fromranxx

#berteman dengan orang gila


Gue pernah bilang gak ya, kalau selain Kavi dan Bre, ada satu lagi orang yang sebenernya diem-diem gak waras tapi karena image-nya yang pinter dan serba ketua (ketua kelas, ketua OSIS, ketua organisasi) jadinya kelihatannya dia yang paling normal di antara kita berlima?

Iya, bener. Askar jawabannya. Emang gak sering sih dia menunjukkan “ketidaknormalannya” ini, tapi Askar ini tipe yang bikin ledakan besar tapi jarang kayak Gunung Krakatau. Sebenernya kalau udah gini, gue lebih suka liat Kavi dan Bre menggila setiap hari daripada ngikutin ide gila Askar. Karena ibaratnya Bre dan Kavi kelakuannya cuma keluar garis nalar sedikit, tapi Askar kalau udah bikin ide keluar dari nalarnya udah JAUH.

Jadi, seperti yang kalian tahu. Hari ini adalah hari Senin sekaligus hari pertama Penilai Akhir Tahun (PAT) yang menentukan naik gaknya kita ke kelas selanjutnya alias kelas 12. Seperti yang kalian tahu juga, saat ini Kavi sedang kejebak macet dan masih setia spam group chat panik sekaligus kepo mau tau apa rencana yang dipikirkan Askar.

Dia mengajak kami membentuk lingkaran. Waktu menunjukkan pukul 06.52, artinya tinggal 8 menit lagi sebelum guru masuk ke kelas dan memulai PAT. “Satu-satunya cara cuma bikin panik satu sekolah.”

“Caranya?” tanya Bre yang sepertinya juga lagi mengendus bau-bau gak beres dari rencana Askar. “Pilih, mau berantem HEBAT di tengah lapangan atau mau kesurupan.”

“HAH?” refleks kami bertiga sambil melongo ke arah Askar yang sepertinya santai banget ngomongin rencana gila kayak gini.

“Tapi menurut gue sih kesurupan aja. Soalnya kalau berantem tuh masih bisa ditahan, tapi kalau kesurupan brutal kemungkinan diberhentiinnya susah. Nanti ceritanya nyamber aja setannya jadi kita masing-masing nenangin satu orang.”

Stress. Gue udah bilang apa. Askar ini otaknya kadang gak normal anjir. Mana ada orang pinter NORMAL mikir buat ngundur ujian dengan pura-pura kesurupan DI TENGAH LAPANGAN?!

“Terus siapa yang akting, anjir?” tanya Mada ikut uring-uringan dengan rencana gila ini. Sama, gue juga pening banget dengernya. Detik selanjutnya gue makin pening pas sadar Mada dan Askar ngelihat ke arah gue dan Bre penuh harap.

Kami langsung menolak. “GAK ADA ANJIR!”

“GAK! GAK BISA GUE!!!” protes gue.

“Kalau Mada atau gue malah aneh. Lo sama Bre kan bisa kelihatan panik total dan teriak-teriak brutal. Ayo lah, udah jam 6.55!!!!” kata Askar memberi alasan nyebelin yang sialnya masuk akal.

Masalahnya, “GUE GAK BISA AKTING ANJIRRRR” Iya, bener kata Bre. Akting pingsan aja gue gak bisa, ini lagi kesurupan!

“Gak ada cara lain, lo mau cowok lo gak ikut ujian hari ini terus ikut susulan di ruang guru atau WORST-NYA, dia gak boleh ikut karena alasannya bukan sakit tapi telat.” bujuk Mada yang sialnya lagi emang masuk akal sih.

Gila, ini gue sama Bre udah bego makin dibego-begoin lagi sama dua orang pinter macam Askar dan Mada. Akhirnya, mau gak mau gue dan Bre saling lihat-lihatan dan ngangguk, ngasih kode kalau yaudah kami setuju jadi tumbal rencana gila ini.

Kami berlari turun ke bawah, sok berjalan dengan kelihatan normal sampai ke tengah lapangan, lalu Bre mulai teriak gak karuan sambil berakting kayak orang kesurupan. Jujur emang teriakannya dahsyat banget sih sampai gue lihat di balkon murid-murid pada ngelihat ke kami dengan panik. Kami di sebelah Bre juga ikut akting super panik sambil berusaha terlihat menenangkan Bre. Di sela aktingnya Bre berbisik, “Anjing lu, Askar!” tepat sebelum banyak orang yang mengerubungi kami.

Tapi gue akui, akting Bre meyakinkan banget. Sekarang bahkan rambutnya acak-acakan dan gue lihat maskaranya luntur sedikit saking brutalnya. Dia menjambak-jambak rambutnya sendiri hingga berguling-guling di tanah. Di antara kerumunan murid lalu datang satpam yang menjaga pagar (padahal hampir aja mengunci pagar agar murid yang telat gak bisa masuk) dan juga guru-guru yang mungkin dapat laporan dari murid lain.

“Astaghfirullah! Kenapa ini?!?!” tanya Bu Ratih, guru Bahasa Indonesia yang terkenal galak.

“Gak tau, Bu, tadinya kami cuma jalan doang tapi tiba-tiba Bre teriak-teriak.” ucap Askar terlihat berusaha tenang. Gue yakin dalam hati Bre maki-maki Askar karena sudah mendeklarasikan bahwa yang lagi kesurupan brutal ini namanya “Bre” pada seluruh adik dan kakak kelas yang mungkin awalnya gak kenal.

“JANGAN POTONG TEMPAT TINGGALKUU!!!! BERANINYA KALIAN MANUSIA MEMBUAT AKU KEHILANGAN TEMPAT TINGGAL!!!!” Bre bicara dengan nada yang dalam dan serak seakan yang bersuara bukan Bre yang asli, tapi hantu yang mengambil alih tubuhnya.

Jujur, gue mulai merasa hidup gue ini kadang fiktif banget. Dijadiin film horror budget murah juga bisa ini, cuma peminatnya dikit aja karena ceritanya gak jelas.

“Ya Allah! Ada apa ini, Bu?!” tanya Pak Amin, guru agama Islam yang biasanya sering memimpin doa di depan.

“Kayaknya kesurupan, Pak. Katanya jangan dipotong rumahnya.” Jawab salah satu murid. Gue akui Bre pinter mencari hal yang relevan supaya kelihatan makin meyakinkan. Karena kebetulan pohon Beringin besar yang ada di taman belakang mau dipotong.

Duh, maaf nih, gue sebenernya juga gak paham dengan ghaib gini. Tapi gue percaya bahwa kita manusia memang gak hidup sendiri di dunia, kita hidup berdampingan. Pokoknya ya gitu deh. Gue juga udah stress banget ini lihat drama gila. Karena keadaan chaos gini gue, Mada, maupun Askar gak ada satu pun yang sempet lihat chat Kavi udah sampai mana, tapi kami yakin kalau Kavi datang dia akan langsung ikut berkerumun, jadi rencana kami cuma menunggu sampai dia ada di antara kerumunan murid kepo yang melingkari Bre.

Bentukan Bre saat ini beneran gak karuan, gue yakin Kavi bakal ngomel-ngomel ke Askar soalnya pacarnya yang biasanya cantik badai jadi kayak orang gila gini. Jadi tontonan pula.

MANA GUE HARUS JOIN JADI ORANG GILA JUGA HABIS INI!

Pokoknya sekarang Pak Amin lagi bacain doa dan surat-surat ke Bre. Beberapa orang memegangi kaki dan tangan Bre agar tidak makin brutal. Jaket yang dipakai Mada juga sudah sejak tadi menutupi kaki Bre yang sedikit terekspos agar tidak menjadi tontonan gratis warga sekolah.

“PANAAASSS!!! PANAASS!!!!” teriak Bre saat dibacakan doa-doa. Gue yakin semua orang sering lihat adegan kayak gini di film horor. Gak gue sangka ternyata gue harus melihat akting begitu di depan mata gue sendiri. Rasanya mau bawa kamera dan gue upload ke youtube saking dramanya.

Bacaan masih terus dilanjutkan, Bre terlihat lelah jadi udah gak teriak sebrutal tadi. Gue melirik Askar dan Mada, gue juga tau Bre melirik gue seperti mengode kalau dia udah mau muntah akting kayak gini. Lirikan gue seperti bertanya apa yang harus gue lakukan, apakah ini saatnya gue ikut masuk ke dalam kegilaan ini? Apakah ini waktu yang tepat?

Gue lihat Askar mengangguk pelan, dia juga sudah siap menangkap gue bila harus berakting jatuh dengan brutal. Tapi tepat sebelum gue memulai teriakan perdana gue, Kavi datang dengan cepat sampai menabrak kerumunan murid. Dia melihat ke arah Bre panik. Gue yakin dia langsung tahu kalau yang sedang dikerubungi itu Bre dari teriakannya.

Gue lega sepenuhnya saat tahu bahwa gue gak perlu ikut akting kesurupan karena Kavi sudah datang. Bre melihat ke arah Kavi, hampir saja tersenyum kalau Askar gak menjelaskan ke Kavi kalau dia lagi kesurupan. Akting teriaknya sudah melemah, tapi gak langsung dihentikan karena tampaknya doa-doa Pak Amin belum terlihat akhirnya.

Sekitar 2 menit setelahnya Bre memutuskan untuk berpura-pura pingsan seakan hantunya sudah pergu dari tubuhnya. Kavi dengan sigap langsung mengangkat tubuh Bre yang tampilannya udah acak-acakan dan meninggalkan tasnya untuk dibawakan oleh Mada.

Kerumunan tadi mengikuti ke arah Bre pergi tapi gak dengan kami bertiga. Bu Ratih memerintahkan murid yang masih bertebaran di lapangan untuk segera masuk kelas. Gue melirik jam di tangan Askar yang menunjukkan pukul 07.20. Waktu yang sangat lama untuk sebuah akting kesurupan. Gue gak akan heran misal Bre suaranya habis.

“Kayaknya lo harus traktir Bre makan enak sebulan deh, Kar. Kasian banget sampe awur-awuran gitu bentukannya.” kata Mada setelah semua benar-benar jauh dari kami.

“Gue gak nyangka dia bakal setotalitas itu. Gue pikir dia cuma teriak di awal buat narik perhatian, tapi kenapa dia teriak sepanjang akting? Kan capek anjir.”

“Lu yang nyuruh dia buat brutal anjir!!!” omel gue. “Tapi gak perlu sebrutal itu juga pasti orang-orang percaya!” balas Askar.

Gue menghela napas kasar. Hari ini anehnya maksimal. Gue udah gak bisa debat masalah aneh sama orang yang lebih aneh. Kami berjalan ke UKS, menyusul Bre dan Kavi. Gue lihat masih ada aja murid yang kepo sampai harus dikepret dulu sama Pak Wahid. Kami diijinkan masuk karena beliau tau betul kami temannya Bre.

Gue lihat Bre sudah sadarkan diri dan lagi dikasih teh hangat dan minyak kayu putih sama penjaga UKS Bu Dyah. Kavi duduk di dekatnya sambil merapikan kondisi Bre yang berantakan. Gue berjalan ke arah Bre dan dipanggil untuk memeluknya. Saat posisi wajahnya ada di sela leher gue, dia berbisik dengan sangat pelan, “Ingetin gue buat minta DO dari sekolah abis ini. Gue malu banget anjing!”

Gue mau ketawa tapi waktunya gak tepat, jadi gue cuma mengusap punggungnya sebelum mundur memberi ruang agar Bre bisa dirapikan lagi keadaannya.

Beruntung koperasi punya baju cadangan, jadi baju Bre yang sudah kotor gak karuan bisa diganti dengan yang baru. Beruntung pula Bre membawa pouch make upnya sehingga bisa sedikit menghapus dan memperbaiki kekacauan di mukanya. Sebelum boleh bubar ke kelas, Bu Dyah, Pak Amin, dan beberapa guru yang ada di depan UKS menanyakan keadaan Bre dengan raut wajah khawatir. Bre menjawab dirinya sudah baik-baik aja dengan akting sedikit lemas tapi tidak menunjukkan tanda-tanda sakit lagi supaya gak disuruh pulang terus. Hampir aja tadi Ibunya Bre ditelfon untuk jemput anaknya yang abis meraung-raung di tengah lapangan, tapi untung Bre bisa membujuk untuk tetap ikut ujian.

Di toilet yang sudah gue pastikan hanya ada gue dan Bre, dia melongo melihat bentukan wajah dan rambutnya di cermin. “Askar anjing! Gue jadi gak ada harga dirinya gini depan warga sekolah anjingggg! Padahal gue selalu berusaha tampil cetar dan cantik supaya semua tau kalau gue emang cantik banget buat dipacarin!” katanya gak berhenti menghapus tuntas make upnya dan menimpanya lagi dengan riasan baru. Kami gak lagi khawatir sama ujian karena sudah diumumkan bahwa ujian akan dimulai pukul 8 yang mana masih 15 menit lagi.

Saat kembali ke kelas, semua menatap ke arah Bre. Mereka agak takut karena masih mengira Bre benar-benar ditempeli hal mistis. Saat duduk di bangku, Kavi merapikan lagi rambut Bre dengan sisir yang dibawanya. Dia gak ngomong apa-apa karena yakin semuanya akan mendengar kalau kejadian barusan cuma bohongan. Akhirnya kami memutuskan untuk berkomunikasi lewat ponsel.


Anjani langsung menyuruh Bre masuk ke kamarnya setelah menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka di kamar. Jam sudah pukul 11 malam, kebetulan Ayah Anjani sedang ke luar kota jadi tidak perlu minta izin. Bre duduk di atas kasur Anjani setelah mengganti baju ke piyama yang sudah dia siapkan dari rumah.

Anjani menyodorkan teh manis hangat supaya Bre menghangatkan badannya. Setelahnya dia menyusul duduk di atas kasur. Mereka memakai skincare masing-masing sambil mulai mengobrol.

“Kenapa? Berantem sama Kavi?” tanya Anjani membuka obrolan. Bre menggeleng sambil memencet pipet serum ke wajahnya.

“Nyokap.” jelas Bre singkat. Anjani hanya menunggu Bre masuk ke ceritanya.

“Gue gak boleh masuk tata rias.” Anjani mengerutkan dahi. “Oh lo serius mau masuk tata rias?!”

“Serius, anjir. Gue udah mentok banget gak tau jurusan apa lagi yang sesuai sama minat bakat gue. Ya lo tau sendiri gimana senengnya gue eksperimen sama make-up dan rambut gue, kan? Gue udah sempet nyinggung ke nyokap dan dulu bilangnya selalu 'iya nanti liat dulu' tapi akhirnya bener-bener gak boleh.”

Selesai memakai skincare Anjani menaikkan selimut sampai menutupi tubuh bagian bawah mereka. Keduanya menyender di kepala ranjang dengan tatapan kosong ke depan. “Gue tuh ya, Jan, selalu bersyukur nyokap gue yang single parent gitu gak pernah marah-marah dan selalu jadi wanita kuat yang gue kagumin. Tapi dibalik kuat dan mandirinya nyokap, ada keras kepala yang gak bisa dibantah. Lo tau sendiri, kan, saking mandirinya nyokap, gue kadang ditegur gak boleh terlalu cinta sama Kavi, gak boleh cerita terlalu banyak sama Kavi, gak boleh naro hidup gue sama Kavi, pokoknya nyokap bilang cowok itu semuanya bakal sama aja.”

