crestfallen
“Kalo kata gue sih, Nathan setahun abis kuliah udah luntang-lantung,” ujar Raja melanjutkan candaan sore itu. Nathan melotot, melempar bungkus sampah ke arah Raja. “Jangan sembarangan, anjing, gue gak mau nganggur!”
“Bukannya elu, Ja, yang bakal tipsen mulu pas kuliah?” sanggah Ares dari balik layar. Yang lain tertawa, melihat Raja yang ikut melotot.
“Yang jelas Gata Lunar bakal tetep pinter, sih...” sambar Karin.
“Kalo mereka udah gak pinter mah hancur masa depan Indonesia.” Kali ini Lunar yang menjitak kepala Raja karena omongan lebaynya.
Mereka bercanda, berbagi tawa, melepas beban yang.. sebenarnya masih di pundak, tapi sudah mulai ringan.
Tiba-tiba asisten rumah tangga keluarga Prasetyo datang untuk mengantar kue sekaligus memanggil Gata. “Mas, dipanggil sama Bapak.”
Bapak yang dimaksud tidak lain adalah Prasetyo. Kebetulan pria 40 tahun itu sedang tidak berangkat ke kantor hari ini. Gata mengangguk dan berdiri. “Bentar ya, jangan kangen,” katanya pada yang lain.
Mereka lanjut bercanda, kali ini di sebelah Ares ada Chelsea yang baru pulang dari tempat UTBK. Lunar yang merasa Gata terlalu lama di ruangan sang ayah jadi heran. Tidak biasanya dia dipanggil lama saat ada teman-teman seperti ini. Biasanya durasi lama saat dipanggil ayah hanya pada waktu membahas obrolan penting.
“Mau kemana?” tahan Raja saat dia berdiri.
“Ke.. kamar Bunda, minta duit cash buat bayar makanan,” bohongnya. Padahal di kamarnya juga ada uang cash. Tapi letak ruangan Prasetyo searah dengan kamar orang tua mereka, sedangkan kamarnya dan Gata ada di lantai atas. Jadi dia tidak bisa menggunakan alasan ingin ke kamar.
Lunar berjalan pelan, berusaha mengintip ruang kerja Prasetyo yang tidak ditutup rapat. Terdengar samar suara Prasetyo dan Gata sedang beradu argumen. Dia berdiri di sebelah pintu, berusaha mendengar percakapan yang sebelumnya tidak pernah dia dengar.
Karena Prasetyo selalu disiplin. Dia hanya akan memanggil kedua anaknya ke dalam ruangannya untuk bicara masalah yang serius. Dan kalau dia memanggil Gata, maka Lunar tidak berhak tau apa yang dia bicarakan, begitu juga sebaliknya.
“Paspor kamu udah diurus sama sekretaris Ayah, kamu tinggal berangkat aja.” Lunar langsung mengerutkan dahi.
Untuk apa Gata ingin keluar negeri???
“Yah, beneran harus ya, Yah?” tanya Gata pelan.
“Harus. Kamu yang berani bilang iya, kan? Laki-laki harus menepati janjinya, bukan cuma di mulut doang.”
“Tapi Lunar gimana, Yah? Dia sendirian dong disini?”
“Kamu maunya dia ikut kamu ke luar? Gitu? Ya kalau mau Lunar ikut biar Ayah urus semuanya sekarang.”
“Enggak! Jangan, Yah! Lunar biar di Indo aja. Maksud Gata, biasanya kan Lunar gak lepas dari Gata, Yah, jadi takut Lunar sedih..” Suara Gata terdengar menciut.
“Gak usah ribet. Lunar biar disini, kamu jangan malu-maluin disana. Selesai harus cepat dan membanggakan. Percuma kamu masuk universitas ternama kalau gak bawa hasil yang memuaskan.”
Setelah itu Lunar mendengar hening. “Yah, sebelum Gata pergi, Gata boleh minta tolong satu hal lagi gak ke Ayah?”
“Apa lagi?”
“Tolong kalau Lunar buat kesalahan atau buat Ayah kecewa, jangan dilampiasin ke dia. Ayah boleh omelin Gata via telfon, tapi jangan Lunar. Tolong ya, Yah?”
“Kenapa? Kalau Lunar salah ya dia harus tau konsekuensinya.”
“Enggak, Yah, limpahin aja semua kesalahan Lunar ke Gata. Biar Gata yang tanggung jawab. Laki-laki harus bertanggung jawab kan kata Ayah? Ini bentuk tanggung jawab Gata sebagai laki-laki, Yah. Jadi Gata mohon, selama beberapa tahun ke depan, tolong jangan marahin Lunar. Selama Gata pergi, tolong jangan kasar sama Lunar kayak gimana Ayah kasar ke Gata. Tolong, Yah..”
Dada Lunar sesak mendengar suara putus asa Gata. Entah sejak kapan air matanya sudah turun deras di pipinya. Tidak ada jawaban Prasetyo setelahnya. Yang ada hanya suara langkah yang semakin dekat ke pintu samping dia berdiri.
