standard
Anjani langsung menyuruh Bre masuk ke kamarnya setelah menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka di kamar. Jam sudah pukul 11 malam, kebetulan Ayah Anjani sedang ke luar kota jadi tidak perlu minta izin. Bre duduk di atas kasur Anjani setelah mengganti baju ke piyama yang sudah dia siapkan dari rumah.
Anjani menyodorkan teh manis hangat supaya Bre menghangatkan badannya. Setelahnya dia menyusul duduk di atas kasur. Mereka memakai skincare masing-masing sambil mulai mengobrol.
“Kenapa? Berantem sama Kavi?” tanya Anjani membuka obrolan. Bre menggeleng sambil memencet pipet serum ke wajahnya.
“Nyokap.” jelas Bre singkat. Anjani hanya menunggu Bre masuk ke ceritanya.
“Gue gak boleh masuk tata rias.” Anjani mengerutkan dahi. “Oh lo serius mau masuk tata rias?!”
“Serius, anjir. Gue udah mentok banget gak tau jurusan apa lagi yang sesuai sama minat bakat gue. Ya lo tau sendiri gimana senengnya gue eksperimen sama make-up dan rambut gue, kan? Gue udah sempet nyinggung ke nyokap dan dulu bilangnya selalu 'iya nanti liat dulu' tapi akhirnya bener-bener gak boleh.”
Selesai memakai skincare Anjani menaikkan selimut sampai menutupi tubuh bagian bawah mereka. Keduanya menyender di kepala ranjang dengan tatapan kosong ke depan. “Gue tuh ya, Jan, selalu bersyukur nyokap gue yang single parent gitu gak pernah marah-marah dan selalu jadi wanita kuat yang gue kagumin. Tapi dibalik kuat dan mandirinya nyokap, ada keras kepala yang gak bisa dibantah. Lo tau sendiri, kan, saking mandirinya nyokap, gue kadang ditegur gak boleh terlalu cinta sama Kavi, gak boleh cerita terlalu banyak sama Kavi, gak boleh naro hidup gue sama Kavi, pokoknya nyokap bilang cowok itu semuanya bakal sama aja.”
Bre berhenti sebentar, pikiran Anjani melayang ke saat-saat dia bertemu dengan Ibunya Bre waktu pertama kali. Memang yang ada di pikirannya saat itu adalah betapa kagumnya dia melihat seorang wanita hampir paruh baya berdiri dengan tegak dan percaya diri walaupun tanpa suami. Anjani ingat betapa terpancarnya aura tegas dari Ibu Bre. Maka tidak heran jika pada akhirnya Bre kewalahan dengan mindset mandiri menurut ibunya.
Jadi Ibu Breanni ini single parent yang cerai hidup dengan suaminya. Ayah Bre tidak pernah berkontribusi dengan kehidupan Bre sejak bayi, jadi kedua orang tuanya bercerai sewaktu Bre masih belum mengerti apa-apa. Karena itu Bre tidak pernah dekat dengan ayahnya sendiri, bahkan sekarang dia tidak tau ayahnya tinggal dimana. Ibunya selalu jadi wanita yang mandiri dan tegas, dari luar kelihatan tegar dan bisa mengurus semuanya sendiri. Karenanya Bre tumbuh jadi perempuan yang kuat dan dituntut untuk bisa menjaga dirinya sendiri, Bre dibentuk untuk hidup tanpa laki-laki. Maka waktu Bre bilang dia dan Kavi pacaran, ibunya sempat tidak setuju karena menurutnya, Kavi bisa jadi bumerang bagi Bre yang sudah kuat berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Tapi Bre pernah bilang, kalau Kavi gak akan jadi seperti ayahnya yang tidak bertanggung jawab, bahwa Kavi ini berbeda. Bre juga berjanji jika sesuatu terjadi antara dia dan Kavi, maka Bre akan meninggalkan Kavi sebelum dia jatuh terpuruk.
