahan berhasil dihilangkan.

“Gue udah baik-baik aja, giliran lo dong, lo cerita selama sibuk lo gimana aja. Lagi mikirin sesuatu gak?”

Lunar menumpuk tangan kirinya di atas kedua tangan Raja, memainkan jari-jari panjangnya. “Gue ngerasa kayak dikejar banget, Ja. Ayah tuh gak bolehin gue les buat utbk walaupun mampu, lebih dari mampu malah. Tau gak karena apa? Karena katanya Ayah mau liat kemampuan gue kalo pake usaha sendiri kayak gimana. Jadi gue beneran ngandelin diri sendiri, langganan bimbel online sebisa gue, belajar dari awal tanpa ada tutor sama sekali. Padahal gue mau tutor privat yang bisa ajarin gue secara intensif gitu, tapi sama Ayah gak boleh. Ibaratnya gue dikasih challenge yang bahkan gue sendiri gak paham gimana cara jalaninnya.”

Air mata Lunar kembali turun. Hal berat yang selama ini tidak dia beritahu pada Raja karena pikirnya Raja tidak akan peduli akhirnya keluar juga.

“Gue bingung juga, Ja, kenapa Gata kok gak disuruh belajar utbk juga? Kenapa dia sering pergi bawa tas? Gue sempet mikir masa iya dia dikasih les sedangkan gue enggak? Gue ngerasa sesek sendiri, sebel juga sama Gata karena dia gak ada buat gue padahal kita biasanya sharing pressure yang sama. Seakan-akan hidup Gata kayak lebih enak dari gue, apalagi semenjak jadian, dia lebih sering sama Karin dibanding gue. Gue kayak ditinggal sama semua orang, Ja.” Lunar menjelaskan kalimat panjang itu dengan sedikit tersendat-sendat.

Kali ini air matanya tumpah ruah, seluruh beban yang ditahannya dalam-dalam terasa keluar dari rongga tubuhnya perlahan. Tidak hilang, tapi ringan. Keadaan Lunar yang terlihat hancur membuat Raja membawa Lunar ke dekapannya. Memeluknya erat, mengatakan kata maaf berulang kali.

“Maaf, Lun, maaf gue gak coba nanya keadaan lo. Harusnya gue sadar ada yang aneh, tapi gue malah ngatain ambisi lo terlalu besar.” Lunar menggeleng di pelukan Raja. “Ambisi gue emang besar, Ja, gue gak mau kalah di depan Ayah. Makanya gue berusaha keras sampe gak sadar bikin lo terlantar gini. Harusnya gue seimbangin porsi belajar dan sosial gue, bukannya malah kayak gini.”

“Gapapa, sekarang yang penting kita sama-sama udah ngerti keadaan masing-masing. Kedepannya kita harus lebih sering komunikasi, ya, Lun?”

“Lain kali kalo gue terlalu fokus tolong ingetin gue ya, Ja? Gapapa omelin aja, gue juga capek sebenernya tapi gak ngerti caranya berenti. Rasanya kalo belajar tuh kayak masih aja kurang ngerti dan kurang paham, jadinya lanjut tanpa inget waktu.”

Raja lalu melepas pelukannya untuk menjitak kepala Lunar. “Makanya jangan kepinteran.”

“Ihh!! Sakit!” rengek Lunar. Raja terkekeh dan mengelus bekas jitakannya tadi.

“Kata Bunda, gue salah karena gue narik tangan lo pas lo lagi lari kenceng. Kalo gitu gue tanya dulu, lo mau gue ikut lari kenceng di sebelah lo, atau lo mau jalan pelan-pelan di sebelah gue?”

“Gue mau jalan aja, Ja. Gue capek lari. Karena kadang hidup tetep gak adil mau gue lari sekenceng apapun. Sekarang gue mau jalan, gapapa ketinggalan asalkan ada lo di samping gue.”


“Lu mau kemana, anjir?” tanya Nathan sambil menahan tangan Raja yang tiba-tiba berdiri dari tempatnya. Ares yang juga ikut melihat di layar laptopnya memperhatikan dengan heran.

