Berbaikan
Kalau ditanya apa gue menyesal pergi ke rumah Sha karena bensin gue habis di perjalanan dan buat gue harus dorong motor 2 km ke pom bensin? Jawabannya enggak.
Kalau ditanya apa gue capek seharian suntuk duduk di depan laptop mengotak-ngatik nada karena dikejar deadline dan sekarang harus nempuh perjalanan lagi ke rumah Sha? Jawabannya juga enggak.
Gak ada satu hal pun yang berhubungan sama Shanika yang bikin gue menyesal. Kecuali satu. Gue menyesal gak kenal Sha lebih cepat. Gue menyesal kenapa gak langsung ajak dia kenalan waktu kami satu kelas di kampus dulu.
Singkat cerita, sebenarnya gue kakak tingkatnya Sha. Tapi waktu itu gue harus ngulang satu mata kuliah yang bikin gue satu kelas sama Sha. Awalnya gue cuma mikir kalau dia cantik dan orangnya ramah banget. Beberapa kali satu kelompok dan Sha selalu jadi orang yang paling rajin dan tekun buat ngerjain tugasnya. Bahkan dia gak marah saat ada satu atau dua orang yang menyepelekan tugas dan bikin Sha harus kerja dua kali karena orang gak bertanggung jawab itu. Sha itu... perempuan paling sabar dan cantik kedua setelah Bunda.
Hal itu bikin gue tanpa sadar jadi jatuh hati. Gue emang bodoh, sih. Gue baru sadar kalau gue suka sama Sha setelah satu tahun lulus dan gue selalu kebayang-bayang senyumannya. Gue pikir memang karena efek Sha cantik aja, tapi setelah gue telusuri, lama-kelamaan gue sadar kalau gue udah totally in love with her.
Beruntungnya setelah lulus kami sempat ketemu lagi di acara reuni akbar 4 angkatan waktu itu. Tempat reuninya luas karena yang datang hampir 300 orang. Kalau dipikir ajaib juga gue bisa dengan mudah menemukan dia yang dibalut dress merah maroon di tengah banyaknya orang. Tanpa pikir panjang gue langsung ajak dia ngobrol. Surprisingly, Sha gak lupa sama gue. Padahal yang gue tau dia banyak banget temannya, berbanding terbalik sama gue yang butuh waktu dua bulan buat menghafal nama teman sekelas.
Semenjak itu gue jadi sering ngobrol sama dia. Kami sering chat setiap hari. Dari awalnya cuma reply insta story, sampai tukeran nomor. Waktu itu Sha cerita kalau dia masih belum bisa move on dari Kale walaupun udah lulus dua tahun lalu. Mereka kebetulan sempat satu kepanitiaan, jadi sering ketemu dan dekat. Dan kebetulan lagi Kale ini penyanyi cover di studionya Bang Danny, tempat gue kerja sekarang.
Entah bagaimana gue punya keberanian buat ungkapin perasaan gue ke Sha setelah kami dekat selama lima bulan lamanya. Sha waktu itu shock berat sampai pulang naik taksi sendiri tanpa berkata apa-apa. Karena gue khawatir salah ngomong, gue langsung datang ke rumahnya. Ternyata dia balas perasaan gue dengan pernyataan yang sama, tapi dia shock aja makanya langsung kabur.
Akhirnya tepat pada tanggal 10 Agustus, kami resmi jadi sepasang kekasih. Udah dua tahun dan perasaan gue sama Sha masih tetap sama. Masih sama debarnya dan masih sama hebatnya. Oleh karena itu gue gak akan terima kalau sampai gue kehilangan dia.
Dari awal gue paham candaan Sha tentang Kale. Gue selalu paham kalau itu benar-benar hanya candaan. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini gue takut. Sempat gue liat dia ketawa bareng Kale sebelum keluar dari tempat meeting dan di saat itu gue tersadar kalau ternyata Kale juga bisa aja bawa kebahagiaan buat Sha, bukan cuma gue yang bisa. Mungkin karena itu gue jadi takut. Gue jadi protektif dan secara gak langsung berusaha buat jauhin Kale dari Sha. Gue menganggap Kale itu ancaman.