Bre berhenti sebentar, pikiran Anjani melayang ke saat-saat dia bertemu dengan Ibunya Bre waktu pertama kali. Memang yang ada di pikirannya saat itu adalah betapa kagumnya dia melihat seorang wanita hampir paruh baya berdiri dengan tegak dan percaya diri walaupun tanpa suami. Anjani ingat betapa terpancarnya aura tegas dari Ibu Bre. Maka tidak heran jika pada akhirnya Bre kewalahan dengan mindset mandiri menurut ibunya.

Jadi Ibu Breanni ini single parent yang cerai hidup dengan suaminya. Ayah Bre tidak pernah berkontribusi dengan kehidupan Bre sejak bayi, jadi kedua orang tuanya bercerai sewaktu Bre masih belum mengerti apa-apa. Karena itu Bre tidak pernah dekat dengan ayahnya sendiri, bahkan sekarang dia tidak tau ayahnya tinggal dimana. Ibunya selalu jadi wanita yang mandiri dan tegas, dari luar kelihatan tegar dan bisa mengurus semuanya sendiri. Karenanya Bre tumbuh jadi perempuan yang kuat dan dituntut untuk bisa menjaga dirinya sendiri, Bre dibentuk untuk hidup tanpa laki-laki. Maka waktu Bre bilang dia dan Kavi pacaran, ibunya sempat tidak setuju karena menurutnya, Kavi bisa jadi bumerang bagi Bre yang sudah kuat berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Tapi Bre pernah bilang, kalau Kavi gak akan jadi seperti ayahnya yang tidak bertanggung jawab, bahwa Kavi ini berbeda. Bre juga berjanji jika sesuatu terjadi antara dia dan Kavi, maka Bre akan meninggalkan Kavi sebelum dia jatuh terpuruk.

Anjani jadi satu-satunya saksi kerasnya tuntutan antara Bre dan ibunya. Inilah salah satu alasan mengapa Bre tidak pernah mengatakan hal-hal yang dibilang ibunya pada Kavi. Karena dia tidak ingin Kavi merasa dihakimi, dia tidak ingin Kavi yang masalahnya sudah banyak dibuat tambah pusing dengan sikap Ibu Bre yang judgemental.

“Gue tau sih, jadi perempuan mandiri is a must di zaman sekarang. Karena in the end kita tuh emang tinggal sendiri di dunia ini ya gak, sih? Makanya gue gak pernah protes kalau gue harus ikut banyak olahraga bela diri yang capeknya minta ampun itu. Karena gue tau Nyokap cuma mau yang terbaik aja.” Anjani mengangguk setuju.

“Tapi kadang.. capek juga sih, Jan. Gue juga, kan, pengen sekali-kali dimanja, diperlakuin kayak bayi baru lahir yang gak bisa lakuin apa-apa tanpa bantuan yang lain. Gue juga pengen digandeng pas nyebrang karena takut, pengen dibukain botol minum karena gak kuat, pengen dirobekin bungkus chiki-nya karena gak bisa. Pokoknya hal-hal lemah kayak perempuan kebanyakan, deh. Dan Kavi jadi satu-satunya cowok yang ngelakuin semua itu walaupun tau gue bisa sendiri. Gue ngerasa jadi lemah kalau ada Kavi, gue ngerasa jadi cewek yang sebenernya kalau sama Kavi. Gue suka jadi kayak gitu, Jan, walaupun cuma sesekali.”

Anjani meraih kepala Bre untuk disandarkan ke bahu kanannya. “Nyokap maunya gue jadi polwan, Jan..” ucap Bre lirih.

“Gue gak mau jadi polisi atau TNI. Gue gak mau kalau hari-hari gue harus penuh sama penataran fisik yang capek. Walaupun gue yakin gue bisa masuk dan kuat jalaninnya, gue gak mau. Karena artinya gue gak bisa lagi ketergantungan sama Kavi, gak bisa lagi main kepang-kepangan sama lo, kita gak bisa lagi nyalon dan make-up bareng. Gue gak mau jati diri cewek gue ilang.”

Suara Bre mulai bergetar lalu tangisnya pecah. Pasti sulit menahan semuanya sendiri. Anjani langsung mendekap Bre dan membiarkannya menangis selama beberapa menit. Anjani sengaja tidak bertanya atau berkata apapun, dia membiarkan Bre mengeluarkan apa yang dia ingin ceritakan. Karena menurutnya tidak semua orang yang sedang bercerita perlu umpan balik atau kritik.

Setelah agak tenang, Bre kembali bercerita. “Nyokap bilang tata rias gak akan berguna buat kemandirian gue. Tata rias bakal bikin gue makin feminim dan kayak cewek lemah. Yang bikin gue heran, dulu Nyokap selalu dukung karier model gue waktu kecil, tapi lama-lama Nyokap gak pernah nerimain tawaran model gue lagi. Alasannya supaya gue fokus belajar dulu. Tapi ujungnya ternyata gue disuruh banting stir ke pekerjaan yang gak ada cewek-ceweknya sama sekali. Pekerjaan yang keras dan capek kalau dijalanin gak pakai hati.”

Anjani ikut menghela napas. Mendengar cerita Bre juga ikut membawa sesak baginya. Dia paham betul betapa tidak mengenakkannya diatur-atur dan diarahkan secara paksa. Padahal yang menjalani mereka, tapi yang repot orang tua. Seakan-akan mereka lahir hanya untuk boneka orang tua yang harus manut ABC dan Z-nya.

“Lo udah coba jelasin alasan lo mau masuk tata rias?” tanya Anjani.

“Udah. Gue bilang passion dan bakat gue ada disitu. Nyokap harusnya juga tau lah gue suka banget sama make up. Orang tiap minggu selalu ada paket alat make up gue dateng kok.”

“Terus lo udah ada rencana mau ngapain?”

“Mau berontak sih. Gue bakal kabur kalau beneran dipaksa masuk polwan atau TNI.”

“Bre..”

“Gue gak sudi masuk pekerjaan kayak gitu, Jan. Itu bukan jalan gue banget.”

Lagi-lagi Anjani menghela napas. Dia juga ikut bingung. Masalahnya dia juga punya masalah yang sama. Tuntutan.

“Yaudah, lah, biarin aja. Nanti gue pikirin sendiri gimana caranya. Pokoknya gue gak mau masuk polisi atau TNI. Intinya gue nginep disini karena gue kesel sama ocehan Nyokap yang sampe buka-buka pendaftaran sekolah polisi dan TNI di depan gue.”

Anjani merentangkan tangannya, memberi kode untuk Bre masuk ke pelukannya. Mereka saling memeluk erat, Anjani juga menepuk-nepuk kepala Bre. “Lo tuh jadi cewek udah hebat banget, Bre. Kalau gue jadi lo, gue gak akan kuat dan udah pingsan di minggu pertama gue disuruh masuk ke club judo, karate, dan taekwondo secara bersamaan. Menurut gue, Bre yang sekarang udah jadi perempuan yang hebat dan mandiri. Siapa coba yang berantem sama kakel banyak bacot kalau bukan lo? Siapa yang bakal belain gue depan kakel kalau bukan lo? Siapa yang mancing lele pake pengki kalau bukan lo?” Bre tertawa mendengar tingkah-tingkahnya yang disebut Anjani.

Lalu Anjani melanjutkan sambil menangkup kedua pipi Bre. “Buat gue, lo udah hebaatttt banget. Udah cukup mandiri dan kuat. Gue bahkan yakin kalau lo putus sama Kavi, lo tetep bisa hidup sendiri dengan segala kemampuan dan ketegaran lo. Tapi mungkin standar Nyokap lo jauh lebih tinggi dibanding standar gue, makanya lo sampai kewalahan bikin diri lo sampai ke standar itu. Tapi gue ngambil satu pelajaran dengan hidup sama Bokap yang ikut campur urusan pendidikan, Bre, bahwa kita itu hidup harusnya ngikutin standar diri kita sendiri, bukan standar orang lain.”

Bre menyimak dengan saksama masih dengan elusan tangan Anjani di rambut panjangnya. “Kalau menurut gue, seharusnya seorang anak yang udah mau dewasa itu udah berhak buat nentuin pilihan hidupnya mau kemana. Harusnya peran orang tua sebagai pemandu aja, bukan pengatur. Menurut gue, lo berhak ngambil jurusan yang lo mau karena yang jalanin kuliah selama 4 tahun tuh lo, bukan Nyokap. Tapi karena kita sebagai anak juga gak boleh durhaka, lo harus coba cara yang paling baik dulu sebelum cara ekstrim alias membangkang.”

“Gue rasanya mau langsung membangkang aja, Jan. Capek gue debat mulu, gak selesai-selesai.”

“Ya... sama sih.”

“Para orang tua tuh kadang egois gak sih? Nuntut anaknya supaya dengerin, tapi dirinya sendiri gak dengerin permintaan dan pendapat anaknya. Minta anaknya supaya gak durhaka, tapi dirinya juga durhaka ke anak. Orang tua yang kayak gitu, tuh, yang bikin bingung. Mau berbakti tapi jadinya setengah hati.”

“Karena mereka juga baru pertama kali hidup dan pertama kali jadi orang tua, Bre. Emang gak akan ada orang tua yang sempurna, sih, sama kayak gak akan ada anak yang sempurna buat orang tuanya.”

“Ada satu.”

“Siapa?”

“Orang tuanya Askar dan Askarnya sendiri.”

“Oh, kalau itu setuju. Askar's family is the standard.


Gue udah bilang kan gue paling benci liat Anjani nangis? Tapi selain itu, gue juga paling benci liat Anjani diem dan ngelamun karena isi kepalanya yang lagi berantakan dan berkecamuk. Gue gak tega ngeliat dia kesulitan sama semua perdebatan di kepalanya sendiri. Maka gue lebih baik ngodein mereka bertiga buat gak nanya apa-apa pas gue bawa Anjani ke rooftop di sela-sela istirahat belajar bareng.

“Jadi, ayah atau Garvi?” tanya gue sesudah kami sampai di rooftop. Anjani mengedarkan pandangan ke atap-atap rumah di sekitar rumah gue baru jawab, “Dua-duanya, tapi karena Garvi ngadu ke ayah.”

“Kenapa lagi dia?”

Seakan udah gak ada tenaga buat jelasin, dia cuma kasih unjuk roomchatnya sama Garvi dan group keluarganya yang sukses bikin gue ngepalin tangan yang satunya.

Jujur, gue gak pernah ngerti sama perilaku Garvi setelah puber ini. Dulunya, waktu masih jadi tetangga sama Anjani, kami selalu main bertiga. Dia minjem PS gue dan gue minjem nintendo punya dia. Kadang kami berangkat ke masjid bareng, taraweh bareng, bahkan pernah saling nginep karena jarak yang deket. Tapi semenjak gue pindah rumah, semenjak lulus SD bahkan, dia jadi berubah.

Gue gak suka perubahan dia yang drastis jadi seorang adik yang rese dan nyari-nyari kesalahan kakaknya sendiri di depan orang tuanya. Menurut gue orang-orang yang bersaing sama sodara kandungnya sendiri itu unnecessary aja. Buat apa bersaing buat dapet kasih sayang orang tua sendiri? Kenapa harus cari validasi lebih dari sodara kandung sendiri? Menurut gue orang-orang kayak gitu gak bisa disebut saudara kandung. Karena seharusnya darah yang sama yang mengalir di tubuh saudara kandung itu gak bisa bikin kita jadi orang asing yang bersaing.

Udah bertahun-tahun gue perhatiin tingkahnya Garvi, tapi makin hari gue liat dia makin semena-mena aja sama Anjani. Hal itu bikin gue marah tapi gue gak mungkin langsung nonjok dia di depan semua orang. Satu, gue bisa ngecewain Mama, Papa, dan Mbak Sara. Dua, gue gak mau Anjani nangis karena hal itu. Tiga, gue masih waras buat gak ikut campur masalah keluarga orang lain. Tiga hal di atas justru bikin gue makin frustasi karena ujungnya gue emang gak bisa bikinin jalan keluar buat Anjani.

Tingkah Garvi ini, tentunya gak cuma ke gue atau Anjani. Tapi semua temen kami alias Kavi, Bre, dan Mada. Kavi bahkan udah terang-terangan bales natap sinis Garvi tiap dia lewat di depan kami. Mada sendiri gak mau ikut campur, jadi dia lebih milih gak nganggep Garvi ada. Kalau Bre... dia udah nyerocos ke Anjani buat nitipin jitakan ke kepala Garvi kapan-kapan. Karena ya... emang semenyebalkan itu tingkahnya di depan kami.

Akan jauh lebih menyebalkan lagi buat gue karena gue tau semua di balik layarnya. Kayak sekarang, dengan tangan yang masih mengepal keras, gue kembalikan ponsel Anjani ke tangannya. Di depan gue, Anjani mati-matian menahan tangisnya. Melihat itu gue langsung menarik tangannya pelan supaya dia masuk sempurna ke dalam dekapan gue.

Pecah. Semua tembok kaca yang disusun Anjani barusan runtuh bersamaan dengan keluarnya air mata dari kedua mata jernihnya. Satu-satunya hal nyakitin yang akan selalu rela gue terima adalah ngeliat Anjani nangis di pelukan gue. Bahunya yang bergetar hebat, isakan kecilnya yang ditahan supaya gak terlalu terdengar kencang, tangan halusnya yang meremas baju gue, serta air mata yang membasahi baju gue adalah hal-hal yang gak gue sukai. Tapi akan selalu gue terima karena itu Anjani.

“Gue bingung kenapa Garvi bisa kayak gitu sama gue sekarang, Kar.. Gue capek harus debat sama Garvi tanpa tau kesalahan gue apa.. Karena yang bagi dia salah, dia pasti bakal bilang ke ayah dan bikin gue diomelin habis-habisan.” cicitnya pelan setelah isakannya mereda. Suaranya masih teredam karena posisinya masih tenggelam di dada gue.

“Gue udah di tahap pasrah sama ayah, Kar. Gue udah capek minta validasinya buat jadi orang yang bener. Jadi gue sekarang hidup buat diri gue sendiri dan buat bunda aja. Tapi rasanya tetep aja nyakitin kalau dikata-katain kayak gitu. Gue juga jadi ngerasa bersalah karena Bunda selalu jadi berantem sama Ayah gara-gara gue.” mendengar itu gue menepuk-nepuk punggungnya pelan.

“Andai Garvi gak mancing keributan mungkin lo gak akan dimarahin kayak gini, Jan. Duh, jujur gue selalu nahan buat gak nonjok dia tiap lewat depan gue, Jan. Karena gue gak mau lo tambah sedih. Tapi misal kelakuannya udah lebih parah dari ini, maka jangan segan bilang ke gue kapan harus nonjokin dia ya?”