“Ketemu Lunar,” jawab Raja. Dia mengambil jaketnya yang digantung dekat tangga dan memasukkan ponselnya ke kantong. “Kata Gata dia pergi dari rumah, diem di taman rafles. Dia lagi gak mau ngomong sama Gata jadi gue yang samperin buat nyuruh pulang.”

“Ngapain, anjir? Dia kan gak mau ngomong sama Gata, kenapa jadi lo yang bujuk?”

“Ya dia cewek gue, Nat? Masa masih nanya juga?”

“Tapi kan—”

“Mau dia salah atau enggak, kita lagi ada masalah atau enggak, ya dia tetep cewek gue. Intinya gue keluar dulu, lo kalo mau makan atau apa ambil aja di dapur.” Raja langsung berjalan tanpa mengindahkan panggilan Nathan.

“Kemana dia, Nat?” tanya Ares yang kurang jelas mendengar percakapan mereka dari seberang sana. Nathan kemudian menatap layar laptop Raja dan menaikkan bahu. “Taman Raflessia nemuin Lunar. Biarin aja dah.”

Terdengar helaan napas Ares. “Semoga pulang-pulang udah baikan, deh.” Nathan mengangguk setuju. Tampaknya bukan hanya dia yang tidak suka kondisi panas seperti ini.


Raja memakirkan motornya di salah satu warkop dekat Taman Rafflesia, taman yang sering dijadikan tempat mereka main ayunan untuk mengenang masa lalu. Tadi Gata bilang dia berdiam di warkop sambil melihat ke arah Lunar yang sekarang sedang duduk bangku panjang.

Gata keluar dari warung kopi itu untuk menemui Raja. Geraknya canggung, merasa bersalah usai keributan yang dibuatnya tadi. Raja menatap Gata malas. “Lo pulang aja sana,” suruhnya pada Gata.

“Gak usah, gue disini sampe lo sama Lunar pulang.” Raja langsung memutar bola matanya dan membuang napas kasar.

“Buat apa? Buat ikut campur lagi?”

Gata buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Ja, tapi maksudnya biar gue bisa mastiin Lunar baik-baik aja.”

Sanggahan Gata tidak membuat Raja menjadi lebih tenang. Menurutnya tetap saja menyinggung perasaannya. “Jadi lo gak percaya kalo gue yang jagain Lunar? Yaelah, Ta, gue juga gak bego, gue bisa jagain Lunar tanpa lo awasin. Gue bisa bawa dia pulang tanpa lecet sedikitpun, gue bisa mastiin dia baik-baik aja sebelum pulang. Gak usah ngeraguin gue gitu, lah.” Raja menatap Gata tajam.

Sudah merasa kalah dan salah, Gata akhirnya mengangguk pelan. “Oke, gue serahin Lunar ke lu. Maafin gue yang tadi, Ja.”

“Masalah itu kita bahas lain waktu. Mendingan lo cepet pulang atau gue yang pulang,” ancam Raja karena menurutnya Gata terlalu banyak omong.

Usai melihat Gata pergi dengan motor vespa kesayangannya, dia berjalan ke arah Lunar setelah menitipkan motornya pada penjaga warkop dengan mengiming-imingi akan membayar biaya parkir.

Sebenarnya dia sedikit ragu, takut mulutnya sewaktu-waktu akan mengeluarkan kalimat yang semakin menyakiti Lunar. Karena jujur, walaupun dia juga lelah dengan keadaan seperti ini, dia yakin Lunar juga sama lelahnya. Tapi Raja memberanikan diri untuk tetap melangkah, mencopot jaket di sela langkahnya, lalu menyampirkan di kedua pundak Lunar yang tampak meringkuk karena udara jam 11 malam.

Lunar terlonjak, matanya melotot melihat Raja yang dia kira orang asing yang ingin iseng. Walaupun matanya buram karena air mata, dia tau persis itu Raja dari harum jaketnya.

“Jangan kebiasaan sendirian malem-malem, kalo gak ada gue nanti lo diapa-apain gimana?” tanya Raja pelan lalu mengambil tempat kosong di sebelah Lunar.

Lunar masih bungkam, tidak menyangka Raja akan muncul di hadapannya di saat seperti ini. “Lain kali kalo emosi, tetep di rumah aja, jangan keluar. Selain karena gue khawatir, kembaran lo juga rese uring-uringan, ngerepotin tau.”

