#berteman dengan orang gila


Gue pernah bilang gak ya, kalau selain Kavi dan Bre, ada satu lagi orang yang sebenernya diem-diem gak waras tapi karena image-nya yang pinter dan serba ketua (ketua kelas, ketua OSIS, ketua organisasi) jadinya kelihatannya dia yang paling normal di antara kita berlima?

Iya, bener. Askar jawabannya. Emang gak sering sih dia menunjukkan “ketidaknormalannya” ini, tapi Askar ini tipe yang bikin ledakan besar tapi jarang kayak Gunung Krakatau. Sebenernya kalau udah gini, gue lebih suka liat Kavi dan Bre menggila setiap hari daripada ngikutin ide gila Askar. Karena ibaratnya Bre dan Kavi kelakuannya cuma keluar garis nalar sedikit, tapi Askar kalau udah bikin ide keluar dari nalarnya udah JAUH.

Jadi, seperti yang kalian tahu. Hari ini adalah hari Senin sekaligus hari pertama Penilai Akhir Tahun (PAT) yang menentukan naik gaknya kita ke kelas selanjutnya alias kelas 12. Seperti yang kalian tahu juga, saat ini Kavi sedang kejebak macet dan masih setia spam group chat panik sekaligus kepo mau tau apa rencana yang dipikirkan Askar.

Dia mengajak kami membentuk lingkaran. Waktu menunjukkan pukul 06.52, artinya tinggal 8 menit lagi sebelum guru masuk ke kelas dan memulai PAT. “Satu-satunya cara cuma bikin panik satu sekolah.”

“Caranya?” tanya Bre yang sepertinya juga lagi mengendus bau-bau gak beres dari rencana Askar. “Pilih, mau berantem HEBAT di tengah lapangan atau mau kesurupan.”

“HAH?” refleks kami bertiga sambil melongo ke arah Askar yang sepertinya santai banget ngomongin rencana gila kayak gini.

“Tapi menurut gue sih kesurupan aja. Soalnya kalau berantem tuh masih bisa ditahan, tapi kalau kesurupan brutal kemungkinan diberhentiinnya susah. Nanti ceritanya nyamber aja setannya jadi kita masing-masing nenangin satu orang.”

Stress. Gue udah bilang apa. Askar ini otaknya kadang gak normal anjir. Mana ada orang pinter NORMAL mikir buat ngundur ujian dengan pura-pura kesurupan DI TENGAH LAPANGAN?!

“Terus siapa yang akting, anjir?” tanya Mada ikut uring-uringan dengan rencana gila ini. Sama, gue juga pening banget dengernya. Detik selanjutnya gue makin pening pas sadar Mada dan Askar ngelihat ke arah gue dan Bre penuh harap.

Kami langsung menolak. “GAK ADA ANJIR!”

“GAK! GAK BISA GUE!!!” protes gue.

“Kalau Mada atau gue malah aneh. Lo sama Bre kan bisa kelihatan panik total dan teriak-teriak brutal. Ayo lah, udah jam 6.55!!!!” kata Askar memberi alasan nyebelin yang sialnya masuk akal.

Masalahnya, “GUE GAK BISA AKTING ANJIRRRR” Iya, bener kata Bre. Akting pingsan aja gue gak bisa, ini lagi kesurupan!

“Gak ada cara lain, lo mau cowok lo gak ikut ujian hari ini terus ikut susulan di ruang guru atau WORST-NYA, dia gak boleh ikut karena alasannya bukan sakit tapi telat.” bujuk Mada yang sialnya lagi emang masuk akal sih.

Gila, ini gue sama Bre udah bego makin dibego-begoin lagi sama dua orang pinter macam Askar dan Mada. Akhirnya, mau gak mau gue dan Bre saling lihat-lihatan dan ngangguk, ngasih kode kalau yaudah kami setuju jadi tumbal rencana gila ini.

Kami berlari turun ke bawah, sok berjalan dengan kelihatan normal sampai ke tengah lapangan, lalu Bre mulai teriak gak karuan sambil berakting kayak orang kesurupan. Jujur emang teriakannya dahsyat banget sih sampai gue lihat di balkon murid-murid pada ngelihat ke kami dengan panik. Kami di sebelah Bre juga ikut akting super panik sambil berusaha terlihat menenangkan Bre. Di sela aktingnya Bre berbisik, “Anjing lu, Askar!” tepat sebelum banyak orang yang mengerubungi kami.