Dia terkekeh pelan lalu menarik kepalanya dari pelukan gue. Dia menatap gue dengan mata merah dan muka basah. Gue membantunya mengelap kekacauan itu saat dia bilang, “Emang lo bisa lawan Garvi? Badan kalian aja jauh banget gitu. Yang ada kalo dia bales lo yang mental.”

“Oh, kalau itu gue gak kepikiran sih. Yang penting mah usaha.” ucap gue sekenanya.

Anjani tertawa lagi, kali ini sambil menarik ingus kayak anak kecil. “Gak usah kalau gitu mah. Gue gak yakin kalau lo yang menang. Yang ada lo cuma malu-maluin diri lo sendiri pas kalah.”

“KOK YAKIN BANGET GUE BAKAL KALAH SIH?!?!?!! PESIMIS BANGET!!!!” pekik gue kesal.

Anjani terkekeh dengan suaranya yang parau. “Gue udah bisa bayangin masa depannya bakal gimana, Kar. Makanya udah lah mending diem aja makan telor gulung di pojokan.”

Gue mencubit kedua pipinya gemas. Dia mengaduh kesakitan membuat gue panik sedikit. “EHH SORRY SORRY!! Abis lo ngeledek banget sih!”

Dia balas cemberut dengan mata sinisnya. “Nyebelin!”

“Tapi masih mau nempel-nempel sama gue.” sindir gue balik.

Dia langsung menjauh dua langkah. “Yaudah gue nempel sama Kak Haikal aja deh. Lebih gentle, baik, penyabar...”

“Yaudah sana. Tapi gue jamin pelukannya gak senyaman punya gue.” Anjani menoyor kepala gue pelan setelah dengar itu.

“APAAN SIH!!”

Setelah puas tertawa gue menatap lagi wajah Anjani. Masih ada jejak air mata dan matanya yang membengkak merah. Cantik tapi penuh luka, gue jamin yang bisa liat itu cuma gue.

“Makasih ya.” ujarnya lembut. Gue otomatis tersenyum. “Karena selalu ngerti kapan gue butuh dipeluk. Karena udah gantiin kehangatan yang hilang dari rumah gue sendiri sampai bikin gue lupa kalau rumah gue aslinya bukan disini. Makasih karena udah nipu gue karena bikin gue mikir kalau gue manusia paling bahagia padahal aslinya enggak.”

Gue mengerutkan dahi dan mencubit hidungnya pelan. “Kata siapa lo bukan manusia yang bahagia? Walaupun bukan yang 'paling' bahagia, tapi kalau lo masih bisa ngerasain kebahagiaan di setiap harinya, lo berhak disebut manusia yang bahagia. Lagian, jadi manusia yang bahagia bukan berarti gak punya kesedihan dan masalah tau.”

Dia balas mencubit hidung gue, tapi agak keras aja. “Iyaaa, bawel! Aduh, casu gue ini bijaksana banget ya, nikah besok aja apa ya kita?”

Gue melotot mendengarnya, Anjani cuma balas tertawa. Sebenarnya gue udah sering balas gombalan aneh darinya akhir-akhir ini, ya supaya dia merasakan aja gimana gelinya digombalin. Tapi sialnya gue gak akan pernah terbiasa sama gombalan Anjani yang tiba-tiba kayak gini. “Iya nih, abisnya catri gue hidupnya pesimis banget, padahal udah punya casu ganteng nan bijaksana gini.”

Obrolan ditutup dengan tawa gue yang pecah gara-gara Anjani yang melongo karena dipanggil catri. Kalau dipikir sebenarnya geli juga ya, calon suami, calon istri, seakan yakin masa depan kita akan bareng terus. Tapi kalau gue pribadi selalu yakin, apapun yang terjadi gue bakal tetap ada buat Anjani. Alasannya? Ya karena dia Anjani.


Askar menyalakan AC di ruang santai rumahnya. Di belakang ada Anjani dengan nampan penuh makanan di tangannya. Keduanya duduk di sofa panjang milik keluarga Askar setelah bertempur dengan kemacetan Jakarta. Di depan mereka ada meja panjang berisi beberapa makanan ringan dan permainan kartu. Anjani duduk sambil memakan popcorn yang dibeli Mama Askar. Sedangkan Askar tiduran di paha Anjani sambil memejamkan matanya.

“Kira-kira berhasil gak ya misi kita hari ini?” tanya Askar masih dengan mata terpejam. Anjani menghela napas sambil terus mengunyah. “Semoga Mada udah siap ya.”

Beberapa hari yang lalu, mereka ber-empat membicarakan ini sewaktu Mada pulang lebih dulu dibanding mereka. Setelah diskusi panjang, mereka menyimpulkan jika Mada menunggu waktu yang tepat untuk bercerita tentang masalahnya, maka mereka lah yang akan menciptakan waktu yang tepat itu. Maka dari itu mereka membuat rencana membawa Mada ke rumah Askar untuk menceritakan apa yang terjadi. Walaupun dengan keraguan yang kuat, mereka tetap mencoba mengajak Mada. Beruntung Askar juga meminta bantuan Bundanya untuk menemani Ibu Mada di rumahnya. Jika tidak, kemungkinannya 100% Mada tidak akan datang ke rumah Askar. Karena satu-satunya alasan Mada pulang lebih cepat setiap harinya karena khawatir ibunya kesepian di rumah.

Selama bertahun-tahun pertemanan ini berlangsung, tidak ada satu pun dari mereka yang tidak menyadari bahwa ada beban berat yang dipikul Mada tanpa mereka ketahui. Mereka sama-sama tau kalau Mada adalah orang yang selalu ceria dan jenaka. Tapi mereka juga tau kalau dibalik semua itu ada kegelapan yang ditutupinya rapat-rapat.

“Bukan masalah privasi atau enggaknya, bukan masalah ini ranah kita atau bukannya, tapi ini masalah kesedihan yang gak pernah ditunjukkin sama Mada. Gue gak mau temen gue kenapa-kenapa cuma karena nanggung semuanya sendiri. Gue gak mau kehilangan temen gue dan gak tau apa yang selama ini dia tutupin.” kata Kavi sewaktu Bre bertanya tentang apakah masalah Mada itu sebenarnya privasi dan mereka tidak perlu tau.

“Kar, gue mau cerita tapi jangan bilang sama Kavi dan Bre ya?” ucap Anjani pelan.

“Kenapa?” Askar membuka matanya dan menatap Anjani dari posisinya yang masih sama.

“Sebenernya gue udah tau kalau ortu Mada mau cerai dari semenjak nyokapnya sakit karena dia sendiri yang ngechat gue waktu itu. Gue baru ngaku sekarang karena yaa... kalian udah tau masalahnya dari Bang Arga. Maaf ya gue gak bilang dari awal, ini permintaan Mada soalnya...”

Askar mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Anjani. “Gapapa, itu kan kemauan Mada buat jangan diceritain ke kita. Mungkin Mada emang beneran belum siap jadinya cuma cerita ke lo.”

Anjani tersenyum kecil saat Askar menepuk-nepuk tangannya pelan. Keduanya menoleh saat pintu dibuka lalu muncul Bre dan Kavi yang membawa sekantong minuman dingin dengan berbagai rasa. Bre langsung loncat ke sofa dan duduk di sebelah Anjani, sedangkan Kavi memutuskan duduk di bean bag sambil menyomot makanan dari meja.

“Ganti oli dimana, Kav?” tanya Askar basa-basi.

“Di deket indomaret sekolah, yang biasa langganan gue tutup.” Askar mengangguk-angguk sebagai respon.

“Mada belom dateng ya?” tanya Bre kepada ketiganya. Yang lain hanya menggeleng. Mereka saja tidak tau pasti apakah Mada akan benar-benar datang ke rumah Askar.

Empat anak manusia itu sibuk dengan urusannya masing-masing sambil sesekali bersenda gurau tentang hal-hal duniawi. Dalam hati sudah pasrah jikalau Mada memang tidak ingin datang untuk kumpul hari ini. Namun yang ditunggu-tunggu kemudian muncul dalam hoodie hitam dengan celana seragam abu-abunya. Senyum di wajahnya canggung, tapi disambut dengan kehebohan Kavi yang mencairkan suasana. “Akhirnya dateng juga Pak Bos kita yang paling sibuk!” kata Kavi sambil mengajak Mada ber-tos ria.

“Duh, sorry ya, tadi gue kelamaan mikir mau berangkat naik Alphard, Ferarri, atau Harley Davidson. Maklum lah, orang kaya problem.” Ocehan receh Mada membuat yang lain melemparinya dengan benda-benda di sekitar mereka. Yang dilempari hanya nyengir lalu duduk di lantai depan Anjani.

“Oh iya, Kar, makasih banget ya, nyokap gue jadi gak kesepian banget berkat nyokap lo. Tadi gue ngecek ke rumah terus ternyata mereka lagi masak bareng. Nyokap lo juga bawa makanan banyak banget gila, kayaknya satu supermarket diborong dah.” Askar tertawa sebelum menjawab.

“Emang gitu dia mah, suka beli barang lebih dari satu. Nanti kalo nyokap lo sendirian lagi, chat aja tuh nyokap gue, nganggur kok.” Mada hanya mengangguk sambil terkekeh. Yang lain tersenyum melihat Mada lebih rileks dibanding sebelumnya.

Bre yang sibuk membuka twitter sejak tadi memekik, “Eh! PAK SANDY PACARAN SAMA BU NADYA?!?!??” Bre terlihat sangat tercengang sambil memandang layar ponselnya.

Mada lalu melihat ponsel Bre yang menampilkan foto buram kedua guru di sekolah mereka itu sedang berjalan berdua di sebuah mall. Ponsel Bre digilir karena rasa penasaran dari ke-empat manusia lainnya.

“Pantesan aja gue liat mereka waktu papasan di koridor tuh kayak saling senyum gitu.” ujar Askar usai mengembalikan ponselnya ke Bre.

“Kayaknya gue juga pernah liat deh,” ucapan Mada membuat yang lain menengok. “Waktu itu pas gue ke kantin terus buang sampah ke belakang sekolah, gue liat ada yang pelukan. Kirain anak kelas mana karena seragamnya sama-sama batik. Pas Pak Sandy masuk kelas gue baru ngeh kalo batik dia tuh sama kayak yang gue liat.”

Yang lain menyimak dengan mulut terbuka. “Gila, berarti mereka pacaran udah lama dong?! Wah, GAK BISA, GAK BISA! GUE HARUS SPILL KE BASE SEKOLAH!” pekik Bre heboh.

Anjani menahan tangan Bre yang sudah memencet aplikasi twitter. Kepalanya menggeleng kecil. “Gak usah lah, Bre. Biarin aja. Mungkin mereka cuma gak mau orang lain tau, semua orang kan pasti punya rahasia masing-masing.”

“Iya udah gak usah, lagian mereka tetep profesional kok sama pekerjaannya.” timpal Askar pula.

Bre memajukan bibirnya tapi tetap menurut karena berubah pikiran berkat omongan Anjani dan Askar. Mada terdiam mendengarnya, membuat Askar melirik paham bahwa Mada juga merasa relate akan perkataan barusan.

“Bener, semua orang punya rahasianya masing-masing,” sahut Mada pelan. “Termasuk gue.” lanjutnya.

Suasana tiba-tiba hening, seolah tau bahwa obrolannya sudah masuk ke tahap serius. Pandangan Mada tiba-tiba lebih sendu, membuat yang melihat ikut merasa pilu. “Gue tau kok, kalian hari ini mau ngehibur gue supaya gak berubah jadi introvert mellow banyak masalah yang kalo ditanya kenapa jawabnya gapapa padahal aslinya kenapa-kenapa.”

“Ma.. gak gitu kok..” cicit Jani pelan. Dia mengelus pundak Mada supaya lebih menenangkan.

“Gue tau kalian pengennya gue terbuka sama semua masalah dan keadaan gue. Tapi gue dari dulu selalu berprinsip kalo gue gak akan ngasih hal negatif sedikit pun ke orang lain, terutama orang-orang yang gue sayang dan hormati. Gue mau orang nginget gue yang baik-baik aja, yang selalu bikin ketawa dan gak ngasih beban apapun.”

Semuanya terdiam. Bertahun-tahun berteman dengan Mada tidak juga membuat mereka tau sisi abu-abu dari Mada. Yang mereka tau selama ini hanya sisi yang putih, cerah, dan berkilau. Baru kali ini mereka mendengar Mada membagikan sisi tergelap dari dirinya.

“Maaf kalo kesannya gue sok keren, tapi gue beneran gak bisa nyeritain kelemahan gue ke orang lain. Gue nganggep kelemahan gue tuh aib yang harus gue kubur. Tapi gue tau sih suatu yang busuk ujungnya bakal kecium juga dan mungkin hari ini waktunya.” Mada menghela napas sebelum berani menatap satu per satu sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.

“Mungkin selain Ibu dan Bang Arga, orang yang paling berharga buat gue tuh kalian,” satu per satu air mata keluar dari kedua matanya. Membuat yang lain ikut berkaca-kaca. “Mungkin kalo gak ada kalian yang ngehibur dan ngisi hari-hari gue, gue gak akan kuat buat jalaninnya.”

Anjani yang tadinya duduk di sofa langsung merosot ke sebelah Mada untuk memeluknya dari samping. Kavi meremas bahu Mada karena tak bisa menahan kesedihan. Mungkin bisa dibilang, Kavi yang paling mengerti rasanya memiliki orang tua seperti orang tua Mada.

“Iya, Nyokap Bokap gue mau cerai. Gue lega, jujur. Tapi gue gak tau kalo ternyata rasanya tetep sesakit ini. Gue kira gue siap, tapi ternyata gak akan ada yang bisa siap sama perpisahan.” Mada berhenti sejenak saat tenggorokannya tercekat berkat air mata yang berlomba-lomba keluar. Badannya bergetar hebat, semua yang ditahannya selama ini memaksa keluar.

Yang melihatnya juga ikut merasa sesak. Tidak ada yang bisa menahan air mata melihat sahabat yang selama ini hanya kelihatan tawanya tiba-tiba menangis hebat sampai tidak sanggup bicara.

“Selama ini gue cuma minta satu hal.” lanjut Mada setelah mengatur nafas berulang kali. “Gue cuma minta Nyokap bahagia. Setiap sholat cuma itu yang gue pinta sama Allah, gak ada hal lain. Gue bahkan gak minta kebahagiaan buat gue, karena yang paling penting buat gue ya kebahagiaan Nyokap.”

Sekali lagi Mada mengatur napasnya yang tercekat. “Ternyata Allah kabulin permintaan gue dengan ngasih keberanian buat Nyokap ninggalin Bokap setelah bertahun-tahun nahan semuanya.”

Semuanya diam memandang Mada yang tidak henti menangis. Pemandangan yang jarang, namun seharusnya memang tidak ada hal yang membuat seorang Mada yang penuh tawa ini menjadi tertutupi tangis. “Makasih ya, Ma, udah mau cerita..” bisik Anjani di tengah sesak.

