rumah cadangan
Askar menyalakan AC di ruang santai rumahnya. Di belakang ada Anjani dengan nampan penuh makanan di tangannya. Keduanya duduk di sofa panjang milik keluarga Askar setelah bertempur dengan kemacetan Jakarta. Di depan mereka ada meja panjang berisi beberapa makanan ringan dan permainan kartu. Anjani duduk sambil memakan popcorn yang dibeli Mama Askar. Sedangkan Askar tiduran di paha Anjani sambil memejamkan matanya.
“Kira-kira berhasil gak ya misi kita hari ini?” tanya Askar masih dengan mata terpejam. Anjani menghela napas sambil terus mengunyah. “Semoga Mada udah siap ya.”
Beberapa hari yang lalu, mereka ber-empat membicarakan ini sewaktu Mada pulang lebih dulu dibanding mereka. Setelah diskusi panjang, mereka menyimpulkan jika Mada menunggu waktu yang tepat untuk bercerita tentang masalahnya, maka mereka lah yang akan menciptakan waktu yang tepat itu. Maka dari itu mereka membuat rencana membawa Mada ke rumah Askar untuk menceritakan apa yang terjadi. Walaupun dengan keraguan yang kuat, mereka tetap mencoba mengajak Mada. Beruntung Askar juga meminta bantuan Bundanya untuk menemani Ibu Mada di rumahnya. Jika tidak, kemungkinannya 100% Mada tidak akan datang ke rumah Askar. Karena satu-satunya alasan Mada pulang lebih cepat setiap harinya karena khawatir ibunya kesepian di rumah.
Selama bertahun-tahun pertemanan ini berlangsung, tidak ada satu pun dari mereka yang tidak menyadari bahwa ada beban berat yang dipikul Mada tanpa mereka ketahui. Mereka sama-sama tau kalau Mada adalah orang yang selalu ceria dan jenaka. Tapi mereka juga tau kalau dibalik semua itu ada kegelapan yang ditutupinya rapat-rapat.
“Bukan masalah privasi atau enggaknya, bukan masalah ini ranah kita atau bukannya, tapi ini masalah kesedihan yang gak pernah ditunjukkin sama Mada. Gue gak mau temen gue kenapa-kenapa cuma karena nanggung semuanya sendiri. Gue gak mau kehilangan temen gue dan gak tau apa yang selama ini dia tutupin.” kata Kavi sewaktu Bre bertanya tentang apakah masalah Mada itu sebenarnya privasi dan mereka tidak perlu tau.
“Kar, gue mau cerita tapi jangan bilang sama Kavi dan Bre ya?” ucap Anjani pelan.
“Kenapa?” Askar membuka matanya dan menatap Anjani dari posisinya yang masih sama.
“Sebenernya gue udah tau kalau ortu Mada mau cerai dari semenjak nyokapnya sakit karena dia sendiri yang ngechat gue waktu itu. Gue baru ngaku sekarang karena yaa... kalian udah tau masalahnya dari Bang Arga. Maaf ya gue gak bilang dari awal, ini permintaan Mada soalnya...”
Askar mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Anjani. “Gapapa, itu kan kemauan Mada buat jangan diceritain ke kita. Mungkin Mada emang beneran belum siap jadinya cuma cerita ke lo.”
Anjani tersenyum kecil saat Askar menepuk-nepuk tangannya pelan. Keduanya menoleh saat pintu dibuka lalu muncul Bre dan Kavi yang membawa sekantong minuman dingin dengan berbagai rasa. Bre langsung loncat ke sofa dan duduk di sebelah Anjani, sedangkan Kavi memutuskan duduk di bean bag sambil menyomot makanan dari meja.
“Ganti oli dimana, Kav?” tanya Askar basa-basi.
“Di deket indomaret sekolah, yang biasa langganan gue tutup.” Askar mengangguk-angguk sebagai respon.
“Mada belom dateng ya?” tanya Bre kepada ketiganya. Yang lain hanya menggeleng. Mereka saja tidak tau pasti apakah Mada akan benar-benar datang ke rumah Askar.
Empat anak manusia itu sibuk dengan urusannya masing-masing sambil sesekali bersenda gurau tentang hal-hal duniawi. Dalam hati sudah pasrah jikalau Mada memang gak ingin datang untuk kumpul hari ini. Namun yang ditunggu-tunggu kemudian muncul dalam hoodie hitam dengan celana seragam abu-abunya. Senyum di wajahnya canggung, tapi disambut dengan kehebohan Kavi yang mencairkan suasana. “Akhirnya dateng juga Pak Bos kita yang paling sibuk!” kata Kavi sambil mengajak Mada ber-tos ria.
“Duh, sorry ya, tadi gue kelamaan mikir mau berangkat naik Alphard, Ferarri, atau Harley Davidson. Maklum lah, orang kaya problem.” Ocehan receh Mada membuat yang lain melemparinya dengan benda-benda di sekitar mereka. Yang dilempari hanya nyengir lalu duduk di lantai depan Anjani.