Anjani jadi satu-satunya saksi kerasnya tuntutan antara Bre dan ibunya. Inilah salah satu alasan mengapa Bre tidak pernah mengatakan hal-hal yang dibilang ibunya pada Kavi. Karena dia tidak ingin Kavi merasa dihakimi, dia tidak ingin Kavi yang masalahnya sudah banyak dibuat tambah pusing dengan sikap Ibu Bre yang judgemental.
“Gue tau sih, jadi perempuan mandiri is a must di zaman sekarang. Karena in the end kita tuh emang tinggal sendiri di dunia ini ya gak, sih? Makanya gue gak pernah protes kalau gue harus ikut banyak olahraga bela diri yang capeknya minta ampun itu. Karena gue tau Nyokap cuma mau yang terbaik aja.” Anjani mengangguk setuju.
“Tapi kadang.. capek juga sih, Jan. Gue juga, kan, pengen sekali-kali dimanja, diperlakuin kayak bayi baru lahir yang gak bisa lakuin apa-apa tanpa bantuan yang lain. Gue juga pengen digandeng pas nyebrang karena takut, pengen dibukain botol minum karena gak kuat, pengen dirobekin bungkus chiki-nya karena gak bisa. Pokoknya hal-hal lemah kayak perempuan kebanyakan, deh. Dan Kavi jadi satu-satunya cowok yang ngelakuin semua itu walaupun tau gue bisa sendiri. Gue ngerasa jadi lemah kalau ada Kavi, gue ngerasa jadi cewek yang sebenernya kalau sama Kavi. Gue suka jadi kayak gitu, Jan, walaupun cuma sesekali.”
Anjani meraih kepala Bre untuk disandarkan ke bahu kanannya. “Nyokap maunya gue jadi polwan, Jan..” ucap Bre lirih.
“Gue gak mau jadi polisi atau TNI. Gue gak mau kalau hari-hari gue harus penuh sama penataran fisik yang capek. Walaupun gue yakin gue bisa masuk dan kuat jalaninnya, gue gak mau. Karena artinya gue gak bisa lagi ketergantungan sama Kavi, gak bisa lagi main kepang-kepangan sama lo, kita gak bisa lagi nyalon dan make-up bareng. Gue gak mau jati diri cewek gue ilang.”
Suara Bre mulai bergetar lalu tangisnya pecah. Pasti sulit menahan semuanya sendiri. Anjani langsung mendekap Bre dan membiarkannya menangis selama beberapa menit. Anjani sengaja tidak bertanya atau berkata apapun, dia membiarkan Bre mengeluarkan apa yang dia ingin ceritakan. Karena menurutnya tidak semua orang yang sedang bercerita perlu umpan balik atau kritik.
Setelah agak tenang, Bre kembali bercerita. “Nyokap bilang tata rias gak akan berguna buat kemandirian gue. Tata rias bakal bikin gue makin feminim dan kayak cewek lemah. Yang bikin gue heran, dulu Nyokap selalu dukung karier model gue waktu kecil, tapi lama-lama Nyokap gak pernah nerimain tawaran model gue lagi. Alasannya supaya gue fokus belajar dulu. Tapi ujungnya ternyata gue disuruh banting stir ke pekerjaan yang gak ada cewek-ceweknya sama sekali. Pekerjaan yang keras dan capek kalau dijalanin gak pakai hati.”
Anjani ikut menghela napas. Mendengar cerita Bre juga ikut membawa sesak baginya. Dia paham betul betapa tidak mengenakkannya diatur-atur dan diarahkan secara paksa. Padahal yang menjalani mereka, tapi yang repot orang tua. Seakan-akan mereka lahir hanya untuk boneka orang tua yang harus manut ABC dan Z-nya.
“Lo udah coba jelasin alasan lo mau masuk tata rias?” tanya Anjani.
“Udah. Gue bilang passion dan bakat gue ada disitu. Nyokap harusnya juga tau lah gue suka banget sama make up. Orang tiap minggu selalu ada paket alat make up gue dateng kok.”