Mada mengangkat kepalanya yang dia sembunyikan di lipatan kedua tangannya untuk melihat Anjani. “Iya, makasih ya, Ma, udah ceritain semua beban lo ke kita.” ucap Askar.

Mendengar itu Mada semakin menangis. Tapi kemudian dia terkekeh dan tertawa lebih kencang. Membuat yang lain bingung tapi mau tidak mau ikut tertawa karena tawa Mada terdengar geli sekali.

Dengan sisa tawa, Mada bicara, “Gue salah selama ini.” katanya sambil melihat sahabatnya satu per satu. “Gue kira jadi orang yang punya masalah itu lemah. Gue kira dengan nunjukkin masalah itu gue jadi makin lemah. Gue kira dengan pura-pura baik-baik aja di saat lagi sedih itu bikin kuat, tapi ternyata sebaliknya. Kesedihan malah makin gerogotin gue tanpa ampun. Tapi saat gue nunjukkin masalah gue, kelemahan gue, aib gue, ternyata gue jadi orang yang jauh lebih kuat dan bisa nerima keadaan. Gue ngerasa bego banget selama ini nutupin masalah gue dari kalian karena takut dibilang lemah dan hancur, tapi ternyata kalian malah makasih sama gue karena gue ceritain masalah gue. Hidup emang penuh kejutan ya anjinggggg, HAHAHAHAHA..” perkataan Mada yang ditutup tawa membuat yang lain ikut tertawa lagi.

Kali ini dengan perasaan haru dan lega. Madava yang mereka kenal sudah kembali. Dengan lebih kuat dan lapang. Mereka memeluk Mada sambil menepuk-nepuk pundak satu sama lain. Sebuah gestur yang diharapkan bisa lebih menguatkan diri maupun persahabatan mereka.

“Makasih karena gak pernah nanya kenapa gue bersikap aneh di masa-masa sulit kayak sekarang. Makasih juga udah ngertiin gue buat gapapa kalo punya masalah dan nunjukkin semuanya ke kalian. Makasih udah ngertiin gue dengan semua diam gue yang gak jelas. Maafin gue ya belom bisa jadi temen yang bawa kebahagiaan 100% ke kalian.”

“Ma..” panggil Anjani pelan. “Tugas temen bukan cuma ngasih kebahagiaan doang, tapi juga saling menguatkan. Manusia pasti diuji, pasti ada saatnya jatuh. Tugas kita itu saling bantu kalau ada yang jatuh, supaya temen kita gak terpuruk semakin jauh. It's okay buat berbagi kesedihan, toh kita-kita juga gak 100% ngasih lo bahagia kan? Itu lah fungsinya sahabat, Ma, buat saling bantu dan berbagi kesedihan.”

“Bener kata Jani. Dari dulu gue paling relate sama lo karena kita punya latar belakang yang sama, Ma. Gue tau rasanya mau nyerah tapi gak bisa karena ada alasan yang lebih kuat buat bertahan. Salah satu alasan gue buat kuat itu Mas Kafka dan kalian. Gue selalu percaya, rumah gak harus berbentuk bangunan dan orang tua, tapi juga bisa berbentuk manusia yang baru gue temuin setelah hidup belasan tahun. Anggep aja kita rumah lo, Ma. Karena kalau rumah lo yang satu itu hancur, lo masih punya rumah cadangan yang akan selalu berdiri kokoh buat lo pulang.”

Lalu sekali lagi, persahabatan menyelamatkan jiwa seorang anak yang hancur. Jiwa-jiwa yang sebenarnya sama hancurnya menolong satu jiwa itu, menariknya dari kegelapan, dan membantunya menyatukan kembali kepingan hati yang hancur.


Askar menyalakan AC di ruang santai rumahnya. Di belakang ada Anjani dengan nampan penuh makanan di tangannya. Keduanya duduk di sofa panjang milik keluarga Askar setelah bertempur dengan kemacetan Jakarta. Di depan mereka ada meja panjang berisi beberapa makanan ringan dan permainan kartu. Anjani duduk sambil memakan popcorn yang dibeli Mama Askar. Sedangkan Askar tiduran di paha Anjani sambil memejamkan matanya.

“Kira-kira berhasil gak ya misi kita hari ini?” tanya Askar masih dengan mata terpejam. Anjani menghela napas sambil terus mengunyah. “Semoga Mada udah siap ya.”

Beberapa hari yang lalu, mereka ber-empat membicarakan ini sewaktu Mada pulang lebih dulu dibanding mereka. Setelah diskusi panjang, mereka menyimpulkan jika Mada menunggu waktu yang tepat untuk bercerita tentang masalahnya, maka mereka lah yang akan menciptakan waktu yang tepat itu. Maka dari itu mereka membuat rencana membawa Mada ke rumah Askar untuk menceritakan apa yang terjadi. Walaupun dengan keraguan yang kuat, mereka tetap mencoba mengajak Mada. Beruntung Askar juga meminta bantuan Bundanya untuk menemani Ibu Mada di rumahnya. Jika tidak, kemungkinannya 100% Mada tidak akan datang ke rumah Askar. Karena satu-satunya alasan Mada pulang lebih cepat setiap harinya karena khawatir ibunya kesepian di rumah.

Selama bertahun-tahun pertemanan ini berlangsung, tidak ada satu pun dari mereka yang tidak menyadari bahwa ada beban berat yang dipikul Mada tanpa mereka ketahui. Mereka sama-sama tau kalau Mada adalah orang yang selalu ceria dan jenaka. Tapi mereka juga tau kalau dibalik semua itu ada kegelapan yang ditutupinya rapat-rapat.

“Bukan masalah privasi atau enggaknya, bukan masalah ini ranah kita atau bukannya, tapi ini masalah kesedihan yang gak pernah ditunjukkin sama Mada. Gue gak mau temen gue kenapa-kenapa cuma karena nanggung semuanya sendiri. Gue gak mau kehilangan temen gue dan gak tau apa yang selama ini dia tutupin.” kata Kavi sewaktu Bre bertanya tentang apakah masalah Mada itu sebenarnya privasi dan mereka tidak perlu tau.

“Kar, gue mau cerita tapi jangan bilang sama Kavi dan Bre ya?” ucap Anjani pelan.

“Kenapa?” Askar membuka matanya dan menatap Anjani dari posisinya yang masih sama.

“Sebenernya gue udah tau kalau ortu Mada mau cerai dari semenjak nyokapnya sakit karena dia sendiri yang ngechat gue waktu itu. Gue baru ngaku sekarang karena yaa... kalian udah tau masalahnya dari Bang Arga. Maaf ya gue gak bilang dari awal, ini permintaan Mada soalnya...”

Askar mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Anjani. “Gapapa, itu kan kemauan Mada buat jangan diceritain ke kita. Mungkin Mada emang beneran belum siap jadinya cuma cerita ke lo.”

Anjani tersenyum kecil saat Askar menepuk-nepuk tangannya pelan. Keduanya menoleh saat pintu dibuka lalu muncul Bre dan Kavi yang membawa sekantong minuman dingin dengan berbagai rasa. Bre langsung loncat ke sofa dan duduk di sebelah Anjani, sedangkan Kavi memutuskan duduk di bean bag sambil menyomot makanan dari meja.

“Ganti oli dimana, Kav?” tanya Askar basa-basi.

“Di deket indomaret sekolah, yang biasa langganan gue tutup.” Askar mengangguk-angguk sebagai respon.

“Mada belom dateng ya?” tanya Bre kepada ketiganya. Yang lain hanya menggeleng. Mereka saja tidak tau pasti apakah Mada akan benar-benar datang ke rumah Askar.

Empat anak manusia itu sibuk dengan urusannya masing-masing sambil sesekali bersenda gurau tentang hal-hal duniawi. Dalam hati sudah pasrah jikalau Mada memang gak ingin datang untuk kumpul hari ini. Namun yang ditunggu-tunggu kemudian muncul dalam hoodie hitam dengan celana seragam abu-abunya. Senyum di wajahnya canggung, tapi disambut dengan kehebohan Kavi yang mencairkan suasana. “Akhirnya dateng juga Pak Bos kita yang paling sibuk!” kata Kavi sambil mengajak Mada ber-tos ria.

“Duh, sorry ya, tadi gue kelamaan mikir mau berangkat naik Alphard, Ferarri, atau Harley Davidson. Maklum lah, orang kaya problem.” Ocehan receh Mada membuat yang lain melemparinya dengan benda-benda di sekitar mereka. Yang dilempari hanya nyengir lalu duduk di lantai depan Anjani.

“Oh iya, Kar, makasih banget ya, nyokap gue jadi gak kesepian banget berkat nyokap lo. Tadi gue ngecek ke rumah terus ternyata mereka lagi masak bareng. Nyokap lo juga bawa makanan banyak banget gila, kayaknya satu supermarket diborong dah.” Askar tertawa sebelum menjawab.

“Emang gitu dia mah, suka beli barang lebih dari satu. Nanti kalo nyokap lo sendirian lagi, chat aja tuh nyokap gue, nganggur kok.” Mada hanya mengangguk sambil terkekeh. Yang lain tersenyum melihat Mada lebih rileks dibanding sebelumnya.

Bre yang sibuk membuka twitter sejak tadi memekik, “Eh! PAK SANDY PACARAN SAMA BU NADYA?!?!??” Bre terlihat sangat tercengang sambil memandang layar ponselnya.

Mada lalu melihat ponsel Bre yang menampilkan foto buram kedua guru di sekolah mereka itu sedang berjalan berdua di sebuah mall. Ponsel Bre digilir karena rasa penasaran dari ke-empat manusia lainnya.

“Pantesan aja gue liat mereka waktu papasan di koridor tuh kayak saling senyum gitu.” ujar Askar usai mengembalikan ponselnya ke Bre.

“Kayaknya gue juga pernah liat deh,” ucapan Mada membuat yang lain menengok. “Waktu itu pas gue ke kantin terus buang sampah ke belakang sekolah, gue liat ada yang pelukan. Kirain anak kelas mana karena seragamnya sama-sama batik. Pas Pak Sandy masuk kelas gue baru ngeh kalo batik dia tuh sama kayak yang gue liat.”

Yang lain menyimak dengan mulut terbuka. “Gila, berarti mereka pacaran udah lama dong?! Wah, GAK BISA, GAK BISA! GUE HARUS SPILL KE BASE SEKOLAH!” pekik Bre heboh.

Anjani menahan tangan Bre yang sudah memencet aplikasi twitter. Kepalanya menggeleng kecil. “Gak usah lah, Bre. Biarin aja. Mungkin mereka cuma gak mau orang lain tau, semua orang kan pasti punya rahasia masing-masing.”

“Iya udah gak usah, lagian mereka tetep profesional kok sama pekerjaannya.” timpal Askar pula.

Bre memajukan bibirnya tapi tetap menurut karena berubah pikiran berkat omongan Anjani dan Askar. Mada terdiam mendengarnya, membuat Askar melirik paham bahwa Mada juga merasa relate akan perkataan barusan.

“Bener, semua orang punya rahasianya masing-masing,” sahut Mada pelan. “Termasuk gue.” lanjutnya.

Suasana tiba-tiba hening, seolah tau bahwa obrolannya sudah masuk ke tahap serius. Pandangan Mada tiba-tiba lebih sendu, membuat yang melihat ikut merasa pilu. “Gue tau kok, kalian hari ini mau ngehibur gue supaya gak berubah jadi introvert mellow banyak masalah yang kalo ditanya kenapa jawabnya gapapa padahal aslinya kenapa-kenapa.”

“Ma.. gak gitu kok..” cicit Jani pelan. Dia mengelus pundak Mada supaya lebih menenangkan.

“Gue tau kalian pengennya gue terbuka sama semua masalah dan keadaan gue. Tapi gue dari dulu selalu berprinsip kalo gue gak akan ngasih hal negatif sedikit pun ke orang lain, terutama orang-orang yang gue sayang dan hormati. Gue mau orang nginget gue yang baik-baik aja, yang selalu bikin ketawa dan gak ngasih beban apapun.”

Semuanya terdiam. Bertahun-tahun berteman dengan Mada tidak juga membuat mereka tau sisi abu-abu dari Mada. Yang mereka tau selama ini hanya sisi yang putih, cerah, dan berkilap. Baru kali ini mereka mendengar Mada membagikan sisi tergelap dari dirinya.

“Maaf kalo kesannya gue sok keren, tapi gue beneran gak bisa nyeritain kelemahan gue ke orang lain. Gue nganggep kelemahan gue tuh aib yang harus gue kubur. Tapi gue tau sih suatu yang busuk ujungnya bakal kecium juga dan mungkin hari ini waktunya.” Mada menghela napas sebelum berani menatap satu per satu sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.

“Mungkin selain Bunda dan Bang Arga, orang yang paling berharga buat gue tuh kalian,” satu per satu air mata keluar dari kedua matanya. Membuat yang lain ikut berkaca-kaca. “Mungkin kalo gak ada kalian yang ngehibur dan ngisi hari-hari gue, gue gak akan kuat buat jalaninnya.”

Anjani yang tadinya duduk di sofa langsung merosot ke sebelah Mada untuk memeluknya dari samping. Kavi meremas bahu Mada karena tak bisa menahan kesedihan. Mungkin bisa dibilang, Kavi yang paling mengerti rasanya memiliki orang tua seperti orang tua Mada.

“Iya, Nyokap Bokap gue mau cerai. Gue lega, jujur. Tapi gue gak tau kalo ternyata rasanya tetep sesakit ini. Gue kira gue siap, tapi ternyata gak akan ada yang bisa siap sama perpisahan.” Mada berhenti sejenak saat tenggorokannya tercekat berkat air mata yang berlomba-lomba keluar. Badannya bergetar hebat, semua yang ditahannya selama ini memaksa keluar.

Yang melihatnya juga ikut merasa sesak. Tidak ada yang bisa menahan air mata melihat sahabat yang selama ini hanya kelihatan tawanya tiba-tiba menangis hebat sampai tidak sanggup bicara.

“Selama ini gue cuma minta satu hal.” lanjut Mada setelah mengatur nafas berulang kali. “Gue cuma minta Nyokap bahagia. Setiap sholat cuma itu yang gue pinta sama Allah, gak ada hal lain. Gue bahkan gak minta kebahagiaan buat gue, karena yang paling penting buat gue ya kebahagiaan Nyokap.”

Sekali lagi Mada mengatur napasnya yang tercekat. “Ternyata Allah kabulin permintaan gue dengan ngasih keberanian buat Nyokap ninggalin Bokap setelah bertahun-tahun nahan semuanya.”

Semuanya diam memandang Mada yang tidak henti menangis. Pemandangan yang jarang, namun seharusnya memang tidak ada hal yang membuat seorang Mada yang penuh tawa ini menjadi tertutupi tangis. “Makasih ya, Ma, udah mau cerita..” bisik Anjani di tengah sesak.

Mada mengangkat kepalanya yang dia sembunyikan di lipatan kedua tangannya untuk melihat Anjani. “Iya, makasih ya, Ma, udah ceritain semua beban lo ke kita.” ucap Askar.