“Ja, gue pacar yang gak becus ya?” tanya Lunar tanpa membalas perkataan Raja. Yang menyelimuti pikirannya hanya rasa bersalah pada Raja.

“Kenapa bilang begitu?” tanya Raja balik. Kini dia menatap Lunar yang pipinya basah karena air mata. Tangannya terangkat untuk menghapus air mata yang jatuh.

“Yang lo bilang tadi di grup, pacaran sama gue akhir-akhir ini gak ada benefitnya. Gue gak becus ya, Ja, jadi pacar lo? Harusnya kita gak jadian ya?”

“Enak aja, lo! Gue udah ngeluarin tenaga buat nembak lo pake nyogok tukang bubur, masa putus?” balas Raja berusaha mencairkan suasana yang mulai serius.

“Gak putus maksud gue.. tapi harusnya dari awal kita gak jadian. Soalnya gue cuma mentingin diri sendiri dan lupa sama lo.”

Raja menarik tangan kanan Lunar untuk dia genggam. Berniat ingin masuk ke topik serius yang memang harus dibicarakan malam ini juga. “Disini kita berdua sama-sama salah, Lun, sama-sama gak becus juga. Impas. Gak ada yang paling salah dan paling bener. Kita sama-sama egois dan gak ada yang mau ngalah. Mungkin emang karena keadaan yang lagi gak adil buat kita jadinya sama-sama capek dan gak ada yang dingin.” Raja memulai pembahasannya.

“Jujur, sebulanan ini agak berat buat gue karena gue lagi ditinggal Bunda ke Bandung. Nenek sakit, Lun, harus operasi dan Bunda harus bolak-balik buat ngurus ini itu. Gue gak mau ngerepotin Nathan atau Gata buat nginep atau numpang nginep, Ares gak mungkin, Karin apalagi, jadi satu-satunya jalan keluar cuma gue yang harus ngelawan rasa takut gue. Sebenernya, gue emang butuh lo banget, tapi karena lonya juga lagi sibuk, yaudah gue ngandelin diri sendiri. Eh, tapi berhasil loh? Gue udah bisa di rumah sendirian tanpa sesek?” ucap Raja panjang lebar ditutup dengan rasa bangganya.

Mendengar itu perasaan Lunar campur aduk. Rasa bersalah semakin besar dicampur rasa senang karena trauma Raja perlahan berhasil dihilangkan.

“Gue udah baik-baik aja, giliran lo dong, lo cerita selama sibuk lo gimana aja. Lagi mikirin sesuatu gak?”

Lunar menumpuk tangan kirinya di atas kedua tangan Raja, memainkan jari-jari panjangnya. “Gue ngerasa kayak dikejar banget, Ja. Ayah tuh gak bolehin gue les buat utbk walaupun mampu, lebih dari mampu malah. Tau gak karena apa? Karena katanya Ayah mau liat kemampuan gue kalo pake usaha sendiri kayak gimana. Jadi gue beneran ngandelin diri sendiri, langganan bimbel online sebisa gue, belajar dari awal tanpa ada tutor sama sekali. Padahal gue mau tutor privat yang bisa ajarin gue secara intensif gitu, tapi sama Ayah gak boleh. Ibaratnya gue dikasih challenge yang bahkan gue sendiri gak paham gimana cara jalaninnya.”

Air mata Lunar kembali turun. Hal berat yang selama ini tidak dia beritahu pada Raja karena pikirnya Raja tidak akan peduli akhirnya keluar juga.

“Gue bingung juga, Ja, kenapa Gata kok gak disuruh belajar utbk juga? Kenapa dia sering pergi bawa tas? Gue sempet mikir masa iya dia dikasih les sedangkan gue enggak? Gue ngerasa sesek sendiri, sebel juga sama Gata karena dia gak ada buat gue padahal kita biasanya sharing pressure yang sama. Seakan-akan hidup Gata kayak lebih enak dari gue, apalagi semenjak jadian, dia lebih sering sama Karin dibanding gue. Gue kayak ditinggal sama semua orang, Ja.” Lunar menjelaskan kalimat panjang itu dengan sedikit tersendat-sendat.