Tapi gue akui, akting Bre meyakinkan banget. Sekarang bahkan rambutnya acak-acakan dan gue lihat maskaranya luntur sedikit saking brutalnya. Dia menjambak-jambak rambutnya sendiri hingga berguling-guling di tanah. Di antara kerumunan murid lalu datang satpam yang menjaga pagar (padahal hampir aja mengunci pagar agar murid yang telat gak bisa masuk) dan juga guru-guru yang mungkin dapat laporan dari murid lain.

“Astaghfirullah! Kenapa ini?!?!” tanya Bu Ratih, guru Bahasa Indonesia yang terkenal galak.

“Gak tau, Bu, tadinya kami cuma jalan doang tapi tiba-tiba Bre teriak-teriak.” ucap Askar terlihat berusaha tenang. Gue yakin dalam hati Bre maki-maki Askar karena sudah mendeklarasikan bahwa yang lagi kesurupan brutal ini namanya “Bre” pada seluruh adik dan kakak kelas yang mungkin awalnya gak kenal.

“JANGAN POTONG TEMPAT TINGGALKUU!!!! BERANINYA KALIAN MANUSIA MEMBUAT AKU KEHILANGAN TEMPAT TINGGAL!!!!” Bre bicara dengan nada yang dalam dan serak seakan yang bersuara bukan Bre yang asli, tapi hantu yang mengambil alih tubuhnya.

Jujur, gue mulai merasa hidup gue ini kadang fiktif banget. Dijadiin film horror budget murah juga bisa ini, cuma peminatnya dikit aja karena ceritanya gak jelas.

“Ya Allah! Ada apa ini, Bu?!” tanya Pak Amin, guru agama Islam yang biasanya sering memimpin doa di depan.

“Kayaknya kesurupan, Pak. Katanya jangan dipotong rumahnya.” Jawab salah satu murid. Gue akui Bre pinter mencari hal yang relevan supaya kelihatan makin meyakinkan. Karena kebetulan pohon Beringin besar yang ada di taman belakang mau dipotong.

Duh, maaf nih, gue sebenernya juga gak paham dengan ghaib gini. Tapi gue percaya bahwa kita manusia memang gak hidup sendiri di dunia, kita hidup berdampingan. Pokoknya ya gitu deh. Gue juga udah stress banget ini lihat drama gila. Karena keadaan chaos gini gue, Mada, maupun Askar gak ada satu pun yang sempet lihat chat Kavi udah sampai mana, tapi kami yakin kalau Kavi datang dia akan langsung ikut berkerumun, jadi rencana kami cuma menunggu sampai dia ada di antara kerumunan murid kepo yang melingkari Bre.

Bentukan Bre saat ini beneran gak karuan, gue yakin Kavi bakal ngomel-ngomel ke Askar soalnya pacarnya yang biasanya cantik badai jadi kayak orang gila gini. Jadi tontonan pula.

MANA GUE HARUS JOIN JADI ORANG GILA JUGA HABIS INI!

Pokoknya sekarang Pak Amin lagi bacain doa dan surat-surat ke Bre. Beberapa orang memegangi kaki dan tangan Bre agar tidak makin brutal. Jaket yang dipakai Mada juga sudah sejak tadi menutupi kaki Bre yang sedikit terekspos agar tidak menjadi tontonan gratis warga sekolah.

“PANAAASSS!!! PANAASS!!!!” teriak Bre saat dibacakan doa-doa. Gue yakin semua orang sering lihat adegan kayak gini di film horor. Gak gue sangka ternyata gue harus melihat akting begitu di depan mata gue sendiri. Rasanya mau bawa kamera dan gue upload ke youtube saking dramanya.

Bacaan masih terus dilanjutkan, Bre terlihat lelah jadi udah gak teriak sebrutal tadi. Gue melirik Askar dan Mada, gue juga tau Bre melirik gue seperti mengode kalau dia udah mau muntah akting kayak gini. Lirikan gue seperti bertanya apa yang harus gue lakukan, apakah ini saatnya gue ikut masuk ke dalam kegilaan ini? Apakah ini waktu yang tepat?

Gue lihat Askar mengangguk pelan, dia juga sudah siap menangkap gue bila harus berakting jatuh dengan brutal. Tapi tepat sebelum gue memulai teriakan perdana gue, Kavi datang dengan cepat sampai menabrak kerumunan murid. Dia melihat ke arah Bre panik. Gue yakin dia langsung tahu kalau yang sedang dikerubungi itu Bre dari teriakannya.