Mendengar itu Mada semakin menangis. Tapi kemudian dia terkekeh dan tertawa lebih kencang. Membuat yang lain bingung tapi mau tidak mau ikut tertawa karena tawa Mada terdengar geli sekali.

Dengan sisa tawa, Mada bicara, “Gue salah selama ini.” katanya sambil melihat sahabatnya satu per satu. “Gue kira jadi orang yang punya masalah itu lemah. Gue kira dengan nunjukkin masalah itu gue jadi makin lemah. Gue kira dengan pura-pura baik-baik aja di saat lagi sedih itu bikin kuat, tapi ternyata sebaliknya. Kesedihan malah makin gerogotin gue tanpa ampun. Tapi saat gue nunjukkin masalah gue, kelemahan gue, aib gue, ternyata gue jadi orang yang jauh lebih kuat dan bisa nerima keadaan. Gue ngerasa bego banget selama ini nutupin masalah gue dari kalian karena takut dibilang lemah dan hancur, tapi ternyata kalian malah makasih sama gue karena gue ceritain masalah gue. Hidup emang penuh kejutan ya anjinggggg, HAHAHAHAHA..” perkataan Mada yang ditutup tawa membuat yang lain ikut tertawa lagi.

Kali ini dengan perasaan haru dan lega. Madava yang mereka kenal sudah kembali. Dengan lebih kuat dan lapang. Mereka memeluk Mada sambil menepuk-nepuk pundak satu sama lain. Sebuah gestur yang diharapkan bisa lebih menguatkan diri maupun persahabatan mereka.

“Makasih karena gak pernah nanya kenapa gue bersikap aneh di masa-masa sulit kayak sekarang. Makasih juga udah ngertiin gue buat gapapa kalo punya masalah dan nunjukkin semuanya ke kalian. Makasih udah ngertiin gue dengan semua diam gue yang gak jelas. Maafin gue ya belom bisa jadi temen yang bawa kebahagiaan 100% ke kalian.”

“Ma..” panggil Anjani pelan. “Tugas temen bukan cuma ngasih kebahagiaan doang, tapi juga saling menguatkan. Manusia pasti diuji, pasti ada saatnya jatuh. Tugas kita itu saling bantu kalau ada yang jatuh, supaya temen kita gak terpuruk semakin jauh. It's okay buat berbagi kesedihan, toh kita-kita juga gak 100% ngasih lo bahagia kan? Itu lah fungsinya sahabat, Ma, buat saling bantu dan berbagi kesedihan.”

“Bener kata Jani. Dari dulu gue paling relate sama lo karena kita punya latar belakang yang sama, Ma. Gue tau rasanya mau nyerah tapi gak bisa karena ada alasan yang lebih kuat buat bertahan. Salah satu alasan gue buat kuat itu Mas Kafka dan kalian. Gue selalu percaya, rumah gak harus berbentuk bangunan dan orang tua, tapi juga bisa berbentuk manusia yang baru gue temuin setelah hidup belasan tahun. Anggep aja kita rumah lo, Ma. Karena kalau rumah lo yang satu itu hancur, lo masih punya rumah cadangan yang akan selalu berdiri kokoh buat lo pulang.”

Lalu sekali lagi, persahabatan menyelamatkan jiwa seorang anak yang hancur. Jiwa-jiwa yang sebenarnya sama hancurnya menolong satu jiwa itu, menariknya dari kegelapan, dan membantunya menyatukan kembali kepingan hati yang hancur.


Apa sih definisi rumah menurut kalian?

Menurut gue... rumah itu harusnya bisa bikin orang di dalamnya merasa aman. Rumah harusnya bisa bikin kita gak betah lama-lama di luar karena di dalamnya lebih nyaman. Tapi ternyata, rumah yang gue definisikan gak bisa kecapai karena makhluk-makhluk di dalamnya yang bikin suasana gak nyaman.

Gue tau kalau kedua orang tua gue adalah korban keegoisan kakek-nenek gue yang memaksakan perjodohan tai kucing itu ke mereka berdua. Ya walaupun tanpa perjodohan konyol itu gue dan Bang Arga gak akan ngeliat dunia, tapi gue lebih baik gak dilahirkan dibanding lahir dalam keluarga yang gak utuh.

Oh, keluarga gue pernah utuh, tapi ternyata gak bisa berlangsung selamanya. Keutuhan itu cuma gue rasakan sampai kelas 4 SD, sisanya hidup gue kayak di neraka yang isinya cuma ocehan penuh amarah dari Ibu dan Bapak. Dari semua pertengkaran yang gak ada hentinya itu, gue cuma bisa bersimpati sama Ibu. Karena Bapak itu orang yang keras dan egois, semua perlakuan Ibu selalu kelihatan salah di matanya.

Jadi alur kenapa keluarga gue berakhir tragis kayak gini itu berawal waktu gue kelas 4 SD. Awalnya mereka harmonis, kata Bang Arga sebelum gue lahir pun orang tua gue selalu baik-baik aja. Semua keharmonisan yang gue rasakan waktu kecil seketika hilang waktu Bapak di-PHK dari tempat kerja lamanya dan berakhir keuangan keluarga gue jadi seret. Sejak itu emosi Bapak sering gak stabil dan berakhir selalu ngajak ribut Ibu yang bahkan udah coba bantu keuangan keluarga dengan jualan kue dan jadi guru SD. Gue dan Bang Arga yang masih kecil gak bisa bantu apa-apa karena gak ngerti titik masalahnya dan gak punya cukup power buat lindungin Ibu atau sekedar bawa Ibu pergi dari hadapan Bapak. Yang bisa kami lakuin cuma meluk Ibu dan ngelus kepalanya supaya bisa tidur nyenyak. Bodohnya, sampai sekarang gue tetep gak bisa bela Ibu terang-terangan walaupun tubuh gue udah punya cukup power buat lindungin Ibu. Gue malah jadi anak pengecut yang lari dari rumah setiap Bapak dan Ibu berantem terus ngebut pulang waktu denger Ibu nangis-nangis minta gue buat peluk dia.

Bagi gue, Ibu adalah segalanya. Gue udah berkali-kali ngomong ke Ibu buat cerai aja, gue sama Bang Arga gapapa. Tapi Ibu bilang gak mau ngecewain almarhumah Oma dan almarhum Opa yang udah amanahin dia buat nikah sama Bapak. Tapi mungkin sekarang Ibu udah sampai di batas kesabarannya hingga berhasil bawa surat cerai ke hadapan Bapak. Sebuah keputusan yang... melegakan sekaligus cukup menusuk juga.

Setelah dengar itu gue jadi mumet sendirian. Kepala gue tiba-tiba keputer memori dimana keluarga gue masih harmonis dan hangat. Tiba-tiba sisi egois gue minta buat mohon-mohon ke mereka berdua buat bawa gue balik ke waktu itu. Tapi gue adalah orang yang paling tau seberapa tersiksanya Ibu hidup bareng Bapak yang udah gak pernah ngasih cinta lagi ke dia. Jadi mau gak mau, gue yang cuma jadi saksi bisu hubungan mereka harus bisa nerima keputusannya itu.

Gue hari ini numpang tidur di apartemen Bang Arga yang bayarannya dibagi dua sama Mas Kafka. Apart ini tujuan awalnya dipakai buat ngomongin project buat studio mereka. Kebetulan Mas Kafka udah denger beritanya dan mutusin buat kasih kami berdua waktu buat nenangin diri. Ibu sepulang dari rumah sakit nginep di rumah peninggalan Oma yang sekarang cuma diisi sama pembantu dan penjaga rumah yang udah kerja sama Oma dari sebelum gue lahir. Bapak gak tau gimana kabarnya. Gue gak ada niat buat nanya keadaannya dan membiarkan dia hidup sendiri tanpa kehangatan keluarga. Toh ini semua berawal dari sikapnya yang gak menghargai Ibu.

“Kapan fix pisahnya, Bang?” tanya gue ke Bang Arga sambil main ponsel di kasur. Yang ditanya lagi ngedit foto di meja kerja.

“Gak tau, kata Ibu emang agak lama sih, gak bisa besok kelar.”

Gue membuang napas. “Ribet, pengen pisah aja harus nunggu lama.”

Bang Arga gak nyautin apa-apa lagi. Gue naro ponsel di meja kecil samping kasur dan mandang langit-langit. “Kita tinggal dimana nanti, Bang?”

“Di rumah Oma lah, Ibu juga kan bakal tinggal disana.”

“Tapi kan lumayan jauh dari sekolah.”

“Gampang itu mah, tinggal berangkat lebih pagi aja.” Gue mencibir kesal. Padahal motto gue kan berangkat mepet asal sampai.

“Lo gak ngomong apa-apa ke temen-temen lo, Dav?” Pertanyaan Bang Arga bikin gue bingung.

Iya sih, gue emang belum bilang apa-apa ke mereka. “Belum. Ngapain juga.”

“Kesedihan tuh jangan ditelen sendiri, tapi dibagi juga supaya bebannya ringan,” katanya lalu lanjut menyeruput kopi hitamnya.

“Gak ada yang jadiin beban juga, kok,” elak gue. Mata Bang Arga langsung berfokus ke gue dan natap gue lurus.

“Gak usah sok kuat sama perpisahan, Dav, gak ada yang suka sama perpisahan. Lagian fungsi temen tuh emang buat ngeluarin keluh kesah yang kita rasain. Mereka perlu tau juga keadaan kita kayak gimana. Mereka harus tau sedihnya kita, gak bisa cuma tau sisi senengnya doang. Hidup itu semua tentang keseimbangan.”

“Terus gue harus apa? Bilang ke mereka kalo gue calon anak broken home? Malu lah, anjing!” sahut gue nyolot.

“Apa salahnya sih broken home?!” Bang Arga keliatan kesel karena langsung nutup laptopnya lumayan kencang dan geser bangku dia buat duduk di depan gue.

“Lo pikir anak broken home itu berarti lo anak sial yang sepanjang hidupnya bakal sedih dan gagal? Lo pikir broken home itu berarti lo buta sama cinta dan kasih sayang jadinya menyendiri dari kehidupan? Lo pikir anak broken home itu harus selalu putus asa? ENGGAK, DAV, JANGAN TOLOL!”

Gue memalingkan wajah karena mata gue mulai memanas pertanda air mata gue akan segera turun. “Jadi anak broken home itu gak selalu memalukan dan menghambat lo buat jadi manusia yang baik. Lo gak usah malu dengan keluarga yang gak utuh. Gak semua orang hidupnya beruntung, Dav. Walaupun lo dan gue termasuk yang gak beruntung, lo gak perlu nutupin semuanya sendirian. Lo punya temen-temen yang baik dan perhatian, harusnya lo bersyukur karena punya mereka. Gak usah ngerasa kecil karena keadaan keluarga kita yang hancur begini, mereka bakal ngerangkul lo, gak akan ngebuang lo cuma karena keadaan yang jahat kayak gini.”

“Mereka emang gak akan buang gue, Bang, tapi gue gak suka nunjukkin kelemahan gue di depan orang. Hidup gue udah menyedihkan, gue gak mau keliatan menyedihkan di mata orang juga.” Air mata berlomba-lomba keluar dari kedua mata gue. Gue yakin muka gue memerah karena gue menahan isakan gue yang sedikit lagi akan meledak.

Kepala gue hanya bisa tertunduk, berusaha menutupi wajah gue yang penuh tangis dari kakak sulung kesayangan gue. “Temen yang baik gak akan pernah mandang lo menyedihkan, Dav. Mereka akan mandang lo sebagai orang yang berharga, yang rapuh dan perlu dirangkul supaya bisa berdiri tegak lagi. Mereka justru yang bikin hidup lo yang menyedihkan itu jadi menyenangkan. Lo bego kalo masih mikir temen-temen lo bakal nganggep lo menyedihkan. Mereka baik banget sama lo, gue bisa liat, Dav.”

Gue terdiam. Kata-kata Bang Arga jujur berpengaruh pada ketenangan gue. Terbukti air mata gue turunnya melambat, napas gue juga mulai teratur. Bang Arga pindah duduk di kasur samping gue sambil merangkul pundak gue. “Gue dari dulu percaya kalo gak semua hal di dunia ini jahat, Dav. Buktinya dari semua kegelapan yang kita hadapin selalu ada orang yang bawa lentera buat nemenin kita jalan pelan-pelan ke arah yang kita tuju. Gue punya Kafka dan temen-temen gue, lo juga punya Kavi, Askar, Anjani, sama Bre. Mereka itu orang-orang yang bawa lentera buat lo, Dav, jangan narik diri lo ke dalam kegelapan kalo mereka ngulurin tangan.”

Usai Bang Arga bilang begitu, keheningan memenuhi kamar apartemen ini. Gue yang sibuk sama pikiran gue, dan Bang Arga yang juga sibuk dengan pikirannya. Cukup lama kami cuma diem natap udara di depan kami tanpa kata. Sampai akhirnya gue menyuarakan pikiran di kepala gue. “Makasih ya, Bang, udah jadi kakak yang selalu bikin gue bangkit. Kalo lo bilang temen-temen gue orang yang bawa lentera, buat gue lo itu lampu sorot yang terangnya kayak lampu konser idol Korea.”

“Lo tau gak sih, Dav? Walaupun orang tua kita masih hidup dua-duanya, gue tuh selalu nganggep kalo gue cuma punya lo. Karena gue gak mungkin curhat ke Ibu yang masalahnya aja udah segunung. Cuma lo tempat curhat gue. Kita cuma bisa saling nguatin satu sama lain supaya bisa ngelindungin Ibu. Tapi gue gak pernah mau maksa lo buat nelen semua pahitnya hidup sendirian, lo punya temen yang bisa lo jadiin sandaran, lo punya gue yang bakal selalu jadi tempat lo ngadu. Belajar buat nunjukkin semua sisi lo ke orang-orang yang bawa lentera itu, Dav, hidup lo bukan cuma buat nyebar kebahagiaan doang. Karena lo juga cuma manusia.”

Nyaris Hilang


Gue benar-benar bingung seharian ini. Anjani gak kayak biasanya. Ada sesuatu yang ganggu pikirannya sampai-sampai lawakan Mada dan Kavi aja gak nembus tembok humornya. Segala cara udah gue lakukan supaya Anjani cerita ke gue, tapi hasilnya nihil. Biasanya kalau udah begini, gue akan diam dan duduk di sampingnya sambil tetep ajak dia ngomong kayak biasa. Ya walaupun gak dapat respon yang seru kayak biasanya, seenggaknya gue bisa bikin Anjani tetap merasa ditemani.

“Gue ke toilet bentar ya, gapapa kan?” tanya gue ke dia yang hanya dijawab anggukan. Gue melirik Bre, memberi kode untuk terus mengawasi Anjani. Bre menjawab dengan acungan jempol.

Sebenarnya kalau ditanya gue juga gak paham ya, kenapa gue bisa sekhawatir itu kalau menyangkut Anjani. Simple-nya, disaat Anjani nangis, maka disaat itu juga hati gue teriris. Klise, sih, tapi beneran, gue paling gak bisa liat Anjani nangis.

