Keluarga
Ada beberapa hal yang paling Askar benci di dunia ini. Pertama, kehilangan. Kedua, kejahatan. Ketiga, kesedihan. Dan tanpa sadar, ketiga hal itu dia dapatkan dari Anjani.
Yang pertama, kehilangan. Saat pertama melihat Anjani menangis karena kehilangan kucing peliharaannya yang mati tertabrak, dari situlah Askar sadar bahwa kehilangan adalah hal yang sangat buruk. Bahwa kehilangan bisa merenggut satu kebahagiaan dari seseorang. Bahwa dia benci menyaksikan dan merasakan kehilangan.
Lalu kedua, kejahatan. Askar benci fakta bahwa dulu banyak orang yang jahat pada Anjani. Menurutnya, jahat adalah sikap yang menghilangkan rasa kemanusiaan. Sikap yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tidak menggunakan hatinya dengan baik. Maka siapapun yang berbuat jahat padanya atau orang yang dia sayangi, maka Askar akan mencoret orang itu dari hidupnya selamanya.
Dan ketiga, kesedihan. Dia juga membenci semua air mata yang jatuh karena kesedihan. Walaupun kata orang kesedihan juga bagian dari hidup, bagian yang menguatkan. Tapi baginya kesedihan tetap tidak menyenangkan. Dia benci saat harus melihat air mata mengalir dari kedua mata orang-orang yang dia sayang.
Terutama dari mata Anjani.
Dan kini, entah untuk keberapa kalinya, dia lagi-lagi melihat Anjani menangis. Saat Anjani mengirim pesan seperti tadi, dia langsung menyambar jaket dan kunci motornya. Menyeberang jalan tanpa kesabaran berujung diklakson dari berbagai arah. Dia menemui Anjani yang duduk meringkuk di batu dekat tiang lampu jalanan kompleksnya. Anjani langsung berdiri saat motor Askar mendekat.
Askar menatap dia lurus, tepat di mata. Dari luar saja sudah kelihatan betapa banyak kesedihan yang ada di balik netra coklat Anjani. Selang beberapa detik, air mata Anjani mulai menggenang. Lalu tangisnya pun pecah. Lagi-lagi. Di depan Askar.
Askar membawa tubuh ringkih Anjani ke dalam dekapannya, membiarkan dia membasahi jaketnya. Tangannya bergerak teratur di punggung Anjani, mengelusnya pelan, berusaha memberi ketenangan. Askar hanya diam, tidak bertanya kenapa Anjani menangis. Hanya diam, sampai Anjani menarik dirinya pelan.
“Bawa gue pergi ya, Kar?” Ditatapnya Askar dengan mata sayunya. Suaranya parau, matanya juga merah. Askar hanya mengangguk, membenarkan rambut Anjani, lalu memberinya jaket lain yang tadi dibawanya.
Tanpa kata apapun, Anjani sudah ada di belakang motor Askar. Biasanya disaat seperti ini, dia akan membiarkan Anjani menangis puas di punggungnya, sembari dia membawanya keliling kota Jakarta. Askar menarik tangan Anjani agar melingkar di pinggangnya. Yang Anjani perlukan di saat seperti ini hanyalah pelukan. Pelukan hangat, yang menguatkan. Yang menunjukkan padanya bahwa dia tidak sendiri.
Sekitar 30 menit, Askar memutuskan untuk melipir ke tukang bubur ayam yang jualan di pinggir perumahan. Keadaannya lumayan sepi, cocok untuk Anjani yang malu bila terlihat matanya bengkak karena menangis. Askar menepuk tangan Anjani pelan. “Turun dulu, yuk? Makan. Lo belum makan, kan?” Anjani menggeleng di balik punggungnya kemudian melepaskan pelukannya.
Askar membuka bagasi motor dan mengambil tisu yang selalu disiapkan disana. Dia menyodorkannya pada Anjani sekaligus membantunya menghapus jejak air mata di pipinya. Dia menyuruh Anjani duduk duluan, lalu dirinya memesan dua porsi bubur ayam. “Yang satu gak pakai seledri, yang satunya gak pakai kacang ya, Pak. Minumnya teh manis hangat.”
Dia berjalan ke arah Anjani yang membelakangi gerobak bubur. Tidak ada meja, hanya kursi plastik. Jadi Askar mengambil satu kursi lagi dan ditaruh di antara keduanya.
“Mau cerita? Atau besok aja?” tanya Askar. Dia menghapus lagi air mata yang masih setia turun ke pipi Anjani.
“Gue... capek,” kata Anjani setelah hening beberapa menit. Hati Askar mencelos mendengarnya. Dia bisa merasakan dengan jelas lelah dalam nada bicara Anjani.
“Gue gak pernah diapresiasi sama Ayah, Kar. Selalu Garvi. Gue salah sedikit kalau ngerjain pekerjaan rumah, ujungnya dibandingin sama Garvi. Gue dapet nilai sejelek atau sebagus apapun, ujungnya disuruh contoh Garvi. Gue ngelukis sebagus apapun, akhirnya dibandingin sama olimpiade yang Garvi menangin. Garvi, Garvi, Garvi. Selalu Garvi. Gak pernah Anjani.”