Gue lega sepenuhnya saat tahu bahwa gue gak perlu ikut akting kesurupan karena Kavi sudah datang. Bre melihat ke arah Kavi, hampir saja tersenyum kalau Askar gak menjelaskan ke Kavi kalau dia lagi kesurupan. Akting teriaknya sudah melemah, tapi gak langsung dihentikan karena tampaknya doa-doa Pak Amin belum terlihat akhirnya.

Sekitar 2 menit setelahnya Bre memutuskan untuk berpura-pura pingsan seakan hantunya sudah pergu dari tubuhnya. Kavi dengan sigap langsung mengangkat tubuh Bre yang tampilannya udah acak-acakan dan meninggalkan tasnya untuk dibawakan oleh Mada.

Kerumunan tadi mengikuti ke arah Bre pergi tapi gak dengan kami bertiga. Bu Ratih memerintahkan murid yang masih bertebaran di lapangan untuk segera masuk kelas. Gue melirik jam di tangan Askar yang menunjukkan pukul 07.20. Waktu yang sangat lama untuk sebuah akting kesurupan. Gue gak akan heran misal Bre suaranya habis.

“Kayaknya lo harus traktir Bre makan enak sebulan deh, Kar. Kasian banget sampe awur-awuran gitu bentukannya.” kata Mada setelah semua benar-benar jauh dari kami.

“Gue gak nyangka dia bakal setotalitas itu. Gue pikir dia cuma teriak di awal buat narik perhatian, tapi kenapa dia teriak sepanjang akting? Kan capek anjir.”

“Lu yang nyuruh dia buat brutal anjir!!!” omel gue. “Tapi gak perlu sebrutal itu juga pasti orang-orang percaya!” balas Askar.

Gue menghela napas kasar. Hari ini anehnya maksimal. Gue udah gak bisa debat masalah aneh sama orang yang lebih aneh. Kami berjalan ke UKS, menyusul Bre dan Kavi. Gue lihat masih ada aja murid yang kepo sampai harus dikepret dulu sama Pak Wahid. Kami diijinkan masuk karena beliau tau betul kami temannya Bre.

Gue lihat Bre sudah sadarkan diri dan lagi dikasih teh hangat dan minyak kayu putih sama penjaga UKS Bu Dyah. Kavi duduk di dekatnya sambil merapikan kondisi Bre yang berantakan. Gue berjalan ke arah Bre dan dipanggil untuk memeluknya. Saat posisi wajahnya ada di sela leher gue, dia berbisik dengan sangat pelan, “Ingetin gue buat minta DO dari sekolah abis ini. Gue malu banget anjing!”

Gue mau ketawa tapi waktunya gak tepat, jadi gue cuma mengusap punggungnya sebelum mundur memberi ruang agar Bre bisa dirapikan lagi keadaannya.

Beruntung koperasi punya baju cadangan, jadi baju Bre yang sudah kotor gak karuan bisa diganti dengan yang baru. Beruntung pula Bre membawa pouch make upnya sehingga bisa sedikit menghapus dan memperbaiki kekacauan di mukanya. Sebelum boleh bubar ke kelas, Bu Dyah, Pak Amin, dan beberapa guru yang ada di depan UKS menanyakan keadaan Bre dengan raut wajah khawatir. Bre menjawab dirinya sudah baik-baik aja dengan akting sedikit lemas tapi tidak menunjukkan tanda-tanda sakit lagi supaya gak disuruh pulang terus. Hampir aja tadi Ibunya Bre ditelfon untuk jemput anaknya yang abis meraung-raung di tengah lapangan, tapi untung Bre bisa membujuk untuk tetap ikut ujian.

Di toilet yang sudah gue pastikan hanya ada gue dan Bre, dia melongo melihat bentukan wajah dan rambutnya di cermin. “Askar anjing! Gue jadi gak ada harga dirinya gini depan warga sekolah anjingggg! Padahal gue selalu berusaha tampil cetar dan cantik supaya semua tau kalau gue emang cantik banget buat dipacarin!” katanya gak berhenti menghapus tuntas make upnya dan menimpanya lagi dengan riasan baru. Kami gak lagi khawatir sama ujian karena sudah diumumkan bahwa ujian akan dimulai pukul 8 yang mana masih 15 menit lagi.

Saat kembali ke kelas, semua menatap ke arah Bre. Mereka agak takut karena masih mengira Bre benar-benar ditempeli hal mistis. Saat duduk di bangku, Kavi merapikan lagi rambut Bre dengan sisir yang dibawanya. Dia gak ngomong apa-apa karena yakin semuanya akan mendengar kalau kejadian barusan cuma bohongan. Akhirnya kami memutuskan untuk berkomunikasi lewat ponsel.