Setelah kembali dari urusan gue dengan toilet, anak IPA 1 manggil gue. Namanya Syira, gue tau karena dia juga ketua kelas, sering ada rapat sama guru-guru juga. “Kenapa, Ra?”

“Kata Pak Bowo nanti pulang sekolah jangan pulang dulu. Ketua kelas disuruh kumpul di aula buat ngomongin jadwal persiapan SNMPTN dan SBMPTN.”

“Lama gak kira-kira?”

Syira kelihatan mikir sebentar. “Harusnya sih enggak, ya, tapi lo tau sendiri Pak Bowo tuh sibuk jadi biasanya ngaret.”

Gue membuang napas pelan. Gini nih, nasib jadi ketua kelas. Kadang gue menyesali keputusan wali kelas gue buat nunjuk gue sebagai ketua kelas waktu awal semester. Lagian, kenapa pula beliau milih ketua kelas dari ranking. Sebenarnya gak terlalu susah, sih, tapi yang bikin gue males itu rapat ketua kelas yang bisa sampai 3 jam padahal yang dibahas bisa selesai dalam waktu 20 menit. Biasa lah, orang Indonesia, kalau gak ngaret rasanya kurang.

Gue hanya mengangguk pasrah. “Yaudah, thanks ya, Ra. Nanti kalau mau bareng ke aula samper gue aja ke kelas.”

“Siap. Duluan ya, Kar.” Gue melambai saat Syira berjalan ke arah berlawanan dari kelas gue.

Saat sampai di kelas, gue duduk dan langsung memberitahu Anjani tentang agenda rapat nanti. “Jan, tadi gue dikasih tau kalau pulang sekolah ketua kelas disuruh kumpul rapat di aula. Lo mau nungguin atau mau pulang bareng Mada?”

Anjani masih sibuk mencoret-coret belakang bukunya dengan gambar-gambar random. “Gue pulang sendiri aja,” jawabnya tanpa melirik gue sama sekali.

“Apaan sih?! Gak boleh!” Tanpa sadar nada bicara gue jadi lebih tinggi dari biasanya.

Dia membuang napas kasar. “Kenapa sih? Apa masalahnya gue pulang sendiri? Gue gak sebego itu, Kar, gue juga bisa jaga diri.”

Perkataannya membuat kening gue mengerut dalam. Ini gak kayak Anjani yang biasanya. “Lo itu kenapa sih, Jan?”

Pertanyaan gue hanya dijawab dengan hening. Gue gak marah, gue cuma heran. Apa yang sebenarnya ganggu pikiran Anjani atau apa yang udah gue perbuat sampai Anjani sebegini sensitifnya dengan semua perhatian gue hari ini.

“Jan,” panggil gue lagi. Kali ini gue mengambil pensil yang dia pakai untuk coret-coret dan memutar pelan tubuhnya agar menghadap ke arah gue. Gue tatap matanya yang kali ini menghindar dengan menunduk. Lantas gue naikkan dagunya agar tegak. “Liat gue dong, Jan...”

Mata kami akhirnya bertemu. Dalamnya sendu. Benar dugaan gue, ada sesuatu yang terjadi tanpa gue sadari. “Gue gak akan maksa lo buat cerita apa yang ganggu pikiran lo dari tadi pagi. Gue akan nunggu lo siap ceritain semua hal yang gak gue ketahui. Tapi gue beneran gak bisa biarin lo pergi tanpa gue tau lo pulang sama siapa dan sampai dengan selamat atau enggak. Jadi biarin gue tetap kasih perhatian ke lo walaupun mungkin lo males nerima perhatian gue. Okay?

Kalau gak salah lihat, mata Anjani sempat berkaca-kaca sebelum dia balik badan buat mainin ponselnya tanpa jawab perkataan gue. Akhirnya gue hanya bisa menghela napas pasrah. Saat Kavi dan Mada kembali setelah ke kantin di jam kosong, gue memberitahu Mada kalau nanti sore gue minta dia untuk antar Anjani pulang.

Saat sudah waktu pulang, gue sekali lagi meminta Mada untuk menjaga Anjani karena gue harus langsung ke aula. Sebelumnya gue menangkup kedua pipi Jani dan merapikan anak rambutnya. “Hati-hati ya, kalau ada masalah langsung telfon gue, gue pasti langsung dateng.”

Ya.. walaupun dia lagi-lagi cuma ngangguk kecil, gue yakin dia akan ngehubungin gue apapun masalahnya. Gue menghampiri Syira yang sudah menunggu di depan kelas dan berjalan beriringan ke aula. “Lo kapan jadiannya deh, Kar?” tanyanya tiba-tiba.

Gue mengerut. “Jadian sama siapa? Jani?” Dia mengangguk mengiyakan sambil membuka pintu aula. Gue disambut udara dingin khas aula sekolah yang kosong dan AC-nya dinyalain cuma beberapa kali sebulan jadi masih bagus. Gue duduk di salah satu bangku merah yang mirip sama bangku bioskop lalu Syira menyusul duduk di sebelah gue.

“Kenapa sih orang-orang selalu nanya gue sama Jani kapan jadiannya? Bukannya udah jelas kalo kita berdua gak akan jadian?”

Gue melihat Syira mengangkat ujung bibirnya, kesannya ngetawain kebodohan gue yang gak gue sadari. “Bego lo.”

Tuh kan, beneran dikatain.

“Apaan sih?!” sahut gue sensi. Dia membenarkan duduknya untuk menghadap ke gue. “Kata gue sebenernya lo itu suka sama Jani, cuma emang lo tolol aja gak nyadar.”

Suka?

“DIH! Tau darimana lo?! Sok tau.”

“Yaelah, Kar, semua orang dengan mata yang bisa melihat tuh pasti tau kalo lo suka sama Jani. Bu Broto aja kalo ngeliat lo berdua lewat depan kelas gue sambil gandengan tuh gemes, nanya kapan pacarannya.”

“Tapi gue sama dia kan-”

“Sahabat?” potongnya. Helaan napas yang terdengar SUPERRRR CAPEK itu keluar dari mulut Syira. “Sahabatan itu bukan berarti sebuah halangan buat lo ngakuin kalo lo itu suka sama Jani. Gak ada juga yang maksa lo buat beneran macarin dia, tapi gue pribadi yang ngeliat doang tuh capek. Kenapa? Soalnya lo itu denial sama perasaan sendiri. Gak sehat, Kar. I've been there before, nahan perasaaan terus taunya orang yang gue sukain pergi.”

“Pergi?”

“Iya, untuk selamanya.”

Hati gue mencelos mendengarnya. Gue bener-bener gak pernah bisa bayangin gimana jadinya hidup gue kalau Anjani pergi ninggalin gue sendirian. Mungkin gak ada lagi yang makan putih telor gue dan ngasih gue kulit ayam. Makin dibayangin makin gak ketampung sedihnya, makanya gue milih buat berhenti bayangin dan fokus ngeliatin ketua kelas lain lalu lalang.

“Rasanya ditinggalin gak enak, Kar...” tampaknya Syira masih belum selesai sama topik tadi. Padahal gue udah berusaha buat stop topik itu karena selain gak mau buka luka lamanya, gue juga gak mau sesek napas karena sedih. “Nyeselnya juga gak ketulungan. Gue gak nafsu makan berbulan-bulan. Bahkan sampai sekarang aja gue masih nyesel kenapa gue gak bilang aja kalo gue suka sama dia.”

Gue gak bisa bilang apa-apa. Cuma berani melintir tisu yang selalu ada di kantong celana gue. “Duh, sorry jadi mellow gini. Intinya, jangan kayak gue, Kar, nyesel karena denial.”

Percakapan barusan bikin gue gak bisa fokus dengerin arahan Pak Bowo. Untungnya kelas lain ada yang bikin notulensi dan ngerekam arahan Pak Bowo buat dikirim ke grup angkatan. Ponsel gue bunyi bertepatan dengan keluarnya Pak Bowo dari aula. Gue mempersilakan Syira pulang duluan dan minggir ke tempat kosong sambil menggendong tas gue di bahu kanan.

“Halo, kenapa Bre?”

“KAR, JANI ILANG!!”

Deg.

“APA SIH? GAK LUCU ANJING!”

“GUE GAK BERCANDA BANGSAT CEPET KELUAR DARI SEKOLAH!”

Panggilan terputus gitu aja. Dengan detak jantung yang berdetak cepat gue lari tanpa peduli nabrak apapun di depan gue. Langkah gue berhenti pas tau di luar lagi hujan deres beserta petir. Suara dari luar aula gak akan kedengeran sama sekali, jadi gue gak tau kalau udah hujan dari satu jam lalu. Gue dikagetkan suara klakson di tengah lapangan dari Bre dan Kavi yang bawa motor gue di hujan deras tanpa pakai jas hujan.

“CEPETAN NAIK! DEPAN UDAH MULAI BANJIR!” teriak Kavi yang bikin gue lari ke motor gue. Masa bodo jas ujan, Jani lebih penting. Sebelum jalan gue berusaha buat memahami situasi.

“KENAPA BISA ILANG MAKSUD LO?!” teriak gue di tengah derasnya hujan.

“TADI NYOKAPNYA MADA TIBA-TIBA MASUK RUMAH SAKIT. KATANYA JANI BILANG DIA KE RS AJA BIAR JANI PULANG SENDIRI, TAPI SAMPE SEKARANG GAK ADA KABAR.”

Bangsat. Ini yang gue takutin dari dulu. Gue bukan lebay atau over protektif, tapi gue bener-bener gak kebayang kalo Anjani ada di dalam bahaya tanpa gue di sampingnya. Tapi di sisi lain gue juga gak bisa nyalahin Mada, gue juga tau dia sayang banget sama nyokapnya.

Gue dan Kavi langsung jalanin motor dan keliling ke rute perjalanan dari sekolah ke rumah dia. Tapi nihil, mau berapa puteran pun gue gak liat keberadaan dia. Hujan yang sialnya makin deras ini bikin beberapa jalanan jadi ditutup karena banjir. Gue mutusin buat turun dari motor, parkir serampangan tanpa peduli kunci motor gue masih nyangkut atau enggak, motor gue akan dicuri atau enggak. Yang gue pikirin cuma keselamatan Jani. Berkali-kali gue coba nelfon dia tapi ponselnya gak aktif.

Kami bertiga mutusin buat lanjut nyari dengan jalan kaki, cari ke gang-gang dan komplek perumahan yang sebenernya kecil kemungkinan Jani akan masuk ke dalamnya karena terlalu asing. Tapi dengan kemungkinan 5% pun gue tetep nyari dia dengan harapan gue bisa nemuin dia dalam keadaan aman. Sedari tadi air hujan turun di wajah gue tanpa henti, bercampur sama air mata yang meluapkan rasa takut gue kalau gak bisa nemuin Anjani. Langit yang mendung makin gelap karena waktu mulai malam, gue juga denger suara orang-orang ngaji sembari nunggu waktu maghrib di masjid. Tapi gue masih belum bisa nemuin Jani.

“Jani... Lo dimana sihh....” lirih gue pelan. Gue berhenti di halte kecil dekat suatu taman yang entah juga ini dimana saking gue randomnya milih jalan. Gue usap frustasi wajah gue yang udah campur aduk temperaturnya. Dingin karena air hujan dan hangat karena air mata. Dari layar ponsel juga tertera notifikasi kalau Kavi dan Bre juga gak bisa nemuin Jani dan sekarang lagi balik ke tempat motor kami di parkir tadi. Badan gue tertunduk dan gue hanya bisa menangis khawatir. Gue merasa gak becus buat jaga Jani. Kalau sampai terjadi apa-apa sama dia, gue akan menghukum diri gue sendiri karena lalai.

“Rasanya ditinggalin gak enak, Kar...”

Suara Syira tadi tiba-tiba terngiang di kepala gue.

“Enggak, pasti Jani balik. Gue yakin walau hpnya mati dia akan minta tolong orang asalkan-” perkataan gue terhenti. Napas gue tercekat, gak cukup kuat buat lanjutin perkataan gue tentang keselamatan Jani.

Anjani bener-bener sebuta itu sama jalan. Udah beberapa kali gue coba ajarin dia buat ngehafalin jalan, tapi hasilnya nihil. Gue percaya memang semua orang tuh punya kelemahan dan kelebihan masing-masing, dan kelemahan Anjani ada di menghafal jalan. Gue juga bisa nebak ponselnya mati total sampai gue gak bisa ngehubungin dia sama sekali.

Gue lanjut cari Jani di sekitar halte tadi. Pandangan gue makin gak maksimal karena hujan dan gelap. Tapi gue mendengar suara kerincing dari gantungan kunci yang familiar.

Anjani.

Lantas gue menengok ke kanan dan kiri, berusaha mencari sumber suara. Langsung gue lari ke dalam taman bermain anak-anak dan melihat Anjani yang berjalan terpincang-pincang ke arah bangku taman.

“ANJANI!!”

Gue tau adegan ini banyak di dalam drama dan novel, tapi gue paham betul kenapa pemeran utama selalu memeluk pasangannya setelah hilang. Rasa lega. Gak ada yang bisa mengalahkan perasaan lega setelah memendam khawatir begitu lama. Gue merasakan dia menangis keras di dada gue walau suaranya redam karena air hujan.

“Askar, gue takut...” Badannya menggigil, jari-jarinya mengerut, dan bibirnya pucat.

Gue mengeratkan lagi pelukan kami. Punggungnya gue tepuk pelan agar dia tenang. “Ada gue disini, lo gak akan kenapa-napa, gue gak akan ninggalin lo lagi.. Maaf ya..?”

Butuh beberapa menit untuk menenangkan Anjani setelah akhirnya gue bawa dia berteduh di halte kecil yang tadi gue singgahi. Netra gue menangkap goresan luka di kakinya yang membuat dia berjalan pincang sejak tadi. “Kaki lo kenapa?” gue berlutut di depannya dan melihat luka itu dengan seksama.

“Tadi ada yang nyerempet gue.”

Lantas gue melotot. “DISEREMPET?!?!”

Jani mengangguk. “Iya, tapi gapapa, masih bisa jalan.”

Gue menghela napas kasar. Mau gimana lagi? Gue gak ada disana pas dia diserempet. Kalau ada gue pasti orang itu gue suruh minta maaf berkali-kali ke Anjani. Akhirnya gue pergi ke warung untuk beli teh hangat dan juga plester luka. Sembari menunggu Kavi dan Bre datang, gue mengobati lukanya perlahan-lahan. Dia meringis gue juga ikut meringis. SE-GAK TEGA ITU.

“Gue ini beneran cuma beban ya, Kar, di hidup lo.” Perkataannya membuat tangan gue berhenti mengobati lukanya. Kepala gue menengadah, melihat ke arah matanya yang enggan natap gue.

“Tau dari siapa lo ngerepotin gue?” tanya gue balik.

“Ya... semua orang juga pasti ngerasanya begitu.”

“Semua orang kecuali gue,” jawab gue sekenanya sambil lanjut ngobatin kakinya.