Kali ini air matanya tumpah ruah, seluruh beban yang ditahannya dalam-dalam terasa keluar dari rongga tubuhnya perlahan. Tidak hilang, tapi ringan. Keadaan Lunar yang terlihat hancur membuat Raja membawa Lunar ke dekapannya. Memeluknya erat, mengatakan kata maaf berulang kali.

“Maaf, Lun, maaf gue gak coba nanya keadaan lo. Harusnya gue sadar ada yang aneh, tapi gue malah ngatain ambisi lo terlalu besar.” Lunar menggeleng di pelukan Raja. “Ambisi gue emang besar, Ja, gue gak mau kalah di depan Ayah. Makanya gue berusaha keras sampe gak sadar bikin lo terlantar gini. Harusnya gue seimbangin porsi belajar dan sosial gue, bukannya malah kayak gini.”

“Gapapa, sekarang yang penting kita sama-sama udah ngerti keadaan masing-masing. Kedepannya kita harus lebih sering komunikasi, ya, Lun?”

“Lain kali kalo gue terlalu fokus tolong ingetin gue ya, Ja? Gapapa omelin aja, gue juga capek sebenernya tapi gak ngerti caranya berenti. Rasanya kalo belajar tuh kayak masih aja kurang ngerti dan kurang paham, jadinya lanjut tanpa inget waktu.”

Raja lalu melepas pelukannya untuk menjitak kepala Lunar. “Makanya jangan kepinteran.”

“Ihh!! Sakit!” rengek Lunar. Raja terkekeh dan mengelus bekas jitakannya tadi.

“Kata Bunda, gue salah karena gue narik tangan lo pas lo lagi lari kenceng. Kalo gitu gue tanya dulu, lo mau gue ikut lari kenceng di sebelah lo, atau lo mau jalan pelan-pelan di sebelah gue?”

“Gue mau jalan aja, Ja. Gue capek lari. Karena kadang hidup tetep gak adil mau gue lari sekenceng apapun. Sekarang gue mau jalan, gapapa ketinggalan asalkan ada lo di samping gue.”


4 tahun yang lalu

“Ayah, Raja mau ikut jemput Bunda,” rengek Raja yang waktu itu masih berusia 13 tahun pada sang Ayah.

Malam itu pukul 8 malam, Renjana sedang pergi bersama teman-temannya dan baru selesai acara pukul 8.30 nanti. Kalingga—Ayah Raja, berinisiatif menjemput 30 menit lebih awal agar tidak terjebak macet Ibu kota. Kalingga menunduk, mendapati anak semata wayangnya yang duduk menarik ujung bajunya dengan tatapan membujuk.

Kalingga terkekeh, menaruh dompet yang baru ingin dimasukkannya ke tas kecil yang dipakainya hanya untuk menangkup kedua pipi Raja. “Ayah mau berduaan sama Bunda dulu, kamu di rumah aja ya, Ganteng,” ucapnya tersenyum kecil.

Tentu Raja semakin merengek. “Pacaran mulu!! Raja juga mau ikuttt!!”

“Kalau kamu ikut nanti yang jaga rumah siapa? Udah kamu di rumah aja, paling jam 10 Ayah sama Bunda udah sampai rumah. Oke?”

Dengan bibir cemberut, Raja terpaksa mengangguk dengan syarat ingin dibelikan es krim coklat kesukaannya. Sebelum Kalingga masuk ke dalam mobil, tiba-tiba dia berbalik menatap Raja. “Jadi pemberani ya, anak ayah?”

Kalimat tiba-tiba itu membuat dahi Raja berkerut. “Apa sih, Yah?”

“Raja harus tumbuh jadi orang pemberani.”

“Pemberaninya gimana? Kalau nangkap kecoa, Raja gak akan berani sampai kapanpun,” ucapnya masih dengan bibirnya yang maju ke depan.

“Gak harus nangkap kecoa, berani gak selalu dalam konteks gak kenal takut, tapi berani bisa berupa bentuk mengakui kelemahan diri sendiri. Banyak orang berani di dunia ini, tapi sedikit dari mereka yang berani ngakuin dirinya punya kelemahan. Ayah mau Raja jadi orang pemberani yang berani ngaku kalau Raja juga punya kelemahan.”