“Lun?” perlahan pandangan Lunar bergeser, memandang saudara kembarnya yang menatap dia kaget.
“Lun, lo.... kenapa bisa disini? Lun, biar gue jelasin du—” omongan Gata terpotong karena Lunar menepis lengannya yang berusaha menggandeng Lunar.
Tangisan Lunar tidak bersuara keras, dia menahan sesak dadanya sebisa mungkin. Mengetahui fakta bahwa Gata selama ini berpura-pura akan masuk perguruan tinggi yang sama dengannya membuat dia merasa dikhianati.
Pantas saja selama beberapa bulan belakangan Gata selalu keluar tanpa sepengetahuannya. Kamar Gata juga selalu dikunci, tidak seperti biasanya.
Lunar tertawa miris, menertawakan dirinya yang sangat mudah ditipu. “Jelas aja lo selalu ngelak setiap gue mau liat berkas SBM lo dan selalu ngehindarin gue tiap gue lagi bicarain masalah kampus. Ya iyalah, jelas, lo kan gak pernah daftar SBM, jadi hal-hal itu cuma fiksi dan bullshit, kan, Ta?”
Lunar pergi menghampiri teman-temannya. Berniat memberitahu fakta yang dia yakin akan mengejutkan semua orang. Semua yang tadinya sedang tertawa mendadak hening saat melihat keadaan kacau Lunar. Raja sampai berdiri dari duduknya, menatap khawatir.
“Lun! Lun, sebentar!” panggil Gata yang menyusul di belakang.
“Lun, gue bisa jelasin ke lo. Ayo kita omongin dulu,” bujuk Gata.
“Lun, dengerin Gata dulu, Lun, dia—”
“Oh.... jadi kalian udah tau?” Lunar langsung memotong perkataan Nathan begitu saja. Kini dia menatap teman-temannya satu per satu. Tidak ada yang berani menjawab, paham apapun jawabannya Lunar akan tetap kecewa.
Raja melangkah untuk menghampiri tapi ditahan olehnya. Lunar seakan membangun tembok di sekelilingnya sekarang. “JAWAB GUE, KALIAN UDAH TAU?!” tanyanya lebih keras.
“Lun..”
“Bangsat ya. Hal kayak gini lo kasih tau ke semua orang tapi gak lo kasih tau ke gue, Ta? Lo tau perjanjian kita awalnya gimana, kan? Lo janji buat kuliah bareng gue disini, Ta, DI INDO!!” pekik Lunar.
“Lun, gue tau lo kecewa, tapi gue ada alasan lain, Lun. Gue minta maaf, okay?”
“Alasan apa?! Jelasin coba alasan apa yang bikin lo boongin gue sampe sebegininya? JELASIN!”
Gata membuang napasnya kasar. Tidak mungkin dia menjelaskan kalau dia membuat perjanjian dengan Ayahnya karena membantu Ayah Nathan tahun lalu.
“Lun, tadinya gue mau ngasih tau lo lebih awal kayak gue ngasih tau yang lain. Tapi gue gak mau bikin semangat belajar lo jadi down, gue gak mau fokus lo buyar cuma karena kecewa sama gue,” jelas Gata sebisanya.
“Tapi gak gini caranya, Ta. Lo bikin gue makin kecewa kalo begini. Lo nyembunyiin hal yang gak kecil buat gue, Ta, lo pun tau itu. Lo malah bikin kecewa gue makin besar. Gue berasa dikhianatin tau gak? Sama lo, sama kalian, sama semua orang.”
Napas Lunar tidak terkendali karena emosi yang berusaha ditahannya. Sejak kecil, dia tidak pernah dipisah dengan Gata. Sekolah dan juga tempat bimbel mereka selalu sama, itu mengapa sulit untuk Lunar berpisah dengan Gata. Apalagi untuk jarak yang amat jauh.
Kalau orang-orang mengatakan dia terlalu bawa perasaan atau lebay, dia mengerti. Tapi perasaannya nyata. Kecewanya benar ada. Amarahnya benar terasa. Dan menurutnya, dia berhak merasakan perasaan seperti ini. Jadi tidak ada yang berhak menghakimi dia terlalu perasa dan berlebihan.
“Gue butuh waktu..” ucap Lunar pelan. Mereka semua paham, memutuskan untuk membiarkan Lunar pergi ke kamarnya tanpa berusaha menahan.
“Gue bilang juga apa kan, Ta?” ucap Raja.
“Iya. Gue tau akhirnya bakal begini, Ja, gue tau. Tapi seenggaknya Lunar udah selesai UTBK. Terserah dia mau kecewa sama gue sampe kapan, itu hak dia, gue paham kok.” Gata menepuk pundak Raja pelan.
“Mungkin beberapa hari ke depan gue minta tolong lo buat jagain Lunar dulu ya, Ja? Gue kayaknya bakal keluar dulu, lo dateng aja ke rumah kalo bisa temenin Lunar.”
Raja mengangguk. “Iya, pasti gue jagain.”
Karin berjalan ke arah Gata, memberinya pelukan hangat. Karena dia tau tidak hanya Lunar yang sakit, tapi Gata juga.