Dia cuma diem sampai Bre dan Kavi dateng sambil teriak-teriak dari kejauhan. Hujan mulai reda, tapi pakaian kami semua masih basah kuyup. Bre turun dari motor gue yang diparkir serampangan terus lari ke arah Anjani.

“ANJINGGGGG!!!! GUE KHAWATIR BANGET SAMA LO BANGSATTTT!!!” teriak Bre setengah nangis sambil meluk Anjani.

Maklum, mulut preman emang begitu.

Kavi nepok pundak gue pelan. Sorot matanya ikut lega karena Anjani udah ketemu dan kita semua dalam keadaan aman. “Kacau, Kar, banjir dimana-mana. Itu di depan aja udah mulai ada mobil buat nyedot banjir. Macet parah.”

“Terus kita pulang gimana?” tanya gue. Jujur gue udah menggigil parah dan gue yakin semuanya begitu.

“Lewat jalan tembusan, gue hafal kok.” jawab Bre. Gue cuma ngangguk aja, aman berarti, Bre itu kayak google maps.

Setelah puas dengerin Bre ngasih wejangan ke Anjani tentang “GAK BOLEH PULANG SENDIRI LAGI!” berkali-kali, kami semua akhirnya pulang dengan nyari jalan pintas dipimpin sama Bre. Literally Bre yang bawa motor gede Kavi yang berisik itu sembari nyusurin gang rumah warga sedangkan Kavi duduk anteng meluk dua tas ransel basah di belakangnya. Aneh emang.

“Jan,” panggil gue. Gue menarik tangan Jani supaya melingkari perut gue aja karena gue yakin udaranya dingin banget. “Jangan pernah ngerasa jadi beban buat gue. Karena gue gak pernah sedetikpun nganggap lo beban. Gue justru nganggap lo kayak harta karun yang harus gue jaga. Okay?

Karena bagi gue, Anjani bukan cuma temen. Tapi segalanya.


Kalau ditanya apa gue menyesal pergi ke rumah Sha karena bensin gue habis di perjalanan dan buat gue harus dorong motor 2 km ke pom bensin? Jawabannya enggak.

Kalau ditanya apa gue capek seharian suntuk duduk di depan laptop mengotak-ngatik nada karena dikejar deadline dan sekarang harus nempuh perjalanan lagi ke rumah Sha? Jawabannya juga enggak.

Gak ada satu hal pun yang berhubungan sama Shanika yang bikin gue menyesal. Kecuali satu. Gue menyesal gak kenal Sha lebih cepat. Gue menyesal kenapa gak langsung ajak dia kenalan waktu kami satu kelas di kampus dulu.

Singkat cerita, sebenarnya gue kakak tingkatnya Sha. Tapi waktu itu gue harus ngulang satu mata kuliah yang bikin gue satu kelas sama Sha. Awalnya gue cuma mikir kalau dia cantik dan orangnya ramah banget. Beberapa kali satu kelompok dan Sha selalu jadi orang yang paling rajin dan tekun buat ngerjain tugasnya. Bahkan dia gak marah saat ada satu atau dua orang yang menyepelekan tugas dan bikin Sha harus kerja dua kali karena orang gak bertanggung jawab itu. Sha itu... perempuan paling sabar dan cantik kedua setelah Bunda.

Hal itu bikin gue tanpa sadar jadi jatuh hati. Gue emang bodoh, sih. Gue baru sadar kalau gue suka sama Sha setelah satu tahun lulus dan gue selalu kebayang-bayang senyumannya. Gue pikir memang karena efek Sha cantik aja, tapi setelah gue telusuri, lama-kelamaan gue sadar kalau gue udah totally in love with her.

Beruntungnya setelah lulus kami sempat ketemu lagi di acara reuni akbar 4 angkatan waktu itu. Tempat reuninya luas karena yang datang hampir 300 orang. Kalau dipikir ajaib juga gue bisa dengan mudah menemukan dia yang dibalut dress merah maroon di tengah banyaknya orang. Tanpa pikir panjang gue langsung ajak dia ngobrol. Surprisingly, Sha gak lupa sama gue. Padahal yang gue tau dia banyak banget temannya, berbanding terbalik sama gue yang butuh waktu dua bulan buat menghafal nama teman sekelas.

Semenjak itu gue jadi sering ngobrol sama dia. Kami sering chat setiap hari. Dari awalnya cuma reply insta story, sampai tukeran nomor. Waktu itu Sha cerita kalau dia masih belum bisa move on dari Kale walaupun udah lulus dua tahun lalu. Mereka kebetulan sempat satu kepanitiaan, jadi sering ketemu dan dekat. Dan kebetulan lagi Kale ini penyanyi cover di studionya Bang Danny, tempat gue kerja sekarang.

Entah bagaimana gue punya keberanian buat ungkapin perasaan gue ke Sha setelah kami dekat selama lima bulan lamanya. Sha waktu itu shock berat sampai pulang naik taksi sendiri tanpa berkata apa-apa. Karena gue khawatir salah ngomong, gue langsung datang ke rumahnya. Ternyata dia balas perasaan gue dengan pernyataan yang sama, tapi dia shock aja makanya langsung kabur.

Akhirnya tepat pada tanggal 10 Agustus, kami resmi jadi sepasang kekasih. Udah dua tahun dan perasaan gue sama Sha masih tetap sama. Masih sama debarnya dan masih sama hebatnya. Oleh karena itu gue gak akan terima kalau sampai gue kehilangan dia.

Dari awal gue paham candaan Sha tentang Kale. Gue selalu paham kalau itu benar-benar hanya candaan. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini gue takut. Sempat gue liat dia ketawa bareng Kale sebelum keluar dari tempat meeting dan di saat itu gue tersadar kalau ternyata Kale juga bisa aja bawa kebahagiaan buat Sha, bukan cuma gue yang bisa. Mungkin karena itu gue jadi takut. Gue jadi protektif dan secara gak langsung berusaha buat jauhin Kale dari Sha. Gue menganggap Kale itu ancaman.

Demi Tuhan, gue gak pernah kepikiran kalau perhatian gue selama ini ternyata jadi beban buat Sha. Padahal gue cuma mikir kalau gue harus kasih yang terbaik buat orang yang udah kasih gue banyak kebahagiaan itu. Tapi ternyata Sha berpikir sebaliknya. Dia berpikir kalau dirinya gak worth it buat dapetin semua perhatian gue. Pikiran yang salah, 100 persen salah.

Maka disinilah gue, memandang ke pagar hitam tinggi kediamannya Sha, menunggu dia keluar. Gak lama kemudian pagar dibuka, menampilkan bidadari cantik gue yang dibalut piyama satin warna ungu muda. Matanya sendu, tanpa berkata apa-apa dia membuka pagar lebih lebar, memberi sinyal untuk gue mendorong masuk motor gue ke garasi rumahnya.

Setelahnya dia membukakan pintu dan berdiri di ambang, mempersilahkan gue duduk di sofa yang mejanya sudah diletakkan cookies buatannya dan teh hangat yang gue yakin tawar rasanya. Kesukaan gue, dan Sha selalu tau itu. Coba liat, gimana gue gak tambah sayang sama perempuan satu ini? Tanpa tanya dia selalu tau apa yang gue butuhkan. Harusnya dia sadar semua kebaikan yang dia lakuin itu gak ada apa-apanya sama semua barang yang gue kasih ke dia.

“Mama Papa?” tanya gue, menanyakan kehadiran orang tuanya karena rumah lebih sepi dari biasanya.

“Lagi keluar kota, Papa ada dinas.”

Gue mengangguk lalu menyeruput teh hangat buatannya. Dia hanya memandang tangan mungilnya yang sedang saling bertautan jari-jarinya. Lantas gue memberikan tas kecil yang berisi obat pereda menstruasi miliknya, satu botol kiranti, menstrual heating pad, dan beberapa makanan kesukaannya.

“Sen...” Lirihnya pelan saat menerima tas itu. Gue tersenyum kecil. “Kenapa? Kamu butuh itu kan?”

“Ini yang aku bilang. Aku gak pantes nerima perhatian kamu yang kayak gini, Sen. Aku gak bisa balesnya, gak ada hal besar yang cukup buat bales perhatian kamu buat aku.” Dia menaruh tas itu di meja dan menutupi wajah dengan tangannya untuk menangis.

Gue panik sejadi-jadinya, langsung gue bawa dia ke pelukan gue setelah mendengar tangisnya mulai bersuara. Tangan gue menepuk pelan punggungnya, berusaha menenangkan. Mendengar tangisnya selalu turut menyebar sakit di hati gue. Membuat gue selalu mengeratkan pelukan, berharap bisa menenangkan.

“Aku gak pantes jadi pacar kamu, Sen..” katanya pelan di dada gue. Otomatis kepala gue menggeleng.

“Kamu tau kan kalau aku ditinggal Bunda dan Ayah waktu masih kecil?” tanya gue pelan.

Dia menarik diri pelan dari pelukan gue, mulai menatap wajah gue dengan mata merahnya. Pemandangan yang gue harap bisa segera diganti dengan senyuman riangnya aja.

“Aku besar tanpa pelukan Bunda dan Ayah aku, Sha. Aku gak pernah lagi liat senyuman mereka dan gak pernah lagi ngerasain perhatian mereka. Gak ada yang pernah ngelus kepala aku sampai tidur kalau bukan kamu. Gak ada yang bikinin aku teh dan bolu hangat kalau bukan kamu. Gak ada yang meluk aku kalau aku capek selain kamu. Semua itu udah lebih dari cukup buat ngerasain rasa sayang yang gak pernah aku dapetin sejak kecil, Sha.”

Dada gue sesak luar biasa saat merasakan mata gue mulai memanas dan perlahan air mata turun bergantian ke pipi. Pandangan gue mulai buram saat menatap wajah Sha yang sama hancurnya.

Waktu gue bersama kedua orang tua gue memang amat singkat. Gue hanya bisa merasakan kehadiran mereka sampai umur 8 tahun. Setelahnya? Gue sendirian. Gue besar bersama keluarga Bang Danny, tetangga gue yang super baik hati sampai rela menerima gue di rumah mereka. Kehadiran Shanika di hidup gue pun turut menjadi pengisi lubang yang ternyata sudah bertahun-tahun gue biarkan terbuka. Maka dari itu, kehadiran Shanika sudah lebih dari cukup.

You're worth it, Sha, serius deh. Aku gak pernah minta kamu untuk balas semua perhatian aku dengan uang dan materi. Dengan liat kamu senyum dan dipeluk kamu di ujung hari yang suntuk pun udah cukup banget buat aku. Gak ada yang lebih besar dari pelukan kamu, Sha.”

Gue menyelam ke bola mata coklat tua miliknya. Banyak rasa yang gak ketebak apakah itu haru atau sedih. “Aku minta maaf kalau perhatian aku bikin kamu gak enak sama aku. Tapi percaya sama aku, aku gak pernah ngerasa direpotin kamu.”

Dia memegang tangan gue, hangat genggamannya memenuhi ruang di sela jari gue. “Kamu tau gak kenapa aku ngerasa gak enak sama semua perhatian kamu? Karena kamu awalnya datang dari tempat yang bahkan aku gak tau itu ada. Kamu anak dari keluarga yang awalnya gak aku kenal. Kita itu berawal dari orang asing tapi tiba-tiba kamu ngasih seluruh hidup kamu ke aku, apa aku bisa tanpa beban langsung nerima seluruh pemberian kamu? Enggak, Sen. Butuh waktu untuk terbiasa sama semua itu. Malah kayaknya aku gak akan pernah terbiasa dengan perlakuan itu.”

“Kamu tau gak kenapa aku ngasih seluruh hidup aku buat kamu padahal kita itu awalnya cuma orang asing?”

Gue menatap matanya, menunggu jawaban dia. Responnya hanya gelengan kecil. “Karena aku gak punya lagi tempat buat ngasih semua itu. Aku gak punya orang tua, Sha, aku cuma punya kamu. Aku gak mau lagi kehilangan orang yang aku sayang, makanya aku ngasih seluruh yang aku punya buat kamu.”

Beberapa detik setelah perkataan gue, terjadi keheningan. Mungkin Sha perlu mencerna baik-baik perkataan gue. Satu tetes air mata mengalir di pipinya sebelum dia menarik gue ke pelukannya. Walaupun tanpa aba-aba, gue selalu siap untuk memeluk balik tubuh ramping miliknya. Entah sejak kapan gue selalu merasa bahwa tubuh mungilnya memang ditakdirkan untuk berada di pelukan gue.

“Maafin aku ya, Sen..” lirihnya pelan di dalam pelukan gue. Gue hanya mengelus pelan kepalanya. “Seharusnya aku berterimakasih, bukannya nolak dan bikin hubungan kita jadi runyam gini.”

Gue melepas pelukan kami untuk menangkup kedua pipi Sha. Gue pasang wajah sedikit marah sebagai respon dari perkataannya barusan. “Sembarangan! Kata siapa kamu bikin runyam? Aku juga ikut andil sama masalah ini, bukan cuma kamu. Maafin aku juga ya?”

Dia terkekeh geli melihat gue manyun sok lucu. Kepalanya mengangguk-angguk dengan lebih lucu. “Baikan nih, kita?” tanyanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya, menunggu balasan gue.

Gue tertawa kecil dan mengaitkan jari kelingking gue. “Iya.. Baikan kita. Lain kali kita lebih komunikasi lagi ya? Kalau ada masalah bilang, jangan dipendem.”

Shanika si lucu ini langsung memasang gestur hormat dengan wajah tegas yang dibuat-buat. “Siap, Pak Bos!”

Dan... ya, lagi lagi Sha berhasil membawa tawa ke dalam hidup gue. Kalau kata beauty vlogger pas ngereview baju, “SELUCU ITU GUYS!!”. Ya pokoknya, beruntung banget deh gue bisa milikin Sha.

Jadi kalau ada yang nanya apa sumber kebahagiaan gue sekarang, maka jawabannya adalah Shanika. Kalau ada yang nanya lagi apa anugerah terindah yang Tuhan kasih ke gue, jawabannya juga Shanika. Bagi gue, Shanika adalah belahan jiwa. Masa bodoh kalau itu klise, tapi memang itu kenyataannya. Gak peduli walaupun hujan badai menerpa hubungan kami, bagi gue Shanika Azalea tetap yang terbaik.

Belakangan ini banyak hal yang mengganggu Anjani. Mulai dari ayahnya yang menekannya untuk memilih jurusan agar ada persiapan menuju kelas 12. Lalu omongan Garvi tentang dirinya yang menjadi beban dan penghambat Askar untuk bertumbuh. Ditambah kejengkelannya pada Kiara yang menurutnya begitu kekanakan.

Untuk apa pula Kiara menaruh hadiah untuk Askar di kolong mejanya setiap hari? Untuk membuatnya cemburu? Panas? Marah? Anjani tidak begitu peduli. Dia tau Askar tidak akan merespon Kiara bahkan kalau perempuan itu kayang di tengah lapangan untuknya sekalipun.