Usai pesan dari sang Ayah yang terkesan aneh dan tiba-tiba, Raja masih dibuat heran dengan pelukan hangat dadakan. Biarpun begitu tetap ia balas. “Kamu jaga diri ya, jaga Bunda, jaga semua hal yang buat kamu berharga. Jangan sampai kehilangan hal-hal itu karena kesalahan kecil.”


Raja terbangun dengan ketukan keras pada pintu rumahnya. Dilihatnya jam dinding dengan matanya yang menyipit kesilauan. Pukul 10.40 malam, pasti itu Bunda sama Ayah pikirnya pada malam itu. Dia segera keluar untuk membukakan pintu, sama sekali tidak heran mengapa orang tuanya tidak membuka pintu dengan kunci milik mereka.

Senyumnya memudar saat melihat Amanda—Mama Ares, kalau kalian lupa—berdiri di depan pintu. “Tante?”

“Raja,” panggil Amanda balik. Matanya sedikit basah, di sebelahnya ada Ares yang enggan menatap. “Tante ngapain ke rumah malem-malem? Ayah sama Bunda belum pulang, Tan,” tanya Raja.

Amanda menggeleng. “Enggak, Tante mau ketemu kamu. Raja ikut Tante, yuk?”

“Ikut kemana, Tante?”

“Ke tempat Ayah sama Bunda.”

Dengan segala kebingungan yang berputar di kepalanya, dia tetap mengikuti apa kata Amanda dan duduk di dalam mobil Amanda dengan diam. Ares


Raja dan Nathan pulang ke rumah Raja usai bertemu di makam. Nathan memutuskan mampir, lalu tiba-tiba jengkel karena baru tau kalau Raja di rumah sendiri.

“Kok lo gak ngomong sih kalo lagi sendirian?” omel Nathan usai menduduki sofa ruang tamu Raja. Yang diprotes hanya terkekeh lalu duduk di hadapannya.

“Tante Jana pulangnya kapan?” tanya Nathan lagi. Raja mengangkat bahunya. “Belom tau.”

“Yaudah gue nginep sini sampe Tante Jana pulang.” Nathan yang langsung beranjak ke dapur untuk ambil minum, sukses membuat Raja melotot. “Ngapain, anjir?”

“Ya nemenin lo, lah!”

“Gue tau, tapi maksudnya buat apa?!”

“Supaya lo gak kesepian, anjir, lo tuh masalah gini doang gak ngerti? Tolol banget dah,” ejek Nathan disambut lemparan tisu bekas.

Raja masih menatap Nathan jengkel sedangkan yang ditatap malah duduk di sebelahnya.

“Ja, lo pernah mikir gak sih kenapa kita ber-enam betah temenan bertahun-tahun? Kayak, selama itu dan seerat itu padahal kadang kita eneg sama drama berantem kita yang kadang gak jelas masalahnya apa?”

“Ya karena kita saling ngertiin keadaan satu sama lain? Contoh, kita gak pernah nyalahin Gata yang banyak duit dan demen belanja yang gak penting padahal menurut kita bisa ditabung. Kenapa? Ya soalnya dia juga gak nyalahin kita nambel ban yang bocor berkali-kali padahal menurut dia tinggal beli ban baru yang paling bagus. Kita paham background masing-masing, paham kelemahan dan kekurangan masing-masing, jadinya tetep bisa jalan bareng walaupun kadang melenceng ke kanan dan ke kiri.”

Melihat Nathan hanya mengangguk-angguk dan belum niat bicara, Raja melanjutkan perkataannya.

“Terus menurut gue karena kita saling ngelengkapin juga, Nat. Gata butuh orang yang bisa neken egonya, Karin butuh orang yang bisa bimbing jiwa takutnya dia, Ares butuh orang yang bisa buat dia jujur sama masalahnya, terus—”

“Lo butuh orang yang gimana, Ja?” potong Nathan.

Raja terdiam. Ikut berpikir orang-orang seperti apa yang dia perlukan untuk melengkapi kekurangannya. Tapi walaupun sudah beberapa saat dia berpikir, belum bisa dia temukan jawabannya.