“Oh iya, Kar, makasih banget ya, nyokap gue jadi gak kesepian banget berkat nyokap lo. Tadi gue ngecek ke rumah terus ternyata mereka lagi masak bareng. Nyokap lo juga bawa makanan banyak banget gila, kayaknya satu supermarket diborong dah.” Askar tertawa sebelum menjawab.
“Emang gitu dia mah, suka beli barang lebih dari satu. Nanti kalo nyokap lo sendirian lagi, chat aja tuh nyokap gue, nganggur kok.” Mada hanya mengangguk sambil terkekeh. Yang lain tersenyum melihat Mada lebih rileks dibanding sebelumnya.
Bre yang sibuk membuka twitter sejak tadi memekik, “Eh! PAK SANDY PACARAN SAMA BU NADYA?!?!??” Bre terlihat sangat tercengang sambil memandang layar ponselnya.
Mada lalu melihat ponsel Bre yang menampilkan foto buram kedua guru di sekolah mereka itu sedang berjalan berdua di sebuah mall. Ponsel Bre digilir karena rasa penasaran dari ke-empat manusia lainnya.
“Pantesan aja gue liat mereka waktu papasan di koridor tuh kayak saling senyum gitu.” ujar Askar usai mengembalikan ponselnya ke Bre.
“Kayaknya gue juga pernah liat deh,” ucapan Mada membuat yang lain menengok. “Waktu itu pas gue ke kantin terus buang sampah ke belakang sekolah, gue liat ada yang pelukan. Kirain anak kelas mana karena seragamnya sama-sama batik. Pas Pak Sandy masuk kelas gue baru ngeh kalo batik dia tuh sama kayak yang gue liat.”
Yang lain menyimak dengan mulut terbuka. “Gila, berarti mereka pacaran udah lama dong?! Wah, GAK BISA, GAK BISA! GUE HARUS SPILL KE BASE SEKOLAH!” pekik Bre heboh.
Anjani menahan tangan Bre yang sudah memencet aplikasi twitter. Kepalanya menggeleng kecil. “Gak usah lah, Bre. Biarin aja. Mungkin mereka cuma gak mau orang lain tau, semua orang kan pasti punya rahasia masing-masing.”
“Iya udah gak usah, lagian mereka tetep profesional kok sama pekerjaannya.” timpal Askar pula.
Bre memajukan bibirnya tapi tetap menurut karena berubah pikiran berkat omongan Anjani dan Askar. Mada terdiam mendengarnya, membuat Askar melirik paham bahwa Mada juga merasa relate akan perkataan barusan.
“Bener, semua orang punya rahasianya masing-masing,” sahut Mada pelan. “Termasuk gue.” lanjutnya.
Suasana tiba-tiba hening, seolah tau bahwa obrolannya sudah masuk ke tahap serius. Pandangan Mada tiba-tiba lebih sendu, membuat yang melihat ikut merasa pilu. “Gue tau kok, kalian hari ini mau ngehibur gue supaya gak berubah jadi introvert mellow banyak masalah yang kalo ditanya kenapa jawabnya gapapa padahal aslinya kenapa-kenapa.”
“Ma.. gak gitu kok..” cicit Jani pelan. Dia mengelus pundak Mada supaya lebih menenangkan.
“Gue tau kalian pengennya gue terbuka sama semua masalah dan keadaan gue. Tapi gue dari dulu selalu berprinsip kalo gue gak akan ngasih hal negatif sedikit pun ke orang lain, terutama orang-orang yang gue sayang dan hormati. Gue mau orang nginget gue yang baik-baik aja, yang selalu bikin ketawa dan gak ngasih beban apapun.”
Semuanya terdiam. Bertahun-tahun berteman dengan Mada tidak juga membuat mereka tau sisi abu-abu dari Mada. Yang mereka tau selama ini hanya sisi yang putih, cerah, dan berkilap. Baru kali ini mereka mendengar Mada membagikan sisi tergelap dari dirinya.
“Maaf kalo kesannya gue sok keren, tapi gue beneran gak bisa nyeritain kelemahan gue ke orang lain. Gue nganggep kelemahan gue tuh aib yang harus gue kubur. Tapi gue tau sih suatu yang busuk ujungnya bakal kecium juga dan mungkin hari ini waktunya.” Mada menghela napas sebelum berani menatap satu per satu sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.
“Mungkin selain Bunda dan Bang Arga, orang yang paling berharga buat gue tuh kalian,” satu per satu air mata keluar dari kedua matanya. Membuat yang lain ikut berkaca-kaca. “Mungkin kalo gak ada kalian yang ngehibur dan ngisi hari-hari gue, gue gak akan kuat buat jalaninnya.”
Anjani yang tadinya duduk di sofa langsung merosot ke sebelah Mada untuk memeluknya dari samping. Kavi meremas bahu Mada karena tak bisa menahan kesedihan. Mungkin bisa dibilang, Kavi yang paling mengerti rasanya memiliki orang tua seperti orang tua Mada.