Demi Tuhan, gue gak pernah kepikiran kalau perhatian gue selama ini ternyata jadi beban buat Sha. Padahal gue cuma mikir kalau gue harus kasih yang terbaik buat orang yang udah kasih gue banyak kebahagiaan itu. Tapi ternyata Sha berpikir sebaliknya. Dia berpikir kalau dirinya gak worth it buat dapetin semua perhatian gue. Pikiran yang salah, 100 persen salah.
Maka disinilah gue, memandang ke pagar hitam tinggi kediamannya Sha, menunggu dia keluar. Gak lama kemudian pagar dibuka, menampilkan bidadari cantik gue yang dibalut piyama satin warna ungu muda. Matanya sendu, tanpa berkata apa-apa dia membuka pagar lebih lebar, memberi sinyal untuk gue mendorong masuk motor gue ke garasi rumahnya.
Setelahnya dia membukakan pintu dan berdiri di ambang, mempersilahkan gue duduk di sofa yang mejanya sudah diletakkan cookies buatannya dan teh hangat yang gue yakin tawar rasanya. Kesukaan gue, dan Sha selalu tau itu. Coba liat, gimana gue gak tambah sayang sama perempuan satu ini? Tanpa tanya dia selalu tau apa yang gue butuhkan. Harusnya dia sadar semua kebaikan yang dia lakuin itu gak ada apa-apanya sama semua barang yang gue kasih ke dia.
“Mama Papa?” tanya gue, menanyakan kehadiran orang tuanya karena rumah lebih sepi dari biasanya.
“Lagi keluar kota, Papa ada dinas.”
Gue mengangguk lalu menyeruput teh hangat buatannya. Dia hanya memandang tangan mungilnya yang sedang saling bertautan jari-jarinya. Lantas gue memberikan tas kecil yang berisi obat pereda menstruasi miliknya, satu botol kiranti, menstrual heating pad, dan beberapa makanan kesukaannya.
“Sen...” Lirihnya pelan saat menerima tas itu. Gue tersenyum kecil. “Kenapa? Kamu butuh itu kan?”
“Ini yang aku bilang. Aku gak pantes nerima perhatian kamu yang kayak gini, Sen. Aku gak bisa balesnya, gak ada hal besar yang cukup buat bales perhatian kamu buat aku.” Dia menaruh tas itu di meja dan menutupi wajah dengan tangannya untuk menangis.
Gue panik sejadi-jadinya, langsung gue bawa dia ke pelukan gue setelah mendengar tangisnya mulai bersuara. Tangan gue menepuk pelan punggungnya, berusaha menenangkan. Mendengar tangisnya selalu turut menyebar sakit di hati gue. Membuat gue selalu mengeratkan pelukan, berharap bisa menenangkan.
“Aku gak pantes jadi pacar kamu, Sen..” katanya pelan di dada gue. Otomatis kepala gue menggeleng.
“Kamu tau kan kalau aku ditinggal Bunda dan Ayah waktu masih kecil?” tanya gue pelan.
Dia menarik diri pelan dari pelukan gue, mulai menatap wajah gue dengan mata merahnya. Pemandangan yang gue harap bisa segera diganti dengan senyuman riangnya aja.
“Aku besar tanpa pelukan Bunda dan Ayah aku, Sha. Aku gak pernah lagi liat senyuman mereka dan gak pernah lagi ngerasain perhatian mereka. Gak ada yang pernah ngelus kepala aku sampai tidur kalau bukan kamu. Gak ada yang bikinin aku teh dan bolu hangat kalau bukan kamu. Gak ada yang meluk aku kalau aku capek selain kamu. Semua itu udah lebih dari cukup buat ngerasain rasa sayang yang gak pernah aku dapetin sejak kecil, Sha.”
Dada gue sesak luar biasa saat merasakan mata gue mulai memanas dan perlahan air mata turun bergantian ke pipi. Pandangan gue mulai buram saat menatap wajah Sha yang sama hancurnya.
Waktu gue bersama kedua orang tua gue memang amat singkat. Gue hanya bisa merasakan kehadiran mereka sampai umur 8 tahun. Setelahnya? Gue sendirian. Gue besar bersama keluarga Bang Danny, tetangga gue yang super baik hati sampai rela menerima gue di rumah mereka. Kehadiran Shanika di hidup gue pun turut menjadi pengisi lubang yang ternyata sudah bertahun-tahun gue biarkan terbuka. Maka dari itu, kehadiran Shanika sudah lebih dari cukup.