“Lo gak bisa jawab, kan, Ja?” Nathan lalu membuang napas kasar. Dia membenarkan posisinya. “Itu karena lo terlalu fokus sama orang lain sampai tanpa sadar lo gak mau nunjukkin kelemahan lo sendiri. Lo tuh kebanyakan gapapa gapapa padahal aslinya lo kenapa-napa. Lo kebanyakan ngalah, selalu kalah sebelum berjuang.”

“Apaan sih, anjir, kagak,” sangkal Raja.

Nathan berdecak, sudah menduga sikap Raja yang satu ini akan keluar. “Lah waktu lo pura-pura gak suka sama Lunar, lo mundur karena ngira gue juga suka sama Lunar kan? Ya iya soalnya lo tolol, selalu ngalah sebelum perang. Ibaratnya lo kalo lagi tanding silat terus musuh lo bilang 'eh jangan kenceng-kenceng ya mukulnya' lo bakal iya aja dan end up kalah karena sikap ngalah lo itu.”

“Ya terus gue harus gimana, anjir? Gue gak suka berantem. Mendingan gue ngalah daripada cek-cok.”

“Kalo gak suka cek-cok, kata gue mendingan lo diskusi sama lawan bicara lo. Lo bilang keluhan lo apa, jangan cuma lawan bicara lo yang ngeluh dan lonya yang ngalah lagi.”

“Gue gak biasa ngeluh, Nat. Paling banter gue ngeluh masalah pelajaran doang. Gue gak mau ngeluh soalnya hidup udah kayak anjing, gue gak mau nambahin beban orang karena keluhan gue.”

“Terus jadinya lo mau beratin hidup lo sendiri dengan nampung keluhan orang? Gitu? Kata lo hidup sendiri udah kayak anjing, tapi lo malah nampung beban orang. Lo cuma masukin tanpa ngeluarin, tolol namanya, Ja. Otak lo bisa overload.” Nathan menjeda.

“Sekarang gue tanya ya, Ja, lo waktu berantem sama Lunar, lo udah bilang belom lo butuhnya apa? Kalo Lunar kan butuh dingertiin sama ambisinya, kalo lo butuh apa, Ja? Butuh apa dari hubungan lo sama Lunar?”

“Gue cuma mau Lunar—”

“Selain pakai embel-embel Lunar. Lo mau dapet benefit apa dari title pacaran lo itu?”

Raja berpikir agak lama. “Gue mau orang yang bisa nemenin gue kalo kesepian, and i need someone to talk, tentang hal-hal kecil sampai besar.”

“Lo udah merasa dapetin itu?”

“Awalnya udah, tapi akhir-akhir ini Lunar jadi fokus sama dirinya sendiri.” Raja menjeda. “Gue emang gak mau nuntut apa-apa, Nat, fokus gue cuma biar Lunar istirahat aja, gue gak mau dia sakit.”

“Lo disini gak mau dia sakit tapi dia disana emang peduli lo sakit, lo kesepian, lo butuh temen, emang peduli, Ja?”

Raja langsung mendelik ke arah Nathan. “Lo nyalahin Lunar maksudnya, Nat? Gue gak ada nyalahin Lunar soalnya, jadi kalo lo cuma mau nyalahin Lunar, gue gak mau lanjutin percakapan ini.”

“Gue gak maksud nyalahin, gue cuma ngeliat fakta. Gue kenal Lunar dengan segala pressure dan ambisinya walaupun gue gak ngerasain. Tapi gue cuma mau buka mata lo, lo udah coba pentingin diri sendiri belom?”

“Gue gak merasa harus mentingin diri gue disini. Gue sama Lunar cuma butuh waktu sendiri doang.”

“Terus lo mau diem aja Gata ngomel-ngomel bilang lo brengsek? Dia cuma liat dari kacamatanya Lunar, Ja, dia gak liat dari kacamata lo. Kenapa? Ya karena lo gak pernah minjemin kacamata lo buat kita pake, buat Lunar coba, dan buat Gata liat. Orang jadi mikir lo emang salah, padahal lo cuma ngalah supaya gak ribut. It's okay ngalah, tapi gak dengan posisi kalah tanpa berjuang, Ja. At least lo harus jelasin posisi lo gimana, jangan cuma posisi mereka yang jelas. Lo awal tadi bilang kita bisa erat karena saling ngertiin kan? Tapi gak lo praktekin ke diri sendiri, disini posisinya cuma lo yang ngertiin dia. Lo sampai sini paham kan, Ja, salah lo dimana?”