“Terus lo udah ada rencana mau ngapain?”
“Mau berontak sih. Gue bakal kabur kalau beneran dipaksa masuk polwan atau TNI.”
“Bre..”
“Gue gak sudi masuk pekerjaan kayak gitu, Jan. Itu bukan jalan gue banget.”
Lagi-lagi Anjani menghela napas. Dia juga ikut bingung. Masalahnya dia juga punya masalah yang sama. Tuntutan.
“Yaudah, lah, biarin aja. Nanti gue pikirin sendiri gimana caranya. Pokoknya gue gak mau masuk polisi atau TNI. Intinya gue nginep disini karena gue kesel sama ocehan Nyokap yang sampe buka-buka pendaftaran sekolah polisi dan TNI di depan gue.”
Anjani merentangkan tangannya, memberi kode untuk Bre masuk ke pelukannya. Mereka saling memeluk erat, Anjani juga menepuk-nepuk kepala Bre. “Lo tuh jadi cewek udah hebat banget, Bre. Kalau gue jadi lo, gue gak akan kuat dan udah pingsan di minggu pertama gue disuruh masuk ke club judo, karate, dan taekwondo secara bersamaan. Menurut gue, Bre yang sekarang udah jadi perempuan yang hebat dan mandiri. Siapa coba yang berantem sama kakel banyak bacot kalau bukan lo? Siapa yang bakal belain gue depan kakel kalau bukan lo? Siapa yang mancing lele pake pengki kalau bukan lo?” Bre tertawa mendengar tingkah-tingkahnya yang disebut Anjani.
Lalu Anjani melanjutkan sambil menangkup kedua pipi Bre. “Buat gue, lo udah hebaatttt banget. Udah cukup mandiri dan kuat. Gue bahkan yakin kalau lo putus sama Kavi, lo tetep bisa hidup sendiri dengan segala kemampuan dan ketegaran lo. Tapi mungkin standar Nyokap lo jauh lebih tinggi dibanding standar gue, makanya lo sampai kewalahan bikin diri lo sampai ke standar itu. Tapi gue ngambil satu pelajaran dengan hidup sama Bokap yang ikut campur urusan pendidikan, Bre, bahwa kita itu hidup harusnya ngikutin standar diri kita sendiri, bukan standar orang lain.”
Bre menyimak dengan saksama masih dengan elusan tangan Anjani di rambut panjangnya. “Kalau menurut gue, seharusnya seorang anak yang udah mau dewasa itu udah berhak buat nentuin pilihan hidupnya mau kemana. Harusnya peran orang tua sebagai pemandu aja, bukan pengatur. Menurut gue, lo berhak ngambil jurusan yang lo mau karena yang jalanin kuliah selama 4 tahun tuh lo, bukan Nyokap. Tapi karena kita sebagai anak juga gak boleh durhaka, lo harus coba cara yang paling baik dulu sebelum cara ekstrim alias membangkang.”
“Gue rasanya mau langsung membangkang aja, Jan. Capek gue debat mulu, gak selesai-selesai.”
“Ya... sama sih.”
“Para orang tua tuh kadang egois gak sih? Nuntut anaknya supaya dengerin, tapi dirinya sendiri gak dengerin permintaan dan pendapat anaknya. Minta anaknya supaya gak durhaka, tapi dirinya juga durhaka ke anak. Orang tua yang kayak gitu, tuh, yang bikin bingung. Mau berbakti tapi jadinya setengah hati.”
“Karena mereka juga baru pertama kali hidup dan pertama kali jadi orang tua, Bre. Emang gak akan ada orang tua yang sempurna, sih, sama kayak gak akan ada anak yang sempurna buat orang tuanya.”
“Ada satu.”
“Siapa?”
“Orang tuanya Askar dan Askarnya sendiri.”
“Oh, kalau itu setuju. Askar's family is the standard.“