“You're worth it, Sha, serius deh. Aku gak pernah minta kamu untuk balas semua perhatian aku dengan uang dan materi. Dengan liat kamu senyum dan dipeluk kamu di ujung hari yang suntuk pun udah cukup banget buat aku. Gak ada yang lebih besar dari pelukan kamu, Sha.”
Gue menyelam ke bola mata coklat tua miliknya. Banyak rasa yang gak ketebak apakah itu haru atau sedih. “Aku minta maaf kalau perhatian aku bikin kamu gak enak sama aku. Tapi percaya sama aku, aku gak pernah ngerasa direpotin kamu.”
Dia memegang tangan gue, hangat genggamannya memenuhi ruang di sela jari gue. “Kamu tau gak kenapa aku ngerasa gak enak sama semua perhatian kamu? Karena kamu awalnya datang dari tempat yang bahkan aku gak tau itu ada. Kamu anak dari keluarga yang awalnya gak aku kenal. Kita itu berawal dari orang asing tapi tiba-tiba kamu ngasih seluruh hidup kamu ke aku, apa aku bisa tanpa beban langsung nerima seluruh pemberian kamu? Enggak, Sen. Butuh waktu untuk terbiasa sama semua itu. Malah kayaknya aku gak akan pernah terbiasa dengan perlakuan itu.”
“Kamu tau gak kenapa aku ngasih seluruh hidup aku buat kamu padahal kita itu awalnya cuma orang asing?”
Gue menatap matanya, menunggu jawaban dia. Responnya hanya gelengan kecil. “Karena aku gak punya lagi tempat buat ngasih semua itu. Aku gak punya orang tua, Sha, aku cuma punya kamu. Aku gak mau lagi kehilangan orang yang aku sayang, makanya aku ngasih seluruh yang aku punya buat kamu.”
Beberapa detik setelah perkataan gue, terjadi keheningan. Mungkin Sha perlu mencerna baik-baik perkataan gue. Satu tetes air mata mengalir di pipinya sebelum dia menarik gue ke pelukannya. Walaupun tanpa aba-aba, gue selalu siap untuk memeluk balik tubuh ramping miliknya. Entah sejak kapan gue selalu merasa bahwa tubuh mungilnya memang ditakdirkan untuk berada di pelukan gue.
“Maafin aku ya, Sen..” lirihnya pelan di dalam pelukan gue. Gue hanya mengelus pelan kepalanya. “Seharusnya aku berterimakasih, bukannya nolak dan bikin hubungan kita jadi runyam gini.”
Gue melepas pelukan kami untuk menangkup kedua pipi Sha. Gue pasang wajah sedikit marah sebagai respon dari perkataannya barusan. “Sembarangan! Kata siapa kamu bikin runyam? Aku juga ikut andil sama masalah ini, bukan cuma kamu. Maafin aku juga ya?”
Dia terkekeh geli melihat gue manyun sok lucu. Kepalanya mengangguk-angguk dengan lebih lucu. “Baikan nih, kita?” tanyanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya, menunggu balasan gue.
Gue tertawa kecil dan mengaitkan jari kelingking gue. “Iya.. Baikan kita. Lain kali kita lebih komunikasi lagi ya? Kalau ada masalah bilang, jangan dipendem.”
Shanika si lucu ini langsung memasang gestur hormat dengan wajah tegas yang dibuat-buat. “Siap, Pak Bos!”
Dan... ya, lagi lagi Sha berhasil membawa tawa ke dalam hidup gue. Kalau kata beauty vlogger pas ngereview baju, “SELUCU ITU GUYS!!”. Ya pokoknya, beruntung banget deh gue bisa milikin Sha.
Jadi kalau ada yang nanya apa sumber kebahagiaan gue sekarang, maka jawabannya adalah Shanika. Kalau ada yang nanya lagi apa anugerah terindah yang Tuhan kasih ke gue, jawabannya juga Shanika. Bagi gue, Shanika adalah belahan jiwa. Masa bodoh kalau itu klise, tapi memang itu kenyataannya. Gak peduli walaupun hujan badai menerpa hubungan kami, bagi gue Shanika Azalea tetap yang terbaik.