Jonathan memarkirkan motornya di parkiran sekitar pemakaman. Netranya berkeliling mencari sosok teman yang ingin sekali dia peluk sekarang. Yang dia tau, seorang Raja Manggala adalah orang yang jarang mengeluh. Walaupun mulutnya berbicara banyak omong kosong, tapi jarang sekali keluhan terdengar dari mulutnya sampai-sampai mereka mengira Raja menjalani hidup yang sedikit beban.

Nathan tau Raja sedang ada masalah yang mengganggu pikirannya. Terlebih lagi hari ini bertepatan 10 tahun kepergian sang ayah. Raja memang biasa meliburkan diri di hari kepergian ayahnya karena dia ingin menghabiskan hari dengan sang ayah. Menurutnya, karena hari ini adalah hari terakhir ayahnya hidup 10 tahun lalu, maka dia harus selalu menemani sang ayah seharian. Untuk menunjukkan bahwa dia selalu rindu.

Nathan berjalan ke arah makam Ayah Raja setelah membeli bunga dan air mawar. Terlihat ada bunga segar dengan tanah basah pertanda Raja baru saja membersihkan dan menaburkan bunga untuk ayahnya. Nathan berjongkok untuk berdoa, menatap batu nisan sedikit lama.

“Om Wangga, ini Nathan, inget gak?” ucap Nathan mulai bermonolog dengan batu nisan di hadapannya. “Kalau om lupa, saya Nathan temennya Raja, anak om.”

Nathan mulai menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu. “Saya seneng banget bisa temenan sama Raja. Kayaknya om juga udah bosen denger saya bilang ini terus setiap dateng kesini.” Nathan terkekeh pelan.

“Maaf ya, Om, saya sempat lupa kalau hari ini tepat 10 tahun Om pergi..” Nathan mengelus batu nisannya dan membersihkannya dengan air mawar di tangan kirinya. “Maafin saya juga kalau sempet biarin Raja sendirian disaat kayak gini. Saya gak tau kalau Raja lagi ditinggal sendirian di rumahnya. Kalau saya tau mungkin saya bakal ikut nginep buat nemenin Raja yang benci kesepian itu.” Nathan melanjutkan.

Napasnya dibuang kasar. “Saya temen yang buruk buat Raja ya, Om? Saya—”

“Enggak, lo bukan temen yang buruk,” potong Raja— yang entah kapan sampai di belakang Nathan yang sedang berjongkok.

Lantas Nathan langsung bangun dan memeluk Raja tanpa bicara sepatah kata pun. Seusai Nathan menarik diri, dia langsung meminta maaf pada Raja.

Sorry gue sempet lupa, Ja,” ucapnya dengan kepala menunduk.

“Kan yang meninggal Ayah gue, Nat, jadi yang perlu berduka emang cuma gue dan keluarga. Lo gak wajib berduka dan selalu inget, kok,” balas Raja sambil menepuk pundak Nathan. Ternyata dia kembali lagi untuk membawa lebih banyak bunga untuk ditaburkan di atas makam ayahnya.

“Enggak, Ja, kita udah kayak keluarga. Walaupun gue belum sempet ketemu langsung sama Om Wangga, gue udah anggap Ayah lo kayak Ayah gue sendiri. Jadi kalau lo berduka ya gue juga bakal temenin lo berduka.”

“Iya, tapi bukan kewajiban kan, Nat? Santai aja.”

Nathan diam, menatap bahu lebar Raja yang entah kenapa terlihat layu. Usai Raja selesai menaburkan bunga, dia mengajak Nathan untuk pergi. Nathan berpamitan pada Ayah Raja, lalu mengekori Raja keluar dari area pemakaman.

“Mau ke warkop atau mcd? Gue traktir,” tanya Raja sambil memakai helmnya.