“Iya, Nyokap Bokap gue mau cerai. Gue lega, jujur. Tapi gue gak tau kalo ternyata rasanya tetep sesakit ini. Gue kira gue siap, tapi ternyata gak akan ada yang bisa siap sama perpisahan.” Mada berhenti sejenak saat tenggorokannya tercekat berkat air mata yang berlomba-lomba keluar. Badannya bergetar hebat, semua yang ditahannya selama ini memaksa keluar.
Yang melihatnya juga ikut merasa sesak. Tidak ada yang bisa menahan air mata melihat sahabat yang selama ini hanya kelihatan tawanya tiba-tiba menangis hebat sampai tidak sanggup bicara.
“Selama ini gue cuma minta satu hal.” lanjut Mada setelah mengatur nafas berulang kali. “Gue cuma minta Nyokap bahagia. Setiap sholat cuma itu yang gue pinta sama Allah, gak ada hal lain. Gue bahkan gak minta kebahagiaan buat gue, karena yang paling penting buat gue ya kebahagiaan Nyokap.”
Sekali lagi Mada mengatur napasnya yang tercekat. “Ternyata Allah kabulin permintaan gue dengan ngasih keberanian buat Nyokap ninggalin Bokap setelah bertahun-tahun nahan semuanya.”
Semuanya diam memandang Mada yang tidak henti menangis. Pemandangan yang jarang, namun seharusnya memang tidak ada hal yang membuat seorang Mada yang penuh tawa ini menjadi tertutupi tangis. “Makasih ya, Ma, udah mau cerita..” bisik Anjani di tengah sesak.
Mada mengangkat kepalanya yang dia sembunyikan di lipatan kedua tangannya untuk melihat Anjani. “Iya, makasih ya, Ma, udah ceritain semua beban lo ke kita.” ucap Askar.
Mendengar itu Mada semakin menangis. Tapi kemudian dia terkekeh dan tertawa lebih kencang. Membuat yang lain bingung tapi mau tidak mau ikut tertawa karena tawa Mada terdengar geli sekali.
Dengan sisa tawa, Mada bicara, “Gue salah selama ini.” katanya sambil melihat sahabatnya satu per satu. “Gue kira jadi orang yang punya masalah itu lemah. Gue kira dengan nunjukkin masalah itu gue jadi makin lemah. Gue kira dengan pura-pura baik-baik aja di saat lagi sedih itu bikin kuat, tapi ternyata sebaliknya. Kesedihan malah makin gerogotin gue tanpa ampun. Tapi saat gue nunjukkin masalah gue, kelemahan gue, aib gue, ternyata gue jadi orang yang jauh lebih kuat dan bisa nerima keadaan. Gue ngerasa bego banget selama ini nutupin masalah gue dari kalian karena takut dibilang lemah dan hancur, tapi ternyata kalian malah makasih sama gue karena gue ceritain masalah gue. Hidup emang penuh kejutan ya anjinggggg, HAHAHAHAHA..” perkataan Mada yang ditutup tawa membuat yang lain ikut tertawa lagi.
Kali ini dengan perasaan haru dan lega. Madava yang mereka kenal sudah kembali. Dengan lebih kuat dan lapang. Mereka memeluk Mada sambil menepuk-nepuk pundak satu sama lain. Sebuah gestur yang diharapkan bisa lebih menguatkan diri maupun persahabatan mereka.
“Makasih karena gak pernah nanya kenapa gue bersikap aneh di masa-masa sulit kayak sekarang. Makasih juga udah ngertiin gue buat gapapa kalo punya masalah dan nunjukkin semuanya ke kalian. Makasih udah ngertiin gue dengan semua diam gue yang gak jelas. Maafin gue ya belom bisa jadi temen yang bawa kebahagiaan 100% ke kalian.”
“Ma..” panggil Anjani pelan. “Tugas temen bukan cuma ngasih kebahagiaan doang, tapi juga saling menguatkan. Manusia pasti diuji, pasti ada saatnya jatuh. Tugas kita itu saling bantu kalau ada yang jatuh, supaya temen kita gak terpuruk semakin jauh. It's okay buat berbagi kesedihan, toh kita-kita juga gak 100% ngasih lo bahagia kan? Itu lah fungsinya sahabat, Ma, buat saling bantu dan berbagi kesedihan.”
“Bener kata Jani. Dari dulu gue paling relate sama lo karena kita punya latar belakang yang sama, Ma. Gue tau rasanya mau nyerah tapi gak bisa karena ada alasan yang lebih kuat buat bertahan. Salah satu alasan gue buat kuat itu Mas Kafka dan kalian. Gue selalu percaya, rumah gak harus berbentuk bangunan dan orang tua, tapi juga bisa berbentuk manusia yang baru gue temuin setelah hidup belasan tahun. Anggep aja kita rumah lo, Ma. Karena kalau rumah lo yang satu itu hancur, lo masih punya rumah cadangan yang akan selalu berdiri kokoh buat lo pulang.”
Lalu sekali lagi, persahabatan menyelamatkan jiwa seorang anak yang hancur. Jiwa-jiwa yang sebenarnya sama hancurnya menolong satu jiwa itu, menariknya dari kegelapan, dan membantunya menyatukan kembali kepingan hati yang hancur.