Askar diam, membiarkan Anjani melanjutkan ceritanya. Bubur pesanan mereka sudah datang, tapi tidak langsung disentuh karena asapnya masih mengepul.
“Tadi gue gak sengaja mecahin piring kesayangan Ayah setelah kemarin gue mecahin gelas pemberian temennya. Gue beneran gak sengaja, Kar. Buat apa juga gue sengaja? Terus Ayah marah di grup karena gak sempet marah-marah di rumah soalnya ada panggilan kantor. Eh Garvi malah ngechat gue kayak gini.” Anjani menyodorkan ponselnya.
Tangannya mengaduk bubur seraya menunggu Askar selesai membaca chatnya dengan Garvi. Genggaman Askar pada ponsel makin mengerat karena emosi. Dia tidak menyangka Garvi akan jadi se-annoying dan sejahat ini. Dulu Garvi masih jadi teman main PS-nya, tapi semakin dewasa Garvi semakin menghindar, seolah memang diciptakan untuk benci padanya.
“Gue capek diremehin sama adek gue sendiri, Kar. Rasanya kayak gue gak ada harga dirinya di mata dia. Gak pernah sekalipun dia hormatin gue, peka sama keadaan gue, gak pernah. Lo sendiri pasti juga paham gimana dia makin lama makin berubah.”
Askar mengangguk sambil mengembalikan ponsel Anjani. Hatinya ikut sakit melihat tatapan Anjani. Yang dia lihat di dalamnya hanya kesedihan. “Gue kadang mikir, gue mau cepet dewasa. Gue mau cepet pergi dari rumah itu. Gue mau ninggalin semua orang yang selalu ngeremehin gue, nyakitin gue, marahin gue—” Perkataan Anjani terhenti. Satu air mata lolos lagi. Dia menatap Askar.
“— bawa gue pergi ya, Kar?”
“Jani..” panggil Askar pelan, dia tidak bisa melihat Anjani sepasrah ini.
“Bawa gue pergi kemanapun gue gak bisa ditemuin sama Ayah atau Garvi. Gue gak masalah harus tinggal sama lo terus, walaupun gue harus lupain keluarga gue.”
Askar menggeser bangkunya yang tadi di seberang Anjani menjadi di sebelahnya. Tangannya menggenggam pelan tangan Anjani. “Jani..” panggilnya lagi.
“Seandainya gue bisa, gue bakal bawa lo pergi. Gue bakal bikin rasa sakit yang lo rasain hilang. Gue juga bakal bikin air mata Lo gak pernah jatuh lagi. Tapi gue pun punya batas, Jan. Gue gak bisa bawa anak perempuan Bunda pergi gitu aja disaat gue sendiri masih gak punya apa-apa. Seandainya gue udah kerja dan kita udah cukup dewasa pun, gue gak akan pernah ngajak lo pergi ke tempat dimana lo lupa sama keluarga lo.”
Anjani diam, meminta alasan dari jawaban Askar. “Semua keluarga emang gak akan pernah sama, Jan. Ada yang hangat, ada juga yang enggak. Ada yang mendukung, ada juga yang menjatuhkan. Pasti susah nerima kenyataan bahwa lo salah satu dari yang gak beruntung karena punya keluarga yang kurang hangat, yang kurang sempurna, yang selalu ngeremehin usaha lo. Gue gak akan pernah tau rasanya, tapi gue tau satu hal yang pasti.”
Jari-jari Askar menyusup ke sela jari-jari Anjani, mengaitkan kelima jarinya erat. “Keluarga adalah tempat darimana lo berasal. Tanpa Ayah dan Bunda lo, gue gak akan pernah dapet sahabat yang namanya Anjani sekarang. Lo boleh pergi, tapi lo juga harus pulang. Sesekali. Gapapa. Kalau udah terlalu capek, gue bisa bawa lo kabur. Tapi buat sementara. Gue masih punya batas untuk balikin lo ke keluarga lo. Jadi.. sekarang lo belajar buat tutup kuping. Anggap semua amarah Ayah lo yang menurut lo emang gak masuk akal sebagai angin lalu. Terus ambil bagian dari beberapa amarah itu sebagai motivasi supaya lo bisa bangkit. Supaya lo bisa patahin omongan Ayah lo yang gak lo setujui.”
Detik berikutnya, Anjani memeluk leher Askar erat, sekali lagi menangis, membasahi pundak Askar. Dan Askar pun sekali lagi membalas pelukannya, menepuk punggung kecil Anjani.
“Kar,” panggilnya sembari menarik diri dari pelukan.
“Ya?”
“Kata lo, lo gak bisa bawa gue pergi karena lo punya batasan buat balikin gue ke keluarga gue. Dalam artian, karena keluarga utama gue belum berubah, kan? Kalau gitu, nanti, kalau kita udah dewasa, boleh gak gue minta kalau lo yang jadi tempat gue pulang? Jadi anggota keluarga gue yang utama, yang jadi syarat gue harus selalu balik gak peduli sejauh apapun gue pergi.”