oh dear my healer


Kai menundukkan badannya saat membuka pintu penumpang. Bibirnya tersenyum lebar menyapa laki-laki miliknya yang terduduk di kursi pengemudi. Tubuhnya lalu masuk seluruhnya ke dalam mobil.

“Lama gak nunggunya? Tadi catokan aku kurang panas jadi lama deh.” ucapnya beralasan.

Jio menggeleng, tangannya sibuk memakaikan sabuk pengaman di tubuh Kai. “Nggak kok. Lagian mau seberapa lama pun bakal tetep aku tungguin. Mau kamu nyatok sampe dinosaurus hidup terus punah lagi mah aku jabanin, Sayang.”

Kai memutar bola matanya. “Mulai deh, lebaynya keluar...” Jio terkekeh pelan. Kemudian dia sibuk menyalakan mobil untuk segera membawa Kai ke salah satu taman seperti rencananya.

Tangan kiri Jio sibuk mengenggam Kai. Terkadang mengecup punggung tangannya lembut saat jalanan di depannya lengang. Kai beberapa kali mengingatkan untuk fokus ke jalanan tapi tidak pernah didengarkan. Mereka bernyanyi mengikuti lagu yang disetel di radio sore itu. Semua lagunya bertema cinta. Seakan semesta pun mendukung mereka untuk saling berbahagia hari itu.

Usai memarkirkan mobilnya, Jio keluar dan berlari cepat untuk membukakan pintu untuk Kai. Tangan kirinya ditekuk di belakang tubuh, sedangkan tangan kanannya menengadah untuk menyambut tangan Kai. Persis seperti pangeran yang menawarkan seorang putri untuk berdansa.

Keduanya tidak berhenti tersenyum satu sama lain. Taman yang dikunjungi cukup luas, jadi mereka hanya berjalan santai sambil bergandengan tangan. Sesekali saling mengambil gambar untuk kenang-kenangan. Saat menemukan bangku, mereka duduk untuk menikmati angin sore yang berhembus pelan.

Mereka sangat suka mengunjungi taman-taman kota. Sepertinya seluruh kota di Jakarta sudah mereka kunjungi. Mereka senang merasakan angin membelai kulit mereka di bawah pohon-pohon rindang. Terasa sederhana tapi penuh cinta.

Kai menyenderkan kepalanya ke bahu bidang milik Jio. Keduanya menatap ke depan. “Apa kabar kamu sama ayahmu, Kak?” Sore itu Kai yang membuka topik.

“Baik. Jauh lebih baik dibanding tahun-tahun kemarin malah. Aku udah berusaha buat damai sama masa lalu juga. Ayah juga jadi lebih perhatian sama aku. Ada kali dia setiap hari ngechat buat nanya aku udah makan atau belum.”

“Oh ya? Bagus dong. Syukur kalau gitu.”

Jio mengangguk pelan. “Aku seneng banget sama keadaan keluargaku sekarang, Kai. Walaupun gak ada Bunda, tapi rasanya masih sama hangatnya.”

“Kamu hebat berarti. Udah lewatin masa-masa sulit.” Kai bicara sambil mendongak, membuat Jio menggesekkan ujung hidungnya pada hidung Kai. Hidung keduanya mengerut kegelian.

“Kalau kamu gimana? Mami Papi baik?”

“Mereka selalu baik, kok. Mami masih suka arisan kemana-mana dan ngumpul sama temennya. Dan Papi masih suka pergi dinas ke luar kota atau keluar negeri.”

“Kamu gak pernah ngerasa kesepian gitu? Kan keduanya sibuk terus.”

Kai menatap langit, menerawang. “Hmmm.. Kayaknya nggak deh. Karena setiap pulang kita ngehabisin waktu bareng-bareng. Tiap ditinggal sendiri juga Kak Elias selalu nemenin aku di chat atau telfon.”

“Tuh, Elias gak selamanya alpha tau kehadirannya.” celetuk Jio, mengingat Kai pernah bilang kalau Elias tidak pernah ada saat dibutuhkan.

Kai tertawa pelan. “HAHAHA iya sih.”

“Kamu sama Bilal gimana?” tanya Jio.

“Masih sering berantem. Nih, DIA TUH YA, KAK! NYEBELIN BANGET DEH! MASA SEPATU AKU BAWAHNYA DIKASIH PERMEN KARET BEKAS?!” Nada bicara Kai meninggi, badannya tegak karena emosi.

Jio sampai bengong. “Permen karet?”

“IYA!! IHHH KESEL AKU POKOKNYA!”

Jio hanya bisa tertawa. Memang sih setelah berbaikan, Bilal jadi mengeluarkan watak aslinya yang suka iseng dan mengganggu siapapun yang ada di dekatnya. Jio saja sering melempari bantal ke arahnya karena sering dibuat marah.

“Yang penting udah baikan, kalau musuhan terus juga gak enak kan?”

Bibir Kai maju. Masih kesal tapi benar juga kata Jio, daripada musuhan terus. “Kalau kamu sama Alice gimana?”

“Baik terus. Aku beberapa kali ketemu dia buat ngehibur. Dia terpukul banget sama kepergian Yogi.”

Pandangan Jio berubah sendu. Kai juga bisa merasakan betapa kosongnya tatapan mata Jio. Tangannya mengelus punggung Jio pelan. “Kepergian emang selalu kejam, Kak. Kepergian itu gak pernah nunggu kita untuk siap. Selalu tiba-tiba dan selalu nyakitin.”

Air mata menetes dari mata Jio. Tapi buru-buru dia hapus. Dia tidak ingin mengubah suasana menjadi sendu lagi. Tujuan mereka disini untuk melupakan kesedihan dan mengikhlaskan kepergian.

“Kepergian juga bikin semua yang tersisa jadi lebih berharga ya, Kai? Kalau aku asih merasanya begitu. Makanya aku gak mau kehilangan kamu. Aku gak mau kamu pergi.”

“Aku juga begitu, Kak. Aku gak pernah mau nerima kepergian dari siapapun.”

Jio menoleh, menatap Kai lekat-lekat. Jarinya menyisir rambut Kai, mengganjalnya di belakang telinga. Bibirnya tersenyum saat menatap tiap inci wajah Kai. Memandangnya saja sudah cukup membuat Jio jatuh cinta berkali-kali.

“Aku beruntung banget bisa punya kamu, Kai.”

Kai turut menatap mata Jio yang menyipit karena senyumnya.

“Aku jauh lebih beruntung bisa punya kamu, Kak.”

Sore itu, keduanya menghabiskan senja bersama. Dan mungkin, senja-senja berikutnya juga mereka habisi berdua. Karena keduanya tidak pernah meminta lebih, hanya kehadiran satu sama lain dan restu semesta. Dua insan manusia itu pun hanya berharap satu, yaitu agar kisah mereka abadi.