“Pake nanya lagi lu, bego. YA MCD LAH!” jawab Nathan gregetan. Raja terkekeh pelan lalu mengangguk. “Yaudah, kuy.”

Mereka membawa motor masing-masing ke salah satu cabang McDonalds terdekat. Usai memesan mereka menduduki kursi yang tempatnya di luar. Biasanya dipakai untuk yang ingin merokok.

“Mau cerita gak?” tawar Nathan, tidak ingin memaksa Raja untuk cerita jika tidak ingin.

“Kalo masalah sama Lunar lu semua juga pasti udah tau, jadi buat apa gue cerita lagi?”

Nathan membuang napas kasar. “Kan dari sudut pandang Lunar doang, belom dari sudut pandang lo.” Nathan lalu menaruh ponsel yang sempat dia nyalakan untuk membalas pesan masuk.

“Ya intinya gue cuma mau komunikasi gue sama Lunar kayak dulu lagi, Nat. Lunar sibuk sama dirinya sendiri padahal gue lagi butuh dia. Lo tau kan gue gak suka kalo lagi sendirian? Ini posisinya gue lagi ditinggal sama Bunda ke Bandung. Gue selama berminggu-minggu cuma bengong di rumah gara-gara gak ada yang bisa gue ajak ngobrol.” Raja menunduk, memainkan kulit kering di jempolnya.

“Lo kenapa gak ngasih tau gue sih, Ja? Kalo gitu gue temenin lo, nyet.”

“Gue gak mau ganggu lo, Nat,” jawab Raja membuat Nathan berdecak.

“Ganggu apaan sih, anjing, lebay deh.” Nathan menatap Raja kesal. “Tante Jana pulangnya kapan?”

Raja menggeleng. “Belom tau.”

“Yaudah nanti gue nginep sampe Tante Jana balik,” ucap Nathan final.

“Dih, gak usah ah.” Raja menggeleng berusaha menolak.

“Ja,” panggil Nathan membuat Raja menaikkan alisnya. “Gue boleh tau gak kenapa lo gak suka sendirian? Lo selama ini tuh kalo lagi sendirian di rumah selalu ngungsi di rumah gue tau Ares, tapi lo gak pernah bilang kenapanya.”

Raja menelan ludah. “Gue.. pernah cerita, kan, kalo Ayah gue meninggal karena kecelakaan mobil?” Nathan mengangguk.

“Posisinya waktu itu Ayah gue lagi mau jemput Ibu gue di rumah temennya, gue dipaksa tinggal sendiri di rumah padahal gue bilang mau ikut jemput Bunda. Ayah gue bilang jam 10 bakal pulang, tapi lewat jam 10 pun gak ada tanda-tandanya. Terus semaleman gue nahan buat gak tidur karena nungguin Ayah Bunda gue. Terus pas paginya gue dibangunin dengan suara ambulance yang bawa jenazah Ayah gue.”

Nathan membulatkan matanya, tidak menyangka hal ini disembunyikan Raja bertahun-tahun. “Sejak itu gue benci di rumah sendiri, karena gue takut nanti pas buka pintu, akan ada nyawa yang diambil lagi.”

“Ja, anjing, kenapa lo gak bilang dari dulu sih?” tanya Nathan benar-benar kesal. Dia merasa tidak becus karena tidak tau masalah ini.

“Jangankan kalian, Nat, Bunda aja gak gue kasih tau masalah ini. Entah kenapa, mungkin efek gue cuma satu-satunya tempat tumpuan Bunda, jadinya gue merasa gak boleh lemah atau keliatan sedih. Emang agak bego sih pikiran kayak gitu, cuma gue juga gak tau cara ngilanginnya.”

“Lain kali cerita aja, nyet. Kalo lo gak mau cerita ke Bunda lo karena takut buat sedih, lo boleh cerita ke gue. Lo gak dilarang buat lemah di depan gue.” Raja terkekeh sambil menatap Nathan.

“Makasih ya, Nat, udah dateng ke makam dan udah mau nemenin gue.” Nathan mengangguk.

“Lain kali kalo ada apa-apa cerita aja. Lo gak perlu takut keliatan lemah. Manusia gak harus selalu kuat dan sempurna.”