Bicara tentang Askar, sebenarnya Anjani sempat berpikir apakah dia egois karena secara tidak langsung menyuruh Askar untuk menjauhi Kiara hanya karena dia tidak nyaman. Tapi Askar pernah bilang, dia sendiri juga tidak terlalu nyaman dengan perlakuan Kiara yang bisa dibilang agak 'agresif' itu. Mendengar itu hati Anjani mulai tenang dan tidak menggubris sindiran Kiara—ya walau dia mau merauk muka Kiara tiap dia jalan di depannya sih.

Biasanya Anjani akan langsung menaruh kado dari Kiara di atas meja Askar, tapi kali ini lain. Ada kertas dengan tulisan besar “Buat Anjani” di atasnya. Sontak dia mengambil kertas itu dan mengantonginya.

“Mau kemana?” tanya Askar sembari menahan tangan kirinya.

“Ke toilet.” Genggaman Askar dilepas bersamaan dengan anggukan kecil. Anjani buru-buru melangkah pergi ke toilet untuk membaca sehalaman kertas itu. Bre dan Kavi yang baru sampai langsung menatapnya bingung dan bertanya pada Askar. “Kemana dia?”

Askar menjawab sambil memainkan ponsel. “Toilet katanya.”

“Kok tumben gak minta temenin gue? Biasanya juga minta ditemenin.” Pertanyaan Bre hanya dijawab Askar dengan mengangkat bahu.

Anjani masuk ke salah satu bilik toilet, menguncinya, lalu membuka lipatan kertas itu. Dan mulai dari kalimat pertama hingga terakhir, yang dia rasakan hanyalah paku yang makin lama makin dalam menusuk ke hatinya.

Dear, Anjani, si manja yang selalu nempel sama Askar kayak parasit.

Don't get me wrong, hadiahnya buat Askar, bukan buat lo. So better put em on Askar's desk immediately!

Well, i'm not asking for a big thing actually, gue cuma mau lo pergi dari hidup Askar. Why? Karena I know him better than you, I know what he really wants deep in his heart. You know what? Askar just wants to be free. From you.

Lo pernah mikir gak sih selama bertahun-tahun kalian temenan tuh lo sebenernya cuma ngerepotin dia? Pernah gak otak lo yang bego itu mikir kalo lo ini benalu buat dia? Ya gue rasa gak pernah ya, soalnya lo itu a self-centered person. Lo mana peduli orang lain, maunya lo yang jadi pusat perhatian kan?

Saran dari gue sih, lepasin Askar. Gue gak peduli lo ini HTS atau saling suka atau apapun, intinya lo itu gak cocok sama dia. Lo mau liat Askar bahagia kan? Then fucking leave him. Karena ya... I deserve him more than you, bitch.

Your Princess, Kiara.

Usai membaca itu, entah kenapa ada banyak emosi yang menyelimutinya. Marah, sedih, hampa, semua bercampur jadi satu membentuk satu lingkaran setan di otaknya. Tangannya melipat kertas itu perlahan dan mengantonginya kembali. Punggungnya mundur mencari tumpuan pada dinding. Pandangannya lurus, kosong, menatap dinding di seberangnya seperti semua ancaman.

Benalu.

A self-centered person.

Askar wants to be free. From you.

From me..” ucapnya lirih, menimpali suara-suara di kepalanya.

Walaupun hanya berbentuk surat, dia bisa dengan jelas membayangkan wajah dan suara Kiara di benaknya. Kiara yang menatapnya sinis sekaligus remeh. Yang berjalan ke arah Askar dengan anggun dan mengintimidasi, seakan menyuruhnya menyingkir dari samping Askar. Membuatnya seakan merasa bahwa di samping Askar bukan lah tempatnya, tapi tempat Kiara. Dia marah pastinya. Jengkel apalagi. Tapi amarahnya tidak ada yang bisa keluar dari mulutnya. Seakan Kiara adalah seorang berkuasa yang bisa memutarbalikkan fakta dan kata. Dan nyatanya... benar.

Anjani tanpa sadar terperangkap pada lingkaran manipulasi Kiara yang sengaja dibuatnya agar Anjani menyingkir dari kehidupan Askar. Kiara sengaja mengirim kado-kado untuk Askar di meja Anjani setiap hari disaat dia sudah tau dimana Askar duduk. Dia ingin Anjani tau, bahwa dirinya, sang balerina cantik nan anggun, adalah sosok yang tepat untuk Askar. Bukan Anjani.

Satu air mata lolos, disusul temannya yang lain. Begitu deras sampai Anjani kewalahan menyekanya dengan tangan kecilnya. Dadanya terlalu sesak untuk bernapas normal. Rasanya beban pikiran yang ada di otaknya belakangan ini berlomba-lomba keluar dalam bentuk air mata.

Entah bagaimana Anjani merasa bahwa tulisan Kiara tadi benar adanya. Bahwa dia hanya benalu untuk Askar. Pantas saja Garvi bilang dia egois, karena memang itu nyatanya. Karena memang dia egois untuk menahan Askar tetap di sisinya, hanya untuknya, dan selalu pulang padanya. Karena nyatanya ikatan persahabatan dia menjadi penjara untuk Askar. Karena memang dia lah letak masalahnya.

Karena seharusnya, Anjani tidak boleh menggantungkan hidupnya pada Askar.


Ada beberapa hal yang paling Askar benci di dunia ini. Pertama, kehilangan. Kedua, kejahatan. Ketiga, kesedihan. Dan tanpa sadar, ketiga hal itu dia dapatkan dari Anjani.

Yang pertama, kehilangan. Saat pertama melihat Anjani menangis karena kehilangan kucing peliharaannya yang mati tertabrak, dari situlah Askar sadar bahwa kehilangan adalah hal yang sangat buruk. Bahwa kehilangan bisa merenggut satu kebahagiaan dari seseorang. Bahwa dia benci menyaksikan dan merasakan kehilangan.

Lalu kedua, kejahatan. Askar benci fakta bahwa dulu banyak orang yang jahat pada Anjani. Menurutnya, jahat adalah sikap yang menghilangkan rasa kemanusiaan. Sikap yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tidak menggunakan hatinya dengan baik. Maka siapapun yang berbuat jahat padanya atau orang yang dia sayangi, maka Askar akan mencoret orang itu dari hidupnya selamanya.

Dan ketiga, kesedihan. Dia juga membenci semua air mata yang jatuh karena kesedihan. Walaupun kata orang kesedihan juga bagian dari hidup, bagian yang menguatkan. Tapi baginya kesedihan tetap tidak menyenangkan. Dia benci saat harus melihat air mata mengalir dari kedua mata orang-orang yang dia sayang.

Terutama dari mata Anjani.

Dan kini, entah untuk keberapa kalinya, dia lagi-lagi melihat Anjani menangis. Saat Anjani mengirim pesan seperti tadi, dia langsung menyambar jaket dan kunci motornya. Menyeberang jalan tanpa kesabaran berujung diklakson dari berbagai arah. Dia menemui Anjani yang duduk meringkuk di batu dekat tiang lampu jalanan kompleksnya. Anjani langsung berdiri saat motor Askar mendekat.

Askar menatap dia lurus, tepat di mata. Dari luar saja sudah kelihatan betapa banyak kesedihan yang ada di balik netra coklat Anjani. Selang beberapa detik, air mata Anjani mulai menggenang. Lalu tangisnya pun pecah. Lagi-lagi. Di depan Askar.

Askar membawa tubuh ringkih Anjani ke dalam dekapannya, membiarkan dia membasahi jaketnya. Tangannya bergerak teratur di punggung Anjani, mengelusnya pelan, berusaha memberi ketenangan. Askar hanya diam, tidak bertanya kenapa Anjani menangis. Hanya diam, sampai Anjani menarik dirinya pelan.

“Bawa gue pergi ya, Kar?” Ditatapnya Askar dengan mata sayunya. Suaranya parau, matanya juga merah. Askar hanya mengangguk, membenarkan rambut Anjani, lalu memberinya jaket lain yang tadi dibawanya.

Tanpa kata apapun, Anjani sudah ada di belakang motor Askar. Biasanya disaat seperti ini, dia akan membiarkan Anjani menangis puas di punggungnya, sembari dia membawanya keliling kota Jakarta. Askar menarik tangan Anjani agar melingkar di pinggangnya. Yang Anjani perlukan di saat seperti ini hanyalah pelukan. Pelukan hangat, yang menguatkan. Yang menunjukkan padanya bahwa dia tidak sendiri.

Sekitar 30 menit, Askar memutuskan untuk melipir ke tukang bubur ayam yang jualan di pinggir perumahan. Keadaannya lumayan sepi, cocok untuk Anjani yang malu bila terlihat matanya bengkak karena menangis. Askar menepuk tangan Anjani pelan. “Turun dulu, yuk? Makan. Lo belum makan, kan?” Anjani menggeleng di balik punggungnya kemudian melepaskan pelukannya.

Askar membuka bagasi motor dan mengambil tisu yang selalu disiapkan disana. Dia menyodorkannya pada Anjani sekaligus membantunya menghapus jejak air mata di pipinya. Dia menyuruh Anjani duduk duluan, lalu dirinya memesan dua porsi bubur ayam. “Yang satu gak pakai seledri, yang satunya gak pakai kacang ya, Pak. Minumnya teh manis hangat.”

Dia berjalan ke arah Anjani yang membelakangi gerobak bubur. Tidak ada meja, hanya kursi plastik. Jadi Askar mengambil satu kursi lagi dan ditaruh di antara keduanya.

“Mau cerita? Atau besok aja?” tanya Askar. Dia menghapus lagi air mata yang masih setia turun ke pipi Anjani.

“Gue... capek,” kata Anjani setelah hening beberapa menit. Hati Askar mencelos mendengarnya. Dia bisa merasakan dengan jelas lelah dalam nada bicara Anjani.

“Gue gak pernah diapresiasi sama Ayah, Kar. Selalu Garvi. Gue salah sedikit kalau ngerjain pekerjaan rumah, ujungnya dibandingin sama Garvi. Gue dapet nilai sejelek atau sebagus apapun, ujungnya disuruh contoh Garvi. Gue ngelukis sebagus apapun, akhirnya dibandingin sama olimpiade yang Garvi menangin. Garvi, Garvi, Garvi. Selalu Garvi. Gak pernah Anjani.”

Askar diam, membiarkan Anjani melanjutkan ceritanya. Bubur pesanan mereka sudah datang, tapi tidak langsung disentuh karena asapnya masih mengepul.

“Tadi gue gak sengaja mecahin piring kesayangan Ayah setelah kemarin gue mecahin gelas pemberian temennya. Gue beneran gak sengaja, Kar. Buat apa juga gue sengaja? Terus Ayah marah di grup karena gak sempet marah-marah di rumah soalnya ada panggilan kantor. Eh Garvi malah ngechat gue kayak gini.” Anjani menyodorkan ponselnya.

Tangannya mengaduk bubur seraya menunggu Askar selesai membaca chatnya dengan Garvi. Genggaman Askar pada ponsel makin mengerat karena emosi. Dia tidak menyangka Garvi akan jadi se-annoying dan sejahat ini. Dulu Garvi masih jadi teman main PS-nya, tapi semakin dewasa Garvi semakin menghindar, seolah memang diciptakan untuk benci padanya.

“Gue capek diremehin sama adek gue sendiri, Kar. Rasanya kayak gue gak ada harga dirinya di mata dia. Gak pernah sekalipun dia hormatin gue, peka sama keadaan gue, gak pernah. Lo sendiri pasti juga paham gimana dia makin lama makin berubah.”

Askar mengangguk sambil mengembalikan ponsel Anjani. Hatinya ikut sakit melihat tatapan Anjani. Yang dia lihat di dalamnya hanya kesedihan. “Gue kadang mikir, gue mau cepet dewasa. Gue mau cepet pergi dari rumah itu. Gue mau ninggalin semua orang yang selalu ngeremehin gue, nyakitin gue, marahin gue—” Perkataan Anjani terhenti. Satu air mata lolos lagi. Dia menatap Askar.

“— bawa gue pergi ya, Kar?”

“Jani..” panggil Askar pelan, dia tidak bisa melihat Anjani sepasrah ini.

“Bawa gue pergi kemanapun gue gak bisa ditemuin sama Ayah atau Garvi. Gue gak masalah harus tinggal sama lo terus, walaupun gue harus lupain keluarga gue.”

Askar menggeser bangkunya yang tadi di seberang Anjani menjadi di sebelahnya. Tangannya menggenggam pelan tangan Anjani. “Jani..” panggilnya lagi.

“Seandainya gue bisa, gue bakal bawa lo pergi. Gue bakal bikin rasa sakit yang lo rasain hilang. Gue juga bakal bikin air mata Lo gak pernah jatuh lagi. Tapi gue pun punya batas, Jan. Gue gak bisa bawa anak perempuan Bunda pergi gitu aja disaat gue sendiri masih gak punya apa-apa. Seandainya gue udah kerja dan kita udah cukup dewasa pun, gue gak akan pernah ngajak lo pergi ke tempat dimana lo lupa sama keluarga lo.”

Anjani diam, meminta alasan dari jawaban Askar. “Semua keluarga emang gak akan pernah sama, Jan. Ada yang hangat, ada juga yang enggak. Ada yang mendukung, ada juga yang menjatuhkan. Pasti susah nerima kenyataan bahwa lo salah satu dari yang gak beruntung karena punya keluarga yang kurang hangat, yang kurang sempurna, yang selalu ngeremehin usaha lo. Gue gak akan pernah tau rasanya, tapi gue tau satu hal yang pasti.”

Jari-jari Askar menyusup ke sela jari-jari Anjani, mengaitkan kelima jarinya erat. “Keluarga adalah tempat darimana lo berasal. Tanpa Ayah dan Bunda lo, gue gak akan pernah dapet sahabat yang namanya Anjani sekarang. Lo boleh pergi, tapi lo juga harus pulang. Sesekali. Gapapa. Kalau udah terlalu capek, gue bisa bawa lo kabur. Tapi buat sementara. Gue masih punya batas untuk balikin lo ke keluarga lo. Jadi.. sekarang lo belajar buat tutup kuping. Anggap semua amarah Ayah lo yang menurut lo emang gak masuk akal sebagai angin lalu. Terus ambil bagian dari beberapa amarah itu sebagai motivasi supaya lo bisa bangkit. Supaya lo bisa patahin omongan Ayah lo yang gak lo setujui.”

Detik berikutnya, Anjani memeluk leher Askar erat, sekali lagi menangis, membasahi pundak Askar. Dan Askar pun sekali lagi membalas pelukannya, menepuk punggung kecil Anjani.

“Kar,” panggilnya sembari menarik diri dari pelukan.

“Ya?”

“Kata lo, lo gak bisa bawa gue pergi karena lo punya batasan buat balikin gue ke keluarga gue. Dalam artian, karena keluarga utama gue belum berubah, kan? Kalau gitu, nanti, kalau kita udah dewasa, boleh gak gue minta kalau lo yang jadi tempat gue pulang? Jadi anggota keluarga gue yang utama, yang jadi syarat gue harus selalu balik gak peduli sejauh apapun